• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.4 Kontribusi Penelitian

1.4.2 Secara Praktis

1) Bagi mahasiswa dan peneliti

Melalui penelitian ini mahasiswa diharapkan dapat memahami lebih dalam tentang model penanganan skizofrenia secara holistik, sehingga bisa digunakan sebagai referensi dan sebagai pedoman informasi atas penelitian selanjutnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan skizofrenia dan model penanganannya.

2) Bagi Griya Pemulihan Siloam Yogyakarta

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan untuk terus lebih memaksimalkan serta mengembangkan Terapi Holistik.

3) Bagi keluarga dan masyarakat

Keluarga dan masyarakat diharapkan untuk tidak mendiskriminasikan gangguan jiwa skizofrenia tetapi mampu ikut ambil bagian dan berperan serta dalam menanggapi permasalahan gangguan jiwa skizofrenia secara positif dengan memanfaatkan hasil penelitian ini. Peran serta keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam membantu proses pemulihan gangguan jiwa skizofrenia dan meminimalisirkan terjadinya kekambuhan (relaps) setelah perawatan.

12 2.1

Perspektif Teoritik

Perspektif teori di dalam bab ini dibatasi melalui ruang lingkup permasalahan yakni Skizofrenia dan Terapi Holistik.

2.1.1 Skizofrenia

2.1.1.1 Pengertian Skizofrenia

Maslim (2003:46) mendefinisikan skizofrenia sebagai suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Skizofrenia pada umumnya ditandai oleh adanya penyimpangan yang fundamental pada karakteristik dari pikiran dan persepsi, afek yang tidak wajar (inappropriate) or tumpul

(blunted).Kesadaran masih jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, meskipun akan terjadi kemundurun kognitif tertentu yang akan berkembang kemudian.

Hawari (2003:xi) Skizofrenia berasal dari dua kata yaitu “Skizo” yang berarti retak atau pecah (split) dan “frenia” yang artinya jiwa. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang menyebabkan keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) pada penderitanya.

Ibrahim (2011:6) skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir, kadang-kadang merasa dirinya dikendalikan oleh kekuatan dari luar, terdapatnya waham, ganguan persepsi, afek abnormal dan autisme. Kesadaran yang jernih dan kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu.

Strauss et al, (dalam Arif 2006:3) menyatakan bahwa skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat yang ditandai dengan munculnya gejala-gejala positif seperti pembicaraan kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi; gejala-gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar; serta terganggunya relasi personal.

Carson dan Butcher (dalam Wiramihardja 2010:134) Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai terutama oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, yang ditandai dengan adanya perilaku menarik diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi.

Liftiah (2009:175) mendefinisikan skizofrenia sebagai sindrom klinis yang paling membingungkan. Skizofrenia merupakan gangguan psikologis yang paling jelas menggambarkan tentang sakit mental atau gila, gangguan jiwa ini menyentuh semua aspek kehidupan penderita. Skizofrenia menyerang jati diri, memutuskan hubungan antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan konsepsi yang tidak logis.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa psikosis yang berdampak pada semua aspek kehidupan meliputi perubahan pada faktor genetik, fisik, psikis dan sosial budaya, sehingga menyebabkan terjadinya keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality) pada penderitanya. Ditandai dengan munculnya penyimpangan yang fundamental berupa gejala positif yang meliputi halusinasi, waham, gangguan kognitif dan persepsi, perilaku aneh serta gejala negatif yang meliputi afek yang abnormal, tidak ada kemauan (apatis), dan terganggunya relasi personal. Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan

kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemudian akan terjadi kemunduran kognitif tertentu.

2.1.1.2 Epidemiologi

Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr. LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan (http://zulliesikawati.staff. ugm.ac.id /wp- content / uploads / schizophrenia.pdf).

Onset skizofrenia pada laki-laki terjadi lebih awal bila dibandingkan dengan onset skizofrenia pada wanita yaitu pada saat usia 15 sampai 25 tahun sedangkan onset pada wanita berkisar pada usia 25 sampai 35 tahun. Sekitar 90 persen pasien menjalani pengobatan di usia antara 15 sampai 55 tahun, sedangkan onset skizofrenia pada usia sebelum 10 tahun dan sesudah 50 tahun sangat jarang ditemui (Kaplan dan Sadock, 2010:702).

