• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. SHARED CHRISTIAN PRAXIS SEBAGAI SALAH SATU MODEL

A. Shared Christian Praxis Sebagai Model Katekese

Penulis memilih model “Shred Christian Praxis” (SCP), bermula dari pengalaman keprihatinan akan banyaknya orang yang merasa putus asa karena mengalami penderitaan. Manusia merasa bahwa penderitaan yang dialami semata-mata hukuman Tuhan. SCP memiliki suatu pendekatan berkatekese yang handal dan efektif, artinya suatu model yang sungguh-sungguh memiliki dasar teologis, mampu memanfaatkan perkembangkan ilmu pendidikan dan memiliki keprihatinan pastoral yang aktual.

Pokok yang digarisbawahi oleh model ini adalah menekankan proses dialogis-partisipatif. Artinya bahwa peserta diharapkan mampu untuk berdialog satu dengan yang lain dan berperan aktif agar proses komunikasi tidak macet. Di dalam proses pelaksanaannya peran peserta sebagai subjek, pergulatan, keprihatinan dan harapan hidupnya, mendapat tempat yang pokok, berdasar komunikasi antara “tradisi” dan visi hidup mereka dengan “tradisi” dan visi kristiani, sehingga baik secara pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia (Heryatno, 1997: 1).

Katekese model ini bertitik tolak dari pengalaman hidup peserta yang sudah direfleksikan secara kritis dan dikonfrontasikan. Melalui pengalaman iman dan visi Kristiani diharapkan muncul sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi peserta untuk terlibat aktif dalam kehidupan secara konkrit. Sifat dari SCP ini adalah dialogal dan partisipatif. Dialog artinya relasi timbal balik dari pendamping dan peserta karena pendamping bukanlah pembicara utama, tetapi sebagai fasilitator. Sedangkan partisipatif dimaksudkan setiap peserta ikut ambil bagian dalam proses berkatekese secara aktif. Dengan proses yang dialogal dan partisipatif seputar pengalaman iman diharapkan peserta mampu untuk berbagi pengalaman hidupnya dengan demikian saling memperkaya dan meneguhkan (Sumarno, 2007: 14-15. lih juga. Heryatno,1997: 4).

Katekese model Shared Christian Praxis (SCP)) ini mengandung tiga komponen yang sesuai dengan nama-namanya yakni: Shared, Christian dan Praxis. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap komponen-komponen tersebut:

a. Shared

Kata Shared berarti komunikasi timbal balik, sharing atau dialog, berbagi rasa, pengalaman, pengetahuan serta saling mendengarkan pengalaman orang lain. Dalam sharing ini ada dua unsur penting yakni: pertama membicarakan sesuatu yang terjadi dalam pengalaman personal dan yang kedua mendengarkan orang lain. Dalam sharing semua peserta diharapkan secara terbuka siap untuk mendengarkan dengan hati. Mendengarkan dengan hati tentang apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Mendengarkan melibatkan keseluruhan diri sehingga dalam mendengarkan timbul gerak hati dan empati terhadap apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Baik dalam mendengarkan maupun membicarakan pengalaman dibutuhkan sikap yang bijaksana (Sumarno, 2007: 14. lih juga. Heryatno, 1997: 4).

Di dalam proses itu diandaikan adanya kejujuran, keterbukaan, kepekaan dan penghormatan. Segi dialog di sini mengandung unsur peneguhan, penegasan, dan hasrat untuk maju secara bersama (Heryatno,1997: 4).

b. Christian

Katekese model SCP mengusahakan agar tradisi Gereja sepanjang sejarah serta visinya relevan untuk kehidupan peserta zaman sekarang. Dengan proses itu diharapkan agar iman Gereja berkembang menjadi pengalaman iman jemaat pada jaman sekarang. Tradisi Kristiani mengungkapkan realitas iman jemaat kristiani yang hidup dan sungguh dihidupi. Inilah tanggapan manusia terhadap pewahyuan diri Allah yang terlaksana di tengah kehidupan manusia.

