• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Kajian Kitab Kuning Shahih Bukhari

BAB III GAMBARAN UMUM ACARA KAJIAN KITAB KUNING

B. Pengertian Kitab Kuning

1. Sejarah Kajian Kitab Kuning Shahih Bukhari

Kitab kuning adalah sebuah kitab klasik yang ditulis dalam bahasa arab yang usianya lebih tua dan sering dipelajari terutama dikalangan santri. Dan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf.

Acara kajian kitab kuning shahih bukhari di TVRI, merupakan acara keagamaan atau bisa dibilang kegiatan dakwah, yang disiarkan atau ditayangkan melalui televisi, yang mendapat respon baik dari semua kalangan masyarakat. Acara ini dikemas dengan sedemikian rupa sehingga memiliki nuansa yang berbeda dari yang ada, selain itu banyak mengandung pesan-pesan dakwah yang bermanfaat bagi seluruh pemirsa yang menyaksikannya.

Pesan dakwah yang disampaikan melalui acara kajian kitab kuning shahih bukhari di TVRI tujuannya adalah agar umat muslim khususnya dapat memahami hadits lebih mendalam dam mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah SAW.

Berawal dari seorang Ustadz yakni Yusuf Mansur yang membuat acara ini narasumber dalam acara ini adalah Ustadz Lutfi Fathullah

yang gemar membaca kitab-kitab yang berhubungan dengan hadits. Banyak hal yang bermanfaat yang bisa diambil, bahkan hal-hal yang belum pernah diketahui dan sangat menarik, yang membuat penasaran, karena menurut beliau bahwa yang namanya islam beserta dengan

al-Qur’an dan Hadits sangat penting dalam mempelajari ajaran-ajaran islam.

Lalu dari rasa ketertarikan terhadap ilmu Al-Qur’an dan Hadist, maka terbentuklah acara kajian kitab kuning “Shahih Bukhari” pada

bulan Januari tahun 2011. Dan berjalan cukup baik di semua kalangan masyarakat dengan adanya acara ini juga untuk memberikan respon yang positif untuk mengkaji kitab kuning yang di kenal sulit menjadi mudah untuk di fahami dan diperkenalkan dengan alat yang sudah canggih dan modern.

Adapun kitab yang dipakai dalam acara ini adalah kitab shahih bukhari, imam bukhari lahir pada tahun 809 / 194 H di bukhara sedangkan nama aslinya ialah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Beliau mulai menghafal hadits-hadits Nabi sejak umur 10 tahun, dan pada umur 16 tahun sudah banyak hadits yang dihafalkan. Dalam menyelidiki hadits Nabi itu berkelana menuju Bagdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Syam, Homs, Askalan, Bagdad, Naisabur dan Mesir. Bukhari telah menemui guru-guru yang membantunya dalam berbagai ilmu, sehingga kemudian

menyebutnya sebagai Doktor ahli hadits dan kepala ahli-ahli hadits. Ia berhasil membedakan antara hadits yang shahih dengan yang tidak shahih walaupun dibalik sanadnya dan matannya karena keahliannya.

Karya tulisannya yang bernama “Aljamiush Shahih” telah menyita

waktunya selama 16 tahun, dan setiap kali akan menulis hadits-hadits itu ia bershalat dua rakaat dan beristikharah kepada Allah. Buku tersebut adalah merupakan buku hadits yang paling shahih diantara buku-buku hadits (Sunnah), paling shahih sesudah al-Qur’an, dan para

imam ahli hadits mengakuinya untuk diterima ummat Islam.

Hadits Shahih Bukhari telah diterima oleh ulama salaf dan khalaf, yang sebelumnya tidak pernah muncul sebuah buku hadits yang bisa melepaskan diri dari hadits-hadits yang tidak shahih. Dan menurut

Dzahabi: “Shahih Bukhari adalah sebuah buku Islam yang paling agung sesudah Qur’an”. Kata Syaikhul Islam Ibn Hajar: “Para Ulama sepakat menyatakan bahwa Shahih Bukhari lebih istimewa dari Shahih

Muslim”. Kata Daraquthani: “Tanpa Shahih Bukhari maka shahih muslim tidak akan muncul”.Selain buku tersebut, Imam Bukhari menulis sebanyak 20 buku yang antara lain adalah “Attarikhul Kabir

(Sejarah Besar)”, yang pada akhir hayatnya buku itu diperluas dua

kalinya. Imam Bukhari terkenal sebagai orang shaleh, banyak beribadat, dan ahli pengetahuan, sehingga Imam Muslim menyatakan padanya:

dengki, dan saya yakin bahwa di dunia tidak ada yang seperti tuan”,

yang maksudnya dalam hal keahliannya dalam ilmu hadits.

Ketika beliau pulang ke negerinya difitnah oleh tentang keagamaansehingga wali negeri Bukhara mengusirnya dari negeri itu, dan ia wafat pada tahun 869 M / 256 H dalam umur 62 tahun tanpa meninggalkan seorang anak, dan dikuburkan di Khartanak dekat Samarkand.6

Dan juga banyak para pakar pemikiran salaf juga berpendapat bahwa kitab kuning bisa disebut juga Turts. Pemikiran salaf dikalangan akademisi lebih populer dengan sebutan turats. Turats secara harfiah berarti sesuatu yang ditinggalkan atau diwariskan. Di dunia pemikiran Islam, turats digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turats yang berarti khazanah tradisional Islam merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.

Dalam kacamata Ghazali, ilmu ini tidak berguna karena hanya terkait erat dengan kehidupan dunia yang fana. Ilmu bisa dikatakan bermanfaat bukanlah ilmu yang hanya berorientasi pada kenikmatan dan kegemilangan masa depan, melainkan diukur dengan kemampuannya mengantarkan kepada kebahagian akhirat yang abadi. Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli mahdh). Contoh ilmu ini adalah ilmu hadis, tafsir dan yang

6

Husein Bahreisy, Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, (Surabaya: Al-ikhlas-Surabaya-Indonesia, 1992)

sejenis. Ilmu hadis dan tafsir diperoleh dari sahabat, tabi’in dan orang -orang zaman dahulu.

Untuk mengkaji ilmu jenis ini sangat mudah sebab orang muda dan tua dapat menguasai dengan gampang asalkan memiliki daya ingat yang tajam (quwwat al hifdzi), sementara rasio tidak begitu berperan di bidang ini. Dalam perspektif Ghazali, pembagian ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang ketiga. Ilmu ketiga merupakan upaya mensinergikan antara akal dan nukil, antara penalaran dan periwayatan. Ilmu fikih dan ushul fikih merupakan cakupan dari bagian ilmu yang ketiga, sebab porsi akal dan wahyu bekerja bersama-sama di dalamnya.

Karena dalam ilmu ushul fikih dan fikih terkandung dua unsur sekaligus, maka ilmu ini mempunyai nilai plus bila dibandingkan ilmu

hadis, tafsir dan lainnya. Pengarang buku Ihya’ Ulumuddin ini

menambahkan argumen bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taklid semata yang menjadi ciri khas ilmu naqli begitu pula tidak bersandar pada akal murni. Upaya peniruan secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara berpegang pada akal semata tidak dibenarkan agama. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu yang paling unggul adalah ilmu yang berdiri ditengah-tengah antara akal dan wahyu.

Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari tiga pemetaan ilmu yang telah dilakukan oleh Ghazali dan sepenggal sejarah perjalanan intelektual dari masa ke masa. 7

Dari sana, penulis ingin menawarkan metode baru dalam memahami kitab kuning.

