• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Teknik Aplikasi Entomopatogen

2. Sebagai pemandul

Aplikasi JH (dihydrochloride dari methyl farnesoat) pada konsentasi hanya 1 ug pada fase reproduksi kutu Pyrhocoris apterus menyebabkan sterilisasi pada serangga betina dan efeknya bahkan bisa diteruskan ke serangga betina oleh serangga jantan yang diperlakukan (Masner et al., 1970). Dosis yang diperlukan untuk sterilisasi serangga betina dengan menggunakan hormon lebih rendah dibanding menggunakan alkilating chemosterilant yang membutuhkan 2000 sampai 20000 kali lebih tinggi dan memiliki efek samping yang tidak diinginkan yang menghambat penggunaannya dalam kondisi lapangan (Landa et al., 1972 dalam Morallo-Rejesus, 1980).

Aplikasi topical dari JH Attacus dan Cecropia pada larva instar satu Plutella

xylostella yang berumur satu hari menyebabkan hambatan reproduksi dari hama

tersebut. Sterilisasi diamati terjadi baik pada jantan maupun betina dan sterilisasi diteruskan oleh jantan yang diperlakukan ke betina sehat atau sebaliknya dari betina yang diperlakukan dengan JH ke jantan yang sehat. Disamping sterilisasi, terdapat efek penurunan jumlah telur yang diproduksi serangga betina dan penurunan viabilitas telur pada serangga yang dikawinkan dengan serangga yang diperlakukan dengan JH (Morallo-Rejesus dan Tetangco-Fabellar, 1980).

Efek sterilisasi diturunkan dari generasi F1 sampai F2. Efek sterilisasi kemudian diperkuat oleh kemungkinan induksi oleh mutasi letal dominan pada dosis rendah. Efek ini menunjukkan potensi besar penggunaan JH sebagai pengganti radiasi gamma terutama untuk hama dari ordo Lepidptera yang selama ini membutuhkan dosis tinggi radiasi untuk dapat memberikan efek sterilisasi. Ordo-ordo lain juga berpeluang untuk dikendalikan dengan cara ini berdasarkan beberapa keunggulan lain dimiliki oleh JH dibanding radiasi gamma antara lain: a) tidak toksik

terhadap mamalia, b) lebih murah dari pada penggunaan radiasi gamma dan c) mudah dalam aplikasi (Morallo-Rejesus, 1980).



Hormon Juvenil dan Peluang Penggunaannya sebagai Pemandul pada Pengendalian  spp. (Orthoptera : Tettigonidae)

84

Pengaruh JH terhadap hama Sexava spp. belum pernah dilaporkan, namun terhadap hama-hama lain dari ordo yang sama sudah tersedia. JH merupakan pengatur (master regulator) dalam reproduksi serangga (Hartfelder, 2000) dan dapat mengganggu proses embriogenesis pada beberapa jenis hama seperti belalang kembara Locusta migratoria dan Schistocerca gregaria (Orthoptera: Acrididae) (Schneiderman, 1987).

Pada beberapa famili serangga, pengaturan reproduksi secara biologi hanya diatur oleh JH, namun pada famili lain, pengaturan tersebut dilakukan oleh JH dan ecdysone (Hagedorn et al., 1975) dan juga oleh hormon-hormon lainnya (Nation, 2002). JH dapat mempengaruhi sel-sel lemak tubuh dan ovary serta bersama-sama dengan hormon adipokinetik menghambat translasi mRNA vitellogenin (protein telur) pada akhir siklus produksi telur pada serangga hama L. migratoria (Bownes, 1986). Proses sintesis protein spesifik pada kelenjar accessory salah satu belalang kembara (Melanoplus sanguinipes) sangat rentan terhadap JH (Hartfelder, 2000).

Beberapa contoh JH mimics (juvenoids) sintetik yang telah beredar antara lain methoprene, kinoprene, Hydroprene, Pyriproxyfen dan contoh yang berasal dari tanaman adalah paper factor dari balsam fir, juvabione, sweet bacil, Ocimum dan chromenes dari Ageratum houstonium yang diketahui sebagai precocene I dan II. Methoprene sangat efektif mengendalikan larva instar terakhir dari nyamuk dan kutu-kutuan. Kinoprene adalah JH sintetik yang paling aktif pada Lepidoptera, Precocene I dan II paling efektif pada hama-hama dari famili Hemiptera, sedangkan Hydroprene efektif pada hama-hama dari ordo Orthoptera (Nation, 2002).