2.1.1.3 Mekanisme Terjadinya Skizofrenia

Menurut Hawari (2003 :11-19) mekanisme terjadinya skizofrenia meliputi pendekatan organobiologik, psikodinamik, psikoreligius dan psikososial.

1. Organobiologik

Gangguan jiwa skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya begitu saja, namun ada banyak faktor yang berperan serta terhadap munculnya gejala-gejala skizofrenia antara lain: faktor genetik, virus, auto-antibody, malnutrisi (kekurangan gizi).

Sejauh mana peran genetik pada skizofrenia digambarkan pada penelitian berikut :

a. Studi yang dilakukan terhadap keluarga menyebutkan bahwa pengaruh genetik pada orang tua 5,6 %; saudara kandung 10,1 %; anak-anak 12,8 %; dan penduduk secara keseluruhan 0,9 % (Gottesman and Shields, 1982).

b. Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan pada kembar identik (monozygote)

59,2 %, sedangkan kembar non identik atau fraternal (dizygote) adalah 15,2 % (Kendler, 1983).

Gangguan perkembangan otak pada janin juga menjadi penyebab lain terjadinya skizofrenia . Gangguan perkembangan otak janin ini disebabkan karena virus, malnutrisi (kekurangan gizi), infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal yang terjadi selama kehamilan. Perihal adakah hubungan antara faktor gen dengan gangguan perkembangan otak janin, Hawari (2003:13) menyebutkan bahwa meskipun ada gen yang abnormal, namun apabila tidak disertai adanya faktor-faktor lain atau faktor epigenetik maka skizofrenia tidak akan muncul. Kesimpulannya adalah bahwa gejala skizofrenia baru muncul apabila terjadi interaksi antara gen yang abnormal dengan:

1. Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat mengganggu perkembangan otak janin;

2. Menurunya auto-immune yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan; 3. Berbagai macam komplikasi kandungan;

4. Kekurangan gizi yang cukup berat terutama pada trisemester pertama kehamilan; Interaksi antara gen yang abnormal yang sudah ada sebelumnya dengan faktor

epigenetic dapat memunculkan gejala skizofrenia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa orang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila mengalami stessor psikososial dalam kehidupannya, maka resikonya munculnya skizofrenia akan lebih besar bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki adanya faktor epigenetik

Penderita skizofrenia mengalami perubahan atau gangguan pada system transmisi sinyal penghantar saraf (neuro-transmitter) dan reseptor di sel-sel syaraf otak (neuron) dan interaksi neuro-kimia seperti dopamine dan serotonin, yang ternyata mempengaruhi fungsi-fungsi kognitif (alam pikir), afektif (alam perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif maupun negatif skizofrenia. Hawari (2003:19) menyatakan bahwa pada penderita skizofrenia kronis ditemukan perubahan pada anatomi otak yang diketahui dengan penelitian menggunakan CT Scan. Perubahan anatomi otak tersebut berupa pelebaran lateral ventrikel, atrofi kortek bagian depan dan

atrofi otak kecil tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).

Neale dan Haaga (dalam Arif 2006:26) mengungkapkan tentang teori-teori somatogenesis tentang penyebab skizofrenia yang dinyatakan sebagai berikut:

Tabel 2.1

Teori-teori somatogenesis tentang penyebab skizofrenia Teori-teori somatogenesis tentang penyebab skizofrenia

Genetik Penelitian pada keluarga, kembar dan anak adopsi cenderung menunjukan bahwa kerentaan pada skizofrenia ditransmisikan secara genetik.

Biochemistry Obat antipsikotik menghambat resptor dopamine, cenderung

menunjukan bahwa skizofrenia disebabkan oleh masalah dalam system dopamine.

Neuroanatomy Ketidaknormalan otak (missal : pembesaran ventrikel)

ditemukan diantara pasien-pasien skizofrenia.

Setelah mengetahui perubahan-perubahan pada system transmisi saraf di sel-sel susunan saraf pusat (otak) yang dapat menyebabkan gangguan skizofrenia maka para ahli telah menemukan jenis obat yang dapat memperbaiki gangguan fungsi neuro-transmitter

kata lain penderita skizofrenia dapat diobati dan disembuhkan (Hawari, 2003:19). Terapi dengan obat-obat medis telah dilakukan dan dikembangkan oleh tenaga-tenaga kesehatan dan memberikan hasil yang baik, obat-obatan medis yang diberikan kepada pasien skizofrenia telah berhasil menghilangkan sebagian gejala skizofrenia khususnya gejala positif pada sebagian besar pasien.

