• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN HUMANISME RELIGIUS PADA PONDOK PESANTREN BAGI MASYARAKAT (STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN HUMANISME RELIGIUS PADA PONDOK PESANTREN BAGI MASYARAKAT (STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN

HUMANISME RELIGIUS PADA PONDOK PESANTREN

BAGI MASYARAKAT

(STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO,

GEDANGAN, KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam

Oleh :

STRI ANA FARHANA

NIM : 111 10 082

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Sebaik-baik manusia adalah ia yang dapat bermanfaat bagi orang lain.

PERSEMBAHAN

Yang Utama Dari Segalanya...

Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. atas karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan.

Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rasullah Muhammad SAW.

Semoga sebuah karya mungil ini menjadi amal shaleh bagiku dan menjadi kebanggaan bagi keluargaku tercinta.Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi dan kusayangi. Bapak dan Ibu Tercinta

Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan

karya kecil ini kepada Bapak H. Anwar, B.A dan Ibu Hj. Siti Mae Saroh sebagai peneduh jiwaku, yang selalu mencurahkan segala kasih sayangnya ketika aku masih dalam kandungan hingga terlahir ke dunia, sehingga dapat melihatku tumbuh menjadi perempuan yang

membahagiakan. Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal untuk membuatku termotivasi dan selalu menyirami kasih sayang, selalu mendo’akanku, selalu menasehatiku menjadi lebih baik,.

Bapak KH. Mahfud Ridwan, Lc dan Ibu Hj. Nafisah yang selalu membimbing serta

memberikan nasehatnya ketika kami belajar untuk hidup mandiri.

Gus M.Hanif,M.Hum dan Ning Rosyidah, Lc yang tak kenal lelah memberikan petuahnya

(7)

Untuk kakak-kakakku Laila Ananingrum dan Mulyanto, serta Arifa Kusumawati dan

Hanostuk Vanda Ardiyansyah terima kasih atas dukungan dan motivasi serta telah memberikan sebuah pengalaman hidup menjadi orangtua yang bijak.

Kedua keponakanku, para jagoan cerdas dan sholih Auliya Abimantrana dan Reo Al Idrisi

Geosfera. Serta si twin Shakila Sasikirana dan Annora Sasikirana yang membuat rumah dan hidup semakin ramai oleh tingkah lucu mereka.

Semua santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro, yang telah memberikan warna kehidupan

serta telah mengukir cerita di pondok ini. Dari sinilah penulis belajar mandiri, berorganisasi, hidup bermasyarakat, dan menjadi seorang pemimpin.

Sahabat kecilku di TBB Edi Mancoro, TPQ Az Zahra, MI Ma’arif, dan RA Masithoh

Gedangan yang selalu membuatku tertawa lepas karena kepolosan kalian.

Bapak Dr. Phil Asfa Widiyanto, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi saya, terima kasih

atas bimbingan bapak selama ini.

Untuk guru-guruku, ustadz, serta semua dosen terima kasih atas bimbingan dan arahan

selama ini. Semoga ilmu yang telah diajarkan menuntunku menjadi manusia yang berharga di dunia dan bernilai di akhirat.

Teman-teman PAI C angkatan 2010 , kebersamaan kita ketika masih menjadi mahasiswa

baru hingga sekarang telah terlukis dalam bingkai kebersamaan.

My best man, dalam hari-hari penulis. Seseorang yang telah menemani selama perjalananku

untuk belajar menjadi seorang wanita sholihah, terimakasih atas dukungan dan kesabarannya. Because, you still with me…..

Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tak dapat penulis

(8)

KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur kupersembahkan bagi sang penggenggam langit dan bumi, dengan rahman rahim yang menghampar melebihi luasnya angkasa raya. Dzat yang menganugerahkan kedamaian bagi jiwa-jiwa yang senantiasa merindu akan kemaha besaran-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Lantunan sholawat beriring salam penggugah hati dan jiwa, menjadi persembahan penuh kerinduan pada sang revolusioner Islam, pembangun peradaban manusia yang beradab Habibana wanabiyana Muhammad Saw...

Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Tarbiyah.

3. Bapak Rasimin, S.Pd.I. M.Pd. selaku Ketua Program Studi PAI. 4. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dosen pembimbing akademik.

(9)

6. Bapak ibu dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak dan ibu, saudara-saudara, serta teman-teman yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di STAIN Salatiga.

Kepada mereka semua, penulis tidak dapat memberikan balasan apapun. Hanya untaian kata terima kasih yang bisa penulis sampaikan, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis.

Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.

Wassalamu‟alaikum Wr.Wb

(10)

ABSTRAK

Farhana, Stri Ana, 2014. IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN HUMANISME RELIGIUS PADA PONDOK PESANTREN BAGI MASYARAKAT (STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, TUNTANG KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014.

Skripsi Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Dr. Phil Asfa Widiyanto, M.A.

Kata Kunci : Pendidikan Humanisme Religius

Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui implementasi dan implikasi pendidikan humanisme religius pada Pondok Pesantren bagi masyarakat. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana bentuk pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro ? (2) Bagaimana materi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro mempunyai relevansi dengan pembentukan jiwa humanis dan religius ? (3) Bagaimana sistem pendidikan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Edi Mancoro untuk mencapai pendidikan humanis dan religius ? (4) Bagaimana peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif etnografi.

(11)
(12)

3. Lokasi Penelitian……….. 16

4. Sumber Data……… 17

5. Prosedur Pengumpulan Data………. 18

6. Analisis Data……… 20

7. Pengecekan Keabsahan Data……… 21

G.Tahap-tahap Penelitian………. 22

H. Sistematika Penulisan………... 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA………. 26

A. Gambaran Umum Pondok Pesantren……… 26

1. Pengertian Pondok Pesantren……….. 26

2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren……… 28

3. Tujuan Pondok Pesantren……… 30

4. Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren………. 33

B. Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren……… 48

1. Pengertian Humanisme Religius di Pondok Pesantren…... 48

2. Sejarah Perkembangan Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren……… 50 3. Aspek-aspek Pendidikan Humanisme Religius…………... 56

BAB III BENTUK DAN POLA HUBUNGAN SOSIAL………... 65

(13)

1. Letak Geografis Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Kondisi Sosiokultural………..

63

2. Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro……… 65 3. Visi, misi, tujuan, garis perjuangan, keadaan ustadz dan

santri,dan pelaksanaan pendidikan di Pondok Pesantren

Edi Mancoro……… 68

B. Hubungan santri dengan keturunan kyai serta dengan

masyarakat sekitar pondok pesantren……… 82

1. Hubungan santri dengan keturunan kyai……… 82

2. Hubungan santri dengan masyarakat sekitar pondok

pesantren……….. 87

BAB IV

ANALISIS DATA………. 92

A. Bentuk Pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro……… 92 B. Implementasi Pendidikan Humanisme Religius di Pondok

Pesantren Edi Mancoro………. 94

C. Peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan

Humanisme Religius………. 101

BAB V

PENUTUP………. 106

A. Kesimpulan……… 104

(14)
(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR LAMPIRAN 1. Daftar Pustaka

2. Riwayat hidup penulis 3. Nota pembimbing skripsi

4. Surat permohonan izin melakukan penelitian 5. Surat keterangan melakukan penelitian 6. Deskripsi wawancara

7. Lembar konsultasi 8. Foto kegiatan

(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, disinyalir sebagai sistem pendidikan yang lahir dan tumbuh melalui kultur Indonesia yang bersifat “indigenous” yang diyakini oleh sebagian penulis telah mengadopsi model pendidikan sebelumnya yaitu dari pendidikan Hindu dan Budha sebelum kedatangan Islam.

