• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sasaran 5 Peningkatan efisiensi pemakaian dan pengolahan energ

1. Elastisitas Energi

Pemanfaatan energi secara optimal dapat diukur dengan elastisitas energi. Elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi (umumnya dinyatakan

dalam GDP atau Gross Domestic Product). Berdasarkan Perpres Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan

Energi Nasional, target elastisitas energi Indonesia pada tahun 2025 adalah lebih kecil dari 1, atau dengan kata lain nilai pertumbuhan konsumsi energi diharapkan tidak akan melebihi nilai pertumbuhan ekonomi. Salah satu tujuan strategis dalam penyediaan pasokan energi dan mineral untuk kebutuhan domestik adalah peningkatan efisiensi pemakaian dan pengolahan energi, dimana tingkat elastisitas energi perlu diturunkan terus. Pada tahun 2010 elastisitas energi Indonesia berada pada angka 1,64, dimana ditahun 2014 direncanakan bahwa elastisitas energi berada pada angka 1,48.

Adapun perkembangan elastisitas energi dan target pencapaian sejak tahu 2005 sampai dengan 2010, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Table 5.18

Realisasi dan Target Elastisitas Energi Tahun 2005-2010

Salah satu indeks yang biasa digunakan untuk mengukur kebutuhan energi terhadap perkembangan ekonomi sebuah negara adalah Elastisitas Energi, yaitu pertumbuhan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) tertentu. Angka elastisitas energi di bawah 1,0 dicapai apabila energi yang tersedia telah dimanfaatkan secara produktif. Elastisitas energi di Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 1,8. Artinya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, maka konsumsi energi Indonesia harus naik rata-rata 1,8%. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia 6%, maka diperlukan tambahan penyediaan energi sebesar 11%. Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN seperti Thailand angka elastisitasnya 1,16, Singapura 1,1. Di negara-negara maju elastisitas ekonomi berkisar antara 0,1% hingga 0,6%. Di Jerman bahkan untuk kurun waktu 1998-2003 angka elastisitasnya - 0,12%, artinya kenaikan perkonomian justru menurunkan kebutuhan akan energi.

-0 , 5 0 0 , 5 1 1 , 5 2 IND O N ES I A MA L A YS I A T AIW A N T HA I L AN D I TA LY S OU T HK O R EA S IN G A PO R E F RA N C E U N ITE D S TA T E S CA N A DA J AP A N U NIT E D K IN GD O M G ER MAN Y 0 .7 - 0 .8* ) 1 .7 1 .6 9 1 . 3 6 1 .1 6 1 . 0 5 0 .7 3 0 .4 7 0 .2 6 0 .1 7 0 . 1 0 - 0 . 0 3 - 0 .1 2 * ) s o u r c e : T o w a rd a 2 0 1 0 E n e r g y P o l i c y f o r K o re a , M O C I E - K O R E A Grafik 5.15 Perbandingan Elastisitas Energi Indonesia dan Negara Lain

PERBANDINGAN ELASTISITAS ENERGI INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

2.74 3.30 5.47 3.16 0.97 1.48 0.38 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Japan OECD Thailand Indonesia Malaysia North America Germany 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

Intensitas Energi konsumsi per kapita

Grafik 5.16 . Intensitas energi dan konsumsi energi di dunia perkapita

Dalam rangka menurunkan elastisitas energi Kementerian ESDM melakukan kegiatan konservasi energi, sebagai berikut:

a. Gerakan penghematan energi, antara lain melalui:

· Pemberian layanan audit energi kepada industri dan gedung dengan pendanaan APBN melalui Program Kemitraan Konservasi Energi

· Perumusan standar kompetensi manager dan auditor energi di industri dan gedung

· Perumusan prosedur uji untuk labelisasi tingkat hemat energi pada peralatan pemmanfaat energi listrik di rumah tangga

· Sosialisasi hemat energi antara lain dengan menyelenggarakan seminar/workshop, talkshow dan penyebaran brosur/leaflet

· Penyelenggaraan lomba gedung hemat energi dan manajemen energi tingkat nasional serta

berpartisipasi dalam ASEAN Energy Award

· Penerapan advance teknologi, al. smart building

· Pengaturan Jam Operasi Pusat Pertokoan termasuk Mall

b. Menurunkan susut jaringan dari 11,2% (2008) menjadi 9,95% (2009), serta peningkatan kegiatan

penertiban pencurian tenaga listrik (P2TL).

