• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Berdirinya NU dan Keanggotaannya

Dalam dokumen Disertasi (Halaman 114-123)

82 Kini stilistika diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang

3.1 Sejarah Berdirinya NU dan Keanggotaannya

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami

bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah

menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa

ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut

dikenal dengan kebangkitan nasional. Semangat kebangkitan memang terus

menyebar ke mana-mana, setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan

ketertinggalannya dari bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai

organisai pendidikan dan pembebasan.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional

dan adhoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih

mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman.

Setelah berkoordinasi dengan para kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk

membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)

pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H.

Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. "http://id.wikipedia.org/wiki/ Nahdlatul

Ulama" (diakses 28 Februari 2007).

Di sisi lain, pendorong utama para kiai dan ulama pesantren mendirikan

85 pentingnya kerja sama yang lebih teratur diantara mereka dalam

memperjuangkan izzul Islam wal muslimin dalam bingkai ahlussunnah

waljamaah. Selama ini, kerja sama di antara mereka hanya berlangsung secara kultural, antara lain melalui pertemuan walimah, haul, imtihan, dan lain

sebagainya. Ada kalanya juga dikuatkan dengan besanan antarkiai yang membuat

mereka semakin kuat hubungannya (Muzadi, 2003)

Dorongan kerjasama untuk mendirikan organisasi juga dipicu dengan

peristiwa konferesnsi khilafah yang akan diadakan oleh pemerintah Saudi Arabia.

Sebab, setelah berakhirnya perang dunia kedua dan kesultanan turki yang diakui

sebagai khilafah islamiyah jatuh karena revolusi yang dipimpin oleh Kamal

Attarturk. Maka rupanya pemerintah Saudi Arabia berambisi untuk memangku

Khilafah Turki itu. Maka dirancanglah Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah di Makkah dan diundanglah perwakilan-perwakilan negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Di Indonesia sudah terbentuk sebuah komite (panitia)

untuk mengirim utusan ke sana. Sudah pula dirancang anggota-anggota delegasi

yang antara lain Al-Maghfirah KH. Abd. Wahab Hasbullah yang mencerminkan

perwakilan ulama, serta beberapa tokoh lain yang mewakili organisasi-organisasi

besar lainnya.

Dengan alasan yang kurang maton, rancangan susunan anggota delegasi

berubah. KH. Abd. Wahab Hasbullah tidak jadi masuk menjadi anggota delegasi,

karena tidak mewakili organisasi apapun. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang

sangat meandalam di kalangan ulama. Perubahan yang tidak beralasan ini

86 Indonesia yang demikian besar pengaruhnya dan demikian kuat posisinya di

kalangan ummat Islam. Padahal, para ulama Ahlussunnah wal jama’ah Indonesia

itu mempunyai kepentingan yang lebih besar dari pada urusan khilafah, yaitu

menyampaikan uneg-uneg berhubungan dengan beaberapa tindakan pemerintah

Saudi Arabia yang melarang dan membid’ahkan beberapa amalan keagamaan,

seperti mauludan, tahlilan, diba’an dan lain sebagainya. Lebih dari itu,

pemerintah Saudi Arabia bersikap anti madzhab dan mulai melakukan

penggusuran petilasan-petilasan sejarah penting Islam, seperti makam-makam,

bahkan makam Rasulullah Saw. pun termasuk target penggusuran. Semua

dianggap bid’ah yang harus dilarang. Untuk itu, ulama Ahlussunnah wal jama’ah

Indonesia yang dipelopori ulama (kiai) pesantren merasa perlu bertemu dengan

pemerintah Saudi Arabia.

Setelah kemungkinan untuk bergabung dengan delegasi ummat Islam

lainnya tertutup para ulama berusaha sendiri dengan kekuatan sendiri untuk

mengirim delegasi ulama ahlussunnah wal jamaah Indonesia mengahadap

pemerintah Saudi Arabia untuk keperluan hal tersebut. Kemudian dibentuklah

Komite Hijaz, yakni sebuah panitia untuk memobilisasi kekuatan dan dukungan

ummat bagi terlaksananya kerja besar ini. Delegasinya hanya KH. Abd. Wahab

Hasbullah sendiri dengan didampingi seorang penasehat, yaitu Syekh Ghonaim

seorang warga negara Mesir (untuk memperkuat wibawa delegasi). Sekretarisnya

diambil dari seorang mahasantri Indonesia yang ada di Saudi Arabia, dan KH.

Dachlan Nganjuk. Sebelum berangkat terbersik pikiran untuk mempermanenkan

87 Nama Nahdlatu Ulama yang berarti kebangkitan ulama sengaja dipilih

dengan alasan “bangkit” diharapkan lebih dinamis dari pada sekedar “kumpul” (perkumpulan) saja. Sedang “ulama” dimaksudkan sebagai inti kekuatan

jam’iyah ini. Ulama adalah salah satu eksponen atau tokoh masyarakat yang berasal dari para tokoh agama yang notabene berasal dari pesantren.