2. Psikodinamik

Hawari (2003 :20–24) menyatakan apabila seseorang jatuh sakit (menderita skizofrenia) secara umum dan sederhana dapat dijelaskan dengan menggunakan rumus:

I = Individu, yaitu seseorang yang sudah mempunyai bakat-bakat tertentu, kepribadian yang rentan (vulnerable personality) ataupun faktor genetik; yang kesemuanya itu merupakan faktor presdiposisi yaitu kecenderungan untuk menjadi sakit.

S = Situasi, yaitu suatu kondisi yang menjadi tekanan mental bagi individu yang bersangkutan, misal stressor psikososial.

R = Reaksi, yaitu respon dari individu yang bersangkutan setelah mengalami situasi yang tidak mengenakan (tekanan mental) sehingga ia mengalami frustasi yang pada gilirannya menjadi jatuh sakit.

Mekanisme terjadinya skizofrenia pada diri seseorang dari sudut pandang psikodinamik dapat diterangkan dengan dua buah teori; yaitu teori homeostatis-deskriptif

(descriptive-homeostatic) dan fasilitatif-etiologik (etiological-facilitative).Teori

homeostatis-deskriptif, menjelaskan secara deskriptif gambaran gejala-gejala dari suatu gangguan jiwa yaitu penyebab terjadinya gangguan keseimbangan (balance) atau

homeostatic pada diri sesorang pada saat sebelum dan sesudah terjadinya gangguan jiwa sedangkan teori fasilitatif-etiologik, menguraikan tentang faktor-faktor penyebab

(etiologi) munculnya suatu penyakit, bagaimana perjalanan penyakitnya dan penjelasan mekanisme psikologis dari penyakit yang bersangkutan. Klein (1926) dalam Hawari (2003:22) skizofrenia muncul karena terjadi fiksasi pada fase paranoid-skizoid pada perkembangan awal masa bayi.

Markam (2008:63-64) menyatakan tingkah laku abnormal menurut pandangan psikodinamik disebabkan oleh faktor-faktor intrapsikis (konflik tak sadar, represi, mekanisme defensif) yang mengganggu penyesuaian diri individu. Ini mengacu pada teori Freud yang menyatakan bahwa, esensi pribadi seseorang bukan terletak pada apa yang ia tampilkan secara sadar, melainkan apa yang tersembunyi dalam ketidaksadarannya dan menyebabkan seseorang tidak dapat beradaptasi dengan dunia luar.

Freud (dalam Hawari 2003:23) terdapat 3 unsur psikologik yang terdapat pada diri individu yaitu Id, Ego, dan Super-Ego. Id adalah bagian dari jiwa seseorang berupa dorongan atau nafsu yang sudah ada sejak manusia dilahirkan yang memerlukan pemenuhan dan pemuasan segera. Unsur Id ini sifatnya vital, menuntut, dan mendesak sebagai suatu mekanisme pertahan diri, sebagai contoh misalnya dorongan atau nafsu makan, minum, seksual, agresivitas dan sejenisnya. Unsur Super-Ego sifatnya sebagai

“badan penyensor” memiliki nilai-nilai moral etika yang membedakan mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram dan sejenisnya; atau dengan kata lain merupakan “hati nurani” manusia.

Sedangkan unsur Ego merupakan “badan pelaksana” yang menjalankan kebutuhan Id

setelah “disensor” dahulu oleh Super-Ego. Ego berfungsi sebagai eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan, dan mengatur.

Uraian berikut akan menjadi menjadi ilustrasi mengenai peran masing-masing unsur kejiwaan, sebagai contoh misalnya untuk memenuhi kebutuhan (Id) makanan/nafsu

makan (rasa lapar) maka seseorang akan melaksanakan kebutuhan itu (Ego) dengan jalan membeli/memasak makanan dan tidak dengan cara mencuri, sebab (Super-Ego)

melarangnya. Dalam istilah agama Super-Ego dapat disamakan dengan Iman seseorang. Apabila oleh suatu sebab Ego melakukan pencurian, maka Super-Ego akan

“menghukumnya” yaitu dalam bentuk perasaan bersalah dan berdosa. Sebagai kelanjutan timbullah konflik internal antara Id, Ego, dan Super-Ego, dan manakala yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan konflik tersebut, pada gilirannya ia dapat jatuh sakit.

