• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komoditas yang dianalisis usahataninya adalah cabe, karena merupakan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan sesuai dengan zona agro ekologi (LQ, SSA & ZAE). Komoditas kacang panjang, kangkung, bayam dan sawi tidak dianalisis usahataninya karena hanya ditanam dalam luasan yang sempit dan ditanam di pematang sawah atau galengan. Jumlah responden sebanyak 30 petani terdiri dari 15 petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) dan 15 petani komoditas non unggulan.

Sumber: data primer diolah

Gambar 12 Keragaan usahatani padi sawah, jagung dan kacang tanah

0 5 10 15 20 25 Komoditas Unggulan (LQ,

SSA & ZAE)

Komoditas Non Unggulan

Komoditas Unggulan (LQ,

SSA & ZAE)

Komoditas Non Unggulan

Komoditas Unggulan (LQ,

SSA & ZAE)

Komoditas Non Unggulan

Padi Sawah Jagung Kacang Tanah

B.Saprodi (Rp x 1 juta) B. Tenaga Kerja (Rp x 1 juta) Produksi (ton/ha) Penerimaan (Rp x 1 juta) Keuntungan (Rp x 1juta) R/C

61

Karakteristik Petani

Berdasarkan Tabel 40, petani dikelompokkan dalam kategori tua, berumur diatas 35 tahun (93 %). Petani berumur kurang dari 35 tahun dibawah 7 %. Sektor pertanian kurang menarik bagi generasi muda, mereka lebih memilih untuk bekerja di luar sektor pertanian seperti industri, jasa dan sebagainya. Pendidikan formal petani komoditas unggulan terbesar di tingkat SLTP 67 %, sekolah dasar 13 %, SLTA 20 % serta tidak ada yang di perguruan tinggi ataupun tidak bersekolah. Pendidikan formal petani komoditas non unggulan terbesar di tingkat sekolah dasar 40 %, SLTP 27 %, SLTA 20 %, perguruan tinggi 13 % dan tidak ada yang tidak bersekolah. Pengalaman usahatani petani termasuk dalam kategori cukup berpengalaman (6-25 tahun) 67-73 % dan petani termasuk dalam kategori sangat berpengalaman (≥ 26 tahun) 27-33 %. Karakteristik petani sub sektor hortikultura (sayuran) disajikan Tabel 40.

Tabel 40 Karakteristik petani pada sub sektor hortikultura (sayuran) No Karakteristik Responden

Komoditas Unggulan (LQ, SSA & ZAE)

Komoditas

Non Unggulan Jumlah Persen Jumlah Persen

1 Umur 15 100 15 100 a. ≤ 35 tahun - - 1 7 b. 36-55 tahun 11 73 10 66 c. ≥ 56 tahun 4 27 4 27 2 Pendidikan 15 100 15 100 a. Tidak Sekolah - - - - b. SD (0-6 tahun) 2 13 6 40 c. SLTP (7-9 tahun) 10 67 4 27 d. SLTA (10-12 tahun) 3 20 3 20 e. Sarjana (≥ 13) - - 2 13 3 Pengalaman Usahatani (thn) 15 100 15 100 a. ≤ 5 tahun - - - - b. 6 - 25 tahun 10 67 11 73 c. ≥ 26 5 33 4 27

4 Jumlah Tanggungan Keluarga (Org) 15 100 15 100

a. 1-2 Orang 5 33 4 27 b. 3-4 Orang 9 60 9 60 c. ≥ 5 Orang 1 7 2 13 5 Pekerjaan Utama 15 100 15 100 a. Petani 13 86 13 86 b. Buruh pertanian 1 7 - - c. Buruh non pertanian - - 1 7

d. Dagang - - - - e. PNS - - - - f. Lainnya 1 7 1 7 6 Penghasilan Utama 15 100 15 100 a. Petani 13 86 12 80 b. Buruh pertanian 1 7 - - c. Buruh non pertanian - - 2 13

