SITUASI KEPENDUDUKAN DAN KEBAHASAAN DI JEMBER
4.2 Situsi Kebahasaan di Jember
BM adalah bahasa daerah yang digunakan oleh EM sebagai alat
komunikasi sehari-hari yang merupakan salah satu produk budaya daerah yang
memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia. BM memiliki jumlah penutur
yang cukup besar di Indonesia. Hal ini dapat dilihat eksistensi masyarakat EM di
berbagai daerah di Indonesia yang tetap menggunakan BM sebagai alat
komunikasi intraetnik. Kesusastraan Madura baik lisan maupun tulis, dengan
sarana BM masih hidup dan terpelihara dalam masyarakat EM. Oleh karena
jumlah penuturnya yang begitu banyak dan didukung oleh eksistensi tradisi
111 kedudukan bahasa daerah tahun 1976 di Yogyakarta mengkalisifikasikan BM
sebagai bahasa daerah yang besar (Sofyan, & Wibisono, 2004).
Sebagai bahasa daerah, BM mempunyai tiga fungsi seperti yang
disebutkan dalam Halim (ed.) (1976), yakni sebagai: (1) lambang kebanggaan
daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga
dan masyarakat daerah. UUD 1945, Bab XV Pasal 36 menyatakan bahwa bahasa
daerah adalah salah satu unsur kebudayaan nasional dan dilindungi oleh negara.
Karena itu, BM yang dinyatakan berkedudukan sebagai bahasa daerah didasarkan
pada kenyataan tersebut.
Kini BM masih dipakai sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat EM,
baik dipulau Madura maupun di tempat-tempat lain di luar pulau Madura.
Wilayah penggunaan BM meliputi pulau-pulau di sekitar pulau Madura, yakni
pulau Sapudi, Raas, Kambing, Kangean, dan pulau lain di sekitarnya. Pulau-pulau
tersebut mayoritas dihuni oleh masyarakat EM.
Di Luar pulau-pulau tersebut, EM juga masih menggunakan BM sebagai
sarana komunikasi, utamanya dalam komunikasi intraetnik Madura. Di Pulau
Jawa, EM perantau banyak dijumpai tinggal dan menetap di wilayah Kabupaten
Gresik, Surabaya, Pasuruan (di Tosari), Probolinggo, (di Lumbang, sapikerep),
Bondowoso, Jember, Lumajang, dan Banyuwangi. Di wilayah pantai Jawa Timur
mulai dari gresik sampai Banyuwangi sebagian besar penduduknya adalah
Masyarakat EM.
BM yang digunakan oleh pemiliknya, yakni masyarakat EM, merupakan
112 dengan kedudukan bahasa-bahasa daerah yang lain, seperti bahasa Sunda, bahasa
Bali, bahasa Batak, dan sebagainya. BM adalah bahasa yang digunakan sebagai
sarana komunikasi interetnik Madura dalam kehidupan sehari-hari.
Di wilayah Jember utara BM digunakan dalam ranah keluarga, obrolan
dalam kegiatan sehari-hari, dan acara-acara resmi keagamaan, seperti selamatan,
tahlilan, diba’an, arisan-arisan, serah-serahan dalam pertunagan, pernikahan, dan acara-acara resmi lainnya yang melibatkan sebagaian besar EM.
Rochiyati (2008) mengemukakan bahwa salah satu indikator penting
dalam pemeliharaan BM adalah penggunaan BM oleh keluarga muda, karena
mereka merupakan generasi penerus pengganti para orang tua yang merupakan
salah satu penentu masa depan eksistensi kebahasaan BM. Penggunaan BM pada
keluarga muda EM di Kabupaten Jember mencakup dua wilayah, yaitu daerah
perkotaan dan daerah pedesaan. Status sosial penutur dipilah menjadi status sosial
tinggi, menengah, dan rendah. Yang diklasifikasikan pada status sosial tinggi
adalah pegawai, status sosial menengah adalah pedagang, dan status sosial rendah
adalah petani dan buruh. Sementara itu, penggunaan BM diklasifikasi: (1) tingkat
penguasaan, (2) penggunaan BM dalam ranah keluarga, dan (3) sikap terhadap
BM.
Tingkat penguasaan BM meliputi lima kategori, yakni sangat menguasai
(SM), menguasai (M) menguasai sedikit-sedikit (MSS) tidak menguasai (TM),
dan tidak menguasai sama sekali (TMS). Adapun deskripsi mencakup baik
keluarga muda EM yang berada di desa maupun yang berada di kota. Diskripsi
113 petani/buruh. Hasil identifiksi dan penghitungan tingkat penguasaan BM
dikemukakan pada tabel berikut:
Tabel 4.2: Tingkat Penguasaan Bahasa Madura Keluarga Muda No . Status Sosial Tingkat Penguasaan SM M MSS TM TMS Jumlah K D K D K D K D K D K D 1. Pegawai 14 26 26 48 32 26 28 0 0 0 100 100 2. Pedagang 20 38 54 44 26 18 0 0 0 0 100 100 3. Petani/Buruh 42 60 46 30 12 10 0 0 0 0 100 100 Jumlah Rata-rata 25,3 41,3 42 40,7 23,3 18 9,4 0 0 0 100 100 Jumlah Rata-rata Di Kab. Jember 33,3 41,35 20,65 4,7 0 100 Sumber: Rochiyati, 2008 dan sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa tingkat penguasaan BM keluarga muda EM
baik di desa, maupun di kota dengan kriteria sangat menguasai (SM) didominasi
oleh golongan para petani/buruh, yaitu di wilayah perkotaan mencapai 42 % dan
di wilayah pedesaan mencapai 60 %. Pada kriteria menguasai (M), di wilayah
perkotaan didominasi oleh golongan pedagang yakni mencapai 54 %, sedangkan
di desa didominasi oleh golongan pegawai mencapai 48 %. Kategori menguasai
sedikit-sedikit (MSS), baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan
sama-sama berada pada golongan pegawai, yakni pegawai di wilayah perkotaan
mencapai 32 % dan pegawai di wilayah desa mencapai 26 %. Kriteria menguasai
sedikit-sedikit (MSS) hanya berada pada kuantitas yang sangat kecil berada pada
golongan petani, yakni 12 % di wilayah perkotaan, dan 26 % di wilayah pedesaan.
Adapun kriteria tidak menguasai (TM), hanya terjadi pada keluarga muda EM di
114 mencapai jumlah 28 %. Sedangkan untuk kategori tidak menguasai sama sekali
(TMS) tidak terdapat sama sekali.
Berdasrkan data tersebut, dapat disarikan bahwa tingkat penguasaan
keluarga muda EM di Kabupaten Jember, berada pada tingkat menguasai
(41,35%) dan sangat menguasai (33,3 %) mendominasi. Tingkat penguasaan
tersebut didasarkan pada penguasaan penggunaan tingkat tutur dalam berbahasa
yang meliputi, bhâsa èngghi-bhunten (È-B) (krama inggil dalam bahasa Jawa),
bhâsa engghi-enten (E-E) (tingkat tutur krama mdya dalam bahasa Jawa), dan bhâsa enjâ’-iyâh (E-I) (ngoko dalam bahasa Jawa). Dari ketiga tingkat tutur tersebut adalah bhâsa È-B yang paling dominan digunakan oleh masyarakat EM
keluarga muda di kabupaten Jember.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa penguasaan BM di kalangan
keluarga muda sebagai penentu masa depan BM di Jember dapat dikategorikan
sangat baik. Hal ini berarti pula bahwa penggunaan BM di Jember masih amat
dominan, karena penguasaan bahasa tentu saja sangat dipengaruhi oleh seberapa
jauh bahasa tersebut digunakan sebagai alat komunkasi dalam kehidupan
sehari-hari.
Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga merupakan tala ukur pertama
keberhasilan pemertahanan eksistensi suatu bahasa daerah. Penggunaan BM
dalam ranah keluarga adalah penggunaan BM dalam kehidupan sehari-hari
antaranggota keluarga seperti orang tua dengan anak, anak dengan anak, ayah
dengan ibu, besan dengan besan, mertua dengan anak menantu, dan suami dengan
115 Kini pada keluarga muda EM di Jember, selain menggunakan BM
komunikasi pada ranah keluarga juga menggunakan bahasa campuran (BC, yakni
bahasa campuran antara BM, BJ, dan BI), bahkan dalam keluarga NU sering
terjadi interferensi BA. Jumlah pemakaian masing-masing bahasa tersebut
tergambar pada tabel berikut:
Tabel 4.3: Penggunaan BM dalam Ranah Keluarga No
.
Status Sosial Penggunaan Bahasa
BM BC BI Jumlah K D K D K D K D 1. Pegawai 38 63 26 3 36 6 100 100 2. Pedagang 65 77 29 12 6 1 100 100 3. Petani/Buruh 84 89 16 11 0 0 100 100 Jumlah Rata-rata 62,3 76,3 23,7 21,5 14 2,4 100 100 Jumlah Rata-rata di Kab. Jember 69,3 22,5 8,2 100
Sumber: Rochiyati, 2008 dan sebagian dikembangkan sendiri oleh penulis
Tabel 3 ini memberikan gambaran secara umum bahwa penggunaan BM
dalam ranah keluarga, keluarga muda EM di kabupaten Jember sebagaian besar
di wilayah pedesaan yakni mencapai (76,3 %) dan didominasi oleh kelas sosial
petani/buruh mencapai (89 %). Begitu juga, penggunaan BM di wilayah perkotaan
didominasi oleh kelompok sosial petani/buruh dengan capaian (84 %), walaupun
masih lebih besar petani/buruh di daerah pedesaan yakni mencapai (89 %).
Sementara untuk penggunaan BC dalam ranah keluarga yang paling besar terjadi
pada golongan pegawai di wilayah pedesaan yakni mencapai (31 %), sedangkan
penggunaan BC jumlah paling kecil jatuh pada golongan petani wilayah pedesaan
yakni (11 %). Untuk penggunaan BI dalam ranah keluarga, persentase yang paling
besar adalah pada golongan pegawai di wilayah perkotaan mencapai (36 %) dan
116 hanya (1 %). Sementara itu, golongan petani/buruh di wilayah pedesaan tidak
pernah menggunakan BI dalam ranah keluarga.
Berdasarkan data hasil penghitungan pada tabel 3 di atas, dapat disarikan
bahwa dalam komunikasi sehari-hari pada ranah keluarga di Kabupaten Jember,
sebagaian besar bahasa yang digunakan adalah BM yakni mencapai (69,3 %),
dikuti BC mencapai (22,6 %), dan kemudian BI mencapai (8,2 %). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa di dalam ranah keluarga, bahasa yang paling
dominan digunakan oleh keluarga muda EM di kabupaten Jember adalah BM,
kemudian disusul BC, dan yang peling kecil adalah penggunaan BI. Ini berarti
pula bahwa penggunaan BM di Kabupaten Jember sebagai cerminan khasanah
budaya bangsa masih sangat mungkin untuk dijamin keberadaannya.
Untuk memahami dan menggunakan suatu bahasa daerah tentu diawali
sikap atau persepsi penutur terhadap bahasa tersebut. BM yang dikategorikan
sebagai bahasa daerah besar tentu karena memiliki penutur yang juga besar,
walaupun sikap dan persepsi penutur terhadap BM tentunya berbeda-beda. Sikap
keluarga muda EM di Jember terhadap penggunaan BM diklasifikasikan ke dalam
tiga tingkatan sikap, yakni sangat setuju (SS), setuju (S), dan tidak setuju (TS).
Kategori-kategori tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.4: Sikap Penutur di Jember terhadap BM No. Status Sosial
Sikap Terhadap BM SS S TS Jumlah K D K D K D K D 1. Pegawai 16 30 40 52 44 18 100 100 2. Pedagang 20 30 58 62 22 8 100 100 3. Petani/Buruh 30 22 60 70 10 8 100 100 Jumlah Rata-rata 22 27,3 52,7 61,4 25,3 11,3 100 100
Jumlah Rata-rata Di Jember 24,56 57,05 18,3 100
117 Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sikap keluarga muda EM di Jember
sangat setuju (SS) rata-rata mencapai 22 % di wilayah perkotaan, dan 27,3 % di
wilayah pedesaan; untuk kategori setuju (S) rata-rata mencapai 52,7 % di wilayah
perkotaan, dan 61,4 % di wilayah pedesaan. Adapun kategori tidak setuju (TS)
rata-rata mencapai 25,3 % di wilayah perkotaan, dan 11,3 % untuk daerah
pedesaan. Hal ini menunjukkankan bahwa secara umum keluarga muda
menyatakan sikap setuju dan yang paling dominan di daerah pedesaan yakni
mencapai 61,4 % dan sikap sangat setuju (SS) paling tinggi di desa mencapai 27,3
%. Sedangkan sikap tidak setuju (TS) terjadi di daerah perkotaan mencapai 25,3
%.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara umum sikap keluarga
muda EM di Kabupaten Jember yang paling dominan adalah sikap setuju (S)
yakni mencapai 57,05 %, kemudian disusul sikap sangat setuju (SS) mencapai
24,56 %, dan yang paling kecil persentasenya adalah tidak setuju (TS) mencapai
18,3 %. Ini berarti pula bahwa sikap keluarga muda EM di wilayah Kabupaten
Jember terhadapa penggunaan BM secara umum adalah baik (positif).
Sikap setuju dan sangat setuju tersebut yang merupakan representasi sikap
positif EM terhadap BM, diperkuat dengan argumentasi bahwa BM masih
diperlukan untuk digunakan sebagai sarana komunkasi dalam kehidupan
sehari-hari khususnya dalam ranah keluarga, karena dengan penggunaan BM,
prinsip-prinsip kesantunan berbahasa sebagai budaya bangsa akan terjaga dan sekaligus
118 4.3 Penggunaan BM oleh Warga NU di Jember
Warga NU di wilayah Kabupaten Jember yang notabene Masyarakat EM,
sangat konsen menggunakan BM. BM digunakan oleh warga NU dalam
komunikasi sehari-hari baik dalam situasi formal maupun informal. Acara-acara
formal yang biasa dilakukan warga NU adalah acara peringatan hari-hari besar
Islam, akad nikah, serah-serahan dalam pertunangan dan upacara perkawinan,
walimatul ursy, selamatan-selamatan memperingati kematian, pengajian-pengajian rutin (yasinan, tahlilan, diba’an, manakiban, khatmil Quran) dan
rapat-rapat pertemuan organisasi. Dalam rapat organisasi yang melibatkan warga
NU intelektual biasanya menggunakan BI campuran BM dan BA. Adapun situasi
informal ialah konteks tuturan dalam rumah tangga, di tempat-tempat ibadah,
obrolan sebelum dan sesudah rapat, dan even-even lain di luar konteks tuturan
formal.
BM digunakan warga NU sebagai upaya untuk mempertahankan rasa dan
sikap hormat penutur kepada mitra tutur. Dalam masyarakat NU yang sangat
menjunjung tinggi nilai kultur pesantren yang mempersatukan nilai-nilai kultural
masyarakat setempat (etnik Madura) dan syari’at Isalam telah berhasil
membentuk sikap saling menghormati antarsesama, hormat kepada yang lebih tua
dan ta’dzim kepada orang yang memiliki status sosial dan peran yang lebih tinggi.
Prinsip-prinsip kesantunan tersebut tercermin dalam penggunaan kode tutur dan
alih giliran tutur.