Angka elastisitas di Indonesia masih >1 yang mengindikasikan pemanfaatan energi belum efisien, hal ini ditandai dengan intensitas energi yang tinggi. Pemanfaatan energi yang efisien melalui penerapan konservasi energi masih menghadapi berbagai hambatan antara lain: budaya hemat energi masih sulit diterapkan, kemampuan SDM masih rendah sehingga sikap masyarakat terhadap teknologi juga rendah. Intensitas energi adalah energi yang

dibutuhkan untuk meningkatkan gross

domestic product (GDP) atau produk domestik bruto. Semakin efisien suatu negara, maka intensitasnya akan semakin kecil. Intensitas energi

Indonesia sebesar 401 TOE (ton-oil-

equivalent) per 1 juta dolar AS. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah (GDP) 1 j u t a d o l a r A S , I n d o n e s i a membutuhkan energi 401 TOE. Sebagai perbandingan, intensitas energi Malaysia 335 TOE/juta dolar AS, dan intensitas energi rata-rata negara maju y a n g t e r g a b u n g d a l a m O E C D (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) hanya 136 TOE/juta dolar AS. Intensitas energi dan konsumsi energi per kapita dapat dilihat pada Gambar 5.20.

c. Pengendalian pertumbuhan beban (terutama beban puncak), melalui program penghematan pada pelanggan Industri dan Bisnis di Jawa dan Bali.

d. Penerapan tarif non subsidi untuk pelanggan mampu (6600 VA keatas).

e. Sambungan baru dilakukan secara selektif, disesuaikan dengan ketersediaan daya cadangan;

f. Program penghematan BBM dengan sistem distribusi tertutup (kartu kendali untuk minyak tanah)

g. Kampanye pengurangan penggunaan BBM tertentu untuk masyarakat mampu

2. Penurunan emisi CO2

Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil yaitu BBM, gas bumi dan batubara akan berdampak pada meningkatnya emisi gas rumah kaca. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut emisi gas

rumah kaca (karbon dioksida (CO ) di atmosfir akan mengalami peningkatan. Situasi ini menjadi perhatian 2

dunia semenjak dampak dari perubahan emisi gas rumah kaca khususnya CO menjadi pemicu utama 2

kenaikan temperatur bumi yang menyebabkan perubahan iklim global.

Emisi gas rumah kaca dari sektor energi diperkirakan akan meningkat sekitar 7% dari tahun 2006 hingga tahun 2025 sejalan dengan kenaikan konsumsi energi khususnya dari bahan bakar minyak bumi. Penggunaan energi yang bersumber pada energi baru, peningkatan efisiensi energi dan pengembangan teknologi yang bersih terutama dalam menangkap dan penyimpanan karbon akan mengurangi efek gas rumah kaca.

Beberapa potensi program yang bisa mengurangi efek gas rumah kaca antara lain:

- Pengembangan program percepatan pembangkit listrik 10000 MW tahap II yang sebagian besar berasal dari energi baru terbarukan (panas bumi dan tenaga air).

- Penggantian bahan bakar minyak dengan bahan bakar nabati (untuk sektor transportasi)

- Penggantian bahan bakar minyak menjadi CNG (untuk sektor transportasi) seperti penggunaan pada bus

- Pengembangan gas kota - Promosi lampu hemat energi

- Program konversi minyak tanah ke LPG

- Pengembangan DME dengan menggunakan energi baru terbarukan yang potensial (angin, cahaya matahari, air, dan lain-lain).

- Pengurangan pembakaran gas di flare stack.

Tabel 5.19.

Indiaktor Kinerja Sasaran 6

Peningkatan jumlah produksi ESDM tidak dapat di lepaskan dari pertumbuhan jumlah investasi. Dengan demikian jelas bahwa untuk menjamin ketersediaan energi dan sumber daya mineral secara merata dan berkesinambungan juga dibutuhkan adanya pertumbuhan jumlah investasi.

Kementerian ESDM selalu berperan dalam mendorong peningkatan aktifitas investasi di sektor ESDM. Nilai Investasi sektor ESDM sejak tahun 2005 hingga 2008 terus meningkat sekitar 67% dari US$ 11,9 miliar menjadi US$ 19,9 miliar. Sumbangan terbesar investasi sektor ESDM, berasal dari investasi migas dengan porsi sekitar 70% tiap tahunnya. Namun pada tahun 2009 terjadi penurunan akibat penundaan rencana kegiatan investasi di berbagai perusahaan yang antara lain disebabkan oleh akibat tumpang-tindih birokrasi (khususnya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dan kendala izin AMDAL yang diterbitkan daerah.