• Tidak ada hasil yang ditemukan

Situsi Kebahasaan di Jember

Dalam dokumen Disertasi (Halaman 139-150)

SITUASI KEPENDUDUKAN DAN KEBAHASAAN DI JEMBER

4.2 Situsi Kebahasaan di Jember

BM adalah bahasa daerah yang digunakan oleh EM sebagai alat

komunikasi sehari-hari yang merupakan salah satu produk budaya daerah yang

memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia. BM memiliki jumlah penutur

yang cukup besar di Indonesia. Hal ini dapat dilihat eksistensi masyarakat EM di

berbagai daerah di Indonesia yang tetap menggunakan BM sebagai alat

komunikasi intraetnik. Kesusastraan Madura baik lisan maupun tulis, dengan

sarana BM masih hidup dan terpelihara dalam masyarakat EM. Oleh karena

jumlah penuturnya yang begitu banyak dan didukung oleh eksistensi tradisi

111 kedudukan bahasa daerah tahun 1976 di Yogyakarta mengkalisifikasikan BM

sebagai bahasa daerah yang besar (Sofyan, & Wibisono, 2004).

Sebagai bahasa daerah, BM mempunyai tiga fungsi seperti yang

disebutkan dalam Halim (ed.) (1976), yakni sebagai: (1) lambang kebanggaan

daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga

dan masyarakat daerah. UUD 1945, Bab XV Pasal 36 menyatakan bahwa bahasa

daerah adalah salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara.

Karena itu, BM yang dinyatakan berkedudukan sebagai bahasa daerah didasarkan

pada kenyataan tersebut.

Kini BM masih dipakai sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat EM,

baik dipulau Madura maupun di tempat-tempat lain di luar pulau Madura.

Wilayah penggunaan BM meliputi pulau-pulau di sekitar pulau Madura, yakni

pulau Sapudi, Raas, Kambing, Kangean, dan pulau lain di sekitarnya. Pulau-pulau

tersebut mayoritas dihuni oleh masyarakat EM.

Di Luar pulau-pulau tersebut, EM juga masih menggunakan BM sebagai

sarana komunikasi, utamanya dalam komunikasi intraetnik Madura. Di Pulau

Jawa, EM perantau banyak dijumpai tinggal dan menetap di wilayah Kabupaten

Gresik, Surabaya, Pasuruan (di Tosari), Probolinggo, (di Lumbang, sapikerep),

Bondowoso, Jember, Lumajang, dan Banyuwangi. Di wilayah pantai Jawa Timur

mulai dari gresik sampai Banyuwangi sebagian besar penduduknya adalah

Masyarakat EM.

BM yang digunakan oleh pemiliknya, yakni masyarakat EM, merupakan

112 dengan kedudukan bahasa-bahasa daerah yang lain, seperti bahasa Sunda, bahasa

Bali, bahasa Batak, dan sebagainya. BM adalah bahasa yang digunakan sebagai

sarana komunikasi interetnik Madura dalam kehidupan sehari-hari.

Di wilayah Jember utara BM digunakan dalam ranah keluarga, obrolan

dalam kegiatan sehari-hari, dan acara-acara resmi keagamaan, seperti selamatan,

tahlilan, diba’an, arisan-arisan, serah-serahan dalam pertunagan, pernikahan, dan acara-acara resmi lainnya yang melibatkan sebagaian besar EM.

Rochiyati (2008) mengemukakan bahwa salah satu indikator penting

dalam pemeliharaan BM adalah penggunaan BM oleh keluarga muda, karena

mereka merupakan generasi penerus pengganti para orang tua yang merupakan

salah satu penentu masa depan eksistensi kebahasaan BM. Penggunaan BM pada

keluarga muda EM di Kabupaten Jember mencakup dua wilayah, yaitu daerah

perkotaan dan daerah pedesaan. Status sosial penutur dipilah menjadi status sosial

tinggi, menengah, dan rendah. Yang diklasifikasikan pada status sosial tinggi

adalah pegawai, status sosial menengah adalah pedagang, dan status sosial rendah

adalah petani dan buruh. Sementara itu, penggunaan BM diklasifikasi: (1) tingkat

penguasaan, (2) penggunaan BM dalam ranah keluarga, dan (3) sikap terhadap

BM.