Gangguan embriogenesis oleh JH sudah dibuktikan pada beberapa ordo serangga antara lain, Lepidoptera, Thysanura, Diptera, Coleoptera, Hemiptera, Homoptera dan Orthoptera. Aplikasi JH pada telur Sexava kemungkinan akan menjadi kurang praktis karena telur Sexava sebagian besar diletakkan di dalam tanah. Masalah ini kemungkinan dapat diatasi dengan cara pengolahan tanah di sekitar daerah perakaran kelapa untuk mengangkat telur-telur Sexava ke permukaan tanah agar memiliki peluang lebih besar terkontaminasi dengan JH.

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan JH sintetik metrophene terhadap hama A. aurantii, ternyata penyemprotan JH akan lebih efektif jika diaplikasikan saat mendekati masa ganti kulit (Bagley dan Bauern, 1972 dalam Morallo-Rejesus, 1980). Dengan demikian peluang penggunaan JH untuk mengendalikan nimfa Sexava spp. kemungkinan akan lebih berhasil diaplikasikan pada saat nimfa mendekati ganti kulit.

Penelitian tentang pegaruh JH terhadap arthropoda non target belum banyak dilakukan. Hasil penelitian penggunaan JH-1 dan beberapa analog sintetiknya terhadap Armadillium vulgara (Crustacea) menunjukkan bahwa JH tersebut menghambat perkembangan embrionik isopod tersebut pada fase awal pembentukan embrio, namun dosis yang diperlukan untuk memberikan efek tersebut sepuluh kali

Hormon Juvenil dan Peluang Penggunaannya sebagai Pemandul pada Pengendalian  spp. (Orthoptera : Tettigonidae)

lebih tinggi dari pada yang diperlukan untuk menghambat perkembangan embrio pada serangga target (Bagley et al., 1972 dalam Morallo-Rejesus, 1980).

Methoprene yang diaplikasi pada dosis 0.2 lbs bahan aktif/acre dikolam dan pada pada rumput yang beririgasi ternyata tidak memberi efek samping terhadap organisme-organisme non target seperti crustacea, copepod dan serangga-serangga non target (Miura et al., 1974 dalam Rejesus, 1980). Tungau dan laba-laba tidak rentan terhadap JH (Bagley et al., 1974 dan Staal, 1975 dalam Morallo-Rejesus, 1980).

Informasi di atas menunjukkan bahwa ada sejumlah spesies non target tidak rentan terhadap JH dan ada juga yang rentan tergantung pada jenis JH, dosis dan fase perkembangan organisme tersebut. Oleh sebab itu pengetahuan dan penelitian untuk mengetahui respons spesies-spesies non target terutama parasitoid dan predator hama sasaran terhadap JH yang akan digunakan perlu dilakukan untuk dapat memanfaatkan JH secara selektif.

JH berperan dalam perkembangan dan reproduksi serangga sehingga aplikasi JH pada saat hormon ini tidak dibutuhkan oleh serangga dapat menimbulkan abnormalitas dalam morfologi larva/nimfa atau pupa dan pada akhirnya menimbulkan mortalitas serangga hama. JH dapat menimbulkan kemandulan pada serangga betina maupun jantan, menurunkan jumlah telur yang diproduksi serta viabilitas telur.

Efektivitas JH dapat dipengaruhi oleh jenis dan waktu aplikasinya. JH relatif aman terhadap arthopoda non target. JH dan analog sintetiknya telah terbukti dapat menimbulkan abnormalitas, kemandulan dan mortalitas beberapa jenis hama dari beberapa ordo termasuk belalang dari ordo Orthoptera sehingga hormon ini dapat digunakan sebagai suatu pemandul dalam mengendalikan hama kelapa Sexava spp.

