• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: ANALISIS DATA

KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Pondok Pesantren

B. Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren

2. Sejarah Perkembangan Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren Pesantren

pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan, yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya.

Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan jaminan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. Pada hakekatnya humanisme religius di pesantren merupakan rasa kesadaran dalam bermasyarakat yang peduli terhadap sesama, sehingga mampu melahirkan rasa peduli terhadap masyarakat yang juga menunjang kegiatan di pondok pesantren.

2. Sejarah Perkembangan Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren

Pendidikan sebagai proses pemanusiawian manusia (humanisasi) bersumber dari pemikiran humanisme. Hal ini sejalan dengan makna dasar

humanisme sebagai pendidikan manusia. Sistem pendidikan dalam Islam yang dibangun atas dasar nilai-nilai humanistik sejak awal kemunculannya sesuai dengan esensinya sebagai agama kemanusiaan. Islam menjadikan dimensi kemanusiaan sebagai orientasi pendidikannya. Sangatlah naif kalau dikatakan bahwa konsep pendidikan humanistik Islami merupakan konsep pendidikan Barat yang diberi label Islam. (Rahman, 2011:78)

Kajian tentang humanisme dalam pendidikan bukanlah sebuah teori pendidikan yang berdiri sendiri sebagaimana teori progresivisme, perenialisme, esensialisme, atau rekonstruksionisme. Pendidikan humanistik merupakan sebuah pemikiran pendidikan yang dikembangkan dari ide dalam teori progresivisme. (Rahman, 2011:78)

a. Pragmatisme

Pragmatisme yang juga disebut eksperimentalisme dan instrumentalisme merupakan reaksi terhadap perubahan (revolusi industri) pada akhir abad ke-20. Ciri utamanya adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja mengubah lingkungan. William James, tokoh filsafat ini, mendefinisikan pragmatisme sebagai sikap memalingkan muka dari segala sesuatu atau prinsip awal dan beralih kepada fakta-fakta baru. (Rahman, 2011:80)

Penganut pragmatisme menekankan sains empiris, dunia yang berubah dan problemnya sebagai realitas. Pemikiran filosofis pragmatisme disarikan oleh Knight menjadi beberapa hal berikut. Pertama, realitas itu bersifat eksperimental. Realitas bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi merupakan

pengalaman transaksional yang terus berubah sehingga pengalaman manusia harus dinyatakan kemungkinan (probabilitas). (Rahman, 2011:80)

Kedua, kebenaran didasarkan pada kegunaan dan fungsi sehingga sifatnya relatif. Pengetahuan ini berdasar pada pengalaman yang berdasar pada pengalaman yang bersifat umum yang dibedakan dari kepercayaan yang bersifat pribadi. Ketiga, nilai itu berasal dari masyarakat yang berubah-ubah. Masalah moral tidak ada aturan aksiologis yang universal. Pragmatisme memandang pendidikan (sekolah) seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas masyarakat. (Rahman, 2011:78)

Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dalam, bahkan menjadi faktor utama munculnya teori atau pemikiran humanisme dan progresivisme. Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah :

1) Peserta didik adalah subjek yang memiliki pengalaman. Dia adalah individu yang memiliki kecerdasan dan mampu menggunakannya guna memecahkan problematika.

2) Guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya. Guru berperan menanamkan pengetahuan yang esensial bagi diri peserta didik.

3) Materi atau kurikulum harus sesuai kebutuhan siswa yang menekankan proses daripada materi. Materi atau kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan subjek didik (siswa) sehingga harus terbuka dan alamiah.

4) Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang berguna.

5) Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial. b. Progresivisme

Teori progresivisme muncul pada tahun 1920-an. Progresivisme sangat dipengaruhi oleh pragmatisme. Bertolak dari pemikiran terebut, progresivisme menentukan prinsip pendidikan.

1) Proses pendidikan ditujukan untuk kepentingan anak. Kurikulum dan metode pembelajaran berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif peserta didik.

2) Anak merupakan subjek pendidikan yang aktif. Anak bukan individu yang hanya bisa menerima informasi. Mereka itu dinamis yang memiliki keinginan belajar.

3) Peran guru sebagai penasihat, pembimbing, dan pemandu. Guru tidak boleh bersikap otoriter sebagai penyalur informasi tunggal.