3. Psikoreligius

Hawari (2003:28-29) mengungkapkan bahwa agama berfungsi sebagai pengendalian diri (self control) dimana fungsi ini akan memperkuat Ego dalam memenuhi kebutuhan Id yang tidak bertentangan dengan Super-Ego. Hal ini berarti kehidupan beragama seseorang merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam memandang sebab terjadinya skizofrenia.

Individu yang memiliki kehidupan beragama yang baik tidak akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, ini berarti tindakan-tindakan yang dilakukannya adalah tindakan yang sejalan dengan kebaikan ataupun bukanlah tindakan yang menyimpang. Hal ini menyebabkan individu terhindar dari konflik batin yang dapat memicu timbulnya skizofrenia. Kehidupan agama yang lemah membuat seseorang tidak mempunyai pengendalian diri dan kekuatan dalam menghadapi masalah (stressor) yang muncul sehingga ketika dia mendapatkan sebuah masalah individu akan mudah terguncang jiwanya dan ini dapat memicu terjadinya skizofrenia.

Pentingnya riwayat kehidupan beragama bagi penderita gangguan jiwa dikemukakan oleh Kaplan dan Sadock (2010:425) yang menyatakan bahwa dalam wawancara psikiatrik (anamnesa) perlu ditelusuri latar belakang keagamaannya untuk

mengetahui sejauh mana pengaruh agama dalam kehidupan penderita sebelum sakit. Larson, 1992 (dalam Hawari 2003:28) juga menyatakan bahwa komitmen agama amat penting dalam pencegahan agar seseorang tidak jatuh sakit, meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit serta mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan.

Kehidupan beragama merupakan hal penting dalam diri individu, berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebagai makhluk beragama kita mempunyai suatu kepercayaan kepada Tuhan yang menjadi pedoman hidup seseorang dan menjadi kekuatan terbesar dalam hidup individu untuk terus bertahan hidup menghadapi bermasalahan kehidupan. Kekuatan terbesar itu bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa yang mampu menyelesaikan segala masalah kehidupan. Prinsip keimanan yang kuat inilah yang menjadi kekuatan seseorang untuk mempertahankan diri dari tekanan psikis ataupun konflik batin sehingga invidu yang memiliki kehidupan beragama yang baik akan lebih sulit jatuh sakit, mampu bertahan dalam mengatasi berbagai penderitaan yang menimpanya, dan mampu bertindak dengan bijak dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Inilah yang menyebabkan seseorang dengan kehidupan beragama yang baik dapat menekan faktor pemicu munculnya skizofrenia.

4. Psikososial

Sebagaimana rumusan yang telah diuraikan di muka yaitu faktor “S” (Situasi atau

kondisi yang tidak kondusif pada diri seseorang) dapat merupakan stressor psikososial.

Hawari (2003:30) menyatakan bahwa stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang; sehingga orang itu terpaksa mengadakan penyesuaian diri (adaptasi) untuk menanggulangi stressor (tekanan mental) yang timbul.

Kerentaan individu terhadap stressor psikososial ini berbeda-beda tergantung dari tipe kepribadian, kondisi psikis, dan kondisi lingkungan masing-masing individu. Ada atau tidaknya dukungan sosial ataupun dukungan keluarga yang diterima individu juga berpengaruh terhadap ketahanan individu dalam menghadapi stressor psikososial. Tidak semua individu mampu mengatasi dan melakukan stressor psikososial yang menimpanya, ketidakmampuan inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan-keluhan kejiwaan pada diri individu yang dapat memicu munculnya berbagai gangguan kejiwaan dan salah satunya adalah skizofrenia.

Kaplan dan Sadock (2003:708) mengungkapkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentangan spesifik yang dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan akan menimbulkan stres. Skizofrenia adalah suatu penyakit dari otak yang dalam perjalanannya dipengaruhi oleh stressor psikososial. Ketika individu sudah memiliki suatu kelainan pada otak maka ia akan sangat rentang terhadap stressor psikososial. Ini berarti bahwa faktor psikososial merupakan faktor penting yang dapat memicu munculnya gejala skizofrenia ke permukaan, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa faktor psikososial secara langsung dan kausatif berhubungan dengan perkembangan perjalanan skizofrenia.

