• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Manfaat Penelitian

3. Sekolah Regrouping

a. Pengertian Sekolah Regrouping

Untuk mengatasi masalah mutu pendidikan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan regrouping terutama untuk sekolah dasar yang berlandaskan pada efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan. Dasar dari penggabungan sekolah adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 yang menjelaskan bahwa salah satu kegiatan pokok yang mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah dengan melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama sekolah

28

dasar, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai. Penggabungan juga dimaksudkan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Dasar sehingga perlu diambil kebijakan untuk menggabung, menghapus, dan atau mengganti nama sekolah dasar.

Landasan hukum lain tentang kebijakan regrouping sekolah adalah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan (Regrouping) Sekolah Dasar. Tujuan penggabungan tersebut adalah untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah dan sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan penggunaannya untuk rencana pembukaan SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara sekolah lanjutan sesuai ketentuan setempat untuk menampung sekolah dasar. Berdasarkan tujuan tersebut dapat dilihat keberhasilan dengan bercermin pada tujuan yang tertera dalam landasan hukum. Kriteria keberhasilan regrouping yang berlandaskan pada landasan hukum dan tujuan diatas adalah yaitu: 1) Pemenuhan jumlah tenaga pendidik/guru

2) Peningkatan mutu pendidikan

3) Peningkatan efisiensi biaya pendidikan 4) Efektivitas penyelenggaraan pendidikan

5) Pembukaan/pendirian SMP kecil/SMP kelas jauh untuk memanfaatkan sekolah yang ditinggalkan.

Secara lebih spesifik dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Pedoman Regrouping Satuan

29

Pendidikan, regrouping atau pengintegrasian sekolah diartikan sebagai peleburan atau penggabungan dua atau lebih sekolah yang sejenis menjadi satu sekolah. Pada bab 2 pasal 2 dijelaskan tentang parameter pelaksanaan regrouping sekolah yaitu lokasi, jumlah siswa, keterbatasan saran, dan kebijakan pemerintah. Sedangkan pada bab 2 pasal 3 dijelaskan tentang persyaratan dilakukannya regrouping sesuai parameter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yaitu:

1) Jumlah peserta didik tidak memenuhi persyaratan sesuai standar minimal yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

2) Satuan pendidikan yang diregrouping harus sesuai jenjang dan jenisnya.

3) Jarak antar satuan pendidikan yang

diregrouping/diintegrasikan saling berdekatan dalam satu wilayah dan/atau satu kompleks.

4) Jarak sekolah hasil regrouping tidak boleh melebihi dari 2 km dengan jarak sekolah terdekat baik negeri maupun swasta. Pendapat lain tentang regrouping juga diungkapkan oleh Siti Irine (2014: 267) beliau mengatakan bahwa kebijakan regrouping merupakan satu cara pengembangan sekolah dengan memberdayakan dan mengembangkan berbagai sumber daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dan efektivitas sekolah. Kebijakan regrouping sekolah merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki pengelolaan sekolah. Pengelolaan sekolah adalah sebuah proses untuk menempatkan sekolah sebagai lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetapkan kebijakan menyangkut visi, misi, dan tujuan sekolah yang nantinya akan

30

membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum dan program-program operatif sekolah. Diharapkan dengan adanya kebijakan yang dibuat dan pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan, maka sekolah dapat terus memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya.

b. Model-Model Sekolah Regrouping

Menurut hasil penelitian dari Dwi Budi Susanto (2009) terdapat 2 jenis model sekolah regrouping yang bisa diterapkan sebagai upaya efisiensi penyelenggaraan pendidikan yaitu regrouping dalam arti penggabungan dua sekolah menjadi satu lembaga (total regrouping) dan regrouping dalam arti penggabungan dua sekolah dibawah satu manajemen (managerial regrouping). Pada model regrouping sekolah secara total akan terjadi kelebihan tenaga pengajar atau guru sehingga kelebihan tenaga pengajar tersebut nantinya dapat dialihkan ke sekolah lain yang masih kekurangan guru.