Bownes, M. 1986. Expression of the genes coding for vitellogenin (yolk protein). Annu. Rev.Entomol. 32:507-531.

Hagedorn, H.H, J.D. O’connor, M.S. Fuchs, B. Sage, D.A. Schlaeger, and M.K. Bohm. 1975. The ovary as a source of an ecdysone in an adultmosquito. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 72:3255-3259.

Hartfelder, K. 2002. Insect juvenile hormone: from “satus quo” to high society. Braz J Med Biol Res. 33(2):157-177. Retrieved from http://www. Scielo.br/scielo.php tgl 9 Mei 2005.

Judy, K.J, D.A. Schooley, L.L. Dunham, M.S. Hall, B.S. Bergot and J.B. Sidall. 1973. Proc. Nat. Acad. Sci. USA 70: 1509-1513.

Klowden, M.J. 2002. Physiological system in insects. Acad. Press. London.413 pp. Landa, V. 1972. Abstr. 14th Int. Congr. Entomol. Canberra 1972:332.



Hormon Juvenil dan Peluang Penggunaannya sebagai Pemandul pada Pengendalian  spp. (Orthoptera : Tettigonidae)

86

Masner, P, K. Slama, J. Zdarek and V. Landa. 1970. Natural and synthetic materials with insect hormones. X. A method of sexually spread insect sterility. J. Econ. Entomol. 63:706-710.

Morallo-Rejesus, B and P. Dungan-Sayaboc. 1976. Terminal report, NRCP I.E. 62, National Research council of the Philippines. 1976. 35 pp.

Morallo-Rejesus, B. 1980. Juvenile Hormones and Insect control. The Philippine Entomologist. Vol 4. No. 1-2. P 21-54.

Morallo-Rejesus, B and E.,A. Alcala-Carilo. 1980. The Attacus juvenile hormone studies: Sterilization of Helicovrpa armigera (Hubner) with Attacus juvenile hormone and dimilin. The Phil. Entomol. Vol 4, No. 5: 389-403.

Morallo-Rejesus, B and L.D. Tetangco-Fabellar. 1980. The effect of Attacus and Cecropia juvenile hormones in the development and fecundity of diamondback moth, Plutella xylostella L. and the transfer of partial sterility to its offspring. Philip. Entomol. 4:177-183.

Nation, J.L. 2002. Insect Physiology Biochemistry. CRC Press. New York. 485 pp. Paguia, P.V and B. Morallo-Rejesus. 1977. Morphogenetic and ovicidal effects of two

natural dan three synthetic juvenile hormones on corn borer, Ostrinia furnacalis (Guenee). NRCP Res. Bull. 32: 58-80.

Slama, K and C. Williams. 1966. Paper factor as inhibitor of the embryionic development of the European bug, P. apterus.

Scheiderman, H.A. 1972. Insect hormones and insect control. (Menn, J.J and M. Berozo, eds). Academic Press. New York & London. P 3-23. Proceeding of a symposium on the chemistry and action of insect juvenile hormones.

Stall, G.B. 1975. Ann. Rev. Entomol. 20: 417-460.

Williams, C.M. 1956. The juvenile hormones of insects. Nature 178: 212-213.

Wigglesworth, V.B. 1936. The function of the corpus allatum in the growth and reproduction of Rhodnius prolixus (Hemiptera). Quart, J. Micr. Sci. 79:91-121.

BALAI PENELITIAN TANAMAN KELAPA DAN PALMA LAIN, MANADO

Salah satu jenis hama yang paling merusak tanaman kelapa di Kawasan Timur Indonesia adalah hama Sexava spp. Banyak usaha yang telah dilakukan petani dan pemerintah untuk mengatasi hama tersebut tetapi sampai sekarang masalah hama itu masih tetap merupakan kendala utama dalam meningkatkan produksi kelapa di kepulauan Talaud (Sulawesi Utara), Maluku dan Papua.

Hama Sexava spp. dapat menyebabkan kerusakan serius pada tanaman kelapa karena selain menyerang daun dapat juga merusak bunga dan buah muda sehingga secara langsung dapat menurunkan produksi kelapa. Tanaman kelapa dengan tingkat serangan berat sangat memprihatinkan karena produksinya sangat rendah atau tidak berproduksi bahkan dapat mematikan tanaman kelapa. Fenomena seperti ini sebetulnya sudah berlangsung lama terutama setelah aplikasi insektisida dari udara pada tahun 1970-an.

Hama Sexava spp. menyebar masuk kepulauan Talaud sudah lebih dari 100 tahun lalu dan sampai sekarang masih menyebabkan kerusakan yang serius pada beberapa lokasi serangan. Usaha pemerintah dan petani kelapa untuk menekan populasi hama tersebut banyak mengalami kegagalan padahal sudah tersedia metode pengendalian yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah hama tersebut. Dalam mengendalikan populasi hama Sexava spp. tidak harus memusnahkan hama tetapi bagaimana pengelolaan hama tersebut sehingga tidak menimbulkan kerugian yang berarti bagi petani kelapa.

Tindakan manusia untuk menekan populasi hama Sexava spp. pada tanaman kelapa dapat dilakukan secara kultur teknis, mekanis/fisik, pemanfaatan musuh alami, genetik, undang-undang, dan penggunaan insektisida. Pengendalian hama Sexava spp., sampai saat ini masih terlalu mengandalkan penggunaan insektisida, padahal sudah terbukti bahwa tindakan ini hanya bersifat sementara (hanya menekan populasi hama dalam waktu yang relatif singkat) dan banyak menimbulkan masalah baru. Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah seperti timbulnya resistensi hama, resurjensi hama, letusan hama kedua, masalah residu pestisida, dan pencemaran lingkungan hidup.

Pestisida memang memiliki banyak keuntungan seperti cepat menurunkan populasi, mudah digunakan, dan secara ekonomis menguntungkan, tetapi dampak samping yang merugikan sudah dirasakan oleh masyarakat sehingga dikembangkan konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT).



Teknologi PHT untuk Menekan Populasi spp.

88

Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest Management = IPM) didunia muncul dan berkembang sebagai usaha manusia untuk melakukan koreksi terhadap konsepsi pengendalian hama secara konvensional dan terlalu mengandalkan penggunaan pestisida yang berspektrum lebar. Sejak konsepsi Integrated Pest Control (IPC) dimunculkan, berkembanglah konsepsi-konsepsi baru tentang pengendalian terpadu sebagai perbaikan atau peningkatan konsepsi pengendalian terpadu sebelumnya (Stern et al., 1959). Semula pengendalian hama terpadu lebih ditekankan pada integrasi atau penggabungan antara pengendalian hayati dan pengendalian kimia, kemudian berkembang menjadi perpaduan berbagai cara pengendalian yang bertujuan untuk mempertahankan populasi hama dalam keadaan tidak merugikan secara ekonomis (Untung, 1993).

Dalam pengertian PHT tidak hanya serangga hama, tetapi juga spesies-spesies lainnya yaitu vertebrata (misalnya tikus, babi hutan), tungau, cendawan, bakteri, virus, nematoda dan gulma. Smith (1983 dalam Oka, 1995) menyatakan bahwa hama adalah semua organisme atau agensia yang bertentangan dengan kepentingan manusia. Dalam konsepsi PHT semua organisme pengganggu ini disebut hama tanaman ("pests" dalam bahasa Inggris). Direktorat Bina Perlindungan Tanaman menyebut Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) (Oka, 1995). Jadi jelaslah bahwa penggunaan istilah PHT tidak terbatas pada hama tanaman tetapi termasuk penyakit tanaman.

Pemerintah telah menerapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Kebijakan ini telah merupakan program pemerintah sejak Pelita III sampai sekarang. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1986 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman. Dengan berdasarkan pada program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan serta adanya dukungan politik dan hukum dari pemerintah, maka tidak ada alasan untuk tidak menerapkan dan mengembangkan PHT.