4) Aktivitas kelas memfokuskan pada pemecahan masalah anak sebagai peserta didik dalam pendidikan. Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan progresivisme berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. (Rahman, 2011:84)

Aliran Eksistensialisme merupakan suatu doktrin moral dan metafisika yang berpijak pada pilar individualisme. Aliran ini hanya membahas manusia selaku individu yang memiliki tujuan. Pemikiran aliran ini adalah :

1) Realitas sebagai eksistensi. Tindakan manusia sehari-hari adalah proses perumusan esensinya. Fokus realitas berada pada diri manusia sebagai individu.

2) Kebenaran sebagai pilihan. Manusia sebagai individu adalah inti otoritas epistemologis dalam eksistensialisme. Manusialah yang memberi makna sesuatu.

Teori eksistensialisme lebih menekankan keunikan anak secara individual daripada progresivisme yang cenderung memahami anak dalam unit sosial. Pandangan tentang keunikan individu ini mengantarkan kalangan humanis untuk menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu supaya menjadi manusia bebas dan bertanggungjawab dalam memilih. (Rahman, 2011:86)

Pemikiran pendidikan ini mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar. Apabila lingkungan baik (kondusif untuk belajar) maka anak akan terdorong untuk belajar sendiri. (Rahman, 2011:87)

Dalam kajian ini, humanisasi dimaksudkan sebagai implementasi konsep humanisme Islam dalam pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas

dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan jaminan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. (Rahman, 2011:156)

Pendidikan pesantren dengan pendekatan humanistik diharapkan mampu membentuk manusia yang merdeka sehingga menjadi manusia seutuhnya. Untuk itu, keberhasilan pendidikan pesantren tidak cukup diukur dari kemampuannya menguasai hal-hal yang bersifat kognitif. Proses pendidikan ditujukan untuk membentuk manusia yang memiliki kemampuan berbagai disiplin ilmu sehingga bisa berperan dalam kehidupan bermasyarakat untuk kebaikan hidup manusia, baik urusan keduniaan maupun urusan keagamaan.

Mereka adalah orang ahli ilmu, ahli ibadah, dan ahli takwa. Kesatuan ilmu dan takwa sebagai kesempurnaan diri menjadikan manusia sebagai orang yang baik secara sosial dan spiritual membentuk manusia sebagai hamba Allah („abdullah), sedangkan kemampuannya menciptakan kebaikan hidup manusia di dunia menjadikan manusia sebagai khalifah Allah.

Keberhasilan yang lebih penting adalah penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang melahirkan budi pekerti yang luhur (akhlak mulia). Pendidikan pesantren dengan cirinya sebagai pendidikan agama secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan santri yang berilmu, yang sekaligus beriman dan beramal saleh yang tetap menegakkan harkat dan martabat

manusia. Pelaksanaan pendidikan pesantren tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia.

Nilai-nilai humanisme yang diimplementasikan dalam pendidikan berupaya meningkatkan akhlak mulia. Akhlak inilah yang menjadi dasar dalam mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan santri. Humanisasi dalam pendidikan pesantren akan mampu membentuk mereka menjadi manusia yang mau menghiasi diri dengan akhlak mulia sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi pijakan sistem pendidikan pesantren. Karena itu, sebenarnya pesantren merupakan lembaga yang menjadi agen humanisasi. (Rahman, 2011:156) 3. Aspek-aspek Pendidikan Humanisme Religius

Dalam membahas penyelenggaraan pendidikan setidaknya harus menguraikan aspek mendasar yang berfungsi untuk menjalankan sistemnya. Pembahasan tentang humanisasi pendidikan Islam setidaknya meliputi enam aspek utama, yaitu tujuan, materi, pendidik, peserta didik, metode, dan evaluasi pendidikan. (Rahman, 2011:110)

a. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan dimaksudkan sebagai perubahan yang akan dihasilkan dalam diri peserta didik akibat aktivitas pendidikan. Sebuah tujuan ditentukan oleh pandangan hidup (way of life) yang meliputi keyakinan agama dan realitas social dalam hidup keseharian. Nilai-nilai dalam pandangan hidup menjadi dasar dalam menggerakkan dan menyelenggarakan sistem pendidikan. (Rahman, 2011:111)