d. Dagang - - - -

e. PNS - - - -

f. Lainnya 1 7 1 7

62

Jumlah tanggungan keluarga pada petani komoditas unggulan maupun pada petani komoditas non unggulan terbesar sebanyak 3-4 orang (60 %). Jumlah tanggungan keluarga sebanyak 1-2 orang sekitar 27-30 % dan jumlah tanggungan keluarga yang lebih dari 5 orang sekitar 7-13 %. Pekerjaan utama pada petani komoditas unggulan maupun pada petani komoditas non unggulan sebagai petani (86 %), buruh pertanian (7 %) dan lainnya atau perangkat desa (7 %). Penghasilan utama pada petani komoditas unggulan yang berasal dari petani (86 %), buruh pertanian (7 %) dan lainnya (7 %). Penghasilan utama pada petani komoditas non unggulan dari petani 80 %, buruh non pertanian (13 %) dan lainnya atau perangkat desa (7 %).

Penguasaan Lahan Petani

Penguasaan lahan pada petani komoditas cabe didominasi jenis lahan sawah irigasi dengan luas penguasaan 0,27-0,38 ha. Selain lahan sawah irigasi, petani juga mempunyai lahan sawah tadah hujan dan tegalan dengan luasan kurang dari 0,07 ha. Penguasaan lahan selain berasal dari milik sendiri, juga diperoleh melalui sistem menyewa dan bagi hasil. Penguasaan lahan pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) lebih banyak berasal dari menyewa, sedangkan pada petani komoditas non unggulan lebih banyak dari milik sendiri. Penguasaan lahan yang diperoleh dengan sistem menyewa atau bagi hasil merupakan lahan milik perorangan maupun milik desa. Keragaan penguasaan lahan (jenis lahan, luas lahan dan status kepemilikan) disajikan pada Tabel 41.

Aksesibilitas dan Infrastruktur

Keragaan aksesibilitas dan infrastruktur meliputi jarak rumah petani ke lahan pertanian, pasar input dan output, sumber informasi, ketersediaan saprodi, ketersediaan pemasaran hasil dan frekuensi penyuluhan. Dari Tabel 42, jarak rumah petani ke lahan pertanian sekitar 0,5-0,8 km. Jarak rumah petani ke pasar input sekitar 1,4 km, sedangkan jarak rumah petani ke pasar output sekitar 1,5-1,6 km. Jarak rumah petani ke sumber informasi Pertanian (BPP) sekitar 2,1-3,1 km. Aksesibilitas di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 42.

Tabel 41 Keragaan penguasaan lahan petani pada sub sektor hortikultura (sayuran)

Jenis Lahan

Luas lahan (ha) dan status

Komoditas Unggulan (LQ, SSA & ZAE) Komoditas Non Unggulan Milik

Sendiri Menyewa Bagi

Hasil Gadai Jumlah Milik

Sendiri Menyewa Bagi

Hasil Gadai Jumlah Sawah Irigasi 0,09 0,17 0,01 - 0,27 0,16 0,02 0,20 - 0,38 Sawah T. Hujan 0,04 - - - 0,04 - - - - - Tegalan 0,07 - - - 0,07 0,02 - - - 0,02 Pekarang- an 0,06 - - - 0,06 0,11 - - - 0,11 Total 0,26 0,17 0,01 - 0,44 0,29 0,02 0,20 - 0,51

63

Ketersediaan benih berlabel, pupuk organik, pupuk anorganik, pestisida, alat dan mesin pertanian (alsintan) dan ketersediaan pemasaran hasil cukup tersedia di lapang (100 %). Penyuluh dari BPP sering melakukan penyuluhan, baik secara formal dalam kegiatan pertemuan kelompok tani maupun non formal di lahan- lahan petani (sawah). Setiap kelompok mempunyai jadwal pertemuan rutin setiap bulan, dimana jadwal pertemuan setiap kelompoknya berbeda. Keragaan infrastruktur lokasi penelitian pada sub sektor hortikultura (sayuran) disajikan pada Tabel 43.

Tabel 42 Aksesibilitas lokasi penelitian pada sub sektor hortikultura (sayuran) No Uraian Komoditas Unggulan

(LQ, SSA & ZAE)

Komoditas

Non Unggulan 1 Jarak ke lahan (km) 0,80 0,50 2 Jarak ke pasar input (km) 1,40 1,40 3 Jarak ke pasar output (km) 1,50 1,60 4 Jarak ke sumber informasi (km) 2,10 3,10 Sumber: data primer diolah

Tabel 43 Infrastruktur lokasi penelitian pada sub sektor hortikultura (sayuran) No Uraian

Komoditas Unggulan (LQ, SSA & ZAE)

Komoditas

Non Unggulan Jumlah Persen Jumlah Persen

1 Ketersediaan benih berlabel 15 100 15 100

a. cukup 15 100 15 100

b. sedang - - - -

c. kurang - - - -

2 Ketersediaan pupuk organik 15 100 15 100

a. cukup 15 100 15 100

b. sedang - - - -

c. kurang - - - -

3 Ketersedian pupuk anorganik 15 100 15 100

a. cukup 15 100 15 100 b. sedang - - - - c. kurang - - - - 4 Ketersediaan pestisida 15 100 15 100 a. cukup 15 100 15 100 b. sedang - - - - c. kurang - - - - 5 Ketersediaan alsintan 15 100 15 100 a. cukup 15 100 15 100 b. sedang - - - - c. kurang - - - -

6 Ketersediaan pemasaran hasil 15 100 15 100

a. cukup 15 100 15 100 b. sedang - - - - c. kurang - - - - 7 Frekuensi penyuluhan 15 100 15 100 a. sering 15 100 15 100 b. jarang - - - - c. tidak pernah - - - - Sumber: data primer diolah

64

Analisis Usahatani

Komoditas cabe merupakan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan komparatif, kompetitif dan sesuai zona agro ekologi (LQ, SSA & ZAE). Usahatani cabe yang dianalisis merupakan usahatani musim tanam ketiga (MT- III) tahun 2014 pada lahan sawah irigasi ½ teknis. Jumlah responden 30 petani, terdiri dari 15 petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) dan 15 petani komoditas non unggulan. Benih yang digunakan petani merupakan benih unggul berlabel, seperti Kencana, Lado dan Tm 88. Rata-rata penggunaan pupuk pada petani komoditas unggulan adalah pupuk urea 11 kg/ha, ZA 385 kg/ha, SP-36 60 kg/ha, KCL 44 kg/ha, NPK 614 kg/ha dan pupuk organik 1,41 ton/ha. Rata-rata penggunaan pupuk pada petani komoditas non unggulan adalah pupuk ZA 433 kg/ha, SP-36 45 kg/ha, NPK 500 kg/ha, pupuk organik 1,84 ton/ha dan tidak menggunakan pupuk urea dan KCL.

Dalam usahatani cabe, porsi biaya sarana produksi mencapai 22-23 %, sedangkan biaya tenaga kerja mencapai 78 %. Biaya sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) pada petani komoditas unggulan sebesar Rp. 7.246.935,-, sedangkan pada petani komoditas non unggulan sebesar Rp. 7.533.649,-. Biaya tenaga kerja pada petani komoditas unggulan sebesar Rp. 25.881.071,-, sedangkan pada petani komoditas non unggulan sebesar Rp. 25.912.803,-. Porsi terbesar biaya sarana produksi digunakan untuk penyediaan pupuk 44 %, sedangkan porsi biaya untuk benih 31-32 % dan pestisida 24-25 %. Porsi terbesar biaya tenaga kerja digunakan untuk panen dan pasca panen sekitar 40-41 % dan untuk pengolahan tanah 35 %. Total biaya usahatani cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) sebesar Rp. 33,128.006,- lebih rendah dibandingkan pada petani komoditas non unggulan Rp. 33.446.452,- atau selisih sebesar Rp. 318.446,-.

Produksi cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) 10,58 ton/ha lebih tinggi dibandingkan pada petani komoditas non unggulan 10,46 ton/ha. Harga cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) sebesar Rp. 4.973,-, sedangkan pada petani komoditas non unggulan sebesar Rp. 4.860,-. Penerimaan yang diperoleh dari usahatani cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) sebesar Rp. 52.594.448,-, sedangkan pada petani komoditas non unggulan Rp. 50.811.300,-. Keuntungan yang diperoleh dari usahatani cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) sebesar Rp. 19.466.442,-, sedangkan pada petani komoditas bukan unggulan Rp. 17.364.848,-.

Kelayakan usahatani cabe ditentukan dari nilai R/C, dimana usahatani cabe dianggap layak apabila nilai R/C lebih dari satu. Dari hasil analisis diperoleh nilai R/C cabe lebih dari satu, sehingga usahatani cabe dianggap layak. Nilai R/C cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) 1,59 dan pada komoditas non unggulan 1,52. Peningkatan keuntungan bersih (NKB) yang diperoleh dari usahatani cabe sebagai komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) sebesar 1,12 (Tabel 44), artinya keuntungan usahatani cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) 1,12 lebih tinggi daripada keuntungan usahatani cabe pada petani komoditas non unggulan. Skala usahatani cabe ditentukan dengan pendekatan titik impas produksi (TIP) atau dengan titik impas harga (TIH). Berdasarkan Tabel 44, menunjukkan bahwa titik impas produksi (TIP) dan dan titik impas harga (TIH) pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE)

65 adalah 6.662 kg/ha dan Rp. 3.132/kg. Artinya usahatani cabe pada petani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) masih menguntungkan apabila produksinya tidak kurang dari 6.662 kg/ha atau harga jualnya tidak lebih rendah dari Rp. 3.132/kg. Titik impas produksi (TIP) dan dan titik impas harga (TIH) pada petani komoditas non unggulan adalah 6.882 kg/ha dan Rp. 3.199/kg. Artinya usahatani cabe pada petani komoditas non unggulan masih menguntungkan apabila produksinya tidak kurang dari 6.882 kg/ha atau harga jualnya tidak lebih rendah dari Rp. 3.199/kg. Analisis usahatani cabe disajikan pada Tabel 44.

Pada sub sektor hortikultura, usahatani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) lebih optimal dibandingkan dengan komoditas non unggulan (komoditas cabe). Biaya sarana produksi (benih, pupuk, pestida) dan biaya tenaga kerja komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) lebih rendah dibandingkan pada komoditas non unggulan. Produksi, penerimaan dan keuntungan serta R/C pada komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) lebih tinggi dibandingkan pada komoditas non unggulan. Selain itu, ada peningkatan keuntungan bersih dari komoditas yang Tabel 44 Analisis usahatani cabe Kabupaten Bantul MT III tahun 2014

Uraian

Komoditas Ungulan (LQ, SSA & ZAE)

Komoditas

Non Unggulan Jumlah Persen Jumlah Persen

Biaya Sarana Produksi (Rp) 7.246.935 21,9 7.533.649 22,5

Benih 2.292.108 6,9 2.325.536 7,0 Pupuk 3.207.573 9,7 3.292.923 9,8 Pestisiada/Obat-obatan 1.747.254 5,3 1.915.190 5,7

Biaya Tenaga Kerja (Rp) 25.881.071 78,1 25.912.803 77,5

Pengolahan Tanah 9.046.667 27,3 9.042.524 27,0 Tanam 1.771.746 5,3 1.775.886 5,3 Pemupukan 655.810 2,0 705.600 2,1 Penyiraman 1.272.381 3,8 1.309.771 3,9 Penyemprotan 1.146.071 3,5 1.182.798 3,6 Penyiangan 1.412.063 4,3 1.441.024 4,3 Panen dan Pasca Panen 10,576,333 31,9 10,455,200 31,3

Total Biaya Usahatani (Rp) 33,128.006 100,00 33.446.452 100,00

Produksi (kg/ha) 10.576 10.455 Harga (Rp/kg) 4.973 4.860 Penerimaan (Rp) 52.594.448 50.811.300 Keuntungan (Rp) 19.466.442 17.364.848 R/C 1,59 1,52 NKB 1,12 -

Titik Impas Produksi (kg/ha) 6.662 6.882 Titik Impas Harga (Rp/kg) 3.132 3.199 Sumber: data primer diolah

66

memiliki keunggulan komparatif, kompetitif dan sesuai zona agro ekologi (LQ, SSA & ZAE). Keragaan usahatani cabe disajikan pada Gambar 13.

Pola Tanam

Pemerintah Kabupaten Bantul telah menyusun pola tanam dalam rangka efisiensi penggunaan air irigasi, mendukung peningkatan produksi pangan dan upaya memutus siklus organisme pengganggu tanaman (OPT) pertanian. Secara umum, arahan pola tanam di Kabupaten Bantul adalah padi-padi-palawija, dimana musim tanam pertama (MT-I) komoditasnya padi sawah, musim tanam kedua (MT-II) komoditasnya padi sawah dan musim tanam ketiga (MT-III) komoditasnya palawija. Pada zona IV/Wrh, pada sub sektor tanaman komoditas unggulan yang memiliki keunggulan komparatif, kompetitif dan sesuai zona agro ekologi (LQ, SSA & ZAE) adalah padi sawah yang menyebar di 10 kecamatan, yaitu Kecamatan Sanden, Kretek, Pundong, Bambanglipuro, Pandak, Bantul, Jetis, Banguntapan, Kasihan dan Sedayu. Hasil analisis usahatani padi sawah yang merupakan komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 11.396.141,-. Pada sub sektor hortikultura (sayuran), komoditas unggulan yang memiliki keunggulan komparatif, kompetitif dan sesuai zona agro ekologi (LQ, SSA & ZAE) adalah cabe, kacang panjang, bayam, kangkung, dan sawi. Komoditas cabe merupakan komoditas ungulan di Kecamatan Pundong dan Bambanglipuro, kacang panjang merupakan komoditas unggulan di Kecamatan Imogiri dan Sewon, bayam di Kecamatan Pleret, Piyungan dan Sedayu, kangkung di Kecamatan Pleret, Piyungan dan Kasihan, sawi di Kecamatan Piyungan dan Sedayu. Hasil analisis usahatani cabe yang merupakan komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) dapat memberikan keuntungan sebesar Rp. 19.466.442,-. Hasil analisis komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE), komoditas padi sawah dan cabe merupakan komoditas unggulan di zona IV/Wrh di Kecamatan Pundong dan Bambanglipuro. Arahan pola tanam disusun berdasarkan hasil analisis sebelumnya, yaitu analisis komoditas unggulan yang memiliki keunggulan komparatif, kompetitif dan sesuai zona agro ekologi (LQ, SSA & ZAE) dan analisis usahatani. Dari hasil analisis komoditas unggulan Sumber: data primer diolah

Gambar 13 Keragaan usahatani cabe

0 10 20 30 40 50 60

Komoditas Unggulan (LQ, SSA & ZAE)

Komoditas Bukan Unggulan B.Saprodi (Rp x 1 juta)

B. Tenaga Kerja (Rp x 1 juta) Produksi (ton/ha)

Penerimaan (Rp x 1 juta) Keuntungan (Rp x 1juta) R/C

67 (LQ, SSA & ZAE), pada zona IV/Wrh komoditas padi sawah dan cabe merupakan komoditas unggulan di Kecamatan Pundong dengan luas 947 ha dan Bambanglipuro dengan luas 1.117 ha.

Arahan pola tanam yang dianjurkan pada zona IV/Wrh di Kecamatan Pundong dan Bambanglipuro adalah padi-padi-cabe. Dengan pola tanam padi- padi-cabe, petani akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 42.258.724,-/tahun dengan luas lahan 1 ha. Artinya pendapatan petani dari usahatani padi dan cabe sebesar Rp. 3.841.702,-/bulan dengan luas lahan 1 ha (umur padi 4 bulan dan cabe 3 bulan). Luas penguasaan lahan petani kurang dari 0,3 ha. Dengan luas penguasaan lahan 0,3 ha, maka pendapatan petani adalah sebesar Rp. 1.152.510,-. Pendapatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan upah minimum regional (UMR) Kabupaten Bantul, yaitu Rp. 1.125.000 (2014). Di samping itu, petani juga memiliki kelebihan waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti memelihara ternak (sapi, kambing), bekerja di sektor non pertanian dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut juga dapat memberikan pendapatan tambahan bagi petani.

Strategi Pembangunan Sektor Pertanian yang Optimal di Kabupaten Bantul

Strategi pembangunan sektor pertanian yang optimal di Kabupaten Bantul dirumuskan berdasarkan hasil analisis sebelumnya seperti perkembangan mengenai alih fungsi lahan pertanian (sawah) atau konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian, komoditas pertanian unggulan yang memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan yang sesuai dengan zona agro ekologi (ZAE), karakteristik petani, penguasaan lahan petani, aksesibilitas dan infratrusktur serta kelayakan dan skala usahatani komoditas pertanian unggulan. Penyusunan strategi pembangunan sektor pertanian yang optimal menggunakan

pendekatan analisis A’WOT. Tahapan-tahapan dalam melakukan analisis A’WOT

meliputi: 1). Penentuan dan pengelompokkan setiap faktor-faktor SWOT, 2). Mengaplikasikan AHP untuk menentukan bobot setiap kelompok dan 3). Mengaplikasikan kembali AHP untuk untuk menentukan prioritas semua faktor dalam semua kelompok SWOT (Ozmen et al. 2013).

Identifikasi Faktor-Faktor Internal dan Eksternal

Untuk dapat merumuskan strategi pembangunan sektor pertanian yang optimal di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal dan eksternal yang teridentifikasi merupakan faktor yang mempengaruhi pembangunan sektor pertanian Kabupaten Bantul, yang diperoleh dari hasil studi literatur (desk study), hasil analisis sebelumnya dan diskusi dengan para ahli. Faktor-faktor tersebut kemudian dilakukan pembobotan dengan menggunakan analisis AHP, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan menggunakan skala perbandingan Saaty.

Faktor-faktor yang menjadi kekuatan dalam pembangunan sektor pertanian antara lain: 1. Pekerjaan dan penghasilan utama bersumber dari sektor pertanian, 2. Anggota keluarga dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja, 3. Pengalaman usahatani petani cukup lama, 4. Komoditas yang dibudidayakan merupakan

68

komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE), 5. Usahatani yang dilakukan oleh petani layak, 6. Usahatani komoditas unggulan (LQ, SSA & ZAE) lebih optimal daripada non unggulan dan 7. Aksesibilitas dan infrastruktur cukup mendukung (pasar, sumber informasi, ketersediaan saprodi). Dari hasil survei, pekerjaan dan penghasilan utama sebagai petani (> 80 %), sedangkan lainnya sebagai buruh pertanian, buruh non peranian, dagang, PNS dan lainnya (perangkat desa). Pekerjaan sebagai petani dilakukan sejak lama, turun temurun dari orang tua sehingga pengalamannya dapat dijadikan sebagai modal dalam melakukan usahatani. Anggota keluarga, yaitu istri, anak dan keluarga yang lain dapat menjadi modal sebagai tenaga kerja dari keluarga dalam melakukan usahataninya pada saat-saat tertentu, sehingga dapat mengurangi biaya tenaga kerja riil. Komoditas yang dibudidayakan merupakan komoditas unggulan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta sesuai zona agro ekologi (LQ, SSA & ZAE) seperti padi sawah, jagung, kedelai dan kacang tanah pada sub sektor tanaman pangan dan cabe, kacang panjang, kangkung, bayam dan sawi pada sub sektor hortikultura (sayuran). Komoditas tersebut layak dibudidayakan, di mana dari hasil analisis diperoleh nilai R/C lebih besar dari satu. Aksesibilitas di lapang, seperti jarak dari rumah ke lahan, ke pasar input dan output dan ke sumber informasi (BPP) cukup dekat sehingga mendukung kegiatan usahataninya. Ketersediaan sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida, alat mesin pertanian (alsintan) pemasaran hasil dan penyuluhan di lapang juga tersedia. Ketersediaan benih berlabel di lapang untuk benih padi sawah dan jagung cukup tersedia, sedangkan benih kacang tanah kurang tersedia.

Faktor-faktor yang menjadi kelemahan dalam pembangunan sektor pertanian antara lain: 1. Petani didominasi oleh generasi tua, 2. Pendidikan petani sebagian besar rendah, 3. Fragmentasi lahan sawah terus terjadi dan sulit dihindari (adanya sistem warisan), 4. Penguasaan lahan oleh petani sempit, 5. Status kepemilikan lahan milik sendiri sangat sempit, 6. Kurangnya akses terhadap pasar dan 7. Kekurangan modal dalam melakukan usahatani. Dari hasil survei, sektor pertanian didominasi oleh generasi tua dengan tingkat pendidikan formal di bawah SLTP (70-80) %. Penguasaan lahan petani sempit, yaitu kurang dari 0,5 ha. Status penguasaan lahan lebih banyak berasal dari menyewa dan bagi hasil dari lahan-lahan milik desa atau milik perorangan. Penguasaan lahan dengan status milik sendiri sangat sempit. Sistem warisan mendorong terjadinya fragmentasi lahan pertanian. Orang tua yang memiliki lahan pekarangan sempit biasanya akan membuatkan rumah tinggal untuk anaknya di lahan sawah. Kondisi ini menyebabkan kepemilikan lahan pertanian per rumah tangga semakin menurun. Petani memiliki keterbatasan akses terhadap pasar, sehingga harga hasil-hasil pertaniannya ditentukan oleh tengkulak. Petani tidak mampu mengendalikan harga terutama pada saat panen raya. Produksi atau hasil panen melimpah tetapi harganya rendah. Petani juga memiliki keterbatasan modal, pada saat-saat tertentu seperti pada saat pemupukan petani sering kekurangan modal untuk membeli pupuk, sehingga petani berhutang di kios-kios saprodi, dimana pembayaran hutang dilakukan pada saat panen (yarnen).

Faktor-faktor yang menjadi peluang dalam mendukung pembangunan pertanian di Kabupaten Bantul antara lain: 1. Dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian tinggi, 2. Frekuensi penyuluhan sering, 3. Pertambahan penduduk berimbas pada peningkatan kebutuhan pangan, 4. Sektor pertanian cenderung

69 lebih tahan terhadap krisis ekonomi, 5. Peran swasta dalam mendukung sektor pertanian, 6. Wilayahnya dekat dengan ibukota provinsi dan 7. Peran kelompok tani dalam mendukung usahatani petani. Berdasarkan hasil survei, dukungan pemerintah daerah Kabupaten Bantul dalam pembangunan sektor pertanian sangat besar. Salah satu bentuk dukungannya adalah melalui pendampingan oleh tenaga- tenaga penyuluh di tingkat desa, dimana setiap desa didampingi oleh 1-2 penyuluh. Peran penyuluh membantu petani dalam mengatasi masalah yang dihadapi di lapang, sehingga setiap ada masalah di lapang dapat segera dicarikan alternatif solusinya. Selain itu juga memberikan teknologi-teknologi terbaru terkait usahatani. Jumlah penduduk Kabupaten Bantul tahun 2013 sebanyak 955.015 jiwa, bertambah sebanyak 24.739 jiwa dari tahun 2012 sebanyak 930.276 jiwa. Kepadatan penduduk tahun 2013 1.884 jiwa/km2, bertambah 49 jiwa/km2 dari tahun 2012 yaitu 1.835 jiwa/km2. Peningkatan jumlah penduduk berimbas pada peningkatan jumlah kebutuhan pangan, ini menjadi peluang sektor pertanian untuk mampu memenuhi dan mencukupi kebutuhan tersebut. Berdasarkan pengalaman tahun 1997/1998 pada saat terjadi krisis, sektor pertanian lebih tahan terhadap krisis ekonomi. Swasta mempunyai peran dalam pembangunan sektor pertanian. Inovasi (teknologi) baru yang dihasilkan oleh swasta sudah banyak yang dimanfaatkan oleh petani. Inovasi (teknologi) baru tersebut meliputi benih unggul dengan varietas unggul baru (VUB) seperti benih jagung, cabe dan sebagainya. Jarak Kabupaten Bantul dengan ibukota provinsi atau kabupaten lain yang cukup dekat menjadi peluang bagi sektor pertanian untuk memasarkan hasil- hasil pertaniannya (ekspor hasil pertanian). Jarak terdekat ibukota kecamatan ke ibukota provinsi sekitar 7 km (Kecamatan Sewon dan Kasihan), sedangkan jarak terjauh ibukota kecamatan terjauh ke ibukota provinsi sekitar 17 km (Kecamatan Dlingo). Kelompok tani juga berperan dalam pembangunan sektor pertanian. Peran kelompok tani selain sebagai wadah berorganisasi bagi petani, juga sebagai sarana untuk menciptakan dan mendiseminasikan teknologi baru dan yang lebih penting mampu menciptakan kemandirian bagi petani, sehingga dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi petani.

Faktor-faktor yang menjadi ancaman dalam pembangunan pertanian di Kabupaten Bantul meliputi: 1. Kebutuhan lahan untuk sektor non pertanian tinggi, 2. Implementasi perlindungan lahan pertanian belum ada, 3. Sektor pertanian kurang menarik bagi generasi muda, 4. Harga input produksi meningkat (saprodi dan tenaga kerja), 5. Pembangunan sektor non pertanian lebih maju, 6. Produksi sektor pertanian dari daerah lain dan 7. Perubahan iklim yang tidak menentu. Di Kabupaten Bantul, laju alih fungsi lahan (konversi) dari lahan pertanian (sawah) ke non pertanian cukup tinggi terutama di wilayah-wilayah (kecamatan) yang terletak di bagian utara seperti Kecamatan Banguntapan, Kasihan dan Sewon. Rata-rata konversi lahan pertanian (sawah) ke non pertanian 42,61 ha/tahun. Lahan-lahan tersebut digunakan untuk rumah tinggal, perumahan, rumah tinggal dan tempat usaha, tempat usaha, kantor, sarana pendidikan dan kesehatan. Implementasi perlindungan lahan pertanian belum ada/belum dilakukan sepenuhnya, terutama terkait fragmentasi lahan pertanian (sawah) yang disebabkan oleh sistem warisan. Pemerintah mengalami kesulitan untuk mengendalikan karena keterbatasan lahan pekarangan yang dimiliki oleh petani, sehingga banyak rumah tangga baru yang menggunakan lahan sawah untuk membuat rumah tinggal. Pemerintah belum memiliki regulasi (aturan) terkait

70

pengendalian lahan pertanian terutama terkait sistem warisan, misalnya insentif atau kompenasi apa yang diperoleh masyarakat jika tetap mempertahankan lahan sawahnya?. Sektor pertanian kurang menarik bagi generasi muda, mereka cenderung lebih senang bekerja di sektor non pertanian. Harga sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) dan upah tenaga kerja juga semakin meningkat, yang tidak diikuti oleh peningkatan harga jual terutama pada saat panen sehingga usahatani semakin kurang menguntungkan. Di Kabupaten Bantul, pembangunan sektor non pertanian sangat pesat terutama di bagian utara. Sektor non pertanian mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja terutama generasi muda, karena pendapatannya lebih pasti dan kontinyu. Produksi sektor pertanian dari daerah lain dapat mempengaruhi sektor pertanian di Kabupaten Bantul. Wilayah yang sangat berdekatan menyebabkan distribusi produk-produk pertanian mudah dan lancar, sehingga berpengaruh terhadap harga produk pertanian. Usahatani yang dilakukan petani sangat dipengaruhi oleh iklim.

Dokumen terkait