Sebenarnya penerapan prisip-prisip PHT pada tanaman kelapa di Indonesia sudah sejak lama dirintis, terutama pengendalian hama Artona catoxantha yang dilaksanakan sekitar tahun 1950an di Jawa Tengah. Pada saat itu keputusan pengendalian hama Artona dengan menggunakan insektisida organoklor berdasarkan hasil pengamatan hama dan musuh alami yang dikerjakan oleh petugas pengamat hama yang pada saat itu dinamakan Mantri Artona. Mantri Artona mengadakan pengamatan terhadap populasi hama dan beberapa jenis parasitoid secara rutin pada wilayah pengamatan yang menjadi tanggung jawabnya. Kriteria pengambilan keputusan penggunaan pestisida apabila terdapat 5 larva Artona dengan persentase parasitoid kurang dari 10%. Terlihat disini ambang ekonomi Artona pada saat itu sudah mengkombinasikan populasi ulat Artona dan parasitoid, tetapi sayang cara ini sudah ditinggalkan sejak tahun 1960 (Untung, 1993).

Konsepsi PHT untuk hama Sexava spp. sudah dirintis sejak tahun 1970an dan pada tahun 1981, pengambilan keputusan pengendalian dengan insektisida berdasarkan pada populasi hama dan persentase parasitasi seperti pada Tabel 1 (Warouw, 1981) tetapi cara ini juga belum sepenuhnya memberikan hasil yang optimal. Kombinasi dengan tekik lain juga sudah diterapkan tetapi tidak banyak membantu

Teknologi PHT untuk Menekan Populasi spp.

bahkan dapat populasi hama itu masih tetap tinggi pada daerah penyebarannya. Ketidak berhasilan penerapan PHT ini tidak sepenuhnya terletak pada faktor teknis tetapi dapat disebabkan oleh faktor nonteknis seperti perilaku petani dan sosial budaya masyarakat. Untuk itu perlu dikembangkan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) untuk menekan populasi Sexava spp. di daerah sebarannya.

Kurikulum SL-PHT untuk Sexava spp. disusun dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani melalui pemahaman pentingnya pengendalian hama Sexava spp., pemanfaatan lahan diantara kelapa dan keanekaragaman produk kelapa

Tujuan PHT adalah 1) tercapainya produktivitas pertanian yang tetap tinggi, 2) kesejahteraan petani meningkat, 3) populasi dan kerusakan hama tetap dapat ditekan pada ambang yang secara ekonomis tidak merugikan, dan 4) kualitas lingkungan hidup terjamin. Dalam PHT dikenal empat unsur dasar dan enam komponen PHT. Unsur dasar ini dapat menunjang penyusunan komponen PHT. Unsur-unsur dasar PHT tersebut meliputi (1) pengendalian alami, (2) metode pengambilan contoh, (3) ambang ekonomi, dan (4) biologi dan ekologi serangga. Unsur-unsur dasar merupakan pengetahuan dasar yang harus diketahui, diperhatikan dan dipergunakan untuk menyusunan komponen pengendalian baik secara tunggal, maupun dalam perpaduannya di lapangan dengan komponen lain untuk memperoleh hasil pengendalian yang optimal. Tanpa pengetahuan tentang unsur-unsur dasar maka rekomendasi pengetahuan pengendalian yang disusun tidak akan dapat sesuai dengan prinsip dan tujuan PHT (Watson et al., 1975).

Komponen PHT merupakan teknik pengendalian hama yang sampai saat ini telah dikenal, dikembangkan, dan digunakan dalam praktek pengendalian hama. Dalam praktek perlindungan tanaman yang dilakukan secara konvensional, kebiasaan yang dilakukan lebih mengutamakan teknik atau komponen pengendalian kimia, dan kurang memanfaatkan teknik-teknik pengendalian lain. Watson et al. (1975) mengelompokkan berbagai teknik pengendalian hama menjadi enam komponen PHT yaitu (1) pengendalian kultur teknis, (2) pengendalian hayati, (3) pengendalian kimia, (4) pengendalian dengan varitas resisten, ( 5) pengendalian fisik dan mekanik, (6) pengendalian dengan peraturan.

Untuk mencapai salah satu tujuan PHT, yaitu menekan populasi hama atau kerusakannya agar tetap pada ambang tidak merugikan maka perlu digunakan perpaduan komponen-komponen PHT tersebut secara kompatibel. Hal ini berarti bahwa satu komponen harus dapat mendukung komponen-komponen lainnya, sehingga diperoleh hasil pengendalian yang optimal sesuai dengan tujuan PHT. Untuk mencapai keadaan demikian perlu diadakan kegiatan studi dan penelitian yang menyeluruh, baik yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang unsur-unsur dasar maupun komponen PHT (Untung, 1993). Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan hama Sexava spp. pada umumnya merupakan penelitian dasar dan komponen yang dapat digunakan untuk merakit PHT pada tanaman kelapa terutama untuk menekan populasi hama Sexava spp.



Teknologi PHT untuk Menekan Populasi spp.

90

Usaha pengendalian hama Sexava spp. sudah dilakukan bertahun-tahun baik secara mekanis, kultur teknis, hayati maupun secara kimia dengan menggunakan insektisida, tetapi sampai sekarang belum diperoleh hasil yang memuaskan. Usaha tersebut diantaranya: (a) pelepasan burung gagak (Corvus enca Horst) di kepulauan Talaud pada tahun 1917 tetapi ternyata burung tersebut bukan merupakan predator yang baik, (b) pelepasan parasitoid telur Leefmansia bicolor telah dikenal secara luas akan tetapi parasitoid ini kurang efektif karena tidak berkembang secara baik pada seluruh daerah serangan Sexava spp., (c) penerapan peraturan karantina untuk mencegah penyebaran hama, (d) pembakaran sampah dan rumput diantara tanaman kelapa serta pengolahan tanah disekitar pangkal batang, (e) pengolesan lem penjerat, minyak pelumas kental dan campuran lem dan insektisida pada keliling pangkal batang tetapi hasilnya tidak memuaskan, dan (f) penggunaan insektisida yang sudah digalakkan sejak tahun 1970-an. Penggunaan bahan kimia dilaksanakan melalui penyemprotan, injeksi batang dan infus akar. Penggunaan insektisida secara terus menerus tentunya tidak baik karena mempunyai efek samping yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian perlu dikembangkan konsepsi pengendalian hama Sexava spp. terutama di daerah yang selalu terjadi explosi hama, misalnya tanaman kelapa di kabupaten Talaud yang terserang S. nubila dan S. coriacea di Pulau Halmahera.

Musuh alami yang menyerang hama Sexava spp. terdiri dari parasitoid telur, parasitoid nimfa dan imago, predator dan patogen. Banyak jenis musuh alami yang berasosiasi dengan hama Sexava spp. tetapi hanya beberapa yang mempunyai potensi yang baik dalam mengendalikan populasi hama tersebut di lapangan.

Parasitoid Telur

Telur Sexava spp. diletakkan di antara perakaran dan di dalam tanah di serang oleh beberapa spesies parasitoid. Parasitoid tersebut adalah Leefmansia bicolor, Doirania

leefmansi, Ootetrastichus dubius, Prosapegus atrellus, Scelio sp.; dan spesies dari famili Mymaridae. Peranan parasitoid telur sangat beragam dalam pengendalian populasi

Sexava spp. Dari sejarah penggunaan parasitoid, tenyata L. bicolor yang lebih banyak dilepas pada daerah serangan Sexava spp. dan kemampuan parasitasinya sangat beragam, dan pada beberapa tempat sangat rendah (Warouw, 1981).

Keberhasilan parasitoid telur L. bicolor untuk menginfeksi telur di laboratorium bervariasi dari 51-76.75% (Soekarjoto et al., 1992). Warouw (1981) mencatat pemanfaatan parasitoid tersebut dari beberapa peneliti, ternyata parasitoid L. bicolor dari Ambon yang dilepas di kepulauan Talaud selama 4 tahun hanya memarasit 4-14%. Pada dua desa di pulau Karaketang bervariasi antara 33.8-50% tetapi pada beberapa desa tidak ditemukan lagi, sedangkan pada lokasi yang ditanam Centrosema

pubescens dapat mencapai 95%. Parasit L. bicolor yang dilepas dalam jumlah yang besar

dapat berkembang dengan baik pada lokasi pelepasan di New Britain dan tingkat parasitasi dapat mencapai 72%.

Teknologi PHT untuk Menekan Populasi spp.