BI digunakan warga NU di wilayah Kabupaten Jember untuk
119 untuk menunjukkan bahwa rapat tersebut melibatkan partisipan tutur orang-orang
terpelajar. Sedangkan kosa kata BA sering juga secara spontan digunakan karena
memang kosa kata BA tersebut telah menjadi kebiasaan digunakan di kalangan
santri dan juga sebagai sebagai prestis bagi penggunanya, seperti: halal bi halal,
mu’tamar, milad, ta’dzim, shoheh, afdlal, muhasabah, ta’dzim, bilhal, billisan, imtihan, sema’an, tahlilan dsb.
Dalam komunitas warga NU di daerah Jember, sebagai penutur BM
memang sedikit berbeda dalam memperlakuakan bahasa sebagai sarana
komunikasi. Semakin tinggi status sosial suatu keluarga, akan semakin respek
terhadap penggunaan BM. Sebab tingginya status sosial dalam komunitas NU
semakin menjustifikasi tingginya akhlak dan budi pekerti yang menjadi harapan
keluarga. Akhlak dan budi pekerti yang baik tentu paling mudah dilihat dari
perilaku berbahasa seseorang. Karena itu, bahasa daerah digunakan sebagai
upaya untuk mempertahankan prinsip-prinsip kesantunan dalam berbahasa yakni
dengan abâsah (jawa: boso) atau dengan kata lain menggunakan tingkat tutur
sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam rumah tangga atau masyarakat.
Bahkan dalam keluarga NU yang notabene santri―abâsah sudah diberlakukan
sejak anak-anak mulai bisa menggunakan bahasa sebagai alat
komunikasi―khususnya pada keluarga kiai yang memiliki santri. Merupakan
keharusan bagi para santri untuk menggunakan ondâghân bhasa krama atau
bhâsa alos (BAl) kepada putra putri kiai yang dalam istilah BM mendapat panggilan lora/agus dan nyai/ning. Penggunan bhâsah alos itu dalam pandangan
120 dalam kultur masyarakat NU yang dianggap guru tidak hanya sebatas kiai/nyai
yang secara langsung mengajarkan ilmu, tetapi keturunannya (lora/nyai) bahkan
sampai kepada cucu-cucu setelahnya juga dianggap sebagai guru. Begitu juga
sebaliknya para orang tua yang dulu pernah menimba ilmu di salah satu pesantren,
juga akan memberitahu kepada putra-putri dan bahkan cucunya, bahwa kiai A
adalah guru di pesantren yang pernah memberikan ilmunya kepada orang tua
dulu. Karena itu, kiai tersebut dita’dzimkan oleh anak-anak dan cucunya.
Sebagaimana seorang tokoh NU memberi contoh:
Kiai Umar Pengasuh Pondok Pesantren Sumberwringin pertama, dahulu berguru kepada kiai Ali Wafa di Pondok Pesantren Tempurejo. Suatu ketika Ra Abduh (RA) cucu Kiai Ali Wafa nyabis ke Kiai Khatib Umar diantar salah seorang ulama Jember yang juga terkenal. Setelah diperkenalkan bahwa yang datang adalah cucu Kiai Ali Wafa Tempurejo, maka Kiai Khatib yang terbilang Kiai sepuh yang sangat disegani di Jember, nyabis kepada RA yang masih relatif muda seraya mempersilahkannya untuk duduk di tempat yang paling terhormat, dan memerintah kepada semua lora yang terdiri dari putra dan cucu-cucunya untuk nyabis kepada RA, bahkan santri-santrinya juga diperintahkan untuk nyabis juga.
Ini menunjukkan bahwa guru muslim (kiai) dita’dzimkan oleh para
santrinya, tanpa melihat perbedaan umur, peran, dan jabatan saat ini. Tetapi yang
jadi patokan adalah peran dan jasa para pendahulunya yang sudah dianggap
sebagai guru. Karena itu, keturunan kiai yang telah berjasa besar dengan morok
ilmu agama dan ilmu tèngka kepada santrinya, kelak anak cucunya akan tetap
diposisikan menjadi orang yang amat terhormat (dita’dzimkan). Ini adalah salah
satu bentuk keunikan dan kekhasan kultur dalam oraganisasi yang bernama NU
yang sulit ditemukan pada organisasi-organisasi Islam lainnya.
121 BAB V