• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR

2011

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional. Komoditas ini memiliki prospek sebagai sumber devisa negara dari sektor non migas dan perlu percepatan pengembangannya. Luas areal kakao di Indonesia 1,5 juta ha (Dirjen Perkebunan 2010) yang terdiri atas 89,4% kakao rakyat dan 10,56% dikelola oleh pemerintah dan swasta. Lebih dari 50% kakao dikategorikan tidak produktif lagi atau berproduksi rendah, karena sudah berumur tua (Puslitkoka 2006a; KKI 2006; Dirjen Perkebunan 2010). Potensi produktivitas kakao dapat mencapai 2-3 ton/ha/tahun (Alvim 1977). Produktivitas kakao rakyat berkisar antara 57-1300 kg/ha/tahun, masih di bawah rata-rata potensi produktivitas nasional 2 ton/ha/tahun (Dirjen Bina Produksi Perkebunan 2004; KKI 2006). Menurut Panggabean & Satyoso (2008) konsumsi kakao dunia untuk negara-negara Eropa sebesar 50% atau setara 3,1g, Amerika Serikat 35% atau 2,6g, Asia 13% atau 0,8g, dan Afrika 3% atau setara 0,2g kakao/orang/tahun.

Pengembangan kakao di Indonesia masih mengalami berbagai tantangan, antara lain keterbatasan benih unggul dan kurang tersedianya kebun benih di sentra pengembangan kakao. Pada tahun 2009 pemerintah mencanangkan program revitalisasi perkebunan kakao, dengan target 54.000 ha program untuk peremajaan, 36.000 ha untuk rehabilitasi dan 110.000 ha untuk perluasan areal tanam. Perkiraan kebutuhan benih kakao untuk pelaksanaan program tersebut 168 juta butir benih (Ditjen Perkebunan 2009). Keberhasilan program ini dapat ditentukan oleh ketersediaan benih yang sehat dan vigor, yang berdampak pada produktivitas tanaman dan mutu hasil. Benih yang sehat dan bervigor tinggi akan diperoleh dari pohon induk yang vigor dan sehat serta dipanen pada saat masak fisiologis. Benih yang tidak sehat dan vigor serta terinfeksi penyakit (seedborne diseases) mengakibatkan kerugian yang besar dan berjangka panjang.

Beberapa permasalahan dalam penyedian benih kakao selama ini antara lain panen yang terlalu awal atau setelah masak fisiologis, dapat menurunkan vigor

harus tepat. Kendala lain yang dihadapi adalah keberadaan kebun benih yang terletak jauh dari pusat pengembangan, sehingga pengadaan benih harus melalui transportasi dan penyimpanan (periode konservasi) yang cukup lama. Menurut Schmidt (2000), patogen merupakan sumber infeksi potensial jika lingkungan mendukung selama benih dalam penyimpanan. Kondisi ini dapat menurunkan vigor benih dan dapat diperparah jika benih yang didatangkan terinfeksi patogen yang bersifat tertular benih, sehingga penyebaran penyakit semakin cepat.

Penyakit utama tanaman kakao adalah penyakit busuk buah yang disebabkan oleh cendawan Phytohpthora palmivora (Keane 1992; Sukamto 2008). Menurut Keane (1992); Tahi et al. (2007), patogentersebutdapat menyerang bagian buah, pucuk, daun, ranting, cabang, batang, biji dan akar. Serangan pada bagian biji dapat berdampak pada benih yang dihasilkan. Indikator benih terinfeksi patogen adalah jumlah benih yang dapat berkecambah rendah, pertumbuhan benih tidak seragam, vigor benih dan bibit yang rendah, serta produksi menurun. Tingkat serangan penyakit busuk buah (P. palmivora) bervariasi, lebih dari 10% terjadi di Semenanjung Malaysia dan 80-90% di Kamerun. Di Jawa, kerugian akibat penyakit ini berkisar antara 33-50% (Darmono 1994; Purwantara 1994), dan dapat menurunkan hasil sekitar 20-30% (Wood & Lass 1985; Semangun 2000).

Salah satu cara dalam mengatasi permasalahan rendahnya vigor benih dan penyebaran penyakit adalah melakukan teknik produksi benih yang baik dan benar, dengan memanfaatkan benih kakao hibrida. Keunggulan benih kakao hibrida antara lain mampu berproduksi tinggi (Suhendi et al. 2004), daya tumbuh benih yang tinggi dan seragam, serta bibit yang dihasilkan lebih vigor. Secara umum McDonald & Copeland (1997); Demir et al. (2005), menyatakan bahwa benih bermutu tinggi ditandai dengan mutu genetik, mutu fisiologis, mutu fisik, dan mutu patologis yang baik dan benar. Terkait dengan mutu fisiologis benih kakao, diduga bahwa saat panen benih dan buah kakao yang tepat, dan dapat ditentukan dengan kriteria biologi dan fisiologis benih. Semua karakter tersebut diharapkan dapat dijadikan indikator masak fisiologis benih.

Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan yang dilakukan terhadap benih kakao hibrida ICS 13 x Sca 6, terdapat beberapa cendawan terbawa benih yang berpotensi sebagai patogen yaitu Aspergilus spp., Penicillium sp., Cladosporium

sp., Colletotrichum sp., Curvularia sp., Fusarrium spp., Moniliella sp., Phoma

sp., dan Macrophoma sp. Cendawan-cendawan ini harus diverifikasi lebih lanjut untuk identifikasi dan uji tingkat patogenitasnya. Cendawan-cendawan tersebut diduga bersifat patogenik, maka untuk mengatasinya perlu dilakukan teknik invigorasi pada benih. Menurut Ilyas (2005), benih yang telah mengalami kemunduran atau deteriorasi dapat ditingkatkan performansinya melalui perlakuan invigorasi, yaitu cara mengatur pemasukan air (hidrasi) ke dalam benih secara perlahan-lahan (conditioning) untuk memperbaiki perkecambahan.

Teknik invigorasi benih yang sering digunakan adalah matriconditioning dan

osmoconditioning. Menurut Khan et al. (1990), matriconditioning merupakan

perlakuan benih sebelum tanam yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan fisiologi maupun biokimia benih. Mekanisme kerja matriconditioning yaitu mengatur pemasukan air ke dalam benih, sehingga pemunculan radikula dapat dicegah selama beberapa waktu dan memungkinkan fase aktivasi berlangsung lebih lama. Menurut Ilyas (1994) pada proses ini, masuknya air secara perlahan- lahan ke dalam benih dan tidak menimbulkan kerusakan pada membran. Selama imbibisi, benih menyerap air sampai pada nilai ”plateau/ekuilibrium” tercapai dan fase aktivasi benih tetap pada kadar air tersebut. Pada saat yang sama proses metabolik yang diperlukan untuk perkecambahan menjadi aktif, dan kadar air benih akan meningkat bila radikula mulai tumbuh (Ilyas 1994). Selama priming, air yang diserap hanya cukup untuk aktivasi, tetapi tidak cukup untuk pertumbuhan dan perkecambahan benih. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan tanpa merusak benih (Bradford & Tremavas 1984).

Osmoconditioning adalah perlakuan hidrasi benih terkontrol dengan larutan

berpotensial osmotik rendah sedangkan potensial matriks dapat diabaikan, selama periode tertentu dengan tertundanya perkecambahan (Khan dalam Ilyas 2005). Budiarti (1999), menyatakan bahwa invigorasi benih dengan teknik

osmoconditioning (perendaman dalam aquades atau GA3 + NAA 0,1 mM selama

4 jam) dapat meningkatkan viabilitas benih kakao yang mundur dari 73% menjadi 83-90%. Kelemahan teknik osmoconditioning adalah sulit dikombinasikan dengan perlakuan tambahan agens hayati. Untuk mengatasi kelemahan teknik tersebut

perlu diteliti penggunaan teknik matriconditioning dengan penambahan agens hayati.

Teknik matriconditioning dengan penambahan agens hayati, diharapkan dapat mengurangi serangan patogen terbawa benih. Kombinasi perlakuan

matricondiotioning dan Trichoderma spp. diharapkan dapat menghasilkan benih

kakao bervigor tinggi dan sehat, karena diduga dapat mempercepat pertumbuhan bibit. Mikroba antagonis Trichoderma harzianum DT/38 dan T. pseudokoningii

DT/39 dapat memacu pertumbuhan dan mengendalikan penyakit tanaman (BPBPI 2008). Menurut Chet & Henis (1985), Trichoderma dapat menghasilkan antibiotik volatil dan non volatil. Penggunaan Trichoderma dapat menurunkan frekwensi infeksi P. palmivora pada buah kakao dari 9-98% menjadi 6-63% (Darmono 1994). Menurut Prayudi (1996), mikroparasitisme Trichoderma dimulai setelah hifa kontak fisik dengan hifa inang yang mampu menghasilkan enzim hidrolitik β- 1,3 glukanase dan kitinase, yang dengan aktif mendegradasi sel-sel cendawan dan melakukan penetrasi ke dalam hifa cendawan patogen.

Keberhasilan dalam mengidentifikasi dan mengendalikan patogen yang dikombinasikan dengan teknik matriconditioning plus agens hayati, diharapkan dapat menghasilkan benih dan bibit yang sehat, serta bervigor tinggi.

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan teknologi produksi benih dan bibit yang sehat dan bervigor tinggi dengan metode

matriconditioning dan inokulasi Trichoderma spp. Tujuan khusus yang ingin

dicapai adalah:

1. Mengetahui perubahan beberapa karakter biologi dan fisiologis selama perkembangan benih kakao hibrida; mengevaluasi hubungan antara berbagai karakter yang diamati dengan karakter fisiologis benih; menentukan saat panen yang tepat benih kakao hibrida TSH 858 x Sca 6 dan ICS 60 x Sca 6.

2. Mengisolasi dan mengidentifikasi cendawan terbawa benih kakao hibrida. 3. Mengevaluasi tingkat patogenisitas beberapa isolat cendawan terbawa benih

4. Mengetahui pengaruh kombinasi antara lama penyimpanan dan perlakuan benih terhadap peningkatan viabilitas dan vigor benih ataupun bibit kakao hibrida.

5. Mengetahui pengaruh kombinasi antara perlakuan benih dan medium tanam terhadap peningkatan kesehatan dan vigor bibit kakao hibrida.

Hipotesis

1. Terdapat perubahan beberapa karakter biologi dan fisiologi selama perkembangan benih, hubungan antar berbagai karakter fisiologis benih yang dapat mencerminkan mutu benih dan menentukan saat panen yang tepat benih kakao hibrida TSH 858 x Sca 6 dan ICS 60 x Sca 6.

2. Terdapat beberapa isolat cendawan yang teridentifikasi terbawa benih kakao hibrida TSH 858 x Sca 6.

3. Inokulasi dengan berbagai isolat cendawan terbawa benih diduga dapat menurunkan viabilitas dan vigor benih maupun bibit kakao hibrida TSH 858 x Sca 6.

4. Terdapat interaksi antara lama penyimpanan dan perlakuan benih terhadap peningkatan viabilitas dan vigor benih ataupun bibit kakao hibrida TSH 858 x Sca 6.

5. Terdapat interaksi antara perlakuan benih dan medium tanam terhadap peningkatan kesehatan dan vigor bibit kakao hibrida TSH 858 x Sca 6.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi kepada produsen benih dan para peneliti serta pengguna lainnya.

2. Meningkatkan mutu benih dan memperbaiki vigor bibit kakao hibrida yang telah mengalami kemunduran melalui pendekatan fisiologi dan biologi.

3. Hasil penelitian mudah dan murah diaplikasikan, serta aman terhadap lingkungan.

4. Hasil penelitian, dapat dijadikan acuan dalam penyususunan SOP (Standard Operational Procedure) benih dan bibit kakao hibrida.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kakao

Kakao merupakan tanaman perkebunan yang termasuk dalam divisi

Spermathophyta, kelas Dicotiledonae, ordo Malvales, famili Sterculiaceae, genus

Theobroma dan spesies cacao L., serta termasuk buah tunggal berbiji banyak

(Toruan 1990). Benih dan buah selama fase perkembangan dan pemasakan terjadi perubahan karakter biologi dan fisiologis. Buah kakao ada yang berkulit tebal dan agak tebal, serta ada yang memiliki alur dan tidak beralur. Buah berwarna hijau pada saat masak berwarna kuning kehijauan, sedangkan buah yang berwarna merah berubah menjadi kuning oranye. Di dalam buah terdapat biji yang dilindungi oleh ”mucilage pulp” berwarna putih yang rasanya manis atau agak keasaman tergantung dari tingkat kemasakan buah.

Buah Kakao dan Perkembangannya

Perkembangan umur buah kakao sejak terjadinya pembungaan sampai masak fisiologis, untuk kebutuhan benih, diperkirakan selama 120-163 hari (Gambar 2).

Keterangan : Lintasan hipotetik yang menghasilkan buah tanpa biji dan berbiji sebagian Gambar 2. Diagram perkembangan buah hubungannya dengan kemasakan buah dan biji kakao

dalam beberapa fase pertumbuhan (Nicholas 1965; Wood 1975).

Polinasi Ovul tak menyatu

Pembesaran ovari Polinasi steril Ovari gugur Infeksi cendawan (Marasmius Polinasi fertil (100% ovul menyatu) Biji Pericarp Perkembangan dan pembesaran sel Pembelahan zigot

dan endosperma Biji istimewa atau biji batu Pembelahan jaringan pembuluh Buah matang morfologis Pembesaran buah Ko-faktor auksin

Pematangan kulit biji

Buah masak

fisiologis Pemasakan buah

Terbentuk pentil Fase 1 Fase 2 Fase 3 Bunga setelah polinasi (3-7 hari) ± 60 hari ± 120 hari ± 163 hari Pembesaran perisperma Pematangan biji Polinasi silang

Di dalam buah kakao terdapat banyak biji, yang dilindungi oleh plasenta dan

mucilage pulp berwarna putih (Rahardjo 1985). Perkembangan buah kakao terdiri atas tiga fase yaitu pembelahan zigot, pembentukan endosperma dan pertumbuhan biji (Nicholas 1965; Wood 1975). Pada fase pertama, zigot mulai melakukan pembelahan diri hingga terbentuk pentil, yang terjadi pada umur lebih kurang 50 hari setelah antesis. Fase kedua terjadi saat endosperma tumbuh dan buah berkembang menjadi besar sampai biji terbentuk dengan sempurna. Fase ini terjadi pada umur 50-80 hari setelah antesis. Fase ketiga terjadi pertumbuhan biji dengan diferensiasi embrio dan berlangsung pada umur 80 hari setelah antesis. Selanjutnya buah kakao akan mencapai matang morfologis pada umur lebih kurang 120 hari setelah antesis, dan akan masak pada umur lebih kurang 163 hari setelah antesis (Nicholas 1965; Wood 1975).

Perkembangan dan Kemasakan Fisiologis Benih Kakao

Perkembangan benih kakao berhubungan dengan mutu benih, terutama kondisi benih saat sebelum masak fisiologis dan setelah masak fisiologis. Menurut Inawati (2002), benih kakao yang memiliki kualitas rendah mudah mengalami kemunduran dan kehilangan viabilitas. Penurunan viabilitas benih dapat disebabkan oleh perubahan fisik, fisiologis dan biokimia, yang dapat ditandai dengan perubahan warna benih, hilangnya daya berkecambah, dan pertumbuhan kecambah yang abnormal (Munandar et al. 2004). Secara umum benih yang mengalami kemunduran, memiliki daya berkecambah yang rendah (Copeland 1976). Kriteria benih kakao berkecambah normal apabila pertumbuhan benih sehat, hipokotil tumbuh normal dengan panjang lebih kurang satu setengah dari panjang benih, kotiledon terangkat ke atas dan daun telah membuka dengan sempurna (Basharudin 1994). Gejala terakhir kemunduran benih digambarkan dengan habisnya kemampuan benih dalam berkecambah hingga terjadi kematian benih (Copeland 1976).

Tingkat kemasakan fisiologis penting diketahui untuk menentukan waktu panen yang tepat, karena berhubungan dengan viabilitas dan vigor benih (Sundari 2005). Beberapa ciri masak fisiologis benih kakao yang telah disebutkan adalah

   

Prawoto et al. 2003; Suhendi et al. 2004). Hasil penelitian lain Prawoto (2008) menyebutkan buah kakao pada saat muda berwarna hijau atau merah, ketika masak fisiologis berubah menjadi kuning kehijauan dan kuning oranye. Chart (1953) menjelaskan perubahan warna buah kakao sebesar 50-80% ketika masak fisiologis dari buah dan terjadi pada umur 135-150 hari setelah berbunga. Hasil penelitian lain menjelaskan buah kakao pada umur 120 hari berwarna hijau, ketika berumur 135 hari berubah menjadi hijau putih, kemudian menjadi kuning sebesar 5% pada umur 150 hari, 40% saat berumur 165 hari, 60% ketika 180 hari dan 100% saat berumur 175 hari setelah berbunga (Wirawan 1992).

Pada umur 120-180 hari setelah antesis diharapkan benih dan buah kakao sudah mencapai masak fisiologis dengan kandungan klorofil, karotenoid dan antosianin yang berbeda-beda. Tolok ukur masak fisiologis benih kakao dapat diduga dengan adanya kandungan total klorofil, karotenoid dan antosianin benih dan buah, seperti pada benih tanaman lainnya.

Klorofil tidak hanya terdapat di daun, tetapi juga ditemukan dalam benih dan buah, yang berperanan dalam proses fotosintesis. Berbagai penelitian untuk menentukan kandungan klorofil dalam benih dan buah telah dilakukan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi mutu benih. Suhartanto (2002) melaporkan bahwa kandungan klorofil benih tomat pada saat masak fisiologis adalah minimum, dan lebih rendah dibandingkan saat benih belum masak fisiologis. Pada tanaman tomat, kandungan klorofil benih tomat berkorelasi negatif dengan daya berkecambah. Artinya makin tinggi kandungan klorofil makin rendah daya berkecambah (Suhartanto 2003). Dalam hal ini, kandungan klorofil dapat digunakan sebagai penciri kemasakan benih, atau secara tidak langsung sebagai penciri kualitas benih (Suhartanto 2002).

Beberapa karakter yang diamati dapat digunakan untuk menentukan mutu benih, sedangkan karotenoid dan antosianin diduga berkaitan dengan ketahanan terhadap penyimpanan benih. Pada benih jagung manis, kadungan karotenoid pada setiap tingkat kemasakan berbeda-beda, tertinggi pada saat masak fisilogis (Prasetyantiningsih 2006). Menurut Bosland & Votava (1999); karotenoid memiliki peranan penting di dalam produksi benih dan terdapat pada membran lipid bilayer (Gruszecki 2010). Menurut Moreno et al. (2003); Fraser & Bramley

(2004); Sliwka et al. (2010), karotenoid dan antosianin merupakan senyawa antioksidan. Selanjutnya Edge & Truscott (2010); Kispert et al. (2010); Polivka (2010), melaporkan karotenoid berfungsi memproteksi penyakit, mencegah pembentukan radikal bebas dan peroksidasi lipid. Dikatakan oleh Niemann & Baayen (1988); Miller (1996); Curir et al. (2005); Galeotti et al. (2008), bahwa antosianin merupakan senyawa dari klas flavonoids yang secara biologi berfungsi sebagai agens pengendali penyakit atau antibakterial dan antimutagenik. Diharapkan peningkatan kandungan karotenoid dan antosianin pada benih dapat memperpanjang periode penyimpanan benih dan sebagai agens pengendali biologi benih kakao hibrida. Hal ini perlu dipelajari karakter biokimia, biofisik, fisiologis, agronomi, dan morfolgis, karena berhubungan dengan penentuan mutu benih kakao hibrida.

Infeksi Cendawan Patogen Terbawa Benih

Tingkat infeksi cendawan patogen pada benih berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan. Secara visual benih sehat dan benih terinfeksi patogen sulit dibedakan (Baliati 1993). Infeksi patogen dapat terjadi secara mekanik, melalui benih, dan secara non persisten melalui serangga vektor (Demski & Lovell 1985). Menurut Sutakaria (1989); Schmidt (2000); Soesanto (2006), infeksi patogen mulai terjadi saat tanaman muda, menjelang berbunga, dan saat pembentukan buah hingga benih, serta infeksi tertinggi pada tahap akhir pematangan benih. Dikatakan Halloin (1986); Hatting et al. (1999), bahwa secara umum patogen merupakan sumber inokulum potensial yang menyebar melalui spora dan menginfeksi mulai dari jaringan bunga hingga saat pematangan benih melalui jaringan vaskular.

Penurunan mutu benih dapat terjadi secara berangsur-angsur dan tidak dapat balik (irreversible) (Copeland & McDonald 1995). Penyebab penurunan mutu benih kedelai dapat terjadi apabila faktor-faktor yang mempengaruhi laju deteriorasi benih sulit dikendalikan (Nugraha 1987). Menurut Wicklow & Pearson (2004), Aspergillus flavus dan Fusarium verticillioides ditemukan juga menginfeksi benih jagung, serta jahe dan kunyit di India, Pakistan, Iran, dan USA

   

mengatakan, infeksi cendawan patogen pada benih sereal dan legum merupakan sumber vital untuk menurunkan viabilitas dan vigor benih, serta produksi dan kualitas hasil. Selanjutnya Abadi (2005) menjelaskan, tidak satupun tanaman di alam yang bebas dari gangguan penyakit dan bahkan dapat menginfeksi semua bagian tanaman, hingga menyebabkan kematian.

Kerusakan Benih Kakao Akibat Penyimpanan

Benih kakao tergolong rekalsitran, tidak tahan suhu dan kelembaban rendah, tidak memiliki masa dormansi, serta mempunyai periode simpan yang relatif sangat singkat (Barton 1965). Penyimpanan benih kakao sering tidak sesuai dengan kondisi yang dikehendaki benih kakao, sehingga cepat terjadi penurunan mutu benih. Prawoto (2008) menjelaskan, benih kakao yang telah dikeluarkan dari buahnya, dan tidak disimpan dengan baik serta diberi perlakuan khusus, dapat berkecambah dalam waktu 3-4 hari atau terlalu cepat, sehingga dapat menurunkan viabilitas dan vigor benih.

Selama penyimpanan benih kakao menghendaki suhu dan kelembaban yang tidak terlalu ekstrim, serta kadar air yang tidak lebih dari 50%. Rahardjo (1985) menjelaskan, benih kakao tidak dapat disimpan pada suhu tinggi yaitu di atas 30

0

C dan suhu rendah yaitu di bawah 20 0C, karena dapat mematikan benih. Penyimpanan benih kakao pada suhu antara 18-30 0C dan di atas 35 0C dapat mempercepat laju respirasi dan pengeringan benih, sedangkan pada suhu rendah atau pada suhu 4 0C (selama 20 menit) menyebabkan benih kehilangan daya hidup.

Kelembaban udara berhubungan dengan kadar air benih yang diperlukan benih kakao. Kadar air benih kakao pada saat masak fisiologis umumnya tinggi, yaitu 60-70%. Agar viabilitas dan vigor benih tetap tinggi, maka kadar air harus diturunkan hingga 50% sebelum dilakukan penyimpanan (Duffus & Slaughter 1980). Kelembaban ruang simpan yang baik adalah 100%. Jika kelembaban udara kurang dari 100%, maka benih kakao dapat melepaskan kandungan airnya hingga mencapai keseimbangan. Apabila kelembaban udara turun sebesar 50% selama 7 hari, maka kadar air benih kakao akan turun 9,9% dari kadar air awal 49,6%.

Akibatnya benih akan kehilangan daya berkecambah selama 15 hari (Rahardjo 1981).

Secara normal kadar oksigen di udara sebesar 20%, jika kadar oksigen lebih rendah, maka laju respirasi benih dapat ditekan. Laju respirasi benih yang tinggi dapat mendegradasi cadangan makanan seperti karbohidrat, protein, dan lemak (Munandar et al. 2004). Penurunan kadar oksigen hingga di bawah batas kritisnya, dapat memacu terjadinya respirasi anaerobik yang menghasilkan alkohol dan mempercepat kemunduran benih (Wills et al. 1981; Munandar & Rahardjo 2003).

Menurut Munandar et al. (2004), 33% benih kakao yang dikirim dengan selang waktu 4-8 hari dan 10-12 hari memiliki daya tumbuh di bawah 80%, yang dipengaruhi lama di perjalanan dan serangan cendawan. Benih kakao memiliki testa dan bersifat higroskopis, sehingga mudah berakar dan berjamur selama dalam penyimpanan yang dapat menurunkan potensi viabilitas benih (Rahardjo 1985; Saleh 2001).

Perbaikan Mutu Benih Kakao dengan Aplikasi Agens Hayati

Salah satu penyebab menurunnya mutu dan daya tumbuh benih kakao adalah infeksi patogen, terutama patogen terbawa benih (Puslitkoka 2006b). Pengendalian patogen demikian dapat dilakukan dengan pemberian agens hayati, seperti mikroorganisme antagonis (Nielsen 2004). Trichoderma spp. merupakan agens biokontrol yang mampu memproduksi enzim pendegradasi sel yang secara kontinyu dapat menghambat dan mematikan patogen lawannya (Sukamto et al. 1999).

Aplikasi agens biokontrol Trichoderma spp. pada benih dapat dilakukan melalui teknik invigorasi yang tepat dengan menggunakan matriconditioning.

Menurut Ilyas (2006a), perlakuan benih dengan teknik matriconditioning dapat diintegrasikan dengan agens hayati, dan dapat digunakan untuk melindungi benih dari infeksi penyakit, memperbaiki status hara, meningkatkan perkecambahan, kualitas benih, dan hasil.

Interaksi antara hifa T. harzianum dengan hifa T. koningii mampu mendegradasi bagian dinding jaringan sel P. capsici pada skala 10 mm (Ahmed et

s d S m m M g s m T g p G S sel epidermi degradasi da Sclerotium memproduk mengkoloni Mekanisme Menuru glukonase d sklerotium mikroparasit Trichoderma glukanase d penetrasi hin 1. Trichode 2. T. koni Gambar 3. H Sumber: Ahm T. harz is dan hypo an hidrolisis cepivorum si endokitin di dalam kerja T. harz ut Papavizas dan khitinas patogen tisme Trich a dengan hi dan kitinase, ngga ke dala erma koningii ingii Hifa Trichode med et al. 199 zianum odermis pad s pada dind pada skala nase dan kit sel hingga rzianum dan s (1985), T se yang ber lawannya. hoderma d ifa inang se yang aktif am hifa. erma harzian 99; Matcalf & a skala 20 ding sel nuk 50-100 mm tin untuk m menyebar k T. koningii T. viride da fungsi untu Selanjutny dimulai set ehingga men mendegrada um (1) dan & Wilson 200 mm. Secara leus, metaxy m. Selain it menginfeksi keseluruh ja di sajikan p apat menge uk mendegr ya menuru telah konta nghasilkan e asi sel-sel pa (2) T. konin 1 a parsial terj ylem, endod tu T. koning bagian kuli aringan akar ada Gambar luarkan enz adasi dindin ut Prayudi ak fisik an enzim hidro atogen dan ngii jadi proses dermis dan gii mampu it luar dan r tanaman. r 3. zim β 1-4 ng sel dan i (1996), ntara hifa olitik β-1,3 melakukan

Fermentasi Buah Kakao

Perbaikan dan penanganan mutu benih kakao harus dilakukan lebih awal sebelum mutu benih menurun baik secara fisik maupun fisiologis. Agar mutu benih kakao dapat dipertahankan dilakukan fermentasi pada buah kakao. Teknik ini dilakukan dengan cara melepaskan mucilage pulp dan kulit arinya dari benih.

Mucilage pulp dapat menghambat masuknya oksigen dan air ke dalam benih,