Dari beberapa hasil penelitian terlihat bahwa telur Sexava spp. yang diletakkan di tanah persentase terparasit lebih rendah (10-20%), dibanding dengan telur yang diletakkan di pohon (35-90%). Selain itu dilaporkan juga bahwa satu imago Sexava spp. dapat meletakkan lebih dari 100 butir telur dan 95% diantaranya diletakkan di tanah dan sisanya di pohon, tetapi perbandingan ini sangat tergantung pada kondisi tanah. Dengan demikian penekanan populasi hanya dengan mengandalkan satu jenis parasitoid sulit diterapkan sehingga perlu dilakukan integrasi dengan tindakan lain. Untuk mencegah agar supaya telur tidak diletakkan di tanah, disarankan menanam tanaman penutup tanah Centrosema pubescens Benth.

Di Pulau Salibabu dan Kabaruan dikoleksi telur Sexava spp. dari pangkal batang kelapa sebanyak 225 butir telur embrio hidup, 37 diantaranya terparasit oleh Leefmansia

bicolor. Jika hanya telur-telur ini yang diperhatikan maka tingkat parasitasi rata-rata 14 persen. Walaupun hal ini bervariasi menurut lokasi dan musim yang berbeda, hal itu menunjukkan bahwa parasitoid L. bicolor hanya mempunyai peranan kecil dalam mengatur populasi Sexava spp. (Zelazny dan Hosang, 1989). Di Pulau Seram (Maluku Tengah), satu dari tiga lokasi yang diamati terdapat parasitoid L. bicolor sebanyak 18.18 persen (Hosang et al., 1992).

Parasitoid telur Leefmansia bicolor merupakan salah satu parasitoid yang potensial untuk mengatasi hama Sexava tetapi pada kenyataannya pemanfaatan parasitoid ini belum memberikan hasil yang menggembirakan. Hal itu dapat disebabkan oleh : a. Kemampuan parasitoid memarasit telur Sexava spp., sangat bervariasi dari satu

daerah kedaerah lainnya. Contohnya, pada pertanaman kelapa yang ditanam tanaman penutup tanah Centrosema pubescens, tingkat parasitasi dapat mencapai 95%, sedangkan di lokasi lain kurang dari 15%.

b. Laboratorium lapangan yang ada di lokasi serangan hama Sexava spp. tidak berfungsi dengan baik sehingga tidak ada kontinuitas pemeliharaan parasitoid.

Hal ini tentunya dapat menghambat pelepasan parasitoid secara

berkesinambungan.

c. Pada tingkat serangan berat kemungkinan parasitoid ini tidak mampu untuk mengendalikan populasi hama Sexava spp. sehingga perlu dikombinasikan tindakan pengendalian lainnya (misalnya penggunaan insektisida, sanitasi dan lain lain).

Parasitoid Nimfa dan Imago

Berdasarkan hasil survei di Irian Jaya, ternyata di Sorong dan beberapa pulau disekitarnya terdapat parasitoid nimfa dan imago yang potensial untuk hama S. nubila yaitu Stichotrema dallatorreanum (Strepsiptera: Myrmecolacidae) (Wigley et al., 1989) dengan tingkat parasitasinya bervariasi dari 16.1 - 21.9 persen (Hosang dan Soekarjoto, 1991). Persentase parasitoid ini rendah dibandingkan dengan kemampuan memarasit di Papua Nugini dapat mencapai 60 persen (Young, 1987). Walaupun demikian sudah ada gambaran betapa pentingnya parasitoid ini apabila dapat dimanfaatkan secara efektif diwaktu mendatang.



Teknologi PHT untuk Menekan Populasi spp.

92

Predator

Predator, kemungkinan penting juga peranannya dalam mengatur populasi

Sexava di lapangan. Semut rang-rang Oecophylla smaragdina, diamati menyerang S.

nubila. Selain itu ditemukan juga predator lain yang memangsa nimfa Sexava spp., yaitu laba-laba dan katak hijau (Zelazny dan Hosang, 1989).

Burung gagak (Corvus validus), Centropus goliath (O'Ciunggu) dan Jojobit (nama

Dokumen terkait