Dalam konteks ini tradisi perlu dipahami sebagai perjumpaan antara rahmat Allah dalam Kristus dan tanggapan manusia. Maka dari itu tradisi di sini meliputi Kitab Suci, spritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi, seni dan nyanyian rohani, kepemimpinan, kehidupan jemaat. Sebagai realitas iman dalam konteks historis, tradisi kristiani senantiasa mengundang keterlibatan praktis dan proses pembribadian. Visi merupakan suatu aksi konkrit dari jawaban manusia terhadap janji Allah yang terwujud dalam sejarah kristiani yang berkesinambungan dan bersifat dinamis, dan mengundang penilaian, penegasan, pilihan, dan keputusan (Heryatno, 1997: 3. lih juga. Sumarno, 2007: 14).

c. Praxis

Praxis adalah tindakan manusia dan bertujuan bagi perubahan hidup yang mengarah pada keterlibatan baru. Praxis ini mempunyai tiga unsur pembentuk yang berfungsi memperkembangkan imaginasi, meneguhkan dan mendorong manusia untuk melakukan tindakan baru yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga unsur tersebut adalah : aktivitas, refleksi, dan kreativitas.

1. Aktivitas

Aktivitas merupakan kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan bersama. Semuanya merupakan medan masa kini untuk mewujudkan diri manusia. Kegiatan ini selalu dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Melalui aktiftas bersama manusia dibantu untuk menemukan hal-hal baru yang mengarah pada suatu kesadaran untuk ikut terlibat.

2. Refleksi

Di dalam komponen ini yang ditekankan adalah refleksi kritis terhadap tindakan historis pribadi dan sosial dalam masa lampau, terhadap praxis pribadi dan kehidupan bersama masyarakat serta kaitannya dengan “Tradisi” dan “Visi” iman kristiani sepanjang sejarah. Refleksi kritis ini dapat membantu mengevaluasi atau menyikapi kehidupan yang belum sesuai dengan visi Kristiani.

3. Kreativitas

Kreatifitas yang dimaksudkan disini adalah perpaduan antara aktivitas dan refleksi yang menekankan sifat transenden manusia dalam dinamika menuju masa depan untuk praxis baru (Sumarno, 2007: 15.lih juga. Heryatno, 1997: 2).

2. Lima Langkah Katekese Dalam Shared Christian Praxis

Proses pelaksanaan SCP terdiri dari lima langkah yang berkesinambungan. Langkah-langkah ini adalah satu rangkaian yang saling terkait dan bukan langkah-langkah yang lepas. Kelima langkah-langkah ini berjalan fleksibel artinya mudah untuk diatur penekanannya sesuai dengan situasi dan kondisi peserta yang sedang terjadi (Sumarno, 2007: 18. lih juga. Heryatno, 1997: 5).

a. Langkah Pertama: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual

Dalam langkah pertama ini para peserta dibantu untuk mengungkapkan pengalaman hidup konkrit dalam bentuk ceritera, puisi, tarian, nyayian, drama pendek, lambang. Isi dari ungkapan tersebut dapat berupa pengalaman peserta

sendiri atau permasalahan yang terjadi di masyarakat, atau gabungan dari keduanya. Dalam proses pengungkapan itu, peserta dapat mengungkapkan perasaannya, apa saja yang sedang terjadi dan dialami, kemudian menjelaskan nilai-nilai yang diperjuangkan. Bahkan mungkin menjelaskan kepercayaan yang melatarbelakanginya (Sumarno, 2007: 19. lih juga. Heryatno, 1997: 5).

Tujuan dari langkah ini adalah membantu peserta untuk menyadari pengalamannya sendiri, mengintegrasikan, membahasakan, dan selanjutnya mengkomunikasikan pada yang lain. Membantