• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Patogenisitas / Virulensi Terhadap Serangga Hama Sasaran

B. Teknik Aplikasi Entomopatogen

3. Uji Patogenisitas / Virulensi Terhadap Serangga Hama Sasaran

Pengujian dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode celup/dipping method atau dengan menginokulasi serangga hama dengan sejumlah suspensi cendawan. Suspensi cendawan dibuat kemudian serangga uji di celup sebentar ke larutan tersebut kemudian di masukkan ke tempat pemeliharaan yang berisi makanannya. Buat dalam beberapa kali ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 10 atau lebih serangga. Pada kontrol serangga uji hanya dicelup pada air steril dan dimasukkan pada wadah yang berisi makanan. Umur serangga uji harus seragam. Amati setiap hari sampai serangga mati. Serangga-serangga mati diletakkan dalam cawan petri steril dan bila tumbuh cendawan amati perkembangannya dan cek di bawah mikroskop.

Pengujian dapat dilakukan juga dengan meneteskan sejumlah suspensi cendawan ke atas permukaan tubuh serangga. Bagian yang paling baik adalah bagian ventral di antara ruas-ruas thorax atau abdomen atau antara leher dan thorax. Langkah selanjutnya seperti pada prosedur dengan metode celup.

Spora entomopatogen ini dapat menurun virulensinya pada saat aplikasi di lapangan dan selama penyimpanan. Umumnya suhu dan kelembaban merupakan faktor yang mempengaruhi lama hidup spora (Hong et al, 1997). Suhu dan kelembaban optimum untuk perkecambahan spora berada masing-masing pada 24º - 30ºC dan 92.5 – 100% (Singh dan Rethinam, 2004). Menurut Burges, (1998) dalam Charnley (2005) kelembaban relatif optimum untuk perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa terjadi pada 95-100%. Perkecambahan spora menurun pada RH 93%. Iklim mikro perlu dipertimbangkan juga dalam menilai potensi perkecambahan. Spora kemungkinan mampu memperoleh cukup kelembaban dari intersegmental serangga pada saat kondisi kering (Bateman, 1993 dalam Charnley, 2005).

Teknik aplikasi M. Anisopliae var. anisopliae untuk mengendalikan Sexava sp. yang diuraikan dibawah ini dimodifikasi dari metode aplikasi cendawan Beauveria



Teknologi Produksi Massa Bioinsektisida  var.  dan Pemanfaatannya untuk Mengendalikan Hama  spp.

66

Sebaiknya menggunakan biakan M. anisopliae berumur 14 hari.

Masukkan 300 g M. anisoplaie yang dibiakkan dalam jagung giling dalam wadah yang berisi 3-4 liter air bersih.

Kocok biakan dan saringlah suspensi ke dalam wadah lain.

Tambahkan 2 sendok makan gula pasir (20 g) dan 1.25 g tween 80. Gula pasir akan menyediakan nutrisi awal bagi cendawan M. anisopliae; sedangkan tween 80 untuk memisahkan gumpalan spora agar merata dalam air.

Aduk merata selama 3 menit untuk melarutkan gula serta meratakan spora dalam air.

Tuang suspensi melalui saringan ke dalam tangki semprot dan tambahkan air bersih sampai volume 10

l

. Saringan harus mampu menyaring kotoran yang mungkin dapat menyumbat alat semprot.

Penyemprotan disarankan untuk tanaman kelapa muda/pendek dan dilakukan pada pagi atau sore hari.

Jika terjadi hujan setelah penyemprotan, maka penyemprotan perlu diulangi. Lakukan pengamatan terhadap populasi hama dan kerusakan tanaman sebelum dan sesudah aplikasi.

Tahapan kegiatan mulai dari mengisolasi sampai aplikasi di lapang disajikan dalam Gambar 6.

Teknologi Produksi Massa Bioinsektisida  var.  dan Pemanfaatannya untuk Mengendalikan Hama  spp.

Sterilisasi permukaan (alkohol 70 % , 2 menit atau 1 % Clorox, 10 menit)

Bilas 3 x dengan air steril

Kering anginkan dalam ruang steril

Isolasi dalam media PDA atau CMA

Viabilitas spora (persentase perkecambahan spora)

Tes patogenisitas/virulensi pada serangga sasaran Ya Viabilitas spora > 90 %,

Virulen & gejala serangan

sama ? Ya Perbanyakan Aplikasi

Gambar 6. Tahapan kegiatan mengisolasi sampai dengan Aplikasi Bioinsektisida  Serangga terinfeksi entomopathogen

Reisolasi Isolat murni

Pengawasan mutu Inkubasi 14 hari

Hitung spora dengan haemocitometer



Teknologi Produksi Massa Bioinsektisida  var.  dan Pemanfaatannya untuk Mengendalikan Hama  spp.

68

Bioinsektisida M. anisopliae var. anisopliae yang diisolasi dari hama Brontispa

longissima dapat menginfeksi nimfa dan imago Sexava, sehingga berpotensi untuk

mengendalikan hama Sexava di lapangan.

Bioinsektisida M. anisopliae var. anisopliae dapat diproduksi massa menggunakan beberapa jenis media seperti media jagung giling. minyak nabati serta limbah air kelapa.

Pengujian mutu biakan M. anisopliae var. anisopliae dilakukan dengan menghitung jumlah spora, viabilitas dan patogenisitasnya pada hama Sexava sp.

Biakan yang baik mengandung ± 1 x 107 spora /ml atau lebih dengan viabilitas spora lebih dari 90 %.

Alouw, J.C., F. Tumewan, J. Mawikere dan M.L.A. Hosang. 1993. Air kelapa sebagai media tumbuh cendawan M. anisopliae. Buletin Balitka. 14:57-60.

Alouw, J.C, N. Lumentut, S. Sabbatoellah dan M.L.A. Hosang. 2005. Cendawan entomopathogen, metarhizium anisopliae : ekobiologi dan penilaian mutu biakannya. Prosiding Seminar Nasional PHT kelapa. Balitka. Manado

Balitka. 1989. Pengendalian kumbang kelapa secara terpadu. Badan Litbang, Balitka, FAO/UNDP, Dirjenbun, Direktorat Perlintan. 29 pp.

Bateman, R. 1997. Delivery systems and Protocols for Biopesticides. In: Methods in Biotechnology, vol. 5. Biopesticides: use and delivery. F.R. Hall and J.J. Menn, eds. Humana Press, Totowa, NJ.

Charnley K. last updated 8 March, 2005. Fungal pathogens of insects: from mechanisms of pathogenicity to host defence. Retrieved from: www:/http. mailto:bsscdmd @bath.ac.uk.

Dunn, P.H. dan B.J. Mechalas. 1963. The potential of Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin as a microbial insecticide. J. Insect Pathol. 5: 451-459.

Hong, T.D., R.H. Ellis and D. Moore. 1997. Development of a model to predict the effect of temperature and moisture on fungal spore longevity. Ann. Bot. 79: 121-128

Lacey L.A., R. Frutos, H.K. Kaya, and P. Vail. 2001. Biological Control, 21 (3): 230-248, Academic Press.

Nuraini, S. 2005a. Pengawasan mutu produk agens hayati. Lembaga pelayanan masyarakat perlindungan perkebunan. 11 hal.

Nuraini, S. 2005b. Teknik perbanyakan dan aplikasi agens hayati entomopatogen. Lembaga pelayanan masyarakat perlindungan perkebunan. 11 hal.

Singh, S.P and P. Rethinam. 2004. Coconut hispine beetle Brontispa longissima (Gestro) (Coleoptera: Chrysomelidae). Cord, 20 (1): 1 – 20.

Singh, S.P dan Rethinam. 2005. Coconut leaf beetle Brontispa longissima. APCC. Indonesia. 35 pp.

BALAI PENELITIAN TANAMAN KELAPA DAN PALMA LAIN, MANADO

Sexava spp. merupakan salah satu hama berbahaya pada tanaman kelapa di

Kawasan Timur Indonesia karena dapat menyebabkan penurunan produksi dan pada tingkat serangan berat, tanaman kelapa akan mati. Pengendalian hama Sexava spp. telah dilakukan dengan berbagai teknik baik secara parsial maupun dikombinasi dengan berbagai komponen pengendalian. Sampai sekarang masih terjadi eksplosi hama Sexava spp., hal ini memberikan gambaran bahwa berbagai komponen pengendalian yang diterapkan belum dapat menekan populasi hama di bawah ambang ekonomi. Musuh alami yang merupakan salah satu komponen pengendalian belum mampu mengatasi masalah hama ini. Keadaan ini disebabkan karena musuh alami mempunyai kemampuan terbatas dan pengaruh faktor lingkungan lainnya. Kenyataan di lapangan membuktikan partisipasi petani masih rendah dalam merespons pengendalian hama. Beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain lemahnya kelembagaan petani, terbatasnya kemampuan petani, lemahnya tatacara pengamatan dan laporan serta kurangnya koordinasi antara perangkat-perangkat pengendalian hama.

Walaupun hama ini masih tetap merusak tanaman kelapa, petani di daerah tersebut masih berusaha untuk menanam atau mengusahakan tanaman kelapa. Hal ini disebabkan tanaman kelapa masih merupakan tanaman pokok dan sudah membudaya bagi penduduk setempat. Untuk mengindari kerugian akibat hama ini dapat juga dilakukan pengendalian secara kimia yang lebih cepat menurunkan populasi hama. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan teknik pengendalian lain yang sesuai dan lebih aman terhadap lingkungan hidup.

Strategi dan teknologi pengendalian Sexava spp. telah tersedia namun belum sepenuhnya diadopsi petani. Alternatif penggunaan insektisida sintetik merupakan pilihan utama sebagian besar petani kelapa karena hasilnya cepat terlihat. Banyak petani mengendalikan hama Sexava spp. dengan insektisida walaupun dampak yang ditimbulkan membahayakan lingkungan, menyebabkan resurgensi dan resistensi terhadap hama, keracunan pada manusia dan hewan peliharaan. Untuk mencegah makin meluasnya dampak tersebut, tahun 1986 pemerintah telah melarang beredarnya 57 formulasi pestisida untuk digunakan dan diikuti oleh kebijakan pemerintah



Pengendalian Hama  spp. dengan Insektisida Sistemik

70

mencabut subsidi pestisida sehingga harga pestisida mahal dan dirancang pula aturan mengenai ambang residu pestisida yang terdapat pada bahan makanan, khususnya pada buah-buahan. Walaupun demikian para petani tetap berupaya mencari dan menggunakan insektisida untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh hama

Sexava spp.

Serangan hama ini pada daerah penyebarannya cukup tinggi sehingga menimbulkan kerusakan tanaman dan kerugian yang besar bagi petani. Oleh karena itu diperlukan kriteria penilaian yang tepat agar penggunaan insektisida berhasil dengan baik dalam penerapannya. Menjadi suatu keharusan untuk menekan resiko dampak negatif dari insektisida menjadi sekecil mungkin. Insektisida harus digunakan secara bijaksana dengan memperhitungkan jumlah populasi hama sasaran dan musuh-musuh alamnya, spesifitas, lamanya residu pada tanaman, LD 50 oral maupun dermal yang cukup dianggap aman bagi manusia dan hewan serta pertimbangan harga yang dapat dijangkau petani dibandingkan dengan hasil yang mungkin dapat diselamatkan. Penangannya harus hati-hati, misalnya ketika mengencerkan dengan air, mengaduk, teknik aplikasi dan lainnya.

Untuk menghindari terjadinya akibat yang merugikan petani guna mencapai hasil yang optimal dalam pengendalian Sexava dengan insektisida, Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain memberi rekomendasi bahwa pengambilan keputusan penggunaan insektisida didasarkan pada daun yang dimakan, rata-rata 20% (Balitka, 1990), dan keadaan musuh alami (Warouw, 1981). Tiga bulan setelah aplikasi pertama, perlu diulang kembali untuk membunuh nimfa yang baru menetas. Nimfa tersebut berasal dari telur yang diletakkan oleh imago sebelum aplikasi pertama. Untuk mengetahui pengaruh insektisida terhadap turunnya kerusakan tanaman dan populasi Sexava spp., diamati kembali satu tahun kemudian. (Balitka, 1990; Hosang dan Zelazny, 1989).