Pesantren memiliki beberapa unsur yang dalam hal-hal tertentu membedakan dengan sistem pendidikan lainnya. Unsur-unsur itu meliputi kiai, santri, masjid, pondok (asrama), dan pengajian kitab kuning. Keterpaduan unsur-unsur tersebut membentuk suatu sistem dan model pendidikan yang khas, sekaligus membedakan dengan pendidikan formal. (Maunah, 2009:1).

Salah satu unsur tersebut adalah kiai. Sebutan kiai ini menunjuk pada seseorang yang dituakan karena kedalaman ilmu agamanya dan bobot ibadahnya kepada Allah Swt, maka posisi kiai senantiasa sebagai subjek dalam pergumulan masyarakat desa. Mereka terlibat dalam berbagai persoalan “agama”, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan sampai pada

persoalan kesehatan.

(18)

bentuk religiusnya. Penerapan itu dapat digambarkan melalui berbagai hal, misalnya shalat tahajud, shalat berjama‟ah, dan membaca Al Qur‟an.

Sehingga kalau seseorang itu religius, mestinya personalitanya menggambarkan bangunan integral atau struktur integral dari manusia yang religius tersebut, yang akan nampak dari wawasannya, motivasinya, cara berfikirnya, sikap perilaku. (Mulkhan, 1998:28).

Humanisme adalah suatu aliran dalam masa Renaissance yang ditujukan terutama kepada sastra, sejarah dan cinta tanah air. Humanisme mempelajari sastra dan seni klasik dengan tujuan ilmiah dan pedagogis. Dalam bidang pendidikan, terutama dalam sastra klasik (latin dan yunani) humanisme dianggap sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengembangkan manusia sejati. Ilmu pengetahuan tersebut dinamakan seorang humanis. Aliran humanisme mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia adalah sama, bagian dari dunia dan ciptaan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara golongan kaya dan miskin, atasan dan bawahan, laki-laki dan perempuan. Semua manusia adalah saudara, karenanya harus saling mengasihi. (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid III, 1990 : 1350).

Untuk memahami perkembangan paham humanisme dalam era Renaissance, kita perlu memperhatikan dengan saksama institusi pendidikan dan budaya baik di Italia maupun di negara Eropa lainnya pada waktu itu. Di Eropa Utara pada akhir Abad Pertengahan, yakni sekitar abad kesebelas dan kedua belas, muncul sekolah-sekolah yang disebut sekolah katedral

(19)

Katolik. Di sekolah-sekolah ini diajarkan tujuh bidang liberal arts, termasuk tata bahasa dan membaca karya-karya klasik para pengarang yang berbahasa Latin. Menjelang akhir abad kedua belas beredar untuk umum berbagai tulisan dalam bidang filsafat dan sains, khususnya karya-karya Aristoteles, yang diterjemahkan dari bahasa Arab dan Yunani ke dalam bahasa Latin. (Tjaya, 2004:21-22)

Karya-karya ini secara perlahan-lahan mulai merangsang dan mengubah pemikiran Barat. Logika dan filsafat alam segera menemukan rumah baru mereka dalam institusi pendidikan yang baru saja dibangun, yakni universitas yang muncul pada awal abad ketiga belas. Institusi -institusi baru ini memiliki arts sebagai fakultas utama, yang mencakup studi logika, filsafat dan sains berdasarkan pemikiran Aristoteles. (Tjaya, 2004:21-22).

Perkembangan yang terjadi di Eropa Utara ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Italia. Wilayah Italia Utara terbentuk oleh negara-negara kota (city-states) yang kepentingan dan budayanya akhirnya melahirkan humanisme Renaissance. Universitas mereka yang pertama, Bologna, berdiri pada akhir abad kedua belas sebagai sekolah sebagai sekolah hukum, yang kemudian diikuti oleh fakultas arts yang didominasi oleh fakultas kedokteran. (Tjaya, 2004:21-22)

(20)

dialamatkan kepada humanisme modern yang dimensi religiusnya kurang. (Mas‟ud, 2002:130)

Di sinilah kita bisa melihat bahwa humanisme sekuler (modern) lebih dilihat dalam perspektif filsafat, sedangkan kalau dilihat sebagai agama, maka akan menjadi agama yang humanis. Perdebatan tersebut telah ada sejak awal abad ini, ketika kaum sekuler dan tradisional religius bisa bertemu dan membawa humanisme modern ke eksistensi. Sekuler dan humanis religius memberikan pandangan dunia yang sama dan mempunyai prinsip-prinsip dasar yang sama. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa para humanis sekuler dan religius adalah penandatanganan manifesto humanisme ke-1 pada tahun 1973. Jika hanya berangkat dari sudut pandang filsafat, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Bahwa humanisme religius dan sekuler secara efektif tidak sepakat, itu hanya dalam definisi agama dan pada filsafat praktis. (Mas‟ud, 2002:131).

Menurut Kenneth Phifer, seperti yang dikutip Mas‟ud (2012:132) bahwa definisi agama digunakan oleh humanis religius secara fungsional. Fungsi agama ialah untuk melayani kebutuhan personal dan kelompok sosial. Namun, persoalannya, agama sering terjebak pada aspek formalitas sehingga sulit menjalankan fungsi ini. Humanisme agama adalah keyakinan di dalam aksi. Dalam esainya “The faith of a Humanist” (Keyakinan Seorang Humanis), UU Menteri Kenneth Phifer mendeklarasikan sebagai berikut :

(21)

our philosophy of the universe may be, ultimately the responsibility for the kind of world in which we live rests with us.”

Humanisme mengajari kita bahwa tidaklah bermoral menunggu Tuhan berbuat untuk kita. Kita harus beraksi untuk menghentikan perang-perang dan kriminalitas-kriminalitas serta kebrutalan pada masa yang akan datang. Kita mempunyai kekuatan semacam kekuatan yang luar biasa. Kita mempunyai kebebasan tingkat tinggi dalam memilih apa yang akan kita lakukan. Humanisme mengatakan kepada kita apa pun bidang filsafat alam kita, terutama tanggungjawab kepada dunia tempat kita hidup dan tinggal bersama.

Humanisme sekuler melakukan pemberontakan terhadap agama karena mereka menganggap agama tidak bisa diharapkan untuk mengadvokasi masalah kemanusiaan, bahkan agama sering menimbulkan masalah kemanusiaan. Walaupun terlihat adanya silang pendapat yang dahsyat antara humanisme religius dan sekuler, yakni bahwa humanisme religius menganggap aksi kemanusiaannya karena konsistensi terhadap ajaran agama, sedangkan humanisme sekuler menganggap aksi mereka adalah berkat pemberontakan atau negasi terhadap agama. Humanisme dalam Islam tidak mengenal sekularisme karena tidak ada sekularisme dalam Islam. Dengan demikian, pembahasan humanisme dalam Islam dengan sendirinya adalah humanisme religius. Telah disinggung di depan bahwa humanisme dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep hablum minannas. Manusia sebagai agen Tuhan di bumi atau khalifatullah

(22)

Kesimpulannya bahwa humanisme religius juga disebut humanisme agama atau humanisme teosentris. Humanisme ini merupakan upaya untuk menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Humanisme religius, menurut Abbagnano memiliki dua tema kajian, yaitu : fungsi agama dan toleransi beragama.

Memperhatikan sistem dan tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang yang nota bene adalah mendampingi masyarakat, maka dari itu penulis tertarik menelusuri apakah dalam dunia pendidikan pesantren yang ada di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan tersebut mempunyai tujuan memanusiakan agama atau menciptakan manusia yang beragama, dalam istilah asingnya yaitu sesuai dengan judul skripsi ini, yakni

humanisme religius. Menarik jika dilihat humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro dilihat dari kesederhanaan, pluralitas, kemandirian yang ada dalam diri mereka. Serta masalah dalam pondok pesantren bagaimana para santri menerapkan kesederhanaan, pluralitas, serta kemandirian itu mengingat mereka hidup dalam lingkungan masyarakat.

(23)

seseorang. Dapat dipahami bahwa nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan tumbuh-kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah, dan akhlak yang menjadi pedoman sesuai dengan aturan Illahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. (Sahlan, 2011:41-42)

Dalam kajian ini, humanisasi dimaksudkan sebagai implementasi konsep humanisme Islam dalam pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan, yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan jaminan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. (Rahman, 2011:156)

(24)

Jiwa pesantren ini merupakan realisasi nilai-nilai humanisme Islam untuk mewujudkan integrasi dan harmonisasi kehidupan umat. Dari karakteristik yang tersebut di atas, di Pondok Pesantren Edi Mancoro terdapat indikator yang terimplikasi dalam jiwa pesantren di antaranya adalah kesederhanaan, kemandirian, serta pluralitas. Jiwa pesantren ini merupakan realisasi nilai-nilai humanisme Islam untuk mewujudkan integrasi dan harmonisasi kehidupan umat. Nilai-nilai humanisme yang diimplementasikan dalam pendidikan berupaya meningkatkan akhlak mulia. Akhlak inilah yang dijadikan dasar dalam mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan santri.

Humanisasi dalam pendidikan pesantren akan mampu membentuk mereka menjadi manusia yang mau menghiasi diri dengan nilai-nilai hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Nilai-nilai tersebut menjadi pijakan sistem pendidikan pesantren. Karena itu sebenarnya pesantren merupakan lembaga yang menjadi agen humanisasi. Aspek-aspek pendidikan dalam pesrpektif humanisme religius yaitu tujuan pendidikan, materi pendidikan, pendidik, peserta didik, metode pendidikan, evaluasi pendidikan.

Dari ungkapan di atas, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pendidikan pesantren yang berkaitan dengan humanisme religius dalam sebuah skripsi dengan Judul : IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI

(25)

PESANTREN BAGI MASYARAKAT (STUDI DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO, GEDANGAN, KAB. SEMARANG TAHUN 2014)

A. Fokus Penelitian

Dari identifikasi masalah di atas penulis merujuk fokus sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 ?

2. Bagaimana materi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 mempunyai relevansi dengan pembentukan jiwa humanis dan religius ?

3. Bagaimana sistem pendidikan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 untuk mencapai pendidikan humanis dan religius ?

4. Bagaimana peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat ?

B. Tujuan Penelitian

(26)

Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan Kecamatan Tuntang. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014.

2. Untuk mengetahui apakah materi pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 mempunyai relevansi dengan pembentukan jiwa humanis dan religius.

3. Untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Desa Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014 untuk mencapai pendidikan humanis dan religius.

4. Untuk mengetahui bagaimana peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat.

C. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

(27)

sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola oleh visi yang sama, untuk menghadapi problematika yang terjadi di masyarakat.

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan : a. Bagi Penulis

Dengan meneliti implementasi pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro, maka akan menambah wawasan pemahaman yang lebih komprehensif tentang penerapan pendidikan humanisme religius.

b. Bagi Santri

Penelitian ini sebagai sarana untuk menambah keilmuan mengenai penerapan pendidikan humanisme religius yang ada di pondok pesantren, sehingga belajar mengenai pendidikan tersebut atau dapat diterapkan dalam kehidupan di pondok.

D. Penegasan Istilah

1. Implementasi

(28)

biasanya dilakukan setelah perencanaan. Segala sesuatu yang digunakan sebagai alat pelaksana suatu pekerjaan. Implikasi adalah keterlibatan atau keadaan terlibat.

2. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. (Ihsan, 2003:2)

3. Humanisme Religius

Menurut Mas‟ud (2002:131) humanisme religius muncul dari etika

(29)

tersebut telah ada sejak awal abad ini, ketika kaum sekuler dan tradisional religius bisa bertemu dan membawa humanisme modern dan eksistensi.

Sekuler dan humanis religius memberikan pandangan dunia yang sama dan mempunyai prinsip-prinsip dasar yang sama. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa para humanis sekuler dan religius adalah penandatanganan manifesto humanisme ke-1 pada tahun 1973. Jika hanya berangkat dari sudut pandang filsafat, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Bahwa humanisme religius dan sekuler secara efektif tidak sepakat, itu hanya dalam definisi agama dan pada filsafat praktis.

Humanisme religius juga disebut humanisme agama atau humanisme teosentris. Humanisme ini merupakan upaya untuk menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Humanisme religius, menurut Abbagnano memiliki dua tema kajian, yaitu : fungsi agama dan toleransi beragama.

4. Pondok Pesantren

Menurut Qomar, seperti yang dikutip Maunah (2009:1) istilah pesantren dalam pemahaman sehari-hari, bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabungkan menjadi pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.

(30)

Secara umum masyarakat diartikan sebagai kelompok manusia yang anggotanya satu sama lain berhubungan erat dan memiliki hubungan timbal balik. Dalam interaksi tersebut terdapat nilai-nilai sosial tertentu yang menjadi pedoman untuk bertingkah laku bagi anggota masyarakat. Dengan demikian anggota suatu masyarakat biasanya memiliki kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan tertentu yang sama, dan seluruhnya menciptakan ciri tersendiri bagi masyarakat tersebut. (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 10, 1990:180)

Maksud dari penelitian penulis sehubungan dengan penegasan teori di atas adalah usaha untuk mempelajari dengan seksama mengenai pendidikan humanisme religius atau nilai-nilai humanisme religius, dengan arti usaha dalam rangka untuk membentuk kepribadian yang manusiawi serta beragama, bahwa dalam dunia pesantren mempunyai tujuan mengembangkan manusia yang beragama sehingga menciptakan manusia yang bertaqwa, yang dilakukan di lembaga pendidikan Islam dengan memfokuskan pada penelaah dan penganalisaan terhadap materi dan tradisi yang ada di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang.

E. Metode Penelitian

(31)

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian Lapangan (Field research). Di sini penulis mengumpulkan data dari lapangan dengan mengadakan penyelidikan secara langsung di lapangan untuk mencari berbagai masalah yang ada relevansinya dengan penelitian ini. (Muhadjir, 2002:38). Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Menurut Lexy metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).

Berikut ini langkah-langkah umum yang diterapkan sebagian besar tipe etnografi yang diadopsi dari riset Le Compte dan Schensul (199a) :

1. Temukan sampel yang tepat dan layak dalam kelompok yang dikaji.

2. Definisikan permasalahan, isu atau fenomena yang akan dieksplorasi.

3. Teliti bagaimana masing–masing individu menafsirkan situasi dan makna yang diberikan bagi mereka.

4. Uraikan apa yang dilakukan orang - orang dan bagaimana mereka mengomunikasikannya.

5. Dokumentasikan proses etnografi.

(32)

7. Sediakan informasi yang membantu menjelaskan hasil riset.

8. Pengumpulan data dalam etnografi yang dibagi dengan kerja lapangan berlangsung terutama melalui sejumlah pengamatan dan wawancara.

Langkah pertama dalam pengumpulan data adalah menemukan sampel yang tepat dan layak. Ketika sampel telah didapatkan, anda dapat melanjutkan tahapan penelitian dan menjelaskan permasalahan riset atau mengidentifikasi fenomena yang ingin anda ekplorasi.

2. Kehadiran Peneliti

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penelitian maka peneliti hadir secara langsung di lokasi penelitian sampai memperoleh data-data yang diperlukan.

3. Lokasi dan Instrumen Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kabupaten Semarang tahun 2014. Dengan alasan peneliti ingin mengetahui bagaimana penerapan pendidikan humanisme religius di pondok pesantren tersebut.

(33)

2009:222). Begitu pula yang dikatakan oleh Moleong (2011:121) yaitu, peneliti sebagai instrumen karena ia merupakan peneliti sekaligus pelaksanaan, pelaksanaan pengumpulan data analisis dan penafsiran data dan akhirnya ia menjadi pelopor-pelopor hasil penelitiannya. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia menjadi segalanya dari seluruh proses penelitian.

4. Sumber Data

Subjek penelitian yang penulis teliti adalah santri Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Kab. Semarang, Ketua Yayasan, sebagian santri, dan ustadz pondok tersebut. Karena data dan informasi yang penulis butuhkan adalah pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Tuntang Kabupaten Semarang. Subjek utama penelitian ini adalah santri Pondok Pesantren Edi Mancoro. Di pondok ada 2 macam santri, yaitu santri mukim dan non mukim. Karena kebanyakan yang nyantri adalah santri mukim, maka yang diteliti oleh penulis adalah santri mukim, dimana mereka tinggal di pondok pesantren dengan segala fasilitas dan aturan yang berlaku. Penulis juga harus mencari data-data secara langsung atau langsung terjun ke lapangan. Santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu santri pelajar, mahasiswa, tahfidz, dan ustadz. Perbedaan itulah yang membuat penulis melakukan wawancara dengan waktu yang berbeda.

(34)

a. Data Primer, yang diperoleh dengan melakukan penelitian berupa wawancara dengan santri, asatidz, dan ketua yayasan. Wawancara akan dihentikan jika informasi yang diperoleh sudah relatif sama dan ada pengulangan data.

b. Data Sekunder yang diperoleh melalui data kepustakaan, pengumpulan data dari berbagai tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.

6. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam rangka untuk memperoleh data, penulis menggunakan metode pengumpulan data guna membantu dan memudahkan jalannya penelitian. Adapun macam untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

a. Interview

Metode wawancara adalah suatu proses tanya jawab di mana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga sendiri suaranya (Sukandarrumidi, 2004:88)

Metode interview digunakan dalam rangka untuk mengetahui penerapan pendidikan humanisme religius Pondok Pesantren Edi Mancoro. Interview dilakukan adalah sebagian santri Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Tuntang Kab. Semarang, Ketua Yayasan, ustadz pondok tersebut.

(35)

Metode observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki (Sukandarrumidi, 2004:69). Metode ini penulis gunakan sebagai alat bantu dalam penelitian. Penulis mengadakan observasi ke Pondok Pesantren Edi Mancoro, selanjutnya penulis mencatat hasil observasi dengan sistematik. Metode ini juga digunakan oleh penulis yang berkaitan dengan pendidikan religius untuk pengumpulan data mengenai penerapan pendidikan humanisme.

c. Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip surat kabar, majalah, notulen, agenda sebagainya. (Arikunto, 1993 : 2006)

Pada teknik ini peneliti dalam memaksimalkan hasil observasi, peneliti akan menggunakan alat bantu yang sesuai dengan kondisi lapangan. Di antara alat bantu observasi tersebut misalnya; buku catatan dan check list

yang berisi obyek yang perlu mendapat perhatian lebih dalam pengamatan (Sukardi, 2003:79).

Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang sejarah berdirinya Pondok Pesantren Edi Mancoro, struktur kepengurusan, jumlah ustadz, santri, kegiatan santri yang berhubungan dengan penelitian ini. 7. Analisis Data

(36)

menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2009:244).

Teknik Analisis Domain digunakan untuk menganalisis gambaran objek penelitian secara umum atau ditingkat permukaan, namun relatif utuh tentang obyek penelitian tersebut. Teknik Analisis Domain ini sangat terkenal sebagai teknik yang dipakai dalam penelitian eksplorasi. Artinya analisis hasil penelitian ini hanya ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti, tanpa harus diperincikan secara detail unsur-unsur yang ada dalam keutuhan obyek penelitian tersebut. Misalnya seorang peneliti menganalisis lembaga sosial, maka domain atau kategori simbolik dari lembaga social antara lain : keluarga, perguruan tinggi, rumah sakit, pesantren, organisasi kepemudaan dan sebagainya. Di samping itu pula, domain pesantren dapat terdiri dari : kyai, santri, guru, juru masak, petugas kebersihan, dan sebagainya. (Bungin, 2001:293)

(37)

muncul. Setelahnya periset dapat melanjutkan aktivitas analisis dengan membuat daftar seluruh tema yang muncul dan memulai memikirkan hubungan yang mungkin ada di antara tema-tema yang muncul. Terakhir, berdasarkan catatan yang dimiliki, periset dapat membuat “master pola” yang

ditemukan dan siap untuk dikemukakan sebagai laporan akhir hasil studi. Pembuatan master pola dari pelaku subjek penelitian dalam masalah tertentu dapat dilakukan dengan memberikan pemaknaan melalui penjelasan berbagai teori yang relevan. Seringkali pemaknaan itu hanya menghasilkan sejumlah kategori awal dari statemen yang dibutuhkan sebagai temuan dalam penelitian.

8. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, penulis menggunakan cara terjun langsung ke lapangan, observasi yang diperdalam dan juga analisis kasus negatif, dan lain-lain sampai data dapat diuji kebenarannya. Dalam memperoleh keabsahan data, maka peneliti menggunakan teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2011:331).

Ada dua macam trianggulasi yang digunakan, yaitu : a. Trianggulasi sumber data

Trianggulasi sumber data untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. (Sugiyono, 2011:241)

(38)

Trianggulasi metode dilakukan dengan cara mengecek derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. (Moleong, 2011:331)

9. Tahap-tahap Penelitian

a. Penelitian pendahuluan

Penulis mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan implementasi, pendidikan, humanisme religius, dan juga buku lain yang berhubungan dengan pondok pesantren.

b. Pengembangan desain

Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang penerapan pendidikan humanisme kemudian penulis melakukan observasi ke obyek penelitian untuk melihat secara langsung bagaimana penerapan pendidikan humanisme religius di pondok pesantren.

c. Penelitian sebenarnya.

Dalam hal ini penulis melakukan penelitian yang dilakukan di pondok pesantren dengan melakukan wawancara lalu membahas serta menganalisisnya untuk mendapatkan kesimpulan apakah implementasi pendidikan humanisme religius dapat diterapkan di pondok pesantren.

(39)

Untuk mengetahui secara keseluruhan isi atau materi-materi skripsi ini secara global, maka penulis perlu merumuskan skripsi ini, yang meliputi tiga (3) bagian :

1. Bagian Muka

Pada bagian muka ini memuat tentang halaman judul, skripsi, halaman, nota persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar, halaman daftar isi tabel dan halaman lampiran.

2. Bagian Isi

Bagian ini terdiri dari beberapa bagian bab yaitu : BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan akan dibahas :

Latar Belakang, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian : Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

(40)

humanisme religius di pesantren yang terdiri dari pengertian pendidikan humanisme religius, sejarah perkembangan pendidikan humanisme religius, aspek-aspek pendidikan humanisme religius.

BAB III : BENTUK DAN POLA HUBUNGAN SOSIAL

Bab ini dibagi menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama mengenai gambaran umum dan kondisi sosio-kultural Pondok Pesantren Edi Mancoro yang terdiri dari letak geografis dan kondisi sosio-kultural, profil, visi, misi, tujuan, dan garis perjuangan, keadaan ustadz dan santri, serta pelaksanaan pendidikan di pondok pesantren. Subbab kedua memuat tentang hubungan santri dengan keturunan kyai serta dengan masyarakat sekitar pondok.

BAB IV: ANALISIS DATA

Dalam bab keempat ini membahas mengenai implementasi pendidikan humanisme religius di Pondok Pesantren Edi Mancoro, implikasi pendidikan humanisme religius terhadap kebudayaan di Pondok Pesantren Edi Mancoro, peran Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mewujudkan humanisme religius di masyarakat.

BAB V: PENUTUP

(41)

diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan pendidikan dan penutup sebagai kesimpulan dalam skripsi ini.

3. Bagian akhir

(42)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Pondok pesantren adalah sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam pendekatan pembelajarannya, tetapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur pembagian kewenangan, dan semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Oleh sebab itu, tidak ada definisi yang dapat secara tepat mewakili seluruh pondok pesantren yang ada. Masing-masing pondok mempunyai keistimewaan sendiri, yang bisa jadi tidak dimiliki oleh yang lain. Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu pondok pesantren memiliki persamaan. Persamaan-persamaan inilah yang lazim disebut sebagai ciri pondok pesantren. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:28)

(43)

pondok pesantren apabila di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu : kyai, santri, pengajian, asrama, masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatannya.

Persamaan lain yang terdapat pada pondok pesantren adalah bahwa semua pondok pesantren melaksanakan tiga fungsi kegiatan yang dikenal dengan Tri Darma Pondok Pesantren, yaitu :

a. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah Swt b. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat, dan

c. Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.

Sedangkan menurut Mahfudz Ridwan pesantren adalah tempat tanpa dinding, yang menolak batas-batas, batas agama sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola oleh visi yang sama, untuk menghadapi problematika yang terjadi di masyarakat. (diambil dari wawancara yang sudah di videokan dalam profil Edi Mancoro)

(44)

berkesinambungan. Pondok pesantren dalam menyelenggarakan proses pendidikannya tidak berjenjang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, pendidikan pesantren dikategorikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berada di jalur pendidikan luar sekolah formal.

2. Sejarah berdirinya Pondok Pesantren

Menelusuri tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia, termasuk awal berdirinya pondok pesantren dan madrasah diniyah, tidak terlepas hubungannya dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, membaca Al Qur‟an, dan pengetahuan Islam yang lebih luas dan

mendalam. Mereka ini belajar di rumah, surau, langgar, atau masjid. Di tempat-tempat inilah orang-orang yang baru masuk Islam dan anak-anak

mereka belajar membaca Al Qur‟an dan ilmu-ilmu agama lainnya, secara

(45)

dikenal surau. Nama yang sekarang diterima umum adalah pondok pesantren. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:7)

Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pondok pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Ada dua pendapat mengenai awal berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pendapat pertama menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri dan pendapat kedua mengatakan bahwa sistem pendidikan model pondok pesantren adalah asli Indonesia. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:7)

Pondok pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti serat cabolek dan serat centini mengungkapkan dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam yaitu pondok pesantren. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:8)

Sejak awal pertumbuhannya, dengan bentuknya yang khas dan bervariasi, pondok pesantren terus berkembang. Namun perkembangan yang signifikan muncul setelah terjadi persinggungan dengan sistem persekolahan atau juga dikenal dengan dengan sistem madrasi, yaitu sistem pendidikan dengan pendekatan klasikal, sebagai lawan dari sistem individual yang berkembang pondok pesantren sebelumnya. (Tim Penyusun Departemen Agama RI, 2003:14)

(46)

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, yang penyelenggaraan pendidikannya secara umum dengan cara non klasikal, yaitu seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama Arab abad pertengahan. Para santri biasanya tinggal dalam pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Kiai sebagai seorang ahli agama Islam, mengajarkan ilmunya kepada santri dan biasanya sekaligus pemimpin dan pemilik pesantren tersebut. Selama ini memang belum ada rumusan tertulis mengenai tujuan pendidikan pesantren. Minimal para kiai mempersiapkan para santrinya sebagai tenaga siap pakai tanpa harus bercita-cita menjadi pegawai negeri. Namun lebih jauh para santri sebagian besar menjadi pemuka masyarakat yang di idam-idamkan oleh masyarakat. (Maunah, 2009:25)

Berdasarkan tujuan pendiriannya, pesantren hadir dilandasi sekurang-kurangnya oleh dua alasan : pertama, pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma‟ruf nahi munkar). Kehadirannya dengan demikian dapat melakukan kerja-kerja pembebasan

(47)

berada di kota-kota pusat kekuasaan atau ekonomi, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sebagaimana halnya sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas tersebut. (Maunah, 2009:26)

Kedua, salah satu tujuan didirikannya pesantren adalah untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat. (Maunah, 2009:26)

(48)

pesantren. Para santri juga dibekali dengan keterampilan, pesantren akan dapat mencapai tujuan sampingan berupa pembekalan santri hidup terampil di masa mendatang. Proyek keterampilan ini meliputi pertanian, peternakan, perikanan, pertukangan jahit menjahit, menyulam, koperasi, elektronika dan sebagainya. (Maunah, 2009:27)

Kelebihan lembaga pendidikan pesantren, cenderung dapat diterima sebagai lembaga pendidikan alternatif oleh semua golongan atau kalangan. Hal ini dapat kita lihat dari segi kuantitas pesantren yang lebih besar daripada lembaga umum, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sejalan dengan struktur penyebaran umat. Selain itu juga karena adanya tradisi keagamaan dan kepemimpinan yang merupakan potensi nasional dan terbuka untuk pembaharuan. (Maunah, 2009:28)

(49)

lembaga oleh keluarga maupun kelompok dan pesantren yang ada cenderung eksklusif. (Maunah, 2009:28)

4. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren maupun ciri-ciri (karakteristik) pondok pesantren itu sendiri. Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pesantren di Indonesia pada umumnya menggunakan beberapa sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat tradisional. (Maunah, 2009:29) Pemahaman sistem yang bersifat tradisional adalah lawan dari sistem yang modern. Sistem tradisional adalah sistem yang berangkat dari pola pengajaran yang sangat sederhana, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan, wetonan dan musyawarah dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama zaman abad pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah “kitab kuning”.(Maunah, 2009:29)

Pertama, sorogan; sistem pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Di pesantren besar

(50)

Dalam perkembangan selanjutnya sistem ini semakin jarang dipraktekkan dan ditemui karena memakan waktu yang lama. (Maunah, 2009:29)

Kedua, wetonan; sistem pengajaran dengan jalan wetonan ini dilaksanakan dengan jalan kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membaca kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak dikenal adanya absensi (daftar hadir). Santri boleh datang, boleh tidak, dan juga tidak ada ujian. Sistem ini biasanya dilaksanakan dengan belajar secara berkelompok yang diikuti oleh para santri. Mekanismenya, seluruh santri mendengarkan kitab yang dibacakan kiai, setelah itu kiai akan menjelaskan makna yang terkandung di dalam kitab yang telah dibacakannya, santri tidak mempunyai hak untuk bertanya, terlepas apakah santri-santri tersebut mengerti atau tidak terhadap apa yang telah disampaikan kiai. Adapun kelompok-kelompok kelas yang ada dalam sistem pengajaran ini, dikenal dengan sistem halaqah. (Maunah, 2009:30)

Ketiga, bandongan; sistem pengajaran yang serangkaian dengan sistem sorogan dan wetonan adalah bandongan, yang dalam prakteknya dilakukan saling kait-mengkait dengan yang sebelumnya. Dalam sistem

(51)

Ketiga pola pengajaran ini berlangsung semata-mata tergantung kepada kiai, sebab segala sesuatunya berhubungan dengan waktu, tempat dan materi. Selain itu, pengajaran (kurikulum) yang dilaksanakan di pesantren terletak pada kiai atau ustadz dan sekaligus yang menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar di pondok pesantren. Sebab otoritas kiai sangat dominan di dalam pelaksanaan pendidikannya, selain dia sendiri yang memimpin pondok itu. (Maunah, 2009:30)

Berdasarkan jabatannya dalam birokrasi pemerintahan, maka kyai memperoleh status sosial yang tinggi karena pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran agama. Meskipun dalam kehidupan sosial terdapat dua kelompok kyai yang harus dibedakan, yaitu kyai birokrasi

(52)

pesantren. Kadang guru ngaji di pedesaan karena dianggap mempunyai pengetahuan keagamaan yang cukup juga dipanggil dengan sebutan kyai. (Supariadi, 2001:143).

(53)

adalah informal, mereka tetap bertanggungjawab untuk mengurusi berbagai persoalan dalam masyarakat, mulai persoalan pendidikan agama, pelaksanaan ritual keagamaan hingga memberikan layanan sosial. (Supariadi, 2001:144)

Luasnya peran kepemimpinan kyai dalam masyarakat telah memberi kekuasaan moral yang luar biasa dalam menempatkan pada posisi terhormat sebagai kelompok terdidik (intelektual). Agar posisi dan statusnya tetap terjaga, maka dijalinlah ikatan hubungan keilmuan (intelektual), ikatan kekerabatan, ikatan perkawinan maupun ikatan ekonomi. Para kyai percaya bahwa dengan semakin luasnya ikatan hubungan di antara mereka akan semakin memantapkan posisi dan perannya dalam masyarakat, baik peran keagamaan, sosial, ekonomi, maupun politik. (Supariadi, 2001:144).

(54)

Kyai dibedakan dari ulama lantaran pengaruh karismanya yang luas. Kyai dipercayai memiliki keunggulan baik secara moral maupun sebagai seorang alim. Pengaruh kyai diperhitungkan baik oleh pejabat-pejabat nasional maupun oleh masyarakat umum jauh lebih berarti daripada ulama desa. Untuk mempertajam perbedaan antara kedua corak kepemimpinan Islam tersebut, ada baiknya dikemukakan kembali ciri-ciri ulama secara umum. Peran ulama lebih menghunjam ke dalam sistem sosial dan struktur masyarakat desa yang khas, lokal dan otonom. Tradisi lembaga ulama dan ortodoksi diwariskan dari generasi ke generasi, dilaksanakan dan didukung oleh keluarga ulama yang secara tradisional mencetak dan menyediakan kader ulama bagi wilayah pedesaan. Dengan demikian status keunggulan ulama disahkan oleh faktor keturunan dari keluarga ulama, seperti juga peranan moral dan keagamaan mereka di dalam masyarakat tertentu. (Horikoshi, 1987:211).

(55)

Di sisi lain, kyai mengasumsikan adanya kepemimpinan moral dan spiritual yang berskala besar sebagai ulama dan muballigh yang tak terikat oleh struktur desa Islam yang normatif. Mereka bukan tokoh pengambil keputusan dari desa-desa Islam, juga tidak mengambil peran sebagai sesepuh berkat keunggulan keturunan. Pengaruh kyai tidak tergantung pada loyalitas komunitas terbatas yang didorong oleh perasaan hutang budi orang-orang desa atas jasa-jasanya, dan juga kedudukan mereka tidak pula tergantung pada dukungan keluarga mereka. Pengaruh mereka sepenuhnya ditentukan oleh kualitas kekarismaan mereka. (Horikoshi, 1987:212).

Karena itu, kebanyakan kyai bertempat tinggal di wilayah perkotaan dan di kampung-kampung pinggiran kota besar maupun kota kecil, di mana mereka bisa menarik lebih banyak khalayak dan melebarkan pengaruh. Jadi, posisi struktural mereka dalam umat lebih tinggi dibanding ulama desa, dan kehadiran mereka sebagai pemersatu simbolik bagi umat, hingga tidak mustahil bila dijumpai ulama yang menjadi pengikut mereka. (Horikoshi, 1987:212).

(56)

wafatnya seorang kyai biasanya menandai berakhirnya sebuah kepemimpinan karismatik. (Horikoshi, 1987:212)

Persoalan ketidakserasian antara karisma dan institusi menimbulkan pertanyaan menarik berkaitan dengan respon yang diberikan kyai terhadap periode tenteram dan damai yang berlangsung semenjak tahun 1965. Oleh karena itu bab ini bertujuan mengupas apa yang membentuk karisma kyai dan menunjukkan hubungan yang berlangsung dalam masa-masa peralihan, baik dengan para pengikut mereka yang akrab maupun masyarakat umumnya. (Horikoshi, 1987:213).

(57)

Kyai mulai memberikan pengajian tak lama sekembalinya dari Mekah. Pengalamannya berjalan melintasi padang pasir bersama lautan jama‟ah sambil bermandikan cahaya bulan telah menyempurnakan

inspirasinya tentang kesatuan alam dengan Yang Maha Suci. Sekembalinya dari Mekah, dia terdorong untuk membagikan pengalamannya kepada orang lain. Ketika dia memberikan pengajian panjangnya yang pertama di depan khalayak, sang ayah khawatir tentang keberanian anaknya, karena dia tahu bahwa anaknya itu tak menguasai satu kitab pun. Akan tetapi sang ayah segera takut manakala para hadirin ternyata mengikuti pengajian itu dengan baik dan penuh emosi. Rupanya kemudian sang ayah menyadari bahwa anaknya tidak ditakdirkan menjadi ulama guru tetapi seorang kyai muballigh. (Horikoshi, 1987:220).

Untuk menjadi seorang guru, seorang mesti mampu memperkuat keimanan umat beragama, sebagaimana yang ditunjukkan kyai. Kemampuan terakhir ini memerlukan pengertian yang mendalam tentang kebutuhan batin para hadirin, suatu kemampuan yang tampaknya dimiliki oleh anaknya yang lebih muda ini. (Horikoshi, 1987:220).

(58)

menyatakan diri bersedia menanggung beban siksaan abadi di neraka”.

Untuk menerangkan ajaran seperti ini dibutuhkan kreatifitas dalam teknik penyajian hingga bisa dicerna oleh pendengar yang awam. (Horikoshi, 1987:224).

Kyai gemar menerangkan sistem itu dalam tiga tahap. Yang nomor tiga justru tidak jelas bagi kaum muslimin, akan tetapi sekaligus membangkitkan efek maksimum sebuah dimensi struktural tanpa membingungkan para hadirin. Sistem dari agama bisa dijelaskan dalam istilah-istilah yang dikandungnya : pengetahuan tindakan dan kepercayaan yang semuanya amat sesuai dengan tiga unsur kemampuan manusia, yakni akal, badan dan hati. (Horikoshi, 1987:224).

(59)

Jika kata-kata dirasa tidak efektif, kyai mempergunakan berbagai perumpamaan untuk lebih lanjut menjelaskan sistem itu. Di dalam menerangkan hubungan antara pengetahuan, tindakan dan ketaatan, kyai membuat perumpamaan tentang orang yang pergi naik kereta api ke Jakarta; mengikrarkan syahadat diumpamakan membeli karcis untuk mendaftarkan diri sebagai anggota umat yang beriman, rel kereta api memerlukan bahan bakar untuk menghela dirinya mencapai tujuan, musliminpun memerlukan anugerah dan rahmat Tuhan, yang bisa diperoleh melalui ibadat, sebagai bukti ketaatannya kepada Tuhan. Begitu kereta api sampai di Jakarta, misi perjalanan itu pun rampunglah. Demikian juga, ketika seorang mencapai martabat surgawi, berarti tugas hidupnya telah selesai, karena sesudah itu kenikmatan menunggunya di surga. (Horikoshi, 1987:225).

(60)

terpandang di masyarakat mereka masing-masing. Ulama yang tergabung ke dalam pengikut kyai mengadakan semacam pengajian rutin yang dipimpin kyai. Di antara mereka menjadi terpandang berkat hubungan mereka dengan kyai. (Horikoshi, 1987:232).

Hubungan atas bawah antara kyai dan ulama seperti itu kerap kali hanya bersifat temporer. Ketika kyai meninggal misalnya secara berangsur-angsur hubungan semacam itu memudar. Kyai bertindak sebagai sumber ilmu pengetahuan dan aspirasi bagi ulama yang sebaliknya membantu kyai menyebarkan pengaruhnya di antara mereka sendiri dan di wilayah-wilayah tertentu. (Horikoshi, 1987:232).

Kyai dan ulama melanjutkan tugas kemasyarakatan mereka di tengah terjadinya aneka perbedaan pendapat dengan sektor-sektor Islam yang lain, dan adanya campur tangan yang kurang menyenangkan dari pemerintah. Masyarakat, ulama, dan umat yang dipimpinnya bersama-sama menanggung beban memperjuangkan tujuan-tujuan Islam. Sumber dari kekuatan-kekuatan umat terletak pada visi kyai. Saat ini ketika ancaman komunis telah berlalu dan kekacauan politik telah merdeka, para pemimpin pedesaan tampaknya mulai mencari bimbingan-bimbingan baru dari kyai. (Horikoshi, 1987:235).

(61)

bersama. Dengan ideology yang segar dalam pikiran inilah kyai, ulama dan masyarakat harus tetap sebagai satu tubuh dan memperbaiki diri masing-masing. (Horikoshi, 1987:236).

Menurut Eliade, semua definisi yang ditunjukkan kepada kita tentang fenomena religius sampai sekarang masih memiliki kesamaan pandangan dalam satu hal, yakni bahwa yang sacral merupakan kehidupan religius yang dipertantangkan dengan yang profane yang merupakan kehidupan secular. Menurut Eliade pula, bahwa yang sacral tidak hanya menunjukkan bentuk kepercayaan primitif tetapi semua agama memilikinya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan pada pemujaan terhadap batu-batu dan pohon-pohon yang terdapat pada teologi masyarakat Indian atau misteri inkarnasi. (Ghazali, 2011:44).

(62)

Kebalikan dari yang kudus adalah yang profane. Profane adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, dan bersifat sementara. Pendek kata, yang ada di luar yang religius. Dalam pandangan Dhavamony, istilah profane dalam pengertian itu, tidak dimaksudkan dalam arti apa yang tidak suci, tidak sopan, yang menghina atau cemar. Dalam memahami yang kudus dan profane ini, Eliade lebih menekankan pada manusia beragamanya (homo-religius), sebab manusia religius mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, teehadap manusia sendiri dan terhadap apa yang dianggapnya kudus. Yang kudus merupakan pusat kehidupan dan pengalaman religius. Kehidupan religius menuntut kesadaran akan adanya pertentangan antara yang kudus dan yang profan. Alam tidak pernah merupakan alam secara murni. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius, seluruh alat sanggup untuk menyatakan dirinya sebagai sakralitas kosmis. Rudolf Otto menyatakan bahwa unsur pokok dalam pengalaman religius adalah perasaan numinus (dari Latin numen; Inggris, god) yang non rasional terhadap obyek (mysterium tremendum). Maka yang kudus (the sacred-das heilige)

(63)

tetapi secara radikal saling meniadakan. Kepercayaan religius adalah yang menyatakan kodrat dari hal-hal yang kudus dan hubungan-hubungan yang mereka dukung, baik antar mereka sendiri maupun dengan hal-hal yang profan. (Ghazali, 2011:46)

Maka sekalipun penggambaran yang kudus sebagai kebalikan dari yang profane itu bervariasi, tapi yang tetap ada dalam fenomena religius itu adalah pertalian dari makna khusus yang kita sebut „religius‟ atau suatu hubungan dengan dewa-dewa, roh-roh, leluhur yang dipuja sebagai dewa, atau benda-benda suci, dengan yang kudus secara umum. (Ghazali, 2011:47)

Koentjaraningrat telah mengklasifikasikan teori-teori tentang asas-asas dan asal mula religi yang ditulis oleh para ahli ke dalam tiga golongan, yakni :

Pertama, teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi atau isi ajaran religi. Kedua, teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap para penganut religi yang bersangkutan terhadap alam gaib, atau hal-hal yang gaib. Ketiga, teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada ritus dan upacara religi. (Ghazali, 2011:72)

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada lima komponen atau unsur dalam agama atau religi, yaitu :

(64)

b. Sistem keyakinan c. Sistem ritus dan upacara d. Peralatan ritus dan upacara e. Pengikut (umat beragama)

B. Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren

1. Pengertian Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren Aliran humanisme mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia adalah sama, bagian dari dunia dan ciptaan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara golongan kaya dan miskin, atasan dan bawahan, laki-laki dan perempuan. Semua manusia adalah saudara, karenanya harus saling mengasihi. (Baedhowi, 2008:79)

Humanisme religius, dalam kualitas yang berbeda-beda, adalah sebuah konsepsi yang hendak mengukur ketaatan keberagamaan atau kesalehan seseorang lewat pintu masuk dunia mistik (tasawuf). Dalam seluruh kasus, ia digambarkan sebagai sarana keyakinan dan penaklukan terhadap nafsu ( jihad al akbar), rujukan tetap pada Tuhan, dan rasa malu dalam aksi dan konsep, kepasrahan dan penghapusan keinginan yang ditempatkan pada sebuah keadilan yang tak dapat ditolaknya. (Baedhowi, 2008:79)

(65)

selanjutnya, yakni fana‟ fi taukhid atau fana‟ al fana‟ sebagaimana Ibnu Arabia

atau al-Hallaj. Hal ini secara individual selain untuk menjaga keseimbangan kesadaran spiritualitas semacam itu mereka tetap bisa membimbing dan memberikan santunan moral-spiritual kepada masyarakat secara luas. (Baedhowi, 2008:79)

Dari pengertian di atas penulis berpendapat bahwa humanisme religius

pesantren dimaksudkan sebagai implementasi konsep humanisme Islam dalam pesantren sebagai upaya memanusiawikan peserta didik (santri). Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren memiliki tugas dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan, yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya.

Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan jaminan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. Pada hakekatnya humanisme religius di pesantren merupakan rasa kesadaran dalam bermasyarakat yang peduli terhadap sesama, sehingga mampu melahirkan rasa peduli terhadap masyarakat yang juga menunjang kegiatan di pondok pesantren.