Tingkat penguasaan BM meliputi lima kategori, yakni sangat menguasai

(SM), menguasai (M) menguasai sedikit-sedikit (MSS) tidak menguasai (TM),

dan tidak menguasai sama sekali (TMS). Adapun deskripsi mencakup baik

keluarga muda EM yang berada di desa maupun yang berada di kota. Diskripsi

113 petani/buruh. Hasil identifiksi dan penghitungan tingkat penguasaan BM

dikemukakan pada tabel berikut:

Tabel 4.2: Tingkat Penguasaan Bahasa Madura Keluarga Muda No . Status Sosial Tingkat Penguasaan SM M MSS TM TMS Jumlah K D K D K D K D K D K D 1. Pegawai 14 26 26 48 32 26 28 0 0 0 100 100 2. Pedagang 20 38 54 44 26 18 0 0 0 0 100 100 3. Petani/Buruh 42 60 46 30 12 10 0 0 0 0 100 100 Jumlah Rata-rata 25,3 41,3 42 40,7 23,3 18 9,4 0 0 0 100 100 Jumlah Rata-rata Di Kab. Jember 33,3 41,35 20,65 4,7 0 100 Sumber: Rochiyati, 2008 dan sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa tingkat penguasaan BM keluarga muda EM

baik di desa, maupun di kota dengan kriteria sangat menguasai (SM) didominasi

oleh golongan para petani/buruh, yaitu di wilayah perkotaan mencapai 42 % dan

di wilayah pedesaan mencapai 60 %. Pada kriteria menguasai (M), di wilayah

perkotaan didominasi oleh golongan pedagang yakni mencapai 54 %, sedangkan

di desa didominasi oleh golongan pegawai mencapai 48 %. Kategori menguasai

sedikit-sedikit (MSS), baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan

sama-sama berada pada golongan pegawai, yakni pegawai di wilayah perkotaan

mencapai 32 % dan pegawai di wilayah desa mencapai 26 %. Kriteria menguasai

sedikit-sedikit (MSS) hanya berada pada kuantitas yang sangat kecil berada pada

golongan petani, yakni 12 % di wilayah perkotaan, dan 26 % di wilayah pedesaan.

Adapun kriteria tidak menguasai (TM), hanya terjadi pada keluarga muda EM di

114 mencapai jumlah 28 %. Sedangkan untuk kategori tidak menguasai sama sekali

(TMS) tidak terdapat sama sekali.

Berdasrkan data tersebut, dapat disarikan bahwa tingkat penguasaan

keluarga muda EM di Kabupaten Jember, berada pada tingkat menguasai

(41,35%) dan sangat menguasai (33,3 %) mendominasi. Tingkat penguasaan

tersebut didasarkan pada penguasaan penggunaan tingkat tutur dalam berbahasa

yang meliputi, bhâsa èngghi-bhunten (È-B) (krama inggil dalam bahasa Jawa),

bhâsa engghi-enten (E-E) (tingkat tutur krama mdya dalam bahasa Jawa), dan bhâsa enjâ’-iyâh (E-I) (ngoko dalam bahasa Jawa). Dari ketiga tingkat tutur tersebut adalah bhâsa È-B yang paling dominan digunakan oleh masyarakat EM

keluarga muda di kabupaten Jember.

Data tersebut juga menunjukkan bahwa penguasaan BM di kalangan

keluarga muda sebagai penentu masa depan BM di Jember dapat dikategorikan

sangat baik. Hal ini berarti pula bahwa penggunaan BM di Jember masih amat

dominan, karena penguasaan bahasa tentu saja sangat dipengaruhi oleh seberapa

jauh bahasa tersebut digunakan sebagai alat komunkasi dalam kehidupan

sehari-hari.

Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga merupakan tala ukur pertama

keberhasilan pemertahanan eksistensi suatu bahasa daerah. Penggunaan BM

dalam ranah keluarga adalah penggunaan BM dalam kehidupan sehari-hari

antaranggota keluarga seperti orang tua dengan anak, anak dengan anak, ayah

dengan ibu, besan dengan besan, mertua dengan anak menantu, dan suami dengan

115 Kini pada keluarga muda EM di Jember, selain menggunakan BM

komunikasi pada ranah keluarga juga menggunakan bahasa campuran (BC, yakni

bahasa campuran antara BM, BJ, dan BI), bahkan dalam keluarga NU sering

terjadi interferensi BA. Jumlah pemakaian masing-masing bahasa tersebut

tergambar pada tabel berikut:

Tabel 4.3: Penggunaan BM dalam Ranah Keluarga No

.

Status Sosial Penggunaan Bahasa

BM BC BI Jumlah K D K D K D K D 1. Pegawai 38 63 26 3 36 6 100 100 2. Pedagang 65 77 29 12 6 1 100 100 3. Petani/Buruh 84 89 16 11 0 0 100 100 Jumlah Rata-rata 62,3 76,3 23,7 21,5 14 2,4 100 100 Jumlah Rata-rata di Kab. Jember 69,3 22,5 8,2 100

Sumber: Rochiyati, 2008 dan sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis

Tabel 3 ini memberikan gambaran secara umum bahwa penggunaan BM

dalam ranah keluarga, keluarga muda EM di kabupaten Jember sebagaian besar

di wilayah pedesaan yakni mencapai (76,3 %) dan didominasi oleh kelas sosial

petani/buruh mencapai (89 %). Begitu juga, penggunaan BM di wilayah perkotaan

didominasi oleh kelompok sosial petani/buruh dengan capaian (84 %), walaupun

masih lebih besar petani/buruh di daerah pedesaan yakni mencapai (89 %).

Sementara untuk penggunaan BC dalam ranah keluarga yang paling besar terjadi

pada golongan pegawai di wilayah pedesaan yakni mencapai (31 %), sedangkan

penggunaan BC jumlah paling kecil jatuh pada golongan petani wilayah pedesaan

yakni (11 %). Untuk penggunaan BI dalam ranah keluarga, persentase yang paling

besar adalah pada golongan pegawai di wilayah perkotaan mencapai (36 %) dan

116 hanya (1 %). Sementara itu, golongan petani/buruh di wilayah pedesaan tidak

pernah menggunakan BI dalam ranah keluarga.

Berdasarkan data hasil penghitungan pada tabel 3 di atas, dapat disarikan

bahwa dalam komunikasi sehari-hari pada ranah keluarga di Kabupaten Jember,

sebagaian besar bahasa yang digunakan adalah BM yakni mencapai (69,3 %),

dikuti BC mencapai (22,6 %), dan kemudian BI mencapai (8,2 %). Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa di dalam ranah keluarga, bahasa yang paling

dominan digunakan oleh keluarga muda EM di kabupaten Jember adalah BM,

kemudian disusul BC, dan yang peling kecil adalah penggunaan BI. Ini berarti

pula bahwa penggunaan BM di Kabupaten Jember sebagai cerminan khasanah

budaya bangsa masih sangat mungkin untuk dijamin keberadaannya.

Untuk memahami dan menggunakan suatu bahasa daerah tentu diawali

sikap atau persepsi penutur terhadap bahasa tersebut. BM yang dikategorikan

sebagai bahasa daerah besar tentu karena memiliki penutur yang juga besar,

walaupun sikap dan persepsi penutur terhadap BM tentunya berbeda-beda. Sikap

keluarga muda EM di Jember terhadap penggunaan BM diklasifikasikan ke dalam

tiga tingkatan sikap, yakni sangat setuju (SS), setuju (S), dan tidak setuju (TS).