Tujuan mengaktualisasikan potensi manusia (peserta didik) menjadi „abdullah merupakan tujuan pendidikan humanistik dalam Islam sesuai tujuan penciptaan manusia. (Rahman, 2011:113)

b. Materi

Materi pendidikan adalah isi kurikulum yang dijadikan bahan pembelajaran. Materi pendidikan atau kurikulum ini ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai oleh sistem pendidikannya. Hakikat dalam materi pendidikan Islam harus didasarkan pada pandangan bahwa peserta didik adalah orientasi utama. Materi atau kurikulum merupakan kebutuhan siswa yang dipandang memiliki potensi, kemampuan, dan kekuatan yang berkembang. Proses pendidikan menekankan peranan peserta didik sebagai subjek pendidikan yang menjadi pusat perhatiannya (student centred).

(Rahman, 2011:118)

Kurikulum dalam pendidikan humanistik harus menyediakan kepuasan pengalaman personal setiap individu. Kurikulum dipandang sebagai proses pembebasan yang dapat memenuhi kebutuhan perkembangan dan integritas personal. Pendidikan humanistik bertolak dari paradigma kurikulum sebagai aktualisasi kemampuan yang bertumpu pada individu dan potensi diri peserta didik. (Rahman, 2011:119). Sukamadinata memberikan lima ciri kurikulum humanistik, yaitu :

1) Partisipasi

Pembelajaran adalah kegiatan belajar bersama yang memungkinkan peserta didik bisa berdiskusi dan bertanggungjawab.

2) Integrasi

Melalui partisipasi, peserta didik bisa menyatukan pemikiran, perasaan, dan tindakan.

3) Relevansi

Materi pembelajaran relevan dengan keutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik sehingga lebih bermakna bagi dirinya.

4) Pribadi anak

Materi pembelajaran memungkinkan pribadi peserta didik berkembang dan potensi bisa teraktualisasi.

5) Tujuan

Pembelajaran bertujuan mengembangkan pribadi yang utuh dan serasi. Tujuan penting dalam kurikulum pendidikan humanistik Islami adalah kemauan peserta didik untuk mendengarkan, mengevaluasi diri, mengembangkan kreativitas dan keterbukaan terhadap pengalaman baru yang bermakna bagi dirinya. (Rahman, 2011:123)

c. Pendidik

Istilah pendidik dimaksudkan sebagai orang yang pekerjaannya adalah mendidik orang lain. Pendidik adalah orang yang ahli dalam teori dan metode pendidikan. Islam memandang pendidik sebagai profesi yang sangat mulia. Pendidik menempati posisi sebagai orang yang berilmu („alim) sesuai jenis dan tingkatannya. (Rahman, 2011:113)

Pendidik yang humanis menempatkan dirinya pada tingkatan yang sama dengan peserta didik. Menurut Thasy Kubra Zadeh, sebenarnya orang

pandai adalah orang yang selalu merasa dirinya bodoh sehingga selalu berusaha menambah ilmu. Keteladanan yang harus dimiliki seorang pendidik dalam sistem pendidikan humanistik-Islami meliputi semua aspek kehidupan. Seorang pendidik juga harus pandai menyimpan kemarahan kepada peserta didik. Sebaliknya, pendidik harus memiliki sikap sabar, hormat, lemah lembut, sayang, dan tabah dalam mencapai tujuan. (Rahman, 2011:130).

d. Peserta didik

Istilah peserta didik ini mengacu pada konsep dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”. (Rahman, 2011:131) Pembelajaran dalam paradigma peserta humanistik bukanlah upaya pendidik menyampaikan bahan ajar, melainkan upaya peserta didik dalam mengembangkan diri sesuai tujuan. Pendidik harus menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat membangkitkan peserta didik untuk belajar sehingga tumbuh kreativitas. Peserta didik harus mendapatkan fasilitas atau kondisi supaya bisa belajar sesuai dengan kemauannya sendiri atas dasar rasa senang. Peserta didik memiliki hak untuk belajar sesuai dengan pilihannya. Mereka belajar secara mandiri sehingga menentukan harus menentukan arahnya sendiri. (Rahman, 2011:138)

