ANALISIS STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN EKOWISATA
7.1 Sejarah Sistem Pengelolaan Kawasan Wisata Alam Gunung Salak Endah
Adanya kawasan wisata alam Gunung Salak Endah tentunya telah membawa perubahan pada kondisi ekonomi, sosial, serta lingkungan masyarakat setempat yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan atau pemanfaatan kawasan wisata. Kawasan yang awalnya diperuntukkan untuk kegiatan pertanian berupa lahan garapan seluas 256 hektar bagi veteran perang Lokapurna pada tahun 1967 dengan seiring berjalannya waktu dan dibukanya kawasan ini untuk kegiatan pariwisata pada tahun 1987 oleh Bupati Bogor yang pada saat itu dikenal dengan nama “Kawasan Wisata Alam Terbuka Gunung Salak Endah” membuat masyarakat beralih mata pencaharian dari sektor pertanian ke pariwisata dan non- pariwisata. Mereka mulai membangun warung-warung dan fasilitas yang dibutuhkan oleh pegunjung. Hal tersebut merupakan lahan nafkah baru bagi masyarakat setempat untuk menambah pendapatan di lahan pertanian yang semakin sempit.
Pada tahun 1987 pengelolaan kawasan ini dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Perum Perhutani. Kawasan Gunung Salak Endah dibagi menjadi dua unit pengelolaan, yaitu kawasan Wana Wisata Gunung Bunder dan obyek wisata di kawasan Desa Gunung Bunder 2 dengan jajaran hutan Pinus dan Rasamalanya adalah milik Perum Perhutani sedangkan kawasan Desa Gunung Sari, Kampung Pasir Reungit sampai Lokapurna merupakan kawasan Pemda. Selama kurang lebih 20 tahun kawasan tersebut dikelola oleh dua pengelola, dengan waktu selama itu masyarakat sudah sangat akrab ataupun tergantung pada sistem pengelolaan kedua pengelola tersebut.
Perum Perhutani bertugas untuk mengelola hutan produksi yang ada di kawasan WWGB, karena fungsinya sebagai hutan produksi maka Perum Perhutani sering kali melakukan penebangan pohon di areal pegunungan, selain itu masyarakat juga ada yang membuka lahan di dalam kawasan hutan, dengan mulai membangun bangunan yang permanen. Ditambah lagi udara hutan yang masih asri dan alami dimanfaatkan sebagian penguasa negara untuk mendirikan villa pribadi maupun yang komersil. Sebelum tahun 1987 masyarakat sekitar hutan juga melakukan penebangan pohon-pohon yang termasuk dalam kategori dilindungi. Setelah Perum Perhutani menjadi pengelola masyarakat mulai diberikan pengetahuan pohon mana saja yang boleh ditebang atau tidak, dengan fungsinya yang mengelola hutan produksi Perum Perhutani mengajak masyarakat untuk menanami hutan dengan tanaman produksi. Hal tersebut dapat dibuktikan dari banyaknya pohon-pohon yang termasuk jenis tanaman produksi yang ditanami oleh masyarakat di kawasan ini.
Tahun 1970an masyarakat membuka lahan dan menanaminya dengan tanaman cengkeh. Akan tetapi, pada tahun 1990an harga cengkeh di pasaran anjlok dan petani cengkeh pada saat itu merugi. Lahan hutan yang semakin kritis membuat masyarakat sadar akan pentingnya arti lingkungan dan kelestarian hutan.
74
Untuk itu, masyarakat dan pemilik villa melakukan penghijauan dengan tanaman Rasamala dan Puspa, serta tanaman produktif seperti Albasia, Jati, Mani’i dan sejenis kayu kampung lainnya juga tidak lagi ditebangi. Masyarakat masih boleh memanfaatkan tanaman-tanaman yang ditanam tersebut asalkan untuk keperluan sendiri tidak untuk diperjualbelikan. Hutan Pinus dan Rasamala milik Perhutani juga tidak ditebangi lagi.
Tahun 2003 menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 175 tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang sebelumnya seluas 40 000 hektar menjadi kurang lebih 113 000 hektar, kawasan Gunung Salak Endah termasuk dalam SK perluasan tersebut. Hal tersebut berakibat pada pengelolaan kawasan oleh Perum Perhutani dan Pemda seharusnya dilimpahkan sepenuhnya pada Taman Nasional dalam hal ini dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS). Masa kontrak Perum Perhutani sudah habis dan belum diperpanjang lagi sampai sekarang. Pemda seharusnya juga sudah tidak lagi mengelola ekowisata karena pengelolaan sepenuhnya telah dipegang oleh BTNGHS. Akan tetapi, pada kenyataannya Pemda masih memungut bayaran tiket disetiap obyek wisata.
Menurut Kepala Resort, tiket masuk yang resmi adalah dari Taman Nasional yaitu berupa PNBP (Pemasukan Negara Bukan Pajak) yang berlaku mulai diturunkannya SK Menteri Kehutanan tersebut dan hanya dipungut pada saat masuk gerbang utama Taman Nasional, yaitu sebesar Rp2 500 per orang dan untuk masuk ke obyek wisata tidak dipungut biaya. Pada saat pengelolaan oleh Perum Perhutani dan Pemda tiket yang dibeli double dan harganya bisa dua sampai tiga lipat.
Semenjak ada wisata tahun 1987, yang awalnya dikelola oleh Perum Perhutani lalu dialihkan pengelolaannya secara resmi tahun 2007 sampai sekarang ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, membuat harga tanah di desa Gunung Bunder dan Gunung Sari semakin tinggi dan hal ini yang membuat banyak masyarakat menjual tanahnya ke orang-orang Jakarta. Namun jika dilihat dari kontribusi ekonomi, saat Perum Perhutani yang mengelola kawasan dirasakan lebih menguntungkan, karena ada sharing dengan masyarakat seperti dari tiket masuk sebesar Rp40 per tiket, masyarakat juga mendapatkan kompensasi untuk bertanam atau membuka lahan di dalam kawasan. Kompensasi tersebut sebagian ada yang diberikan ke desa untuk pembangunan desa seperti membuat jembatan, perbaikan jalan. Setelah adanya pariwisata yang dikelola oleh Taman Nasional tidak ada sharing lagi ke masyarakat semua masuk ke negara dalam hal ini diwakili oleh Taman Nasional. Akan tetapi, masyarakat lebih senang karena perambahan liar sudah sangat berkurang.
Dari pelimpahan tahun 2003 dan mulai aktif secara resmi pada tahun 2007, BTNGHS yang diwakili oleh Resort 2 Gunung Halimun-Salak di Gunung Bunder mulai melakukan pendekatan dan sosialisasi ke masyarakat sekitar Taman Nasional agar tidak terjadi konflik yang tidak diinginkan dan mengajak masyarakat untuk aktif mengembangkan ekowisata karena kawasan Gunung Salak Endah memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata. Di sini terdapat banyak obyek wisata menarik diantaranya air terjun, kawah, air panas, dan bumi perkemahan. Selain itu, adanya situs bersejarah di sekitar Taman Nasional, dan kehidupan masyarakatnya yang berkarakter pekerja keras menjadi salah satu pertimbangan kawasan Gunung Salak Endah dikembangkan menjadi ekowisata.
75 Pada awalnya memang sulit untuk memberikan pengertian ke masyarakat untuk lebih mengerti arti konservasi dan perlindungan hutan. Akan tetapi lambat laun, masyarakat pun sadar akan kelestarian hutan sebagai sumber kehidupan di masa depan. Sayangnya, pendekatan ini masih belum terlalu maksimal dilakukan oleh pengelola karena yang diberikan penyuluhan kebanyakan masih kepada masyarakat di Desa Gunung Bunder 2 dan juga Desa Gunung Sari Kampung Pasir Reungit, kawasan Lokapurna belum tersentuh dengan baik oleh Taman Nasional sehingga seringkali menimbulkan adanya ketegangan antara pihak Taman Nasional dan masyarakat yang bermukim di Lokapurna. Masyarakat di kawasan tersebut memberikan sikap antipati kepada Taman Nasional karena mereka merasa terancam dengan adanya Taman Nasional yang berbasis konservasi. Mereka berfikir Taman Nasional akan menggusur rumah mereka dan juga villa- villa serta warung-warung yang merupakan sumber nafkah mereka untuk menghidupi keluarga.
Kawasan Lokapurna yang mencakup Kampung Pasir Reungit hingga Kampung Ciparay merupakan kawasan yang dipinjam oleh veteran pada tahun 1967 untuk kegiatan pertanian dan memang di wilayah inilah banyak ditemukan pemukiman penduduk beserta fasilitasnya seperti sarana pendidikan dan sarana peribadatan. Masyarakat yang mendiami Lokapurna merupakan masyarakat lokal yang membeli lahan garapan kepada pemilik sebelumnya dan hal tersebut dilakukan secara turun-temurun. Proses jual-beli ini hanya menggunakan kuitansi sebagai bukti pembayaran dan tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Lahan garapan yang ditinggali masyarakat ini merupakan tanah enclave yang memang tidak ada izinnya, akan tetapi sudah puluhan tahun masyarakat telah hidup dan mencari nafkah di kawasan tersebut. Sedangkan, villa-villa yang berdiri di sana merupakan milik orang luar daerah dan juga belum memiliki izin pembangunan sehingga mudah sekali untuk disulut yang akhirnya dapat menimbulkan konflik. 7.2 Analisis Struktur dan Strategi Nafkah Masyarakat Terhadap
Pengelolaan Ekowisata
Semenjak dibuka dan dicanangkan sebagai Kawasan Wisata Terbuka Gunung Salak Endah, lokasi wisata ini tidak pernah sepi pengunjung. Walaupun diakui oleh sebagian masyarakat yang secara langsung terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata, sejak pengelolaan diambil alih oleh BTNGHS pendapatan mereka mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan pengelola kawasan terdahulu, yaitu Perum Perhutani dan Pemda. Hal ini juga dibenarkan oleh Kepala Resort 2 Gunung Halimun-Salak Bapak Iwan Setiawan yang menyatakan pemasukan dari pengunjung yang datang menurun:
“…tiga tahun terakhir keliatannya pengunjung sedikit berkurang dari pemasukkan
kas dari tiket pintu gerbang utama. Hal tersebut dapat dimaklumi karena sejak adanya kejadian tenggelamnya pengunjung di Curug Seribu dan juga sudah banyak wisata-wisata lain yang tak kalah menariknya di sekitar Kawasan Gunung Salak Endah. Selain itu, kurang bervariasinya barang maupun jasa yang ditawarkan masyarakat kepada pengunjung membuat pemasukkan mereka yang berusaha di sini
pun ikut menurun”.
Dari pernyataan tersebut dapat dilihat sejak pergantian pengelolaan dari Perum Perhutani ke Taman Nasional mengalami penurunan, padahal harga
76
tiket masuk yang dikenakan oleh pihak Taman Nasional lebih murah dibandingkan harga tiket sebelumnya.
Dalam mengelola kawasan ekowisata ini pihak Taman Nasional dibantu oleh masyarakat, yang dalam istilahnya disebut volunteer. Volunteer
merupakan masyarakat yang membantu Taman Nasional dalam menjaga keamanan dan ikut melestarikan kawasan hutan dari perambahan liar secara sukarela. Volunteer ini biasa membantu dalam hal penjualan tiket, keamanan, parkir, kebersihan, penjualan bibit pohon, maupun memandu pengunjung yang ingin mendaki gunung atau menuju Kawah Ratu. Penghasilan yang didapat volunteer tidak berasal dari Taman Nasional melainkan dari pengunjung yang menggunakan jasa mereka dan sepenuhnya menjadi hak mereka tidak dibagi dengan Taman Nasional.
Masyarakat yang menjadi volunteer ini masih sedikit jumlahnya, mereka berasal dari kampung-kampung terdekat dengan kawasan Taman Nasional. Keuntungan menjadi volunteer ini adalah mereka diberikan pelatihan dan pengetahuan yang lebih banyak tentang lingkungan. Jumlah
volunteer yang menjadi mitra Taman Nasional di Resort 2 Gunung Halimun-Salak kurang lebih berjumlah 25 orang, dan diperkirakan semakin meningkat. Sebagian volunteer ini juga bergadang dengan membuka warung di kawasan beberapa obyek wisata. Akan tetapi, tidak semua yang berdagang di sini adalah volunteer, seperti di obyek wisata Curug Cigamea dan Pemandian Air Panas Lokapurna yang masuk dalam kawasan Lokapurna. Khusus di kawasan tersebut pihak pengelola baru melakukan pendekatan dan penyuluhan selama 2 bulan dan akan terus ditingkatkan karena sebenarnya masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut juga ingin dibina.
Adanya Kawasan Wisata Alam Gunung Salak Endah yang memiliki banyak obyek wisata diantaranya yang paling ramai dikunjungi adalah Curug Cigamea dan Pemandian Air Panas Lokapurna telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memanfaatkan obyek wisata alam tersebut dalam mendapatkan nafkah untuk bertahan hidup. Menurut Muntasib et al (2000) mengenai prinsip pengelolaan ekowisata berdasarkan karakteristik ekowisatanya adalah:
1. Nature based: Kawasan Wisata Alam Gunung Salak Endah memiliki setidaknya 7 obyek wisata air terjun, bumi perkemahan, kawah, dan sebuah pemandian air panas dengan suasana dan kondisi alam yang masih sangat alami. Selain itu, bangunan yang ada di kawasan ini juga menggunakan bahan yang tidak permanen dan juga sudah tidak boleh lagi menambah bangunan yang telah ada.
2. Ecologically sustainable: Pengelola kawasan wisata ini adalah Balai Taman Nasional Gunung-Halimun Salak dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan pariwisata dengan menekankan arti penting lingkungan dan hutan, agar program dapat berjalan secara berkelanjutan.
3. Environmentally educative: Pengelola seringkali melakukan dan menawarkan kegiatan berbasis lingkungan kepada pengunjung, yaitu menanam pohon di kawasan Taman Nasional dengan bantuan volunteer.
77 4. Kawasan Wisata Gunung Salak Endah memberikan manfaat secara
ekonomi bagi masyarakat yang terlibat langsung di dalamnya, mereka mendapatkan kesempatan kerja yang berdampak pada peningkatan pendapatan serta kesejahteraan dan juga manfaat dari lingkungan yang selalu berusaha dijaga agar tetap bersih dan asri.
5. Kepuasan wisatawan ditunjang dari kelengkapan informasi penyebaran pengunjung serta jaminan keselamatan. Adanya visitor center dan pemandu wisata yang disediakan pengelola sebagai sarana informasi bagi pengunjung cukup memberikan kepuasan pada pengunjung yang membawa rombongan.
Sektor pertanian di kawasan wisata ini khususnya pada rumah tangga yang berusaha di obyek wisata Curug Cigamea dan Pemandian Air Panas Lokapurna sudah banyak ditinggalkan dan bukan lagi menjadi basis nafkah. Dari fenomena tersebut bayangan tentang desa selama ini yang identik dengan pertanian dan sawahnya sudah sedikit tidak relevan lagi karena kini desa telah mengalami transformasi yaitu dari pertanian ke non-pertanian. Adanya ekowisata di daerah pedesaan juga menjadi lahan nafkah baru bagi masyarakat terlebih yang tidak memiliki lahan untuk bertani. Untuk tetap bertahan hidup ditengah perubahan tersebut tentunya rumahtangga melakukan strategi nafkah yang sesuai dengan keadaan yang sedang dihadapi.
Masyarakat mencari nafkah di obyek wisata dengan cara membuka warung, pondok penginapan, penyewaan homestay, penjaga loket tiket, usaha parkir, jasa ketering, dan jaga villa. Usaha-usaha tersebut ramai pada akhir pekan dan puncaknya adalah saat ada libur lebaran, tahun baru, ataupun libur sekolah. Mereka berstrategi dengan cara mempekerjakan tenaga kerja musiman yang digaji, menyediakan makanan yang lebih komplit dan bervariasi dari biasanya, dan pedagang warung yang biasanya tidak menyewakan rumah mereka untuk tempat menginap pengunjung pada musim liburan menyewakan kamarnya.
Strategi dengan mempekerjakan tenaga kerja musiman yang digaji biasanya dilakukan oleh rumahtangga pedagang warung lapisan atas, rumahtangga lapisan menengah dan bawah menggunakan tenaga kerja yang masih dalam anggota keluarga untuk melayani pengunjung yang ramai saat liburan. Strategi menawarkan makanan yang komplit dan bervariasi kepada pengunjung dibandingkan hari biasa dilakukan oleh hampir semua lapisan rumahtangga pedagang warung di kedua lokasi. Menu makanan yang biasanya tidak tersedia ketika puncak liburan tersedia komplit misalnya, soto ayam, soto mie, sop iga, bakso, mie ayam, jagung bakar, dan lain-lain. Strategi nafkah tersebut cukup menguntungkan bagi pedagang warung karena cukup banyak pengunjung yang membeli makanan di warung mereka. Selain itu, dengan ramainya pengunjung para pemilik warung juga sedikit menaikkan harga makanan dari hari biasanya, namun hal tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi pengunjung.
Strategi nafkah yang selanjutnya diterapkan pada rumahtangga pedagang warung di kedua obyek wisata adalah menyewakan kamar atau rumah untuk pengunjung pada musim liburan yang sebenarnya pada hari biasa tidak disewakan. Strategi ini biasa dilakukan oleh rumahtangga pedagang warung lapisan menengah dan bawah yang memanfaatkan situasi dengan ramainya pengunjung yang ingin menginap namun villa dan pondok penginapan telah penuh semua.
78
Tarif yang diberikan juga biasanya dinaikkan dua kali lipat dari tarif biasanya, yaitu Rp250 000 menjadi Rp500 000 per malam.
Kawasan wisata yang selalu ramai pengunjung ini tentunya harus sangat diperhatikan tentang sarana dan prasarana serta kebersihannya. Masyarakat yang membuka usaha warung telah sadar akan kebersihan lingkungan dengan dibuktikan di setiap warung telah memiliki tempat sampah masing-masing dan di lokasi wisata sendiri telah tersedia tempat sampah walaupun jumlahnya dapat dibilang terbatas. Selain itu, setiap hari Selasa dalam seminggu para pedagang warung ini melakukan kerja bakti untuk tetap menjaga keindahan dan kebersihan obyek wisata. Selain para pedagang juga di obyek wisata tersebut juga telah tersedia tenaga kebersihannya yaitu dari volunteer. Setiap hari Senin dan Kamis ada mobil kebersihan yang berasal dari desa untuk mengangkut sampah, masyarakat yang menggunakan jasa tersebut dikenakan biaya sebesar Rp10 000 per bulan.
Masyarakat telah mengerti dan sadar akan lingkungan yang indah dan terawat, untuk itu mereka sudah tidak lagi merambah hutan. Mereka paham jika mereka merusak keindahan hutan ataupun obyek wisata maka akan berdampak pada pendapatan mereka karena pengunjung yang datang ke ekowisata ini adalah untuk menikmati keindahan serta keunikan alam di sini, jika hal tersebut tidak dijaga maka pengunjung tidak akan datang lagi dan otomatis masyarakat tidak mendapatkan penghasilan untuk menghidupi rumahtangganya.
Meskipun memberikan manfaat bagi ekonomi dan lingkungan masyarakat, penataan warung-warung dan villa-villa di dalam kawasan ekowisata ini masih
semrawut dan terkesan tidak tertata rapi. Selain itu, vandalisme berupa banyaknya coretan-coretan di pohon atau di warung-warung yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab masih terlihat.
7.3 Ikhtisar
Adanya kawasan wisata alam Gunung Salak Endah tentunya telah membawa perubahan pada kondisi ekonomi, sosial, serta lingkungan masyarakat setempat yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan atau pemanfaatan kawasan wisata. Kawasan yang awalnya diperuntukkan untuk kegiatan pertanian berupa lahan garapan seluas 256 hektar bagi veteran perang Lokapurna pada tahun 1967 dengan seiring berjalannya waktu dan dibukanya kawasan ini untuk kegiatan pariwisata pada tahun 1987 oleh Bupati Bogor yang pada saat itu dikenal dengan nama “Kawasan Wisata Alam Terbuka Gunung Salak Endah” membuat masyarakat beralih mata pencaharian dari sektor pertanian ke pariwisata dan non- pariwisata
Perubahan yang terjadi pada sistem pengelolaan dari Perum Perhutani dan Pemda selama kurang lebih 20 tahun yang berbasiskan hutan produksi, pada tahun 2003 diubah statusnya menjadi hutan konservasi dengan pengelolaan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawasan tersebut sesuai SK Menteri Kehutanan no 175 termasuk dalam perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113 000 hektar.
Masyarakat merasa pengelolaan oleh Taman Nasional kurang menguntungkan dari segi ekonomi jika dibandingkan dengan pengelolaan oleh Perum Perhutani, yang pada saat pengelolaanya memberikan sharing sebesar
79 Rp40 dari tiket. Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat adanya Taman Nasional merasa diuntungkan dari segi lingkungan dan ekonomi juga karena dengan dengan basisnya yang konservasi Taman Nasional mengajak masyarakat untuk terlibat menjaga dan memanfaatkan sumber daya hutan secara bijak agar berguna bagi masa depam tetapi tetap memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mencari nafkah di dalam kawasan.
Pihak pengelola melakukan pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat yang terdekat dengan kawasan Taman Nasional agar tidak terjadi konflik yang tidak diinginkan. Pendekatan ini masih belum secara merata dilakukan oleh pengelola ke masyarakat, sehingga kampung-kampung yang belum tersentuh Taman Nasional memberikan sifat antipati karena merasa ternacam akan isu yang yang beredar bahwa bangunan-bangunan yang terdapat di kawasan akan digusur. Mereka takut tidak lagi punya tempat tinggal dan sumber nafkah untuk menghidupi rumahtangga mereka. Lahan yang ditinggali masyarakat di kawasan Lokapurna merupakan lahan garapan atau enclave yang memang dipinjamkan dari pemerintah kepada veteran perang utnuk kegiatan pertanian, akan tetapi lambat laun muncullah bangunan-bangunan yang digunakan untuk temapat tinggal terlebih lagi dengan adanya pariwisata makin memberikan kesempatan masayrakat untuk membangun di daerah hutan. Jika ingin digusur nasyarakat akan menolak keras karena di sini telah ada kehidupan dan talah berlangsung lama serta sudah ada sarana peribadatan dan juga sarana pendidikan.
Untuk meminimalisir terjadinya konflik pihak pengelola mengajak masyarakat untuk aktif mengembangkan ekowisata Gunung Salak Endah dengan mengajak masyarakat menjadi volunteer atau mitra Taman Nasional. Volunteer
merupakan masyarakat yang secara sikarela membantu Taman Nasional dalam menjaga keamanan dan kelestarian hutan. Pendapatan yang didapat oleh volunteer berasal dari pengunjung yang menggunakan jasa mereka, seperti pemandu wisata, tukang ojek, tukang parkir, penjaga loket, dan tenaga kebersihan. Keuntungan yang bisa didapat dari menjadi mitra Taman Nasional adalah mereka diberikan pengetahuan dan juga pemahaman yang lebih jelas tentang arti konservasi dan juga lingkungan. Selain itu, mereka juga sering diikutkan dalam pelatihan
volunteer untuk mengasah kemampuan dan meningkatkan kualitas kerja mereka. Kawasan Wisata Gunung Salak-Endah telah memberikan kontribusi positif pada kesejahteraan masyarakat hal ini dapat terlihat dari terbukanya kesempatan kerja di sektor ekowisata. Sektor pertanian khususnya pada rumah tangga yang berusaha di obyek wisata Curug Cigamea dan Pemandian Air Panas Lokapurna sudah banyak ditinggalkan dan bukan lagi menjadi basis nafkah. Masyarakat mencari nafkah di obyek wisata dengan cara membuka warung, pondok penginapan, penyewaan homestay, penjaga loket tiket, usaha parkir, jasa ketering, dan jaga villa. Usaha-usaha tersebut ramai pada akhir pekan dan puncaknya adalah saat ada libur lebaran, tahun baru, ataupun libur sekolah. Mereka berstrategi dengan cara mempekerjakan tenaga kerja musiman yang digaji, menyediakan makanan yang lebih komplit dan bervariasi dari biasanya, dan pedagang warung yang biasanya tidak menyewakan rumah mereka untuk tempat menginap pengunjung pada musim liburan menyewakan kamarnya.
Masyarakat telah mengerti dan sadar akan lingkungan yang indah dan terawat, untuk itu mereka sudah tidak lagi merambah hutan. Mereka paham jika mereka merusak keindahan hutan ataupun obyek wisata maka akan berdampak
80
pada pendapatan mereka karena pengunjung yang datang ke ekowisata ini adalah