• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Landasan Teori

E. 1. Sastra, Pengarang, dan Masyarakat

Pada hakekatnya sastra adalah ekspresi tentang masyarakat dengan segala sistem, kepercayaan, milieu, dan pemikiran yang ada. Sastrawan sendiri, sebagai penghasil sastra, tidaklah jatuh ke tengah masyarakatnya dari langit, melainkan lahir dan tumbuh dari masyarakatnya dan dari segala yang dilihat, dirasakan, dan didengarnya.53 Sejauh-jauh seorang sastrawan hendak mengelak dari segala fakta yang melahirkan, mengasuh, dan mendewasakannya, ia tidak mungkin membuat karya sastra yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan pengalaman,

pengetahuan, pikiran, dan perasaannya sendiri.54 “Semua karya sastrawan itu

53

Shawqi> D{ayf, al-Bahth al-Adabi>: T{abi>‘atuh, Mana>hijuh, Us}u>luh, Mas}a>diruh (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1992), 96.

54

Ariel Heryanto, “Sastra, Sejarah, dan Sejarah Sastradalam Budaya Sastra (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), 49. Lihat pula, ‘Abdulla>h Muh}ammad al-Ghudha>mi> dan ‘Abd al-Nabi> S}t}i>f, Naqd Thaqa>fi> am Naqd Adabi>? (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2004), 110.

mengambil inspirasi dari kehidupan ... Bahkan, ketika novel itu produk dari perenungan dan pemikirannya, bukan dari peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, maka pemikiran itu sendiri pada dasarnya merupakan produk dari interaksi sastrawan dengan realitas yang dijalaninya,” tegas Naji>b Mah}fu>z}.55 Dengan kata lain, tidak ada karya sastra yang dapat menghuni suatu wilayah otonom yang serba fiktif, imajiner, dan terlepas dari sangkut-pautnya dengan dunia “luar”

sastra.56 Setiap teks --menurut Fredric Jameson-- pada dasarnya mengandung

gema sosial, historis, dan politis.57

Gema dunia “luar” sastra dalam setiap teks sastra ini tampak lebih kentara pada karya-karya sastra realis. Imajinasi dan idealisasi tidak mendapat porsi besar dalam karya-karya semacam ini. Lukisan tentang kenyataan secara apa adanya

55 Naji>b Mah}fu>z},

Wat}ani> Misr: H{iwa>ra>t ma‘a Muh}ammad Salma>wi> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1997), 80.

56

Adanya unsur imajinasi/invensi dan fakta dalam karya sastra ini melahirkan persoalan tentang pembedaan antara sejarah (history) dan fiksi (fiction) yang, selanjutnya, menyebabkan munculnya beragam istilah, seperti fiksi sejarah (historical fiction) dan sejarah fiksional (fictional history). Bagi, Robert F. Berkhofer, JR., sebagaimana sejarawan, novelis fiksi sejarah tetap membedakan antara dunia fiksi dan fakta dalam karya atau tulisan mereka meskipun mereka mungkin menciptakan tokoh-tokoh utama novel dan menempatkannya dalam konteks historis yang seriil mungkin, sedangkan novelis sejarah fiksional bisa mencampuradukkan keduanya. Hanya saja, Berkhofer mengakui bahwa sejarah dan novel sejarah sama-sama menggunakan alat-alat interpretasi untuk mengelaborasi bukti dokumenter dan artifactual. Pengakuan yang tidak jauh berbeda juga datang dari Hayden White ketika ia membalik pertanyaan teoritis Erich Auerbach dan E. H. Gombrich, “Komponen-komponen ‘historis” apa dalam seni ‘realis’?” (what are the ‘historical’ componens of a ‘realistik’ art?) menjadi “Unsur-unsur artistik apa dalam historiografi realis?” (what are the ‘artistic’ elements of a’realistic’ historiography?). Menurut White, pembedaan antara “sejarah” dan “fiksi” yang disarkan pada fakta bahwa seorang sejarawan itu “menemukan” cerita-ceritanya sedangkan seorang penulis fiksi itu “menciptakannya” adalah kabur, karena “invensi’ (penciptaan) juga memainkan peran dalam kerja sejarawan. Penulisan sejarah, dalam pandangannya, juga melalui proses seleksi dan penyusunan data dari catatan sejarah yang belum terproses (unprocessed historical record) agar catatan tersebut lebih dapat dipahami oleh audiens tertentu. Di sana juga ada proses yang disebutnya emplotment, yaitu cara pengurutan peristiwa menjadi kisah/cerita, sehingga jenis kisah/cerita tersebut pelan-pelan dapat dikenali (romantik, tragik, komik atau satiris). Lihat, Robert F. Berkhofer, JR., Beyond the Great Story: History as Text and Discourse (Cambridge: Harvard University Press, 1997), 66-8. Lihat pula, Hayden White, Metahistory: the Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (Baltimore & London: the Johns Hopkins University Press, 1975), 2-7.

57

Yoseph Yapi Taum, Pengantar Teori sastra (Flores: Nusa Indah, 1997), 54. Bandingkan dengan pandangan Roger Fowler yang memandang sastra sebagai wacana sosial (social discourse). Menurutnya, teks sastra harus dilihat sebagai relasi-relasi berbagai agen di antara pengguna bahasa, bukan hanya relasi-relasi ungkapan, melainkan relasi-relasi kesadaran, ideologi, peran, dan kelas. Lihat, Roger Fowler, Literature as Social Discourse: The Practice of Linguistic Criticism (London: Batsford Academic and Educational Ltd.), 80.

adalah ciri utama karya-karya sastra realis.58 Dalam konteks Mesir, sastra realis didefinisikan oleh Ah{mad D{ayf sebagai: sastra yang memotret senyata mungkin petani di ladangnya, pengusaha di tempat usahanya, pangeran di istananya, sarjana di antara buku-buku dan mahasiswanya, tokoh agama di antara para jamaahnya.”59

Oleh karena itu, menganalisis karya sastra dengan hanya berkutat pada struktur “dalam” tidak saja akan melepaskan karya tersebut dari konteks dan fungsi sosialnya tetapi sekaligus mengenyampingkan manusia --termasuk pengarang-- yang berada di sekitarnya. Dalam kenyataannya, sastra merupakan sesuatu yang berada dan lahir dalam suatu peta sosial budaya dan dalam kondisi sosio-historis tertentu. Struktur "luar," tempat lahirnya karya ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan memiliki hubungan erat dengan struktur "dalam" karya sastra.

Hubungan yang erat antara struktur “dalam” dan “luar” sastra itu didasarkan pada kelahiran sastra itu sendiri yang disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan peduli terhadap dunia nyata yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Karena watak sastra yang demikian, sastra dapat memberikan kepuasan estetik dan sekaligus kepuasan intelek bagi

58

Memang tujuan paling umum realisme adalah menyajikan representasi tentang dunia riil, baik dunia eksternal maupun diri manusia, secara obyektif, seksama, dan sebenar-benarnya. Untuk mencapai tujuan ini, kaum realis memakai sejumlah strategi: menggunakan rincian yang deskriptif dan evokatif; menghindari yang tidak masuk akal, imajiner, dan mitis; mengikuti atau memenuhi tuntutan probabilitas dan meniadakan peristiwa-peristiwa yang mustahil; memasukkan tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dari seluruh strata sosial, dan tidak hanya para penguasa dan bangsawan; memfokuskan pada kekinian dan memilih topik-topik dari kehidupan kontemporer, bukan merindukan masa lalu yang diidealisasikan; dan menekankan pada sosial, bukan individual (atau melihat individu sebagai makhluk sosial). Semua tujuan dan strategi ini didasari oleh sebuah penekanan pada observasi langsung, faktualitas, pengalaman, dan induksi (menyimpulkan kebenaran-kebenaran umum hanya atas dasar pengalaman yang berulang-ulang). Dengan mengambil strategi-strategi ini, realisme merupakan reaksi terhadap idealisasi, retrospeksi historis, dan dunia-dunia imajiner yang menjadi ciri romantisisme. Lihat, M.A. Rafey Habib, A History of Literary Criticism: from Plato to the Present (Oxford: Blackwell, 2005), 471.

