• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Penduduk dan Penguasaan tanah Warga Desa Uraso Uraso menjadi desa definitif pada bulan April tahun 1989, berada dalam wilayah

Dalam dokumen KISAH KONFLIK ATAS RUANG DI TINGKAT LOKAL (Halaman 50-54)

adminstratif Kecamatan Mappedeceng, Kabuaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebelah Utara Desa Sepakat Kec. Masamba, Sebelah Selatan Desa Benteng, Sebelah Barat Desa Harapan, Sebelah Timur Desa Lampuawa Kec. Sukamaju

51

Dinamika Per

ebutan T

anah Rakyat

Desa Uraso memiliki jumlah penduduk sebanyak 410 KK dengan dengan 1.464 jiwa. Mereka tersebar di 4 (empat) dusun yaitu; Dusun Uraso jumlah penduduknya sebanyak 169 KK terdiri dari 667 jiwa, Dusun Kumila jumlahnya sebanyak 109 KK terdiri dari 313 jiwa, Dusun Kampung Baru jumlahnya sebanyak 106 KK terdiri dari 397 jiwa, Dusun Uja jumlah penduduknya sebanyak 26 KK terdiri dari 87

jiwa.

Masyarakat asli Desa Uraso berasal dari Bastem tepatnya di Pantilang, mereka berpindah serta bermukim di daerah dataran tinggi atau pegunungan yang dikenal dengan nama Tabang. Mereka mengidentifkasikan diri sebagai katomakakan adat tabang, Asal muasal mereka bisa dikenali dari bahasa yang digunakannya dalam kehidupan sehari hari mirip dengan bahasa di Bastem yang pada umumnya lebih dikenal dengan bahasa tae yang juga mirip dengan bahasa Toraja3. Mereka mendiami kampung tua, selain itu ada juga komunitas Uraso

yang berada di daerah hilir.

Sistem pemerintahan pada masa itu disebut katomakakaan Tabang yang dipimpin oleh seorang tomakaka4, dalam struktur kekuasaan tomakaka berfungsi sebagai

orang yang dituakan di kampung tersebut. sampai saat ini sebutan tomakaka untuk wilayah adat merupakan identitas di daerah luwu. Tomakaka terakhir yang

memerintah Palibu Gau’na yang dalam pelantikannya tidak dilakukan ritual atau

diupacarakan sebagaimana kebiasaan yang ada. Sepeninggal Tomakaka Palibu

Gau’na Komunitas masyarakat Tabang kemudian terpecah dan berpencar dan

mendiami beberapa wilayah. Wilayah yang menjadi penyebaran Komunitas

masyarakat Tabang tersebut yakni; Lampuawa, Buntu Le’pon, Bila, Buntu

Kumila, Pompalangi, Ulusalu, Patiala.

Komunitas adat Tabang yang menempati Buntu Kumila dan Buntu le'pon mereka berpindah dengan mengikuti arah aliran sungai ke hilir mereka lalu bermukim serta berladang di daerah liku dengen yang sekarang disebut sebagai kampung

tua, Nama kampung liku dengen berasal dari nama liku dan dengen, liku diartikan

semacam aliran air sungai yang dalam, sementara dengen adalah sejenis buah buahan khas di wilayah tersebut.

Komunitas adat Tabang hidup dari hasil hutan misalnya mengambil rotan, kayu, madu selain itu mereka hidup dari hasil berkebun termasuk menanam pohon sagu, langsat, durian. Sagu merupakan tanaman yang dihargai karena dijadikan sebagai somba ( mahar perkawinan ) oleh mempelai pria. Selain bermukim di

3 Hasil wawancara dengan Akis Nuru, Kepala Dusun Kampung Baru Desa Uraso

52

Politik Ruang dan Perlawanan:

Kisah K

onflik atas Ruang di T

ingkat L

okal

wilayah pegunungan mereka juga selalu memilih tempat tinggal yang dekat dengan air, liku dengen dialiri oleh sungai lamoa. Penguasaan tanah secara individu ( hak milik) dilakukan dengan membuka lahan sendiri, menaman tanaman jangka panjang serta menggunakan tanaman hidup sebagai batas wilayah kelolanya masing masing, sampai sekarang masih ada tanaman tanaman yang menjadi batas penguasaan tanah mereka dan juga tanaman jangka panjang di kebun-kebun penduduk di daerah buntu le”pon dan kumila seperti Durian, langsat. Dengan adanya tanaman sebagai batas dan adanya tanaman tua masyarakat mengenali siapa yang memilki lahan tersebut. Dan dengan bukti tersebut maka semua orang mengakuinya serta memilki hak untuk mewariskan kepada keturunannya. Dalam sejarahnya wilayah desa uraso pernah mengalami dan merasakan penjajahan Belanda, Jepang serta pergolakan DI/TII pimpinan Abdul Qahar Muzakkar yang membuat masyarakat Uraso meninggalkan kampung mereka.