Metode pendidikan merupakan cara atau upaya komprehensif dari semua komponen pendidikan sehingga tercipta iklim yang efektif dan efisien guna mencapai tujuan pendidikan yang telah diwujudkan dalam sebuah kurikulum. Proses pembelajaran dalam pendidikan humanistik Islami lebih menekankan pada how to think (bagaimana berpikir) daripada

what to think (berpikir tentang apa). (Rahman, 2011:113)

Metode pendidikan dalam perspektif humanisme Islam, menurut

Mas‟ud, harus lebih menekankan pengembangan kreativitas, penajaman hati

nurani, dan keberagamaan peserta didik. Metode dalam pendidikan humanistik bertolak dari peran pendidik dan peserta didik. Sistem pembelajarannya tidak berjalan satu arah yang dilakukan oleh pendidik yang mengajar sesuai buku teks. Pembelajaran dimaksudkan sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu tingkatan (UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 1)

Berdasarkan prinsip kebebasan tersebut setidaknya dapat ditentukan jenis metode yang cocok untuk diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan humanistik Islami, yaitu : diskusi, pemecahan masalah, keteladanan, serta keseimbangan hukuman dengan hadiah.

a) Metode diskusi (discussion). Sebagai sebuah metode pendidikan, dialog memposisikan pendidik dan peserta didik untuk bisa berpartisipasi aktif untuk mendiskusikan semua topik pembelajaran.

b) Metode pemecahan masalah (problem solving). Metode ini menuntut peserta didik untuk mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Metode ini menghadapkan peserta didik kepada situasi baru yang mengundang mereka untuk bekerja dengan penuh kesadaran tentang tujuan yang berasal dari lingkungannya.

c) Metode keteladanan (role model). Metode ini memberikan contoh atau teladan kepada peserta didik. Kesalehan moral, spiritual, dan intelektual sebagai pengejawentahan proses internalisasi sifat-sifat yang terdapat dalam diri manusia harus dimiliki oleh pendidik untuk ditiru oleh peserta didik.

d) Metode keseimbangan hukuman dan hadiah. Pemberian hukuman atau sanksi dipandang sebagai suatu cara mendisiplinkan peserta didik dalam melaksanakan peraturan yang ada. Karena itu, dalam pendidikan humanistik Islami menuntut adanya keseimbangan antara hukuman dan hadiah dalam proses pendidikan sebagai aktualisasi kebebasan dalam akatan. (Rahman, 2011:148)

f. Evaluasi Pendidikan

Evaluasi dalam pendidikan harus mencakup semua aspek perkembangan pribadi peserta didik. Evaluasi yang hanya menitikberatkan pada kemampuan mengingat dan menghafalkan materi yang mengabaikan kemampuan afektif dan pikomotorik menjadikan pembelajaran hanya mengejar materi dan informasi. Evaluasi terhadap penguasaan materi itu tidak bisa menggambarkan perkembangan pribadi secara komprehensif yang juga meliputi aspek kecerdasan emosional dan spiritual. (Rahman, 2011:149)

Atas dasar itulah, evaluasi pendidikan juga harus mengupayakan fasilitas yang menunjang pencapaian tujuan. Pendidik yang humanis merasa senang kalau peserta didiknya bisa merespons berbagai kegiatan kelas. McNeil mengutip hasil penelitian Carl Rogers bahwa peserta didik akan lebih rajin belajar, lebih rajin masuk sekolah, lebih kreatif, dan mampu menyelesaikan masalah ketika menggunakan kurikulum yang humanis. (Rahman, 2011:153)

Ukuran keberhasilan pendidikan diperoleh dari hasil interaksi dengan semua komponen pendidikan yang terwujud dalam wawasan, cara berpikir, mengendalikan diri, menyikapi keadaan, dan memecahkan persoalan yang tidak hanya pengetahuannya. Semua kemampuan itu harus diperoleh melalui pengalaman belajar peserta didik. Evaluasi ditujukan untuk mengetahui aktivitas yang dapat membantu peserta didik menjadi lebih terbuka dan bebas sehingga bermanfaat bagi dirinya pada masa yang akan datang. Ukuran hasil pendidikan yang bermakna adalah berdasarkan hasil pengamatan yang terus-menerus terhadap perubahan perilaku peserta didik oleh pendidik dan sekolah bersama-sama orang tua. (Rahman, 2011:15)

BAB III