Sedangkan pada model regrouping sekolah dalam arti penggabungan di bawah satu manajemen dua sekolah yang diregrouping tidak berdiri sebagai dua lembaga dengan manajemen yang terpisah tetapi menjadi satu lembaga dibawah satu manajemen. Dengan memberlakukan satu manajemen dan satu lembaga maka penyelenggaraan pendidikan akan lebih terarah dan

31

terencana sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan oleh sekolah yang bersangkutan.

c. Mutu Pendidikan Pada Sekolah Regrouping

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tujuan dilakukannya regrouping sekolah adalah untuk efisiensi dan efektivitas sekolah, memperbaiki pengelolaan sekolah, dan memperbaiki mutu pendidikan di sekolah. Meskipun fokus utama dalam penyelenggaraan sekolah regrouping adalah untuk efektivitas dan efisiensi pendidikan tetapi mutu pendidikan di sekolah regrouping juga harus diperhatikan. Sekolah regrouping tentu harus memiliki rencana yang baik dalam pengelolaan sekolahnya. Sekolah harus mempunyai strategi yang baik untuk membuat model pengelolaan baru untuk sekolahnya. Jika tidak maka sekolah regrouping malah justru akan menyebabkan masalah baru, masalah tersebut adalah pada mutu.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Sudiyono, dkk (2009) menunjukkan bahwa kebijakan regrouping yang ada di SD Pakem 1 berdampak pada penurunan ranking prestasi akademik siswa sebagai pengelolaan sekolah pasca regrouping yang kurang baik. Menurunyya ranking prestasi akademik siswa juga disebabkan karena sekolah memperoleh murid yang memiliki kemampuan yang lebih rendah dari sekolah yang diregrouping. Hal serupa juga ditunjukkan dalam hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh

32

Marsono (2003) yaitu kebijakan regrouping justru menimbulkan masalah, baik masalah organisasi, kesiswaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan ketatalaksanaan sekolah. Hal tersebut terjadi karena pelaksanaan penggabungan sudah dilakukan akan tetapi surat keputusan penggabungan belum terbit. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Siti Irine (2012) menunjukkan bahwa pasca regrouping SD Negeri Umbulharjo 2 terus berupaya mengembangkan budaya mutu dan memperbaiki mutu sekolah secara bertahap. Karena guru dan kepala sekolah perlu beradaptasi dalam lingkungan yang baru.

Dari beberapa hasil penelitian tentang regrouping di atas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa mutu yang dihasilkan pada sekolah regrouping tergantung pada bagaimana pengelolaan sekolah pasca regrouping. Jika sekolah mengelola sekolahnya dengan baik maka mutu secara bertahap akan dapat diperbaiki tetapi jika sekolah tidak mengelola sekolah dengan baik maka yang terjadi hanyalah memunculkan masalah baru yaitu masalah mutu pada sekolah regroupiung. Padahal mutu pendidikan adalah prioritas utama dalam penyelenggaraan pendidikan.

33 B. Penelitian yang Relevan

Untuk menghindari duplikasi, peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Dari hasil penelusuran penelitian terdahulu, diperoleh beberapa masalah yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yaitu:

1. Pengembangan Budaya Mutu dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah di Madrasah Ibtidaiyyah Negeri Kota Bandar Lampung. Penelitian ini dilakukan oleh Syaiful Anwar, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung pada tahun 2014. Hasil penelitiannya adalah dalam tatanan birokrasi telah berkembang nilai-nilai budaya mutu, yakni nilai kemandirian, nilai inovatif, nilai perbaikan yang kontinyu, dan nilai pemberdayaan serta nilai-nilai dasar yaitu nilai-nilai dasar kesehatan, kebenaran, kasih sayang, dan spiritual. Nilai tersebut tumbuh dan berkembang bersentuhan dengan struktur yang telah mapan. Pada pola interaksi kepemimpinan mengacu pada pola interaksi kepemimpinan yang berorientasi pada pengembangan mutu, yakni inisiatif terhadap sesuatu yang inovatif, sharing visi, mendorong orang lain bertindak, dan menjadi teladan.

2. Pengembangan Budaya Mutu di SMK PGRI 1 Karanganyar. Penelitian ini dilakukan oleh Moh. Arobi, Sutama, dan Ahmad Muhibbin, mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan Pascasarjana UMS Surakarta pada tahun 2013. Hasil penelitiannya

34

adalah budaya mutu di SMK PGRI 1 Karanganyar dalam peningkatan hasil belajar siswa masih terbatas pada kegiatan pembelajaran sebagaimana yang diprogramkan sekolah dalam manajemen berbasis sekolah, evaluasi diri sekolah, dan standar pelayanan minimal, jadi belum dikembangkan pada kegiatan peningkatan mutu akademik, misalnya kegiatan pembimbingan khusus bagi siswa beprestasi, pembinaan siswa yang belum berprestasi, dan sebagainya, bentuk-bentuk pengembangan budaya mutu nonakademik yang berlangsung di SMK PGRI 1 Karanganyar juga belum optimal, masih terbatas pada kegiatan pramuka yang menonjol, dan yang lainnya seperti olahraga (bolla voli, basket), seni (musik, tari, lukis), PMR, dan UKS belum optimal.

3. Pengelolaan Sekolah Dasar Regrouping (Studi Situs SDN Gondosuli 2 dan 3 Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang). Penelitian ini dilakukan oleh Murdono dan Sutama Guru SDN Muntilan dan Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2012. Hasil penelitiannya adalah Sumber Daya Manusia sekolah dasar regrouping di SDN Gondosuli 2 dan 3 tidak hanya mengukir prestasi dalam bidang akademik dan non akademik saja, namun mampu menunjukkan sikap santun dan sikap religi. Kepala sekolah memiliki sikap demokratis dengan melibatkan berbagai pihak dalam kegiatan sekolah termasuk masyarakat untuk menjadi kepanitiaan dalam pengajian akhir semester. Guru datang tepat waktu di sekolah dan

35

bersedia menjadi pemandu dalam kegiatan ekstrakurikuler tanpa memikirkan honor atau uang transport. Kinerja guru dalam mengelola pembelajaran yang menggunakan prinsip student center dan mengoptimalkan lingkungan sebagai sumber belajar mampu membawa siswa berprestasi.

Dari ketiga hasil penelitian terdahulu di atas, terdapat kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, yaitu pengembangan budaya mutu di sekolah. Akan tetapi dari keempat penelitian tersebut tidak ada yang benar-benar sama dengan masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang bagaimana kebijakan sekolah dalam mengembangkan budaya mutu pada sekolah regrouping.

Untuk hasil penelitian yang pertama, persamaannya terletak pada pengembangan budaya mutu sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Syaiful Anwar adalah hanya ingin mengetahui pengembangan budaya mutu yang ada di Madrasah Ibtidaiyyah Negeri Bandar Lampung yang lebih menekankan pada tatanan birokrasi dan pola kepemimpinan. Untuk penelitian yang dilakukan oleh Moh. Arobi, Sutama, dan Ahmad Muhibbin lebih menekankan pada pengembangan budaya mutu akademik dan non akademik siswa. Penelitian yang ketiga yang dilakukan oleh Murdono dan Sutama membahas tentang pengelolaan sekolah regrouping dimana pengelolaan sendiri lebih berorientasi pada tindakan mengimplementasikan kebijakan. Sedangkan penelitian yang dilakukan

36

oleh peneliti fokusnya ada pada proses formulasi kebijakan dan bukan pada tahap implementasi kebijakan.

Dari pemaparan di atas telah jelas mengenai perbedaan dan persamaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu yang sudah dilakukan. Oleh karena itu penelitian-penelitian yang berjudul “Kebijakan Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Mutu pada Sekolah Regrouping di SD Ungaran 1 Yogyakarta” dapat dilakukan karena masalah yang akan diteliti bukan duplikasi dari penelitian-penelitian sebelumnya.