Keberadaan perkebunan sawit merupakan program yang massif dikembangkan pada masa orde baru yang merupakan bagian dari revolusi hijau, salah satu kebijakannya adalah mengeluarkan Undang Undang Penanaman Modal asing salah satu konsep yang dikembangkan oleh pemerintah adalah konsep kemitraan perusahaan inti rakyat, dimana ada perusahaan skala besar kita akan mendapati inti dan plasma5. Kebijakan tersebut akhirnya sampai di kab. Luwu

Tahun 1981. Penunjukan lahan perkebunan sawit yang masuk didaerah Tingkat II Luwu berdasarkan Surat Pimpinan PN. Perkebunan XXVIII Kelapa Sawit tanggal 1 oktober 1981, No../X/110/1981 tentang Penyediaan lahan untuk Areal

Perkebunan inti dan Plasma Proyek Kelapa Sawit dalam Kabupaten Dati II Luwu.

1981 Bupati Kepala Daerah Tingkat II (Drs. Haji Abdullah Suara) mengeluarkan surat keputusan dengan Nomor : 129/II/KDL/1981 Tentang Penunjukan Areal

Tanah/Lahan Perkebunan Inti Dan Plasma Atau Perkebunan Inti Rakyat Untuk

Kelapa Sawit PN. Perkebunan XXVIII dengan luasan Kebun Inti seluas 11.150 HA

dan untuk Plasma seluas 21.000 Ha6.

5 Norman Jiwan dkk, Pembanguanan Kebun Kelapa Sawit , berbasis Gas Rumah Kaca: tinjauaan kritsi , 2009 hal 14 6 Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Luwu No : 129/II/kdl/1982 Tentang Penunjukan Areal Tanah/Lahan

Perkebunan Inti dan Plasma atau Perkebunan Inti Rakyat Untuk Kelapa Sawit PN. Perkebunan XXVIII dalam wilayah Kabupaten Luwu

53

Dinamika Per

ebutan T

anah Rakyat

Peruntukan Lokasi Luas lahan

Perkebunan Inti

PTPN Kec. Masamba (5.150 HA)

Desa mappedeceng 3.530 Ha Desa Baliase 200 Ha Desa Bone 120 Ha Desa Kapuna 600 Ha Desa Balebo 700 Ha Kec.Wotu (5.300 HA) Desa Burau 1200 Ha Desa Jalajja 2800 Ha Desa Lawonu 1300 Ha Kec. Mangkutana

(700 HA) Desa baayondo 350 ha

Desa Tomoni 350 Ha

(Tabel Bedasarkan Penunjukan Lahan Perkebunan Inti dan Plasma oleh pemerintah.)

Tahun 1983 – 1984, PTPN XXVIII yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1971 dalam satu Perusahaan

Perseroan (PERSERO) mulai melakukan penanaman sawit untuk Perkebunan Plasma di wilayah Mappedeceng, sementara untuk wilayah Cakkaruddu

dilakukan penanaman pada tahun 1986 – 1987. Padahal izin HGU PTPN XXVIII baru diajukan pada tahun 1987 dan dikeluarkan pada tahun 1995 Berdasarkan ”Sertifikat Hak ” yang dimiliki/digunakan oleh PTPN XXVIII yang berkedudukan di Ujung Pandang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Tanggal 01 Nopember 1995 Nomor 67 / HGU / BPN

/ 95 dengan masa berlaku/hak selama 35 tahun atau masa akhir Hak tanggal

14 September 1030. Surat ukur / gambar situasi khusus: Jakarta Tanggal 01 Desember 1987 No. 33/1987, dengan luas 1.010 Ha oleh Sub Dit Pengukuran dan Pemetaan Terrestris Ir. Seto Pandojo. Sertifikat Hak ini kemudian dibukukan dan diterbitkan di Palopo Tanggal 10 September 1996 oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Luwu Darmawidjaya, SH dengan penunjuk “Tanah Negara“.

Sementara itu untuk lokasi Perkebunan kelapa Sawit (PKS) Luwu I afdeling Inti

Mappedeceng dengan luas 1.010 Ha.PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tanggal 14 Pebruari 1995 dan Akta Notaris Harun Kamil, SH Nomor 47 tanggal 11 Maret 1996. Proses pembentukannya diawali dengan pengelompokan 16 buah PT Perkebunan

54

Politik Ruang dan Perlawanan:

Kisah K

onflik atas Ruang di T

ingkat L

okal

Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 361/Kpts/07.110/5/1994 tentang Restrukturisasi BUMN Sektor Pertanian. Pengelompokan tersebut dalam rangka

optimalisasi skala usaha untuk meningkatkan daya saing menghadapi pasar

bebas. Setelah tahap pengelompokan, maka pada tanggal 11 Maret 1996 dibentuklah 14 buah PT Perkebunan Nusantara, salah satu diantaranya adalah PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero)7

Dalam dokumen KISAH KONFLIK ATAS RUANG DI TINGKAT LOKAL (Halaman 50-54)