Pengggunaan insektisida sistemik untuk mengendalikan hama Sexava spp. sudah terbukti keampuhannya baik melalui akar maupun batang. Hal ini terbukti dari hasil penelitian pada hama Sexava coreacea di Maluku Utara dan pada S. nubila di Sangihe Talaud. Pengendalian hama Sexava spp. dengan insektisida sistemik seperti Tamaron, Demicron, dan Diazinon melalui injeksi batang atau infus akar sudah dimulai sejak tahun 1973. Pada tahun 1989, telah dilakukan injeksi batang dengan menggunakan insektisida Gusadrin sebanyak 15 ml/pohon, ternyata efektif menekan populasi nimfa dan imago S. coriacea (Hosang dan Zelazny, 1989). Jenis-jenis insektisida tersebut saat ini sudah tidak beredar lagi dipasaran sehingga para petani belum punya kepastian adanya insektisida yang dapat digunakan. Upaya petani dalam mengendalikan hama Sexava spp. hanya terbatas pada informasi sesama petani yang pernah menggunakan insektisida yang belum direkomendasi untuk tanaman kelapa.

Untuk membantu agar petani tidak keliru dalam mengambil tindakan pengendalian dengan menggunakan insektisida, pada tahun 2004 Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain bekerjasama dengan Direktorat Jendral Perkebunan telah melakukan pengujian efektifitas dari 17 jenis isektisida untuk mengendalikan hama Sexava spp., di desa Moronge Kabupaten Talaud. Uji efikasi ini bertujuan untuk mendapatkan jenis isektisida dan dosis aplikasi yang efektif dan efisien untuk

Pengendalian Hama  spp. dengan Insektisida Sistemik

mengendalikan hama sasaran. Dari hasil pengujian, terdapat sembilan jenis insektisida sistemik yang dapat menyebabkan mortalitas >80%, yakni Spontan 400 WSC, Dipho 200 EC, Dafat 75 SP, Amchothene 75 SP, Marshal 200 EC, Winder 100 EC, Kanon 400 EC, Matrix 200 EC, dan Vista 400 WSC. Dari sembilan jenis insektisida ini hanya dua jenis yang dapat menyebabkan mortalitas sampai 100%, yaitu Spontan 400 WSC dan Dafat 75 SP (Tabel 1).

Hasil penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Hosang et al. (2006), ternyata Spontan 400 WSC dan Montaf 400SL (bahan aktif . Dimehipo atau Bisultap 400 g/l) sangat efektif untuk mengendalikan hama Sexava spp. karena dapat menyebabkan mortalitas sampai 100%. Insektisida ini dapat diaplikasikan melalui injeksi batang dengan dosis 10 ml/pohon.Dari kedua percobaan tersebut menunjukkan bahwa Spontan 400 WSC, Montaf 400 SL dan Dafat 75 SP dapat digunakan dalam pengendalia hama Sexava spp. di lapangan.

Tabel 1. Jenis, dosis dan metode aplikasi insektisida yang dapat menyebabkan mortalitas hama S. nubila 80% (Novarianto et al., 2004).

No Jenis insektisida Dosis Metode aplikasi Mortalitas (%) 1 Spontan 400 WSC 10-40 ml/phn Injeksi batang 93-100 2 Dipho 290 EC 5-20 ml/phn Injeksi batang 92-95 3 Dafat 75 SP 15-30 ml/phn Dilarutkan dalam air (volume air

sebaiknya lebih dari 1:2) Injeksi batang

93-100

4 Amchothene 75 SP 5-20 ml/phn Dilarutkan dalam 10 ml air Injeksi batang

95-97 5 Marshal 200 SC 30 ml/phn Injeksi batang 88 6 Winder 100 EC 7.5-15 ml/phn Injeksi batang 85-88 7 Kanon 400 EC 15-30 ml/phn Injeksi batang 80-82 8 Matrix 200 EC 40 ml/phn Injeksi batang 82 9 Vista 400 WSC 20 ml/phn Injeksi batang 88

Penggunaan insektisida sistemik melalui injeksi batang dan infus akar adalah metode yang lebih baik dibandingkan dengan cara penyemprotan karena cara ini dapat mencegah munculnya kembali hama, menghemat pemakaian insektisida dan cukup aman bagi petani. Infus akar digunakan pada tanaman kelapa berumur <10 tahun dengan teknik sebagai berikut (Balitka, 1990):

Infus akar dengan insektisida sistemik

Pertama-tama digali dekat pohon kelapa sampai diperoleh beberapa akar segar. Pilih satu akar yang baik kemudian akar tersebut dipotong. Insektisida sistemik dmasukkan dalam kantong plastik (es mambo) sesuai dosis anjuran (10-20 ml/ pohon). Akar yang sudah dipotong dimasukkan ke dalam kantong berisi insektisida kemudian diikat dengan karet. Ujung akar harus dimasukkan sampai pada dasar kantong plastik dan usahakan akar dalam posisi agak miring, untuk itu gunakan alat penekan yang berbentuk pengait. Setelah 1-2 hari periksa kembali semua pohon,



Pengendalian Hama  spp. dengan Insektisida Sistemik

72

apakah cairan sudah benar-benar terserap (habis). Jika cairan tidak terserap, ganti dengan akar lain, karena kemungkinan akar tersebut patah sewaktu penanganan. Setelah dua minggu diamati apakah semua hama sudah mati.

Injeksi batang dengan insektisida sistemik

Dosis dan jenis insektisida yang digunakan per pohon sama dengan cara infus akar. Kalau banyak tanaman yang akan diinjeksi, sebaiknya menggunakan mesin bor. Mata bor yang diperlukan adalah dari ukuran 5/8 inci atau sekitar 1.4 – 1.5 cm. Lubangi pohon pada ketinggian 0.75 – 1.0 meter di atas permukaan tanah, dengan kemiringan 45º, sedalam sekitar 10 – 15 cm. Pada waktu melaksanakan injeksi batang sebaiknya gunakan sarung tangan. Masukkan cairan insektisida 15 – 20 ml dan kemudian tutup lubang rapat-rapat dengan pasak kayu, bambu ataupun pelepah kelapa.

Penggunaan insektisida untuk mengendalian Sexava spp. dapat dilakukan dengan metode yang tepat yakni infus akar untuk tanaman muda dan injeksi batang untuk tanaman tua.

Insektisida sistemik yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama

Sexava spp. adalah Spontan 400 WSC, Montaf 400 SL dosis 10 ml/pohon, dan

Dafat 75 SP dosis 15-30 ml/pohon.

Balitka. 1990. Pedoman pengendalian hama dan penyakit kelapa. Badan Litbang, Balitka, FAO/UNDP, Dirjenbun, Direktorat Perlintan. 100 pp.

Hosang, M.L.A. and B. Zelazny. 1989. Control of Sexava coriacea with systemic insecticide. In: UNDP/FAO Integrated Coconut Pest Control Project, Annual Report. Balai Penelitian Kelapa, Manado, North Sulawesi. 128-131.

Hosang, M.L.A, S. Sabbatoellah dan J. Mawikere. 2006. Pengujian lapangan efikasi insektisida Starfidor 100 SL, Kanon 400 EC, Spontan 400 WSC dan Montaf 400 SL terhadap hama Sexava nubila Stall. Laporan Penelitian Kerjasama PT. Petrokimia Kayaku dengan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Novarianto, H, M.L.A. Hosang, J. Mawikere, A.A. Lolong,S. Sabbatoellah dan J.C.

Alouw. 2004. Efikasi beberapa insektisida sistemik terhadap hama Sexava

nubila Stal. Di Kabupaten Talaud. Laporan Penelitian, Balitka. Manado..

Tjoa Tjien Mo. 1953. Memberantas hama-hama kelapa dan kopra. Noorhoffholff. Jakarta. 270 pp.

Warouw, J. 1981. Dinamika populasi Sexava nubila Stal (Orthoptera: Tettigonidae) di Sangihe Talaud dalam hubungan dengan kerusakan tanaman kelapa. Disertasi Doktor IPB.

BALAI PENELITIAN TANAMAN KELAPA DAN PALMA LAIN, MANADO

Resistensi hama merupakan salah satu masalah utama akibat penggunaan insektisida. Hama yang dahulunya peka terhadap perlakuan insektisida lama kelamaan akan membangun suatu sistem pertahanan atau kekebalan terhadap insektisida yang sama atau insektisida sejenis yang memiliki cara kerja (mode of action) yang mirip. Hal ini disebabkan individu yang tahan terhadap insektisida akan tetap hidup untuk meneruskan gen-gennya pada generasi selanjutnya. Dari waktu ke waktu, semakin banyak jumlah populasi serangga yang tidak dipengaruhi oleh insektisida tersebut (Hoy, 1998; Neppl, 2000).

Resistensi adalah hambatan tunggal terbesar dalam pengendalian serangga-serangga vektor pembawa penyakit. Tiga tahun kemudian, PBB melalui program lingkungannya mendeklarasikan bahwa resistensi pestisida adalah satu dari masalah lingkungan dunia yang paling serius (WHO 1976). Pimentel (1992) menambahkan bahwa resistensi serangga adalah satu tantangan untuk mengendalikan hama-hama arthropoda. Resistensi secara tidak langsung telah menyebabkan peningkatan frekuensi aplikasi dan penggunaan pestisida dengan dosis yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya menghasilkan peningkatan kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia. Masalah ini telah meluas secara geografis dan telah terjadi pada kurang lebih 504 spesies serangga hama dan tungau pada tanaman pertanian maupun serangga vektor yang berkaitan dengan kesehatan manusia (Georghiou dan Taylor, 1986). Resistensi pada hama-hama kelapa termasuk Sexava spp. masih sangat terbatas. Salah satu hama kelapa yang telah dilaporkan resisten terhadap aldrin dan dieldrin adalah Brontispa longissima (Singh dan Rethinam, 2005).

Tipe yang paling umum dari resistensi serangga adalah peningkatan detoksifikasi enzymatik dan resistensi yang disebabkan oleh cytochrome P450 atau singkatnya P450. Konsentrasi P450 dalam tubuh serangga membatasi toksisitas insektisida. Pentingnya P450 dalam resistensi serangga terhadap insektisida menjadi jelas sejak awal tahun 1960-an pada saat resistensi serangga terhadap insektisida carbaryl dapat ditanggulangi oleh penghambat P450 (Sesamex) (Eldefrawi et al., 1961).

Dalam memahami populasi genetika dan evolusi resistensi untuk mengembangkan metode yang efektif mengatasi masalah resistensi hama, P450 berpeluang digunakan untuk membangun resistensi dalam tubuh serangga, seperti parasitoid dan predator, sehingga agens hayati ini lebih tahan terhadap pengaruh pestisida. Dengan demikian agen-agen hayati ini dapat dimanfaatkan secara optimal dalam pengendalian hama secara terpadu yang mengkombinasikan cara kimia dan hayati.



Fungsi Cythochrome P450 dan Kemungkinan Resistensi Hama  spp. Terhadap Insektisida

74

1. Serangga

Serangga dapat mengembangkan sifat resistensi terhadap hampir setiap jenis insektisida. Resistensi terhadap insektisida berkembang karena variasi genetik yang tinggi dalam populasi serangga. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kecepatan resistensi dalam serangga terhadap insektisida antara lain yang berkaitan dengan faktor dalam populasi itu sendiri seperti kecepatan reproduksi yang lebih tinggi, waktu generasi yang lebih pendek, jumlah keturunan yang lebih besar dan populasi lokal yang lebih bervariasi secara genetik (Pimentel dan Burges, 1985).

Umumnya terdapat perbedaan dalam individu-individu yang tidak terpengaruh (resisten), baik karena keberadaan molekul-molekul insektisida dalam serangga atau metode yang digunakan serangga untuk memecahkan molekul-molekul yang bersifat toksin (Michaud, 1997). Hal yang penting juga adalah dasar-dasar genetika dari resistensi serangga, (Wearing dan Hokkanen, 1995) dan insektisida itu sendiri. 2. Insektisida

Insektisida yang lebih persisten di alam memperbesar kesempatan bagi individu-individu yang rentan untuk mati ketika diaplikasi dengan suatu toksin, sehingga serangga rentan tersebut tidak meneruskan sifat-sifat rentan mereka terhadap insektisida. Hal yang sama juga terjadi jika aplikasi insektisida non persisten lebih sering dilakukan (Wood, 1981). Populasi yang kurang bermigrasi ke populasi serangga yang rentan atau ke populasi yang tidak diekspos dengan insektisida juga akan mengembangkan resistensi lebih cepat (Comins, 1977). Populasi yang pernah diekspos dengan insektisida yang memiliki cara kerja yang mirip dengan insektisida yang baru juga akan mengembangkan resistensi terhadap toksin baru tersebut. Fenomena ini disebut resistensi silang (Pimentel & Burges, 1985).

Cytochrome P450 adalah nama yang diberikan untuk kelompok besar hemoprotein yang terdapat pada semua jenis organisme (prokariota sampai eukariota) (Porter dan Coon dalam Ranasinghe dan Hobbs, 1998). Protein ini terdapat dalam retikulum endoplama dan mitokondria. P450 menunjukkan enzim-enzim yang dikode oleh gen-gen cytochrome P450.

Nama P450 berawal dari penemuan pigment (P) microsomal liver pada lebih dari 400 tahun yang lalu, dimana pada saat disaturated dengan carbon monoksida menghasilkan puncak absorbsi pada 450 nm. Beberapa penulis menyebut P450 sebagai cytochrome P450 monooxygenase, MFO (mixed function oxidase), PSMOs (polysubstrate monooxygenase), microsomal oxidase dan hemoprotein thiolate (Feyereisen, 1999).

Fungsi Cythochrome P450 dan Kemungkinan Resistensi Hama  spp. Terhadap Insektisida

P450 dalam tubuh serangga termasuk famili CYP6. CYP menunjuk pada semua gen anggota dari superfamili P450 sedangkan 6 menunjuk pada jumlah famili. Terdapat juga singkatan seperti CYP4U2, U menunjuk pada subfamili sedangkan 2 menunjuk pada gen. Panda dan Khush (1995) menguraikan tiga karakteristik yang dimiliki oleh P450 dalam serangga yaitu mengkatalisa sejumlah reaksi oksidasi yang menghasilkan senyawa lebih polar sehingga lebih mudah dieksresi, bersifat nonspesifik sehingga mudah bereaksi dengan berbagai senyawa kimia dan membentuk allelokimia atau insektisida sintetik melalui induksi.

P450 terdapat pada semua jaringan tubuh serangga (Feyereisen, 1999). Aktivitas P450 tertinggi terdapat pada usus tengah, lemak tubuh dan tabung malpigi (Hodgson, 1983). Terdapat variasi konsentrasi P450 disepanjang perkembangan serangga. Secara umum, total level P450 tidak terdeteksi dalam telur dan pupa, konsentrasinya berbeda-beda pada tiap instar larva dan level yang tinggi terdapat pada imago.

P450 dapat dikatakan berperan dalam resistensi serangga terhadap insektisida jika ekspresinya lebih tinggi pada strain resisten dibandingkan pada strain yang rentan. Scott et al. (1998) menguraikan dua kriteria yang mendemonstrasikan bahwa P450 berperan dalam resistensi: P450 harus menunjukkan usaha mendetoksifikasi senyawa pada strain yang resisten dan strain yang resisten harus memiliki kandungan P450 lebih besar atau protein yang dikode untuk semua strain yang resisten harus memiliki aktivitas katalitik yang lebih besar. Pada tahun 1970, beberapa peneliti mendemonstrasikan kandungan total P450 pada strain yang resisten lebih tinggi dari pada strain yang rentan (Hocgson, 1985).

Lalat rumah memiliki resistensi yang tinggi terhadap insektisida Cypermethrin (pyrethroid) setelah serangga tersebut diaplikasi dengan insektisida tersebut. Hasil penelitian menunjukkan terdapat jumlah besar gen untuk P450 (CYP6D1) yang terakumulasi dalam serangga resisten. Di dalam tubuh serangga terdapat multiplikasi P450 yang menghasilkan adanya peningkatan ekspresi P450 yang bertanggung jawab untuk metabolisme insektisida. Studi invitro menunjukkan bahwa detoksifikasi oleh p450 terhadap permethrin (Scott dan Georghiou, 1985), deltamethrin (Wheelock dan Scott, 1992) atau Cypermethrin (Zhang dan Scott, 1996) terjadi pada kecepatan hampir 10 kali lipat lebih tinggi pada serangga yang resisten daripada serangga rentan. Resistensi terhadap permethrin dapat ditekan dari 900 kali menjadi 32 kali dengan pemberian penghambat P450 yaitu piperonyl butoxide (PBO) (Scout et al., 1998). Hal yang sama dilakukan juga pada kecoak yang resisten terhadap insektisida fenvalerate.

Dokumen terkait