59

Lihat, J. Brugman, An Introduction to the History of Modern Arabic Literature (Leiden: E.J. Brill, 1984), 4-5. Lihat pula, Matti Moosa, The Origins of Modern Arabic Fiction (London: Lynne Rienner, 1997), 269; dan Yu>suf al-Sha>ru>ni>, al-Rawa>’i>yu>n al-Thala>thah: Naji>b Mah}fu>z}, Yu>suf al-Siba>‘i>, Muh}ammad ‘Abd al-H{ali>m ‘Abdulla>h (Kairo: al-H{ad}a>rah al-‘Arabi>yah, tt.), 13.

penikmatnya. Kepuasan estetik didapat penikmat dari keahlian pengarang dalam mengungkapkan kenyataan dan kepuasan intelek diperolehnya dari kenyataan yang diangkat pengarang itu sendiri. Kenyataan ini meliputi aspek sosial, budaya, politik, agama, dan aspek-aspek lain yang terkait dengan keseluruhan kehidupan pengarang dan masyarakat penikmat karyanya.

Membaca karya sastra berarti membaca suatu segi kebudayaan. Dalam karya sastra terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu

masyarakat.60 Dapatlah dipahami apabila Grebstein mengatakan bahwa karya

sastra tidak dapat dipahami seutuhnya terlepas dari milieu, budaya, atau peradaban, tempat kelahirannya. Ia haruslah dikaji dalam konteks yang seluas mungkin, daripada hanya karya itu sendiri. Setiap karya sastra, menurutnya, merupakan hasil atau akibat dari interaksi berbagai faktor sosial dan budaya yang kompleks. Karya sastra itu sendiri adalah sebuah obyek budaya yang kompleks. Bagaimanapun juga, ia adalah sebuah fenomena yang tidak berdiri sendiri.61

Hanya saja, gema sosial masyarakat ini hadir dalam karya sastra setelah mengalami serangkaian olahan dan polesan dari pengarang. Kenyataan dalam karya sastra adalah kenyataan yang tidak lepas dari “konstruksi” pengarang, kenyataan yang telah ditafsirkan. “Bagaimanapun juga, dunia riil tidak otomatis direproduksi dalam fiksi tetapi direpresentasikan olehnya, melalui bahasa, media yang juga dikonstruksi secara sosial,” tandas Samah Selim.62 Kenyataan tersebut bukanlah sekedar copy atau jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Pengarang tidak semata-mata melukiskan kenyataan obyektif, tetapi

60

Okke K. S. Zaimar, Menelusuri Makna “Ziarah” Karya Iwan Simatupang (Jakarta: Intermasa, 1990), 1.

61

Sheldon Norman Grebstein (Ed.), Perspectives in Contemporary Criticism (New York, 1968), 164-165. “The literary work cannot be fully understood apart from the milieu or culture or civilization in which it was produced. It must be studied in the widest possible context rather than by itself. Every literary work is the result of complex interaction of social and cultural factors and is itself a complex cultural object. It is, in any case, not an isolated phenomenon.”

62

The real world is not, after all, mechanically reproduced in fiction but represented by it, through language, which is in turn a socially constructed medium.” Lihat, Samah Selim, The Novel and the Rural Imaginary in Egypt 1880-1985 (New York & London: RoutledgeCurzon, 2004), 128.

mengolahnya sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya.63 Tanpa olahan oleh hal terakhir ini, kenyataan yang dihadirkannya tentu menjadi tidak bermakna.64 Dengan kata lain, kenyataan faktual, bagi pengarang, tidak lebih dari semacam rangsangan untuk menciptakan kenyataan estetisnya sendiri.

