• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tentang Bencana Banjir di Kawasan Pod

Dalam dokumen KISAH KONFLIK ATAS RUANG DI TINGKAT LOKAL (Halaman 72-77)

Sebagai Kawasan Bencana

Wilayah Podi ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana banjir sangatlah beralasan karena wilayah ini telah berkali-kali diterjang banjir. Awal mula cerita, banjir bandang pertama terjadi dalam kurun waktu tahun 1990-1991, kemudian disusul dengan banjir terparah tahun 2005 dimana ada 7 unit rumah warga dan 1 jembatan penghubung Palu-Ampana ikut terbawa arus air yang disertai material lumpur. Bahkan banjir ini juga sempat membenamkan beberapa rumah warga dengan material lumpur setinggi 1,5 meter serta di beberapa tempat juga mengakibatkan naiknya permukaan tanah dari sebelumnya.

Kondisi wilayah Podi ini juga diperparah dengan kondisi Gunung Katopasa yang terdapat di kawasan hulu wilayah Podi, yang juga terus mengalami erosi berkepanjangan pada lereng bagian utara yang menghadap ke Teluk Tomini. Dimana aktivitasnya terus menghasilkan ratusan kubik material lumpur pasir dan kerikil yang terus mengalir setiap waktu. Bahkan dalam keadaan cuaca cerah sekalipun material longsor terus bergerak menuju Desa Podi melalui sungai. Apabila hujan mulai turun berturut-turut selama tiga hari, warga pun harus waspada terhadap ancaman bencana banjir. Demikian seterusnya, dari waktu

73

Inkonsistensi Keruangan Dalam Perspektif Kebencanaan

ke waktu wilayah ini mengalami bencana dan memperparah kondisi lingkungan yang menjadi harapan sumber penghidupan masyarakat setempat2.

Perkembangan terakhir dari aktivitas longsoran ini, adalah sumber daya air sungai yang rusak. kerusakannya di sebabkan keruhnya air sungai oleh longsoran bahan material dari hulu. Sehingga warga setempat sulit mendapatkan air bersih, sebagaimana yang di ungkapkan oleh ridwan, salah satu warga Podi. “Kami harus menunggu berjam-jam agar bisa menyaring air”. Di sisi lain, pergerakan longsoran ini juga menyebabkan terbentuknya danau besar3 di bagian hulu

sungai dan penimbunan material pada muara sungai4 yang kini telah membentuk

bukit-bukit di sisi kiri dan kanan jalan.

Bukan hanya itu saja, banjir bandang ini pun ternyata memberi pengaruh besar terhadap perekonomian warga. Misalnya, kopra yang merupakan penghasil utama mereka terus mengalami penurunan di sebabkan buah kelapa yang berkurang pasca banjir, ditambah lagi dengan begitu banyak pohon kelapa yang mati5. Hal lainnya, dari hasil hutan berupa damar dan rotan. Wilayah yang

banyak menyimpan rotan, kini tak lagi menghasilkan rotan. Karena wilayah ini, terus mengalami longsor yang berkepanjangan. Sedangkan Damar yang biasanya menghasilkan 20 Kilogram (Kg) per 2 bulan saat panen, kini hanya bisa menghasilkan 1 Kg di tiap bulannya di tambah lagi dengan lokasinya yang semakin jauh. Sehingga hasil hutan ini tak lagi menjadi sumber mata pencarian warga. “kami tak bisa menjualnya lagi karena terlalu lama untuk mengumpulkan hingga banyak, jadi hanya digunakan untuk menyalakan api jika memasak” terang Sani, salah satu warga Podi.

Berangkat dari peristiwa dan kenyataan tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa sangatlah penting untuk menyelamatkan warga dari ancaman bencana tersebut. Sehingga status wilayah Podi ditetapkan sebagai kawasan bencana banjir dalam tata ruang wilayah kabupaten Tojo Unauna yang kemudian disahkan melalui Perda No. 8/2012. Dimana dalam Perda tersebut ada 9 upaya penanganan yang dicanangkan pemerintah untuk wilayah Podi yang tercantum dalam Pasal 22 ayat 3, yaitu mengatur pengendalian tata ruang, pengaturan 2 Berdasarkan Data Tim Tata Ruang Tojo Unauna tahun 2008-2028, diperkirakan daerah hulu tepatnya di Pegunungan

Podi terdapat titik rawan runtuh seluas 169,84 Ha dengan potensi kuantitas reruntuhannya 509.520.000 meter kubik. Sementara itu, potensi areal rawan banjir mencapai lebih dari 92,62 Ha dengan titik lebar longsor 1,90 Km. (Saturi & Paino, 2013).

3 Danau ini dikwatirkan akan menjadi ancaman air bah bila penyangganya mengalami longsor

4 Berdasarkan foto yang di ambil oleh citra satelit tahun 2007, muara sungai ini memiliki lebar muara 1,35 Km akibat dari luapan pasir dan lumpur. Dimana bagian yang tidak di aliri air menjadi kering dan tandus. sementara pohon-pohon yang tersisa di antara timbunan material sebagian mulai mengering.

74

Politik Ruang dan Perlawanan:

Kisah K

onflik atas Ruang di T

ingkat L

okal

debit banjir, pengaturan daerah rawan banjir, peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian, pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat, pengelolaan daerah tangkapan air, penyediaan dana dan pembuatan tanggul permanen yang kokoh di sisi kiri kanan sungai, serta pembuatan trase jalan baru, dengan memindah jalur jalan yang ada selama ini sedikit ke atas dan yang terakhir adalah membuat jembatan penghubung di atas Sungai Podi.

Dari semua upaya yang dicanangkan pemerintah tersebut, hingga tahun 2014, baru pada pembuatan jembatan penghubung dan pembuatan trase jalan yang sedikit dinaikan dari sebelumnya. Walaupun saat ini, justru badan jalan lebih rendah dari material banjir yang mulai membentuk bukit-bukit kecil di sisi kiri dan kanan jalan. Upaya yang lain adalah pengendalian tata ruang yang implementasinya justru memaksa warga untuk pindah dari tempat tinggal mereka ke lokasi baru yang tidak terlalu jauh dari kawasan eks banjir (Dusun 1 Podi).

Jika kita menelusuri penyebab kerusakan hutan di kawasan hulu Podi yang kini menjadi ancaman terbesar keselamatan warga Podi, sebenarnya disebabkan oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dimana wilayah pegunungan bagian hulu wilayah Podi di berikan kepada PT. Hutan Bersama6 untuk melakukan

aktivitas Logging (Penebangan Hutan). Seperti yang dilansir Nuansa Pos (2007) dan Yayasan Merah Putih (YMP) (2007), dimana warga mendesak Bupati, DPRD dan Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk segera mencabut perpanjangan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) PT. Hutan Bersama, karena aktivitas perusahaan ini diduga telah merusak lingkungan di Kabupaten Tojo Unauna.

Skenario Proyek pengosongan Wilayah

Wilayah Podi ternyata menyimpan kandungan biji besi yang melimpah sehingga menjadi incaran para investor. ini merupakan peluang besar dalam peningkatan ekonomi dari segi pertambangan. Sehingga oleh pemerintah, wilayah ini pada akhirnya7 ditetapkan sebagai kawasan pertambangan. Sayangnya kebijakan ini

justru menjadi bencana baru bagi warga.

Dalam mendukung penetapan kawasan pertambangan di wilayah rawan bencana tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan “penyelamatan” warga melalui program relokasi. Sebuah upaya pemindahan warga yang tepat berada di lokasi rawan bencana ke lokasi yang menurut pemerintah“aman. Tindakan ini

6 Perusahaan ini mendapatkan izin HPH dari Pemerintah Poso pada 6 Agustus 1987 dengan luas wilayah kelola 90.000 Ha di Tojo Unauna.

7 Dalam Draft RTRW Tojo Unauna tahun 2008-2028 wilayah ini belum ditetapkan sebagai kawasan tambang nikel (berpo- tensi dan masih dalam penelitian) tapi kemudian ditetapkan dalam RTRW Tojo Unauna tahun 2012-2032.

75

Inkonsistensi Keruangan Dalam Perspektif Kebencanaan

kemudian di anggap penting untuk di lakukan agar pemerintah memiliki kuasa penuh atas wilayah tersebut. Selain itu, upaya tersebut dilakukan agar warga terhindar dari dampak kerusakan yang memperparah wilayah tersebut akibat beroperasinya izin-izin pertambangan nantinya. Kebijakan ini mempertegas pernyataan Sweezy (1970, hal. 249 & 243) bahwa dimana ada kepentingan investor maka ada kecenderungan kuat dalam menggunakan kekuasaan negara.

Hal ini terlihat jelas pada program relokasi yang terjadi ditahun 2008, setelah banjir terparah tahun 2005 yang menerjang Dusun 1 dan Dusun 2. Pemerintah mengucurkan program pemindahan 300 Kepala Keluarga (KK) warga kedua dusun tersebut ke Kai Nyole yang kemudian menjadi dusun 4. Padahal berdasarkan hasil FGD (Pemkab Tojo Unauna, 2008), rehabilitasi rumah warga korban banjir yang menjadi keputusan saat itu, tapi dalam pelaksanaannya justru hadir proyek relokasi. Sementara upaya penanganan pada sumber bencana di abaikan pemerintah.

Walhasil, proyek ini menuai penolakan dari warga. Karena menurut warga, relokasi bukanlah solusi yang terbaik. Karena kebijakan ini justru membuat mereka tersingkirkan dari tanah yang selama ini telah menghidupi mereka. Karena kemanapun mereka akan dipindahkan ini tidak menjadi jawaban atas masalah banjir tersebut. Artinya, akar masalah bukan pada posisi tempat tinggal warga tapi pada erosi gunung serta aliran sungai yang tak tersentuh kebijakan. Namun relokasi tetap dipaksakan untuk berlanjut demi sebuah kepentingan.

Bahkan dalam program ini, ada pihak-pihak yang menggunakan kesempatan tersebut untuk kepentingan kantong mereka. Dana bantuan yang seharusnya membangun 300 unit rumah dikebiri oleh mereka, sehingga relokasi ini hanya bisa menyediakan 260 unit rumah yang tidak sesuai dengan bestek. Rumah permanen yang diiming-imingkan ke warga hanya sampai pada bahasa proposal pengajuan serta menjadi mimpi yang tak mungkin terwujud. Menurut warga ketidakseuaian ini karena Pemerintah memberikan sebagian dana proyek tersebut untuk korban bencana tsunami aceh. Demikianlah kabar yang dihembuskan oleh pemerintah kepada warga Podi dalam membungkam suara-suara protes terkait pembangunan rumah tersebut.

Sejarah pengebirian dana bantuan ini, sebelumnya juga sudah cukup berhasil pada relokasi yang terjadi tahun 1999. Saat itu, Pemerintah mengucurkan dana bantuan sebesar 500 juta rupiah untuk pembangunan 100 unit rumah permanen di Dusun 2 Kave Kai bagi 100 KK korban banjir dusun 1. Dimana pembangunan

76

Politik Ruang dan Perlawanan:

Kisah K

onflik atas Ruang di T

ingkat L

okal

ini pada akhirnya, hanya bisa membangun 60 unit rumah yang jauh dari perencanaan awal serta 40 KK tidak tersentuh bantuan.

Selanjutnya, dalam memuluskan proses pemindahan paksa warga Dusun 1 dan 2 ke Kai Nyole, dibuatlah sebuah skenario tanda tangan paksa pada malam hari. Oleh pemerintah, Aparat desa (Kaur desa) dipercayakan dalam mengedarkan daftar tanda tangan tersebut, dimana isinya memuat persetujuan warga atas pemindahan tersebut. Selanjutnya bila ada dari warga yang tetap menolak, maka konsekuensi adalah tidak diberikan bantuan dalam bentuk apapun.

Pada akhirnya pemindahan paksa ini berhasil, walaupun hanya bisa memindahkan 145 KK ke rumah baru yang berdinding papan dan tidak memiliki listrik. Sementara warga yang tetap memilih untuk mempertahankan rumah dan tanah mereka, tidak diberikan bantuan dalam bentuk apapun. Artinya, relokasi yang menuju pada pengosongan wilayah penyimpan bijih besi ini menjadi satu keharusan yang penting agar saat eksploitasi terjadi, tak ada penolakan dari warga. Inilah jawaban atas tidak adanya upaya penanganan atau kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait normalisasi atau rumusan yang terdapat dalam Perda No. 8/2012 hingga saat ini.

Jika pemerintah berdalih bahwa penyebabnya adalah soal keterbatasan anggaran, maka mari bersama kita melirik APBD Tojo Unauna pada tahun 2013. Dimana total pendapatan daerah tersebut sebesar Rp. 571.093.439.976. Sayangnya dari dana yang sebanyak itu, tak ada yang dialokasikan untuk pemulihan lingkungan daerah rawan bencana. Misalnya, untuk wilayah Podi yang semakin rawan. Justru peruntukan belanja perjalanan dinas semua instansi yang nilainya sangat bombastis atau belanja Dinas Pertambangan misalnya, menghabiskan dana sebesar Rp. 1.052.000.000 hanya untuk pengadaan lampu hias jalan.

Artinya, pemerintah dengan sengaja membiarkan Podi yang semakin rawan sehingga status sebagai wilayah rawan bencana melahirkan argumentasi penyelamatan warga melalui pemindahan dan tak terbantahkan. Selanjutnya bila wilayah ini tak berpenghuni lagi, maka akan sangat mudah di serahkan ke tangan investor untuk diporak-porandakan sesuai kebutuhan mereka mengeruk kekayaan alam.

77

Inkonsistensi Keruangan Dalam Perspektif Kebencanaan

Dalam dokumen KISAH KONFLIK ATAS RUANG DI TINGKAT LOKAL (Halaman 72-77)