82 Kini stilistika diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang
3.1 Sejarah Berdirinya NU dan Keanggotaannya
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami
bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut
dikenal dengan kebangkitan nasional. Semangat kebangkitan memang terus
menyebar ke mana-mana, setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dari bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisai pendidikan dan pembebasan.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional
dan adhoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih
mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman.
Setelah berkoordinasi dengan para kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H.
Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. "http://id.wikipedia.org/wiki/ Nahdlatul
Ulama" (diakses 28 Februari 2007).
Di sisi lain, pendorong utama para kiai dan ulama pesantren mendirikan
85 pentingnya kerja sama yang lebih teratur diantara mereka dalam
memperjuangkan izzul Islam wal muslimin dalam bingkai ahlussunnah
waljamaah. Selama ini, kerja sama di antara mereka hanya berlangsung secara kultural, antara lain melalui pertemuan walimah, haul, imtihan, dan lain
sebagainya. Ada kalanya juga dikuatkan dengan besanan antarkiai yang membuat
mereka semakin kuat hubungannya (Muzadi, 2003)
Dorongan kerjasama untuk mendirikan organisasi juga dipicu dengan
peristiwa konferesnsi khilafah yang akan diadakan oleh pemerintah Saudi Arabia.
Sebab, setelah berakhirnya perang dunia kedua dan kesultanan turki yang diakui
sebagai khilafah islamiyah jatuh karena revolusi yang dipimpin oleh Kamal
Attarturk. Maka rupanya pemerintah Saudi Arabia berambisi untuk memangku
Khilafah Turki itu. Maka dirancanglah Konferensi Internasional Khilafah Islamiyah di Makkah dan diundanglah perwakilan-perwakilan negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Di Indonesia sudah terbentuk sebuah komite (panitia)
untuk mengirim utusan ke sana. Sudah pula dirancang anggota-anggota delegasi
yang antara lain Al-Maghfirah KH. Abd. Wahab Hasbullah yang mencerminkan
perwakilan ulama, serta beberapa tokoh lain yang mewakili organisasi-organisasi
besar lainnya.
Dengan alasan yang kurang maton, rancangan susunan anggota delegasi
berubah. KH. Abd. Wahab Hasbullah tidak jadi masuk menjadi anggota delegasi,
karena tidak mewakili organisasi apapun. Hal ini menimbulkan kekecewaan yang
sangat meandalam di kalangan ulama. Perubahan yang tidak beralasan ini
86 Indonesia yang demikian besar pengaruhnya dan demikian kuat posisinya di
kalangan ummat Islam. Padahal, para ulama Ahlussunnah wal jama’ah Indonesia
itu mempunyai kepentingan yang lebih besar dari pada urusan khilafah, yaitu
menyampaikan uneg-uneg berhubungan dengan beaberapa tindakan pemerintah
Saudi Arabia yang melarang dan membid’ahkan beberapa amalan keagamaan,
seperti mauludan, tahlilan, diba’an dan lain sebagainya. Lebih dari itu,
pemerintah Saudi Arabia bersikap anti madzhab dan mulai melakukan
penggusuran petilasan-petilasan sejarah penting Islam, seperti makam-makam,
bahkan makam Rasulullah Saw. pun termasuk target penggusuran. Semua
dianggap bid’ah yang harus dilarang. Untuk itu, ulama Ahlussunnah wal jama’ah
Indonesia yang dipelopori ulama (kiai) pesantren merasa perlu bertemu dengan
pemerintah Saudi Arabia.
Setelah kemungkinan untuk bergabung dengan delegasi ummat Islam
lainnya tertutup para ulama berusaha sendiri dengan kekuatan sendiri untuk
mengirim delegasi ulama ahlussunnah wal jamaah Indonesia mengahadap
pemerintah Saudi Arabia untuk keperluan hal tersebut. Kemudian dibentuklah
Komite Hijaz, yakni sebuah panitia untuk memobilisasi kekuatan dan dukungan
ummat bagi terlaksananya kerja besar ini. Delegasinya hanya KH. Abd. Wahab
Hasbullah sendiri dengan didampingi seorang penasehat, yaitu Syekh Ghonaim
seorang warga negara Mesir (untuk memperkuat wibawa delegasi). Sekretarisnya
diambil dari seorang mahasantri Indonesia yang ada di Saudi Arabia, dan KH.
Dachlan Nganjuk. Sebelum berangkat terbersik pikiran untuk mempermanenkan
87 Nama Nahdlatu Ulama yang berarti kebangkitan ulama sengaja dipilih
dengan alasan “bangkit” diharapkan lebih dinamis dari pada sekedar “kumpul” (perkumpulan) saja. Sedang “ulama” dimaksudkan sebagai inti kekuatan
jam’iyah ini. Ulama adalah salah satu eksponen atau tokoh masyarakat yang berasal dari para tokoh agama yang notabene berasal dari pesantren.
Keistimewaannya karena hubungan antara ulama dengan masyarakat terikat
dengan tali kerohanian, bukan kebendaan atau kepentingan semacam kebendaan
lainnya. Oleh karena itu, ulama memiliki kedudukan khusus di hati masyarakat
(Muzadi, 2003).
Mungkin ada pihak yang cemburu dengan kududukan ulama yang lebih
tinggi sampai ada yang meramalkan bahwa kedudukan ulama, nanti secara
khusus bisa diganti oleh tokoh-tokoh lain, seperti cendekiawan, tokoh kampus,
dan lain sebagainya. Selama hubungan antara ulama dan masyarakat masih eksis
sebagai tali kerohanian, kedudukan khusus itu akan terpelihara. Kecuali, kalau
hubungan itu berubah menjadi hubungan kebendaan, kedudukan/jabatan, dan
sebagainya, maka kedudukan para ulama akan merosot di mata ummat. Bahkan
menurut Allahummmaghfirlahu KH. Achmad Siddiq pernah mengatakan: “Kalau
para ulama tidak mampu mengingatkan kualitas diri, maka berangsur-angsur
ulama akan ditinggalkan oleh ummat”. (Muzadi, 2003)
Setelah terbentuknya organisasi NU, untuk menegaskan prinsip dasar
orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal
88 dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak
dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik (Anam, 1985)
Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan
mencapai lebih dari 40 juta orang―bahkan kini jauh lebih banyak dari perkiraan
itu. Mereka memiliki beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah
rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesivitas yang
tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama―selain itu,
mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya
mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan
pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU "http://id.wikipedia.org/wiki/
Nahdlatul_Ulama" (diakses 28 Februari 2007).
Didasarkan pada jenis keanggotaan pengikutnya, NU mempunyai dua
wajah pertama, wajah jam’iyah (NU jam’iyah) yaitu sebagai oragnisasi formal
struktural yang mengikuti mekanisme organisasi moderen, seperti adanya
pengurus, ada pengesahan pengurus, ada pemilihan pengurus, ada anggota, ada
iuran, ada rapat-rapat resmi, ada keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya,
sebgaimana aturan main dalam organisasi pada umumnya; kedua, Wajah Jamaah
(NU Jamaah) yaitu, kelompok idiologis kultural yang mempunyai pandangan,
wawasan keagamaan, dan budaya ala NU―bahkan ada diantara mereka tidak
mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok
kegiatan, seperti jamaah yasinan, tahlilan, diba’an, wali murid madrasah NU,
jamaah masjid dan mushalla NU. Anehnya mereka tidak mudah diatur sebagai
89 Menilik keanggotaan NU menurut KH. Hasyim Muzadi di atas, dan hasil
observasi paartisipasi di lapangan, penulis mengkategorikan warga NU yang
didasarkan pada keterlibatannya dalam NU, tingkat intelektualitas/ keterpelajaran
dan kepahamannya terhadap oraganisasi Nahdlatul Ulama. Berdasarkan hal
tersebut warga NU dibagi menjadi 5 lima, yaitu:
(1) Para ulama/kiai, baik yang berlatar belakang lulusan pesantren salaf
(tradisional) maupun lulusan pesantren khalaf (moderen). Para ulama/kiai ini
pada umumnya terlibat secara langsung baik sebagai pengurus maupun
sebagai anggota NU;
(2) Para alumni pesantren, yang notabene dikelola secara syar’iyah dan kultural
NU. Walaupun mereka belum menyandang predikat sebagai seorang
ulama/kiai, tetapi mereka terlibat langsung dalam kepengurusan dan
keanggotaan NU;
(3) Kalangan intelektual dan terpelajar, yang diantara mereka berlatar belakang
pernah belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi formal―bahkan
selama proses pendidikan sebagian mereka pernah terlibat baik dalam
kepengurusan maupun dalam keanggotaan organisasi yang berhaluan NU,
seperti Pemuda NU, Pelajar NU, dan PMII. Mereka itu pada umumnya
dilahirkan dari keluarga NU. Namun demikian, ada juga pelajar dan
mahasiswa yang lahir dari keluarga NU yang mereka justru berorganisasi di
luar organisasi yang independen, seperti HMI, GMNI, Mahasiswa PKS, dan
90 sosialkemasyarakatannya tetap NU. Mereka itu juga terlibat langsung dalam
kepengurusan maupun keanggotaan NU;
(4) Para alumni pesantren dan kalangan intelektual/terpelajar, yang tergabung
dalam kelompok pengajian NU (seperti yasinan, tahlilan, dibaan dan
sebagainya), tetapi tidak terlibat dalam kepengurusan mapun keanggotaan
NU.
(5) Warga NU yang sejak turun temurun melakukan amalan yang dicontohkan
oleh kiai yang memiliki idiologis kultural dan syar’i ala NU. Mereka itu pada
umumnya tidak tahu menahu apalagi memahami eksistensi sebagai warga
NU―mereka ketika ditanyakan apakah sebagai warga NU? jawabannya
adalah noro’ lampana tor dâbuna kiae „mengikuti jejak dan dawuhnya kiai‟.
Bahkan mereka itu sangat patuh dan fanatik mengikuti apa yang menjadi
tuntunan para ulama/kiai yang notabene cara beribadah dan kulturnya
berhaluan NU tadi. Karena itu, walaupun mereka secara oraganisatoris tidak
terlibat secara langsung dalam keanggotaan NU, akan tetapi meraka sangat
patuh terhadap kiai dan amalan-amalan yang dinjurkannya seperti, pola
ibadahnya yang memakai puji-pujian sebelum sholat, dzikir dengan suara
keras yang dilakukan secara bersama-sama setelah sholat, suka berziarah ke
makam para wali, dan sebagainya. Mereka juga terlibat dalam jamaah
yasinan, diba’an, tahlilan, dan jamaah masjid/mushlla NU.
Dengan demikian dapat dipilah-pilah bahwa kelompok warga NU yang
berada pada kategori (1) s.d. (3) merupakan potensi NU yang menurut Muzadi
91 menjadi organisasi kader. Sedangkan yang berada pada kelompok (4) dan (5)
dapat dikategorikan sebagai Jama’ah NU yang merupakan pendukung massal
bagi gagasan, sikap-sikap, langkah-langkah amaliah NU. Walaupun mereka tidak
teardaftar sebagai warga Jam’iyah NU―mereka memiliki fanatisme yang luar
biasa kepada NU, khususnya yang berada pada kelompok (5). Warga NU (5) ini
memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dan jumlahnya paling besar.
Mereka memposisikan sebagai ummat NU yang memiliki rasa ta’dzim dan sangat
patuh kepada kiai.
Berdasarkan peran, ketokohan, dan pengaruhnya dalam NU, warga NU
pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua yaitu: (1) Kiai/ulama yang difigurkan
sebagai guru karena perannya sebagai pengasuh pesantren, sehingga diposisikan
sebagai guru oleh para santrinya baik yang masih berada di pesantren, maupun
yang sudah kembali berada di tengah-tengah masyarakat. Kiai pengasuh
pesantren tersebut dalam penelitian ini disebut kiai pesantren (KP). Ada pula kiai
yang tidak memiliki pesantren, tetapi karena ilmu dan ketinggian akhlaknya
sehingga menjadikannya sebagai figur anutan di masyarakat setempat berbasis
NU. Kiai ini disebut kiai langghârân (KL); dan (2) Ummat sebagai warga
masyarakat yang telah memposisikan diri sebagai santri tentunya dalam tradisi
dan syari’at yang telah menjadi kultur dalam NU―harus ta’dzim dan patuh
kepada guru yang dalam hal ini disebut dengan ulama/kiai.
Hal tersebut, seiring dengan pendapat Muzadi (2003) Bahwa jam’iyah
NU dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya
92 NU hanya beranggotakan ulama, tetapi maksudnya para ulama memiliki
kedudukan istimewa di dalam NU, karena para ulama adalah pewaris dan mata
rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Sebagai organisasi
keagamaan, kedudukan pewaris mutlak penting adanya. Tentu kualitas
keulamaan dalam NU harus lebih terseleksi dari pada yang lain (ummat). Ada
kriteria dan persyaratan tertentu yang ketat untuk menjadi ulama NU. Ulama NU
harus memiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku, dan akhlaqul karimah,
sehingga patut menjadi panutan ummat dan tidak manutan kepada pihak lain.
Pendapat ini menegaskan bahwa di dalam NU memang ada paradigma dua
kelompok yang berbeda yakni ulama/kiai yang patut dijadikan panutan ummat
dan ummat sebagai orang yang manut (patuh) kepada ulama.
Didasarkan pada asal-muasal berdirinya sebagaimana dipaparkan di atas,
warga NU memiliki aspek kultur dan pandangannya yang sama terhadap syari‟at
Islam yang berwawasan Ahlussunnah Waljama’ah. NU yang dilahirkan dari
masyarakat pesantren, merupakan organisasi yang mengakomodasi tradisi-trsidisi
yang sudah lama hidup di masyarakat dengan tetap memperhatikan dan mengacu
kepada nilai-nilai syari’at Islam.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan
pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa
banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Sehingga, kalau
selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat ini di
93 terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas,
sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.