Pengolahan pengarang atas kenyataan ini lahir sebagai akibat otomatis dari fakta bahwa pengarang --sebagaimana pengakuan Naji>b Mahfu>z} sendiri--menulis itu lebih dimotivasi oleh keinginan "menyampaikan sebuah pemikiran" daripada oleh keinginan menulis itu sendiri.65 Ia ingin menawarkan “the possible imagined world,” sebuah dunia imajiner yang tidak mustahil ada, sebagai sebuah alternatif dari kenyataan faktualnya yang penuh kontradiksi. Sistem berpikir atau ide yang diyakini dan dipilih pengarang sendiri inilah yang disebut sebagai "ideologi" atau --dalam istilah Lucien Goldmann-- "pandangan dunia pengarang."66 Hanya saja, karena pengarang adalah bagian dari sebuah kelompok masyarakatnya, maka ideologi atau pandangan dunianya sebenarnya juga mewakili ideologi atau pandangan dunia kelompok sosialnya.67

Ilmu sastra yang menelaah karya atau struktur “formal/dalam” sastra dalam hubungannya dengan pengarang dan masyarakat pembacanya sebagai struktur “luar” karya sastra ini dikenal dengan sosiologi sastra. Bila pembagian

63 Nyoman Kutha Ratna,

Paradigma Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 6-7.

64

H{ami>d Lah}amda>ni>, al-Naqd al-Rawa>’i> wa al-Ideologi>ya> (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-Arabi> , 1990), 29.

65

Mas}ri> H{anu>rah, Masi>rah ‘Abqari>yah: Qira>’ah fi> ‘Aql Naji>b Mah{fu>z} (Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mis}ri>yah, 1994), 25.

66

Bagi Lennard Davis, novel tidak melukiskan kehidupan. Ia melukiskan kehidupan sebagaimana direpresentasikan oleh ideologi, yaitu sistem penandaan yang, dalam interpenetrasinya dengan psikis individu, membuat hal-hal “memiliki makna” tertentu bagi budaya dan individu-individu dalam budaya tersebut. Kehidupan merupakan serangkaian peristiwa dan persepsi yang luas dan tidak terkoordinir, sedangkan novel itu sistem pengalaman yang telah diorganisir sebelumnya, tempat para tokoh, tindakan, dan obyek harus bermakna sesuatu dalam hubungannya dengan sistem novel itu sendiri, dengan budaya tempat novel itu ditulis, dan dengan pembaca dalam budaya tersebut. Lihat Lennard Davis, Resisting Novel: Ideology and Fiction (New York: Methuen, 1987), 24-5.

67

Pandangan dunia, bagi Goldmann, adalah istilah bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. Lihat, Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 16.

Rene Wellek dan Austin Warren atas dua pendekatan utama dalam teori atau ilmu sastra, intrinsik dan ekstrinsik, diikuti, maka sosiologi sastra termasuk ilmu yang mempergunakan pendekatan ekstrinsik.68 Dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak jatuh dari langit; hubungan-hubungan yang ada antara sastra, sastrawan, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari.69

Kajian tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat, menurut Ian Watt seperti disebutkan oleh Hashim Awang, dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini terkait dengan posisi atau kedudukan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang dan isi karya sastranya juga termasuk dalam pokok ini. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, yaitu sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan masyarakat. Pandangan sosial pengarang, menurut Watt, harus diperhitungkan bila seseorang menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Di sini ada tiga pandangan tentang fungsi karya sastra: sebagai pembaharu, sebagai hiburan, sebagai media untuk mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.70

Kajian yang pertama dan ketiga disebut juga sosiologi komunikasi sastra,

sedang kajian yang kedua disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis.71

Dalam aplikasinya, ketiga kajian tersebut, meski berbeda dalam penekanannya, tidak dapat betul-betul dipisahkan dari yang lain.

68

Dalam pendekatan instrinsik, karya sastra dipisahkan dari lingkungannya, dalam arti ia dianggap otonom dan bisa dipahami tanpa harus mengaitkannya dengan lingkungannya. Dalam pendekatan ekstrinsik, hubungan-hubungan yang ada antara karya sastra dan lingkungannya itu hendak diungkap. Pendekatan terakhir ini beranggapan bahwa karya sastra tidak bisa dipahami seutuhnya jika dilepaskan dari lingkungan tempat kelahirannya. Lihat uraian Rene Wellek dan Austin Warren tentang ini dalam Theory of Literature (New York: Hartcourt, Brace & World Inc., 1956).

69

Sapardi Djoko Damono, Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an, (Yogyakarta: Bentang, 2000), 12.

70

Hashim Awang, Kritikan Kesusastraan: Teori dan Penulisan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988), 26-7.

71

Dick Hartoko dan B. Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 129.