Perubahan-perubahan yang serba cepat (rapid sosial changes) sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi, dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, telah mempengaruhi tata nilai kehidupan keluarga. Tidak semua orang mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial tersebut yang pada gilirannya yang bersangkutan dapat jatuh sakit. Pada sebagian orang perubahan-perubahan sosial yang serba cepat akan menjadi stressor psikososial.

Gruenberg (dalam Markam, 2008:76) memberi nama “social breakdown syndrome”sebagai istilah yang sesuai dengan “gangguan jiwa”, karena sebenarnya yang menganggap seseorang terganggu adalah lingkungan sosialnya.

Lingkungan sosial seolah-olah bersifat menekan seseorang untuk bertindak diluar batas kemampuannya, demi mendapat sesuatu yang dituntut oleh lingkungannya. Lingkungan menuntut individu untuk menjadi “makhluk” yang taat norma dan mau tidak mau, bisa

ataupun tidak bisa harus bertindak sesuai norma yang berlaku untuk memenuhi kaidah umum yang berlangsung dalam masyarakat. Bila ia tidak berhasil maka ia akan mendapat julukan yang serba negatif (labeling), yang akhirnya menyebabkan seseorang tersebut terisolasi dari lingkungannya.

Hass (dalam Markam 2008:77) menyebutkan bahwa menurut pendekatan sosiokultural, penyebab perilaku abnormal antara lain adalah perubahan sosial, kemiskinan, diskriminasi, pengangguran yang merupakan hal-hal yang sulit diatasi. Jadi penyakit jiwa ialah manifestasi personal dari suatu penyakit dan stres dalam masyarakat. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengalami konflik kejiwaan yang bersumber dari konflik internal (dunia dalam) dan konflik eksternal (dunia luar). Tidak semua orang mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya sehingga orang tersebut jatuh dalam keadaan frustasi yang mendalam. Manifestasi dari ketidakmampuan individu dalam menyelesaikan konflik sosial ini adalah individu menjadi menarik diri

(withdrawn), melamun (day dreaming), hidup dalam dunianya sendiri yang lama-kelamaan timbullah gejala-gejala berupa kelainan jiwa seperti halusinasi, waham (delusi)

dan lain sebagainya. Seseorang tidak lagi mampu menilai realitas (reality testing ability-RTA, terganggu) dan pemahaman diri (insight) buruk merupakan perjalanan awal munculnya skizofrenia (Hawari, 2003:40).

Sebagai kesimpulan akhir dapat dikemukakan bahwa mekanisme terjadinya skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal tetapi mencakup kesemua aspek kehidupan individu yang dipandang secara komprehensif dengan menggunakan suatu pendekatan yang menyeluruh. Pendekatan tersebut mencakup pendekatan dari sudut pandang organobiologik, psikodinamik, psikoreligius, dan psikososial, sehingga mekanisme terjadinya skizofrenia dapat dipahami secara lebih mendalam dan utuh tanpa mengabaikan salah satu aspek. Lebih lanjut, dengan mengetahui mekanisme terjadinya skizofrenia maka dapat diberikan penanganan yang memadai dan komprehensif (menyeluruh) dan tidak parsial (terpenggal-penggal) pada penderita skizofrenia sehingga kesembuhan pasien skizofrenia dapat diupayakan dengan maksimal.

2.1.1.4 Gejala Klinis Skizofrenia

Pada tahun 1980 T.J. Crow membuat suatu klasifikasi pasien skizofrenia kedalam tipe I yang didasarkan adanya gejala positif dan tipe II yang didasarkan dari gejala negatif (defisit) sebagai berikut (Ibrahim 2011:22-31).

a. Gejala Positif 1. Halusinasi

Halusinansi yang muncul terdapat pada penderita skizofrenia tidak disertai dengan adanya penurunan kesadaran. Halusinasi yang demikian hanya muncul pada gangguan jiwa skizofrenia dan sangat jarang ditemukan pada gangguan jiwa lainnya. Halusinasi ini berupa halusinasi pendengaran, dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan, terkadang juga ditemui halusinasi penciuman, halusinasi citarasa, atau halusinasi singgungan. Penderita seolah-olah mencium wangi kembang dimanapun ia berada, atau ada orang yang menyinarinya dengan alat rahasia, bahkan ia seolah-olah merasakan ada racun didalam makanannya.

Waham yang muncul berupa waham yang tidak logis sama sekali dan sangat

bizar (aneh). Umumnya waham tersebut muncul dalam bentuk waham kejar, waham kebesaran, atau waham menyangkut diri sendiri. Karakteristik waham didominasi oleh hal-hal pokok di luar pengawasan pikiran, perasaan, atau perilaku pasien. Waham ini merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapapun, sehingga penderita skizofrenia meyakini waham yang muncul sebagai sesuatu yang diyakini secara mutlak oleh dirinya. 3. Gangguan Pikiran Formal Positif

Gangguan Pikiran Formal berupa penggolongan asosiasi, yaitu berupa obliquely related subject dimana ide-ide berpindah dari subjek ke subyek lainnya dan sama sekali tidak ada hubungannya atau hubungannya sama sekali tidak tepat serta berupa frame of reference yaitu berupa pengertian-pengertian yang tidak ada hubungannya sama sekali namun disatukan secara indiosinkratik. Hal itu sama sekali tidak disadari oleh individu yang menderita skizofrenia.

Pelonggaran asosiasi yang semakin berat akan menyebabkan terjadinya

inkoherensi, yaitu suatu percakapan yang tidak dapat dimengerti dan kemiskinan isi pembicaraan. Pembicaraan yang secara kuantitas masih baik namun buruk secara kualitas.Gejala lain yang dijumpai adalah neologisme, perseverasi, asosiasi suara (clanging) dan hambat pikir (blocking).

4. Perilaku Aneh

Perilaku Aneh terdiri dari: perilaku stereotipik (hal ini merupakan pola pengulangan pergerakan atau cara berjalan), stupor (tidak bergerak), kelainan makanan (memakan sesuatu, tetapi biasanya tidak sampai habis), echopraksia (pergerakan yang analog dengan echolalia, terdiri dari gerakan dan sikap yang palsu dari seorang pasien skizofrenia), negativisme (Penolakan oleh seorang pasien untuk bekerja sama dengan

pemeriksa), gejala-gejala somatik, mannerisme (melakukan pengulangan perbuatan tertentu secara eksesif, biasannya dilakukan secara ritual seperti melakukan seremonial). b. Gejala Negatif

1. Pendataran Afektif

Afek adalah reaksi emosi atau perasaan yang dikemukakan penderita dan dapat diperiksa atau diamati oleh orang lain. Pendataran afektif merupakan penurunan reaksi emosi seseorang yang terlihat dari; ekspresi wajah yang tidak berubah (Gejala-gejala seperti mutisme, hambatan abnormal/ kesukaran bersuara, kepatuhan secara otomatis dan fleksibelitas seperti lilin), penurunan spontanitas gerak (penderita skizofrenia menarik diri dari kehidupan sosial dan bersikap egosentris, dengan berkurangnya pembicaraan spontan atau gerakkan dan tidak adanya tingkah laku yang bertujuan, termasuk gerakan yang kurang luwes atau kaku, merupakan tanda penurunan spontanitas gerak), hilangnya gerakan ekspresif (pendataran afektif menimbulkan gambaran yang khas pada penderita skizofrenia, dalam bentuk tampak seolah-olah kekakuan, kurang mobilitas), kontak mata yang minim, non-responsivitas afektif (penderita skizofrenia dengan pendataran afektif tampak kaku dalam penggambaran respon wajahnya, yang terlihat dalam bentuk kurangnya respon gerakan, seperti misalnya, sukar tersenyum), afek yang tidak sesuai

(ekspresi afektif dikatakan sesuai apabila ekspresi afektif sesuai dengan pikirannya yang dipikirkan, muncul sesuai dengan suara hati yang sedang disandangnya), tidak adanya lagu suara (pada saat pembicaraan, intonasi tampak monoton).

2. Alogia

Alogia meliputi ; kemiskinan bicara (penderita skizofrenia yang terganggu realitanya mempunyai gangguan dalam proses pikirnya), kemiskinan isi bicara (pikiran yang tidak logis dan kemiskinan pikiran membuat isi bicara penderita skizofrenia menjadi

kacau dan sukar dimengerti), penghambatan (penghambatan/blocking adalah keadaan

Dokumen terkait