• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI SAYANGI SENI DAN BUDAYA AGAMA BUDDHA

A. Seni dan Budaya Budhis Indonesiaku

Amatilah gambar berikut ini. Selanjutnya, carilah informasi berkaitan dengan gambar tersebut dan hubungannya dengan fenomena yang ada di lingkungan kalian!

Gambar 6.2 Karya seni Buddhis Indonesia Sumber: https://www.pojokseni.com

Seni rupa Buddha Indonesia dari periode Jawa Kuno dan Sriwijaya memiliki ciri khas. Ciri khas tersebut ialah wujudnya yang realis-naturalis,

perhatian terhadap ekspresi, proporsi tubuh, dan keluwesan sikap tubuh, kehalusan pengerjaan, selera estetika yang unggul, serta kecanggihan teknik pembuatannya.

Manusia sebagai makhluk pecinta seni (homo fabulans) sejak lahir sudah memiliki rasa seni, walaupun tingkat seni berkembang sesuai perkembangan peradaban manusia. Manusia purba memiliki seni bersifat sederhana dan bergantung pada alam. Seni manusia modern sangat tinggi dan kreatif. Seni bukan hanya untuk seni, melainkan meliputi budaya, agama, hukum, antropologi, sosiologi, dan seluruh aspek kepribadian manusia.

sini, Budaya Buddhis, Indonesia

Membaca

1. Seni dan Budaya Buddhis Indonesia

Seni merupakan bagian dari kebudayaan. Istilah ini diartikan sebagai keahlian mengekspresikan ide estetika dan menciptakan suatu karya yang bermutu. Yang dimaksudkan karya diciptakan dengan keahlian. Seni budaya berkenaan dengan keahlian untuk menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan, percakapan dan benda bermanfaat yang diperindah.

Berbagai bentuk objek merupakan hasil kombinasi estetika dan kegunaan yang berfaedah yang ada di Indonesia.

Di dalam kehidupan manusia, agama dan budaya tidak dapat berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Agama sebagai pedoman hidup manusia agar kelahiran bahagia setelah kematian. Kebudayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsa. Latar belakang lahirnya agama karena adanya masalah kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari kekuatan yang ada pada dirinya sehingga mereka mencari lebih dalam tentang kekuatan di luar diri.

Makna seni dalam agama Buddha merupakan bagian dari budaya manusia, salah satu bagian dari ritual keagamaan, baik pada bidang seni tari, seni rupa, dekorasi, dan lain-lain. Seni dan agama menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari proses ritual mereka. Bagi masyarakat Buddhis, seni sebagai salah satu aktivitas keagamaan membutuhkan daya kesadaran raga, rasa dan konsentrasi pikiran yang tinggi.

Semangat, pengetahuan, dan praktik keagamaan telah memberi inspirasi kepada penganutnya untuk menciptakan berbagai macam karya seni. Di dalam Saddharmapundarika-sutra, dinyatakan bagaimana orang memasuki jalan Ke-Buddhaan. Setiap orang diakui berbeda kemampuan, kecenderungan, dan semangatnya. Buddha dapat menyelamatkan semua orang, tanpa kecuali. Harus ada jalan yang sederhana yang dapat menghantar orang-orang itu untuk mengenal ajaran Buddha, kemudian orang-orang mengumpulkan pahala atau kamma baik dan menyempurnkan jiwa yang penuh cinta kasih. Ada yang dapat memulai dengan menghormati segala peninggalan Buddha, mendirikan stupa dan candi, melukis atau membuat patung Buddha dan berbagai perlambangannya ataupun mempersembahkan musik.

2. Seni dan Budaya Buddhis melalui Musik

Membahas mengenai musik dan lagu Buddhis merupakan hal yang amat menarik. Hal ini karena dapat membangkitkan semangat dan keyakinan terhadap Buddha Dharma, yang kandungan lagu memuat unsur-unsur ajaran Buddha.

Gambar 6.3 Karya seni umat Buddha

Sumber: Kemendikbudristek/Saring Santosa, 2019

Tujuan penciptaan musik dan lagu Buddhis untuk penyebaran Dharma, dengan gubahan nada-nada yang mampu menggugah potensi untuk mengingat ajaran Buddha dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari ini patut mendapat apresiasi. Lagu Buddhis bagi sebagian orang memberikan inpirasi dalam suasana hati tidak tenang membuat lebih tenang.

Alunan musik Dharma Buddha dalam bentuk lagu dapat membuat hati yang sedang gundah gulana akan memperoleh energi positif untuk lebih baik lagu hingga kembali berpikir poositif. Bukan berbicara soal siapa yang berkarya, tetapi pada intinya karya-karya tersebut secara tidak langsung turut mengembangkan agama Buddha dalam bentuk lagu.