2. Sejarah Perkembangan Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren

(66)

humanisme sebagai pendidikan manusia. Sistem pendidikan dalam Islam yang dibangun atas dasar nilai-nilai humanistik sejak awal kemunculannya sesuai dengan esensinya sebagai agama kemanusiaan. Islam menjadikan dimensi kemanusiaan sebagai orientasi pendidikannya. Sangatlah naif kalau dikatakan bahwa konsep pendidikan humanistik Islami merupakan konsep pendidikan Barat yang diberi label Islam. (Rahman, 2011:78)

Kajian tentang humanisme dalam pendidikan bukanlah sebuah teori pendidikan yang berdiri sendiri sebagaimana teori progresivisme, perenialisme, esensialisme, atau rekonstruksionisme. Pendidikan humanistik merupakan sebuah pemikiran pendidikan yang dikembangkan dari ide dalam teori progresivisme. (Rahman, 2011:78)

a. Pragmatisme

Pragmatisme yang juga disebut eksperimentalisme dan instrumentalisme merupakan reaksi terhadap perubahan (revolusi industri) pada akhir abad ke-20. Ciri utamanya adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja mengubah lingkungan. William James, tokoh filsafat ini, mendefinisikan pragmatisme sebagai sikap memalingkan muka dari segala sesuatu atau prinsip awal dan beralih kepada fakta-fakta baru. (Rahman, 2011:80)

(67)

pengalaman transaksional yang terus berubah sehingga pengalaman manusia harus dinyatakan kemungkinan (probabilitas). (Rahman, 2011:80)

Kedua, kebenaran didasarkan pada kegunaan dan fungsi sehingga sifatnya relatif. Pengetahuan ini berdasar pada pengalaman yang berdasar pada pengalaman yang bersifat umum yang dibedakan dari kepercayaan yang bersifat pribadi. Ketiga, nilai itu berasal dari masyarakat yang berubah-ubah. Masalah moral tidak ada aturan aksiologis yang universal. Pragmatisme memandang pendidikan (sekolah) seharusnya merupakan kehidupan dan lingkungan belajar yang demokratis yang menjadikan semua orang berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas masyarakat. (Rahman, 2011:78)

Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dalam, bahkan menjadi faktor utama munculnya teori atau pemikiran humanisme dan progresivisme. Inti pragmatisme dalam pendidikan adalah :

1) Peserta didik adalah subjek yang memiliki pengalaman. Dia adalah individu yang memiliki kecerdasan dan mampu menggunakannya guna memecahkan problematika.

2) Guru bukan orang yang tahu kebutuhan siswa untuk masa depannya. Guru berperan menanamkan pengetahuan yang esensial bagi diri peserta didik.

(68)

4) Metode pembelajaran harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk mencari pengalaman belajar yang berguna.

5) Kebijakan pendidikan mengikuti arus perubahan sosial. b. Progresivisme

Teori progresivisme muncul pada tahun 1920-an. Progresivisme sangat dipengaruhi oleh pragmatisme. Bertolak dari pemikiran terebut, progresivisme menentukan prinsip pendidikan.

1) Proses pendidikan ditujukan untuk kepentingan anak. Kurikulum dan metode pembelajaran berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif peserta didik.

2) Anak merupakan subjek pendidikan yang aktif. Anak bukan individu yang hanya bisa menerima informasi. Mereka itu dinamis yang memiliki keinginan belajar.

3) Peran guru sebagai penasihat, pembimbing, dan pemandu. Guru tidak boleh bersikap otoriter sebagai penyalur informasi tunggal.

4) Aktivitas kelas memfokuskan pada pemecahan masalah anak sebagai peserta didik dalam pendidikan. Sebagai sebuah teori pendidikan, progresivisme menekankan kebebasan aktualisasi diri supaya kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebijakannya. Kalangan progresivisme berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang lebih bermakna bagi kelompok sosial. (Rahman, 2011:84)

(69)

Aliran Eksistensialisme merupakan suatu doktrin moral dan metafisika yang berpijak pada pilar individualisme. Aliran ini hanya membahas manusia selaku individu yang memiliki tujuan. Pemikiran aliran ini adalah :

1) Realitas sebagai eksistensi. Tindakan manusia sehari-hari adalah proses perumusan esensinya. Fokus realitas berada pada diri manusia sebagai individu.

2) Kebenaran sebagai pilihan. Manusia sebagai individu adalah inti otoritas epistemologis dalam eksistensialisme. Manusialah yang memberi makna sesuatu.

Teori eksistensialisme lebih menekankan keunikan anak secara individual daripada progresivisme yang cenderung memahami anak dalam unit sosial. Pandangan tentang keunikan individu ini mengantarkan kalangan humanis untuk menekankan pendidikan sebagai upaya pencarian makna personal dalam eksistensi manusia. Pendidikan berfungsi untuk membantu kedirian individu supaya menjadi manusia bebas dan bertanggungjawab dalam memilih. (Rahman, 2011:86)

Pemikiran pendidikan ini mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar. Apabila lingkungan baik (kondusif untuk belajar) maka anak akan terdorong untuk belajar sendiri. (Rahman, 2011:87)

(70)

dan tanggungjawab merealisasikan hakikat pendidikan yakni memanusiawikan manusia atau membantu peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Kegiatan pendidikan pesantren menjadi sarana humanisasi. Humanisasi pendidikan dimaksudkan sebagai proses yang memberikan jaminan terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi pijakan dalam sistem pendidikan pesantren. (Rahman, 2011:156)

Pendidikan pesantren dengan pendekatan humanistik diharapkan mampu membentuk manusia yang merdeka sehingga menjadi manusia seutuhnya. Untuk itu, keberhasilan pendidikan pesantren tidak cukup diukur dari kemampuannya menguasai hal-hal yang bersifat kognitif. Proses pendidikan ditujukan untuk membentuk manusia yang memiliki kemampuan berbagai disiplin ilmu sehingga bisa berperan dalam kehidupan bermasyarakat untuk kebaikan hidup manusia, baik urusan keduniaan maupun urusan keagamaan.

Mereka adalah orang ahli ilmu, ahli ibadah, dan ahli takwa. Kesatuan ilmu dan takwa sebagai kesempurnaan diri menjadikan manusia sebagai orang yang baik secara sosial dan spiritual membentuk manusia sebagai hamba Allah („abdullah), sedangkan kemampuannya menciptakan kebaikan hidup manusia di dunia menjadikan manusia sebagai khalifah Allah.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran dan fungsi pondok pesantren alam saung balong Al-Barokah sebagai media transformasi ilmu, media rekayasa

2. Di Pondok Pesantren Nazzalal Furqon ditemukan metode-metode yang digunakan santri dalam proses menghafal Al- Qur’an adalah: metode memperbanyak membaca Al- Qur’an

(3) Apa hambatan dan solusi pendidikan karakter pada santri di pondok pesantren Hidayatul Mubtadi-Ien tahun 2016?. Untuk menjawab pertanyaan diatas, penelitian menggunakan

(3) Tedapat tiga implikasi model pembelajaran yang diterapkan di Pondok Pesantren Tarbiyyatul Mubalighin Desa Reksosari Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang

Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam proses pendidikan akhlak di pondok pesantren Salafiyah Pulutan. Faktor apa saja yang menjadi penunjang dalam proses

Namun kenyataannya karena manusia mempunyai sifat tamak, rakus, (yang berlebihan) sehingga penggalian alam itu tak terkendalikan yang berdampak menjadi bencana alam,

Narasumber : strategi dalam menghadapi tantangan era globalisasi adalah dengan adanya sosialisasi dari luar, adanya sanksi bagi santri yang melanggar peraturan

(1) Realitasnya telah terlaksana program pembelajaran yang dilakukan dengan perencanaan awal dan dengan tujuan yang jelas, pengorganisasian dengan adanya pengkaderan