• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SISTEM PASAR MODAL DI INDONESIA

2.2 Sejarah Pasar Modal

Di negara Amerika Serikat, pengaturan tentang pasar modal dimulai dari pengaturan tingkat negara bagian. Negara bagian yang pertama kali mempunyai peraturan demikian adalah Kan-sas, dengan Undang-undang Tahun 1911, yang merupakan pionir terhadap pengaturan tentang Licensing System, yang antara lain mengatur tentang persyaratan registrasi terhadap securities dan

securities salesman. Pelanggaran terhadap kewajiban registrasi tersebut dianggap sebagai suatu perbuatan kriminal. Kemudian sejak saat itu mulai populer istilah “Undang-undang Langit Biru (Blue Sky Law), suatu istilah yang ditujukan terhadap Undang-undang Pasar Modal yang dikeluarkan oleh negara bagian di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi pihak investor dari saham-saham di perusahaan yang tidak benar.

Selanjutnya, dengan mengikuti perkembangan undang-undang negara bagian di Amerika Serikat, maka pada 2 Juli

15 Pasal 2 No. 10 Securities and Exchange Law as Amended 1982, Laws and Regulation

on Securities Market, Vol. 1, The Korean Securities Dealers Association, Seoul, South Korea,

1934, Kongres Federal membentuk suatu badan nasional yang mengurus pasar modal yang disebut dengan Securities Exchange

Commission (SEC) melalui undang-undang yang dikenal sebagai

The Securities Exchange Act of 1934.16

Secara keseluruhan, perkembangan undang-undang nasional di Amerika Serikat yang mengatur tentang pasar modal adalah sebagai berikut:

a. Securities Act 1933;

UU ini bertujuan antara lain terhadap dua hal sebagai berikut:

(1) untuk menyuguhkan kepada para investor tentang informasi mengenai keadaan finansial dan hal-hal lainnya yang bersifat material mengenai penawaran suatu sekuritas; dan

(2) melarang setiap misrepresentasi, penipuan atau setiap perbuatan dan praktek yang tidak layak lainnya dalam praktik penjualan sekuritas, baik yang terkena wajib registrasi atau tidak.

b. Securities Exchange Act of 1934;

UU ini antara lain mengatur tentang hal-hal sebagai berikut:

(1) Corporate reporting. (2) Proxy solicitation. (3) Tender offer solicitation. (4) Insider trading.

(5) Margin trading. (6) Market surveilance. (7) Exchange Registration.

(8) Registrasi terhadap broker – dealer. (9) Investigasi dan investment.

(10) Sanksi-sanksi terhadap pelanggaran.

(11) Securities Exchange Commission. c. Public Utility Holding Act 1935;

UU ini bertujuan mengatur masalah holding company terhadap perusahaan yang bergerak di bidang publik seperti gas dan listrik.

d. Trust Indenture Act 1934;

UU ini bertujuan mengatur dan melindungi hak dan kepentingan dari pihak pembeli dari suatu utang berupa bonds,

debenture, notes dan lain-lainnya yang ditawarkan kepada publik.

e. Investment Company Act 1940;

UU ini mempunyai tujuan dan mengatur perlindungan terhadap hak dan kepentingan dari investor khususnya dan masyarakat pada umumnya dari tindakan-tindakan yang diambil oleh perusahaan investasi. Antara lain diatur tentang kewajiban

disclosure terhadap kondisi keuangan, melarang transaksi dengan orang dalam, mengatur kualifikasi bagi pemimpin perusahaan, dan lain-lain.

f. Investment Advisor Act 1940;

UU ini mengatur dan mengawasi tentang tata kerja dan tingkah laku dari broker dan dealer di pasar modal. Mereka diharuskan melakukan registrasi kegiatan usaha kepada SEC.

g. Insider Trading Sanctions Act of 1984;

UU ini berupaya memberikan hukuman tiga kali lipat dari keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang coba dihindari akibat insider trading. UU ini memberikan penghalang yang kuat bagi calon pelanggar untuk melakukan kegiatan insider

trad-ing.

Sementara itu, perkembangan pasar modal di Indonesia sendiri, menurut Munir Fuady, dapat dikategorikan dalam 6 tahapan sebagai berikut:17

1. Tahap Permulaan (1878 – 1912).

2. Tahap Institusionalisasi Konvensional (1912 – 1952). 3. Tahap Kebangkitan Kembali (1952 – 1976).

4. Tahap Institusionalisasi Modern (1976 – 1988). 5. Tahap Sosialisasi (1988 – 1996).

6. Tahap Kepastian Hukum (1996 – sekarang).

Untuk lebih jelasnya tentang sejarah dan perkembangan dari masing-masing tahap di atas, berikut ini akan dijelaskan lebih luas dari masing-masing tahap tersebut.

2.2.1 Tahap Permulaan (1878 – 1912)

Dalam tahap permulaan, sebelum 1878, belum ada tanda-tanda dan catatan-catatan tentang telah adanya kegiatan-kegiatan di bidang bisnis pasar modal di Indonesia. Awal dari terbentuknya pasar modal di Indonesia adalah dengan berdirinya perusahaan Dunlop & Koff pada tahun 1878 (kemudian menjadi PT Perdanas), yakni perusahaan yang bergerak dalam bidang pedagang perantara dalam perdagangan komoditi dan sekuritas. Hal ini merupakan tonggak sejarah lahirnya kegiatan di bidang pasar modal sekaligus merupakan era permulaan dari sejarah hukum mengenai pasar modal di Indonesia.

2.2.2 Tahap Institusionalisasi Konvensional (1912 – 1952)

Tahap ini ditandai dengan pembentukan institusi terpenting di bidang pasar modal, yaitu dengan terbentuknya pasar modal Indonesia. Dalam membentuk bursa efek ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil contoh dari bursa efek yang ada di negeri Belanda pada waktu itu.

Tujuan pembentukan bursa efek di Indonesia waktu itu adalah untuk mendorong perekonomian dan menjaring dana-dana yang ada, terutama untuk pembangunan di bidang perkebunan yang waktu itu memang sedang dilakukan secara besar-besaran.

Pada tanggal 14 Desember 1912 dibentuk dan mulai beroperasinya bursa efek pertama di Indonesia, yaitu Bursa Efek Batavia yang beranggotakan 13 makelar sebagai anggota bursa. Pada waktu itu, sekuritas yang diperjualbelikan adalah:

a. Saham yang diterbitkan oleh perusahaan perkebunan Belanda.

b. Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan perkebunan Belanda.

c. Obligasi pemerintah Hindia Belanda (oleh pemerintah pusat dan kotapraja).

d. Sertifikat saham dan efek-efek perusahaan di negeri Belanda.

Setelah berdirinya Bursa Efek Batavia, maka dalam tahap ini pula terbentuknya Bursa Efek Surabaya pada 11 Januari 1925 dan diikuti dengan pembentukan Bursa Efek Semarang pada 1 Agustus 1925. Akan tetapi, perdagangan efek di dalam tahap ini tidak berlangsung lama disebabkan munculnya resesi dunia pada tahun 1929 yang terkenal dengan “zaman malayse”, dan diikuti dengan Perang Dunia I dan II sampai dengan masuknya Jepang ke Indonesia. Bursa Efek Jakarta resmi ditutup pada 10 Mei 1940, sedangkan Bursa Efek Surabaya dan Semarang sudah lebih dahulu ditutup.

2.2.3 Tahap Kebangkitan Kembali (1952 – 1976)

Setelah penyerahan kembali kedaulatan kepada Republik Indonesia, perdagangan sekuritas mulai digiatkan kembali, akan tetapi berlangsung tanpa kontrol dan tanpa suatu bursa efek sama sekali. Menyadari perlunya suatu bursa efek yang tertib, dan juga karena pemerintah Republik Indonesia telah mulai menerbitkan obligasi, yang terbit pertama kali pada tahun 1950, maka pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 13 Tahun 1951 pada 1 September 1952, yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 yang mengatur tentang Bursa Efek.

Selanjutnya pada tanggal 3 Juni 1952, Bursa Efek Jakarta pun dibuka kembali. Pelaksanaan bursa pada waktu itu dilakukan oleh Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE) yang beranggotakan beberapa bank negara dan para pialang efek. Adapun efek yang diperdagangkan di bursa pada waktu itu adalah obligasi pemerintah Republik Indonesia, obligasi pemerintah Hindia Belanda dan obligasi serta efek dari perusahaan yang umumnya merupakan perusahaan Belanda.

Kemudian dengan adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dengan keluarnya Undang-undang Nomor 86 Tahun 1956, sengketa Indonesia dengan Belanda tentang Irian Barat, dan pembangunan ekonomi nasional yang tidak

mendukung, perkembangan bursa efek pada tahap ini tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan.

2.2.4 Tahap Institusionalisasi Modern (1976 – 188)

Memasuki era pemerintahan Orde Baru, pembangunan ekonomi mulai digalakkan secara lebih serius dan berkesinam-bungan serta mulai terfokus, yang dikenal dengan nama Pro-gram Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Sejak saat itu, mulai dipikirkan kembali tentang pentingnya peran serta pasar modal dalam kancah pembangunan ekonomi.

Sejalan dengan itu, peran bursa efek mulai diaktifkan kembali dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 52 Tahun 1976 tentang Pembentukan Badan Pelaksana Pasar Modal, serta Keppres Nomor 25 Tahun 1976 mengenai Pembentukan Dana Reksa. Dengan terbentuknya Bapepam dan Dana Reksa tersebut, maka pelaksanaan bursa efek pun mulai lebih ditertibkan dan didayagunakan.

Selanjutnya juga dikeluarkan beberapa keputusan Menteri Keuangan yang mengatur lebih rinci dan lebih operasional tentang pelaksanaan bursa efek tersebut, antara lain sebagai berikut:

1) SK Menkeu No. 1670/1976 tentang Penyelenggaraan Bursa.

2) SK Menkeu No. 1672/1976 tentang Tatacara Mena-warkan Efek Kepada Masyarakat Melalui Bursa. 3) SK Menkeu No. 1673/1976 tentang Peraturan

Perda-gangan Efek di Bursa. 4) dan lain-lain.

Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijaksanaan tersebut, maka bursa efek mulai terus berkembang sampai akhir-nya tiba era baru dalam perekonomian Indonesia, yaitu era libe-ralisasi perdagangan, yang ditandai dengan dilakukannya berba-gai deregulasi perekonomian yang semakin liberal dan terbuka.

2.2.5 Tahap Sosialisasi (1988 – 1996)

Telah disebutkan di atas, bahwa perekonomian Indonesia telah memasuki fase liberalisasi perekonomian. Dalam fase ini,

banyak dikeluarkan paket-paket deregulasi ekonomi. Dianta-ranya yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan pasar modal adalah Paket Deregulasi Ekonomi dan Moneter 1988.18

Dalam tahap sosialisasi ini antara lain terjadi hal-hal sebagai berikut:

1. Swastanisasi Bursa Efek Jakarta (pada awalnya Bursa Efek dikelola oleh Bapepam.

2. Otomasi bursa efek.19

3. Bapepam lebih diberi prioritas sebagai otoritas lembaga pengawas dengan diubah namanya dari Badan Pelak-sana Pasar Modal menjadi Badan Pengawas Pasar Modal.

2.2.6 Tahap Kepastian Hukum (1996 – sekarang)

Momentum selanjutnya yang merupakan awal dari perkembangan pasar modal Indonesia yang modern adalah dengan dikeluarkannya undang-undang yang khusus mengatur tentang pasar modal, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Salah satu hal penting dalam undang-undang ini adalah dengan diberikannya kekuasaan yang cukup besar kepada Bapepam selaku pengawas dan Self Regulatory

Organi-zation (SRO) dengan kewenangan melakukan penyidikan dan penyelidikan, suatu kewenangan yang belum pernah ada sebelumnya.20

Dokumen terkait