Kategori-kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4: Sikap Penutur di Jember terhadap BM No. Status Sosial

Sikap Terhadap BM SS S TS Jumlah K D K D K D K D 1. Pegawai 16 30 40 52 44 18 100 100 2. Pedagang 20 30 58 62 22 8 100 100 3. Petani/Buruh 30 22 60 70 10 8 100 100 Jumlah Rata-rata 22 27,3 52,7 61,4 25,3 11,3 100 100

Jumlah Rata-rata Di Jember 24,56 57,05 18,3 100

117 Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sikap keluarga muda EM di Jember

sangat setuju (SS) rata-rata mencapai 22 % di wilayah perkotaan, dan 27,3 % di

wilayah pedesaan; untuk kategori setuju (S) rata-rata mencapai 52,7 % di wilayah

perkotaan, dan 61,4 % di wilayah pedesaan. Adapun kategori tidak setuju (TS)

rata-rata mencapai 25,3 % di wilayah perkotaan, dan 11,3 % untuk daerah

pedesaan. Hal ini menunjukkankan bahwa secara umum keluarga muda

menyatakan sikap setuju dan yang paling dominan di daerah pedesaan yakni

mencapai 61,4 % dan sikap sangat setuju (SS) paling tinggi di desa mencapai 27,3

%. Sedangkan sikap tidak setuju (TS) terjadi di daerah perkotaan mencapai 25,3

%.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum sikap keluarga

muda EM di Kabupaten Jember yang paling dominan adalah sikap setuju (S)

yakni mencapai 57,05 %, kemudian disusul sikap sangat setuju (SS) mencapai

24,56 %, dan yang paling kecil persentasenya adalah tidak setuju (TS) mencapai

18,3 %. Ini berarti pula bahwa sikap keluarga muda EM di wilayah Kabupaten

Jember terhadapa penggunaan BM secara umum adalah baik (positif).

Sikap setuju dan sangat setuju tersebut yang merupakan representasi sikap

positif EM terhadap BM, diperkuat dengan argumentasi bahwa BM masih

diperlukan untuk digunakan sebagai sarana komunkasi dalam kehidupan

sehari-hari khususnya dalam ranah keluarga, karena dengan penggunaan BM,

prinsip-prinsip kesantunan berbahasa sebagai budaya bangsa akan terjaga dan sekaligus

118 4.3 Penggunaan BM oleh Warga NU di Jember

Warga NU di wilayah Kabupaten Jember yang notabene Masyarakat EM,

sangat konsen menggunakan BM. BM digunakan oleh warga NU dalam

komunikasi sehari-hari baik dalam situasi formal maupun informal. Acara-acara

formal yang biasa dilakukan warga NU adalah acara peringatan hari-hari besar

Islam, akad nikah, serah-serahan dalam pertunangan dan upacara perkawinan,

walimatul ursy, selamatan-selamatan memperingati kematian, pengajian-pengajian rutin (yasinan, tahlilan, diba’an, manakiban, khatmil Quran) dan

rapat-rapat pertemuan organisasi. Dalam rapat organisasi yang melibatkan warga

NU intelektual biasanya menggunakan BI campuran BM dan BA. Adapun situasi

informal ialah konteks tuturan dalam rumah tangga, di tempat-tempat ibadah,

obrolan sebelum dan sesudah rapat, dan even-even lain di luar konteks tuturan

formal.

BM digunakan warga NU sebagai upaya untuk mempertahankan rasa dan

sikap hormat penutur kepada mitra tutur. Dalam masyarakat NU yang sangat

menjunjung tinggi nilai kultur pesantren yang mempersatukan nilai-nilai kultural

masyarakat setempat (etnik Madura) dan syari’at Isalam telah berhasil

membentuk sikap saling menghormati antarsesama, hormat kepada yang lebih tua

dan ta’dzim kepada orang yang memiliki status sosial dan peran yang lebih tinggi.

Prinsip-prinsip kesantunan tersebut tercermin dalam penggunaan kode tutur dan

alih giliran tutur.

BI digunakan warga NU di wilayah Kabupaten Jember untuk

119 untuk menunjukkan bahwa rapat tersebut melibatkan partisipan tutur orang-orang

terpelajar. Sedangkan kosa kata BA sering juga secara spontan digunakan karena

memang kosa kata BA tersebut telah menjadi kebiasaan digunakan di kalangan

santri dan juga sebagai sebagai prestis bagi penggunanya, seperti: halal bi halal,

mu’tamar, milad, ta’dzim, shoheh, afdlal, muhasabah, ta’dzim, bilhal, billisan, imtihan, sema’an, tahlilan dsb.