Keistimewaannya karena hubungan antara ulama dengan masyarakat terikat

dengan tali kerohanian, bukan kebendaan atau kepentingan semacam kebendaan

lainnya. Oleh karena itu, ulama memiliki kedudukan khusus di hati masyarakat

(Muzadi, 2003).

Mungkin ada pihak yang cemburu dengan kududukan ulama yang lebih

tinggi sampai ada yang meramalkan bahwa kedudukan ulama, nanti secara

khusus bisa diganti oleh tokoh-tokoh lain, seperti cendekiawan, tokoh kampus,

dan lain sebagainya. Selama hubungan antara ulama dan masyarakat masih eksis

sebagai tali kerohanian, kedudukan khusus itu akan terpelihara. Kecuali, kalau

hubungan itu berubah menjadi hubungan kebendaan, kedudukan/jabatan, dan

sebagainya, maka kedudukan para ulama akan merosot di mata ummat. Bahkan

menurut Allahummmaghfirlahu KH. Achmad Siddiq pernah mengatakan: “Kalau

para ulama tidak mampu mengingatkan kualitas diri, maka berangsur-angsur

ulama akan ditinggalkan oleh ummat”. (Muzadi, 2003)

Setelah terbentuknya organisasi NU, untuk menegaskan prinsip dasar

orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi

(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal

88 dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak

dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik (Anam, 1985)

Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan

mencapai lebih dari 40 juta orang―bahkan kini jauh lebih banyak dari perkiraan

itu. Mereka memiliki beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah

rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesivitas yang

tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama―selain itu,

mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya

mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan

pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU "http://id.wikipedia.org/wiki/

Nahdlatul_Ulama" (diakses 28 Februari 2007).

Didasarkan pada jenis keanggotaan pengikutnya, NU mempunyai dua

wajah pertama, wajah jam’iyah (NU jam’iyah) yaitu sebagai oragnisasi formal

struktural yang mengikuti mekanisme organisasi moderen, seperti adanya

pengurus, ada pengesahan pengurus, ada pemilihan pengurus, ada anggota, ada

iuran, ada rapat-rapat resmi, ada keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya,

sebgaimana aturan main dalam organisasi pada umumnya; kedua, Wajah Jamaah

(NU Jamaah) yaitu, kelompok idiologis kultural yang mempunyai pandangan,

wawasan keagamaan, dan budaya ala NU―bahkan ada diantara mereka tidak

mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok

kegiatan, seperti jamaah yasinan, tahlilan, diba’an, wali murid madrasah NU,

jamaah masjid dan mushalla NU. Anehnya mereka tidak mudah diatur sebagai

89 Menilik keanggotaan NU menurut KH. Hasyim Muzadi di atas, dan hasil

observasi paartisipasi di lapangan, penulis mengkategorikan warga NU yang

didasarkan pada keterlibatannya dalam NU, tingkat intelektualitas/ keterpelajaran

dan kepahamannya terhadap oraganisasi Nahdlatul Ulama. Berdasarkan hal

tersebut warga NU dibagi menjadi 5 lima, yaitu:

(1) Para ulama/kiai, baik yang berlatar belakang lulusan pesantren salaf

(tradisional) maupun lulusan pesantren khalaf (moderen). Para ulama/kiai ini

pada umumnya terlibat secara langsung baik sebagai pengurus maupun

sebagai anggota NU;

(2) Para alumni pesantren, yang notabene dikelola secara syar’iyah dan kultural

NU. Walaupun mereka belum menyandang predikat sebagai seorang

ulama/kiai, tetapi mereka terlibat langsung dalam kepengurusan dan

keanggotaan NU;

(3) Kalangan intelektual dan terpelajar, yang diantara mereka berlatar belakang

pernah belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi formal―bahkan

selama proses pendidikan sebagian mereka pernah terlibat baik dalam

kepengurusan maupun dalam keanggotaan organisasi yang berhaluan NU,

seperti Pemuda NU, Pelajar NU, dan PMII. Mereka itu pada umumnya

dilahirkan dari keluarga NU. Namun demikian, ada juga pelajar dan

mahasiswa yang lahir dari keluarga NU yang mereka justru berorganisasi di

luar organisasi yang independen, seperti HMI, GMNI, Mahasiswa PKS, dan

90 sosialkemasyarakatannya tetap NU. Mereka itu juga terlibat langsung dalam

kepengurusan maupun keanggotaan NU;

(4) Para alumni pesantren dan kalangan intelektual/terpelajar, yang tergabung

dalam kelompok pengajian NU (seperti yasinan, tahlilan, dibaan dan

sebagainya), tetapi tidak terlibat dalam kepengurusan mapun keanggotaan

NU.