1) Pengkaji kitab kuning tidak hanya berhenti pemahaman hukum-hukum hasil karya ulama terdahulu, tetapi melacak metodologi penggalian hukumnya. Hal ini sebagaimana tawaran al Ghazali bahwa ilmu yang paling baik adalah penggabungan antara aqli dan

naqli, antara menerima hasil pemikiran ulama’ salaf sekaligus

mengetahui dalil dan penalarannya.

2) Membiasakan untuk bersikap kritis dan teliti terhadap objek kajian. Karena pada dasarnya budaya kritis adalah hal yang lumrah dalam dunia intelektual. Sebagaimana telah kita saksikan potret kehidupan

ulama’ salaf yang sarat dengan nuansa konflik dan polemik. Hal itu

terjadi, tak lain hanyalah karena ketelitian, kejelian dan kritisisme yang dimiliki oleh para pendahulu kita yang kesemuanya patut untuk kita teladani.

3) Melakukan analisa yang mendalam, apakah pendapat ulama itu benar-benar murni refleksi atas teks (nash) atau ada faktor lain yang mempengaruhi. Sekedar contoh, kenapa sampai ada qoul qodim dan qoul jadid, kenapa Imam Nawawi berbeda pendapat

7

dengan Imam Syafi’i dalam transaksi jual beli tanpa sighat (bai’al mu’athoh), kenapa Imam Qoffal berani berbeda pendapat dalam

memahami sabilillah yang berarti setiap jalan kebaikan (sabil al khair) dapat menerima zakat sedangkan mayoritas ulama tidak memperbolehkan.

4) Menelusuri sebab terjadinya perbedaan pendapat, sejarah kodifikasi kitab kuning, latar belakang pendidikan pengarang, keadaan sosial dan budaya yang mempengaruhinya. Memahami faktor dan tujuan pengarang mengemukakan pendapatnya.

5) Pengkaji harus menjaga jarak antara dirinya (selaku subyek) dan materi kajian (selaku obyek). Dengan prinsip ini, peneliti tidak boleh membuat penilaian apapun terhadap materi dan melepaskan dari fanatisme yang berlebihan. Dalam tahap ini peneliti harus

berusaha ”menelanjangi” aspek kultural, sosial dan historis dimana suatu hukum dicetuskan. Benar-benar memahami latar belakang

suatu hukum yang telah dirumuskan ulama’ salaf. Hal ini

dimaksudkan agar terjadi penilaian dan pemahaman yang obyektif. Langkah terakhir adalah pengkaji menghubungkan antara dirinya dengan obyek kajian. Langkah ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan mengukur relevansi kitab kuning dengan konteks kekinian. Pengkaji dalam hal ini dituntut untuk menjadikan kitab kuning sebagai sesuatu yang cocok untuk diterapkan, sesuai dengan kondisi saat ini dan bersifat ke-Indonesiaan. Senantiasa berpegang pada prinsip bahwa syariat Islam

diciptakan demi tegaknya kemaslahatan sosial pada masa kini dan masa depan.

Di samping langkah-langkah diatas, pemerhati kajian kitab kuning hendaknya membekali dengan ilmu penunjang yakni logika (mantiq). Ilmu anggitan Aristoteles ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian, padahal ilmu tersebut dapat mempertajam rasionalitas dan menumbuhkan daya nalar yang kreatif. Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm dan ulama salaf lainnya adalah pakar filsafat Islam disamping menguasai ilmu-ilmu keIslaman.

Kitab kuning merupakan hasil kerja keras para sarjana Islam klasik yang menyimpan segudang jawaban atas permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, disisi lain kita adalah generasi yang hidup di ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya problematika modern. Upaya yang dilakukan para pemikir bebas dalam merespon pernak-pernik modernitas sembari meninggalkan khazanah tradisional Islam tak lain hanyalah kecongkakan intelektual. Namun serta merta

menjadikan kitab kuning sebagai pedoman yang ’sepenuhnya laku’ adalah

tindakan yang kurang bijaksana, karena hanya al Quran dan hadis.

Dokumen terkait