Gambar 6.4 Lagu Buddhis dalam bentuk CD/Video Sumber: Kemendikbudristek/Saring Santosa, 2019

Bernyanyi

3. Seni dan Budaya Buddhis Indonesia melalui Wayang

Kesenian wayang Buddha di Indonesia mungkin kurang popular dibandingkan dengan wayang purwo. Namun demikian, kita patut bangga dengan wayang Buddha. Wayang Buddha menceritakan tentang Dharma (ajaran Buddha), riwayat Buddha, atau kisah dalam Jataka.

Secara singkat, diuraikan awal mula karya seni Buddhis ini tercipta di daerah Jawa yang sudah tentu menggunakan bahasa dan budaya Jawa.

Bentuk Wayang Buddha pertama kali lahir melalui tangan mendiang Hajar Satoto kurang lebih empat

puluh tahun silam. Saat itu, Hajar Satoto membuatnya dari seng sehingga sempat dinamakan Wayang Seng. Dia menawarkan karyanya itu kepada Suprapto Suryodarmo untuk dipentaskan.

Pementasan Wayang Seng di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah Sasana Mulya itu menarik perhatian.

Suprapto meramu pertunjukannya sebagai kolaborasi seni pedalangan, musik, karawitan hingga seni rupa. Salah satunya adalah panitia peringatan Waisak yang meminta mereka untuk pentas di Candi Mendut.

Pertunjukan pada hari Waisak di Candi Mendut itulah yang akhirnya melahirkan sebutan Wayang Buddha. “Penggunaan seng diganti dengan kulit,” kata Suprapto Suryodarmo. Alasannya, wayang berbahan seng cukup berat sehingga sulit untuk dimainkan. Sebenarnya, penggunaan bahan seng memiliki kelebihan. “Saat lembaran seng digerakkan, selalu memunculkan suara-suara aneh karena terbuat dari seng.” Tidak hanya sekadar mencintai dan bangga terhadap agama Buddha dalam menciptakan karya seni Buddhis. Ada unsur penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Buddha, menyebarkan Dharma melalui seni karya Buddhis.

Tidak mudah untuk menciptakan karya seni Buddhis. Namun demikian, kita harus mengembangkan Dharma melalui seni yang umum dengan memasukkan unsur agama Buddha, misalnya seni drama atau teater, lagu Buddhis dan sebagainya.

Gambar 6.5 Wayang Buddhis

Sumber: https://buddhazine.com/wp-content

Berlatih

Aktivitas Siswa: Mencoba

Setelah kalian mengamati teks tersebut, lakukan aktivitas berikut!

1. Carilah seni budaya Buddhis Indonesia yang sekitar kalian!

2. Seni apa sajakah ketika kalian melakukan perayaan Waisak?

3. Apakah ada bukan seni Budddhis, tetapi kandungan seni tersebut ada muatan ajaran Buddha?

Kakawin Sutasoma

Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. memuat ringkasan sebagai berikut.

Dikisahkan, Sanghyang Buddha yang menitis pada putra Prabu Mahaketu, Raja Hastina, yang bernama Raden Sotasoma. Setelah dewasa, dia sangat rajin beribadah cinta akan agama Buddha (Mahayana). Dia tidak mau dikawinkan dan dinobatkan menjadi raja. Pada suatu malam, dia meloloskan diri dari kerajaan, pintu-pintu yang sedang tertutup dengan sendirinya menjadi terbuka untuk memberi jalan keluar pada Prabu Sutasoma. Di dalam perjalanannya, Sutasoma tiba pada sebuah candi yang terletak di dalam hutan. Dia berhenti di candi tersebut dan mengadakan samadhi. Kemudian, meneruskan perjalanan dan mendaki Pegunungan Himalaya dengan diantar oleh beberapa orang pendeta. Mereka tiba si sebuah pertapaan. Diceritakan bahwa para petapa yang melaksanakan samadhi di pertapaan itu sering mendapat gangguan dari seorang raja raksasa, yang gemar menyantap daging manusia. Raksasa itu bernama Purusada, akhirnya menjadi raksasa penghuni hutan. Tenyata, Purusada menderita luka di kakinya dan tak kunjung sembuh.

Berdiskusi

Aktivitas Siswa: Tugas Kelompok

1. Diskusikan dengan teman atau melihat sumber internet, buku, untuk menceritakan tentang sastra Kakawin Sutasoma.

2. Ceritakan secara lengkap dengan bahasa sendiri tentang Kakawin Sotasma.

Renungkanlah nilai-nilai ajaran Buddha berikut ini. Kemudian, jelaskan pesan pesan yang terkandung di dalamnya.

Inspirasi Dharma

Seseorang seharusnya melatih diri dalam kebajikan terlebih dahulu, setelah itu barulah ia mengajarkan kepada orang lain, orang bijaksana seperti itu tidak akan dicela.

(Dharmapada, XII:2)

B. Aku Bangga pada Seni dan Budaya