(5) Warga NU yang sejak turun temurun melakukan amalan yang dicontohkan

oleh kiai yang memiliki idiologis kultural dan syar’i ala NU. Mereka itu pada

umumnya tidak tahu menahu apalagi memahami eksistensi sebagai warga

NU―mereka ketika ditanyakan apakah sebagai warga NU? jawabannya

adalah noro’ lampana tor dâbuna kiae „mengikuti jejak dan dawuhnya kiai‟.

Bahkan mereka itu sangat patuh dan fanatik mengikuti apa yang menjadi

tuntunan para ulama/kiai yang notabene cara beribadah dan kulturnya

berhaluan NU tadi. Karena itu, walaupun mereka secara oraganisatoris tidak

terlibat secara langsung dalam keanggotaan NU, akan tetapi meraka sangat

patuh terhadap kiai dan amalan-amalan yang dinjurkannya seperti, pola

ibadahnya yang memakai puji-pujian sebelum sholat, dzikir dengan suara

keras yang dilakukan secara bersama-sama setelah sholat, suka berziarah ke

makam para wali, dan sebagainya. Mereka juga terlibat dalam jamaah

yasinan, diba’an, tahlilan, dan jamaah masjid/mushlla NU.

Dengan demikian dapat dipilah-pilah bahwa kelompok warga NU yang

berada pada kategori (1) s.d. (3) merupakan potensi NU yang menurut Muzadi

91 menjadi organisasi kader. Sedangkan yang berada pada kelompok (4) dan (5)

dapat dikategorikan sebagai Jama’ah NU yang merupakan pendukung massal

bagi gagasan, sikap-sikap, langkah-langkah amaliah NU. Walaupun mereka tidak

teardaftar sebagai warga Jam’iyah NU―mereka memiliki fanatisme yang luar

biasa kepada NU, khususnya yang berada pada kelompok (5). Warga NU (5) ini

memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dan jumlahnya paling besar.

Mereka memposisikan sebagai ummat NU yang memiliki rasa ta’dzim dan sangat

patuh kepada kiai.

Berdasarkan peran, ketokohan, dan pengaruhnya dalam NU, warga NU

pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua yaitu: (1) Kiai/ulama yang difigurkan

sebagai guru karena perannya sebagai pengasuh pesantren, sehingga diposisikan

sebagai guru oleh para santrinya baik yang masih berada di pesantren, maupun

yang sudah kembali berada di tengah-tengah masyarakat. Kiai pengasuh

pesantren tersebut dalam penelitian ini disebut kiai pesantren (KP). Ada pula kiai

yang tidak memiliki pesantren, tetapi karena ilmu dan ketinggian akhlaknya

sehingga menjadikannya sebagai figur anutan di masyarakat setempat berbasis

NU. Kiai ini disebut kiai langghârân (KL); dan (2) Ummat sebagai warga

masyarakat yang telah memposisikan diri sebagai santri tentunya dalam tradisi

dan syari’at yang telah menjadi kultur dalam NU―harus ta’dzim dan patuh

kepada guru yang dalam hal ini disebut dengan ulama/kiai.

Hal tersebut, seiring dengan pendapat Muzadi (2003) Bahwa jam’iyah

NU dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya

92 NU hanya beranggotakan ulama, tetapi maksudnya para ulama memiliki

kedudukan istimewa di dalam NU, karena para ulama adalah pewaris dan mata

rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sebagai organisasi

keagamaan, kedudukan pewaris mutlak penting adanya. Tentu kualitas

keulamaan dalam NU harus lebih terseleksi dari pada yang lain (ummat). Ada

kriteria dan persyaratan tertentu yang ketat untuk menjadi ulama NU. Ulama NU

harus memiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku, dan akhlaqul karimah,

sehingga patut menjadi panutan ummat dan tidak manutan kepada pihak lain.

Pendapat ini menegaskan bahwa di dalam NU memang ada paradigma dua

kelompok yang berbeda yakni ulama/kiai yang patut dijadikan panutan ummat

dan ummat sebagai orang yang manut (patuh) kepada ulama.

Didasarkan pada asal-muasal berdirinya sebagaimana dipaparkan di atas,

warga NU memiliki aspek kultur dan pandangannya yang sama terhadap syari‟at

Islam yang berwawasan Ahlussunnah Waljama’ah. NU yang dilahirkan dari

masyarakat pesantren, merupakan organisasi yang mengakomodasi tradisi-trsidisi

yang sudah lama hidup di masyarakat dengan tetap memperhatikan dan mengacu

kepada nilai-nilai syari’at Islam.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan

pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa

banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Sehingga, kalau

selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat ini di

93 terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas,

sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Dalam dokumen Disertasi (Halaman 114-123)

Dokumen terkait