Dalam komunitas warga NU di daerah Jember, sebagai penutur BM

memang sedikit berbeda dalam memperlakuakan bahasa sebagai sarana

komunikasi. Semakin tinggi status sosial suatu keluarga, akan semakin respek

terhadap penggunaan BM. Sebab tingginya status sosial dalam komunitas NU

semakin menjustifikasi tingginya akhlak dan budi pekerti yang menjadi harapan

keluarga. Akhlak dan budi pekerti yang baik tentu paling mudah dilihat dari

perilaku berbahasa seseorang. Karena itu, bahasa daerah digunakan sebagai

upaya untuk mempertahankan prinsip-prinsip kesantunan dalam berbahasa yakni

dengan abâsah (jawa: boso) atau dengan kata lain menggunakan tingkat tutur

sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam rumah tangga atau masyarakat.

Bahkan dalam keluarga NU yang notabene santri―abâsah sudah diberlakukan

sejak anak-anak mulai bisa menggunakan bahasa sebagai alat

komunikasi―khususnya pada keluarga kiai yang memiliki santri. Merupakan

keharusan bagi para santri untuk menggunakan ondâghân bhasa krama atau

bhâsa alos (BAl) kepada putra putri kiai yang dalam istilah BM mendapat panggilan lora/agus dan nyai/ning. Penggunan bhâsah alos itu dalam pandangan

120 dalam kultur masyarakat NU yang dianggap guru tidak hanya sebatas kiai/nyai

yang secara langsung mengajarkan ilmu, tetapi keturunannya (lora/nyai) bahkan

sampai kepada cucu-cucu setelahnya juga dianggap sebagai guru. Begitu juga

sebaliknya para orang tua yang dulu pernah menimba ilmu di salah satu pesantren,

juga akan memberitahu kepada putra-putri dan bahkan cucunya, bahwa kiai A

adalah guru di pesantren yang pernah memberikan ilmunya kepada orang tua

dulu. Karena itu, kiai tersebut dita’dzimkan oleh anak-anak dan cucunya.

Sebagaimana seorang tokoh NU memberi contoh:

Kiai Umar Pengasuh Pondok Pesantren Sumberwringin pertama, dahulu berguru kepada kiai Ali Wafa di Pondok Pesantren Tempurejo. Suatu ketika Ra Abduh (RA) cucu Kiai Ali Wafa nyabis ke Kiai Khatib Umar diantar salah seorang ulama Jember yang juga terkenal. Setelah diperkenalkan bahwa yang datang adalah cucu Kiai Ali Wafa Tempurejo, maka Kiai Khatib yang terbilang Kiai sepuh yang sangat disegani di Jember, nyabis kepada RA yang masih relatif muda seraya mempersilahkannya untuk duduk di tempat yang paling terhormat, dan memerintah kepada semua lora yang terdiri dari putra dan cucu-cucunya untuk nyabis kepada RA, bahkan santri-santrinya juga diperintahkan untuk nyabis juga.

Ini menunjukkan bahwa guru muslim (kiai) dita’dzimkan oleh para

santrinya, tanpa melihat perbedaan umur, peran, dan jabatan saat ini. Tetapi yang

jadi patokan adalah peran dan jasa para pendahulunya yang sudah dianggap

sebagai guru. Karena itu, keturunan kiai yang telah berjasa besar dengan morok

ilmu agama dan ilmu tèngka kepada santrinya, kelak anak cucunya akan tetap

diposisikan menjadi orang yang amat terhormat (dita’dzimkan). Ini adalah salah

satu bentuk keunikan dan kekhasan kultur dalam oraganisasi yang bernama NU

yang sulit ditemukan pada organisasi-organisasi Islam lainnya.

121 BAB V

Dalam dokumen Disertasi (Halaman 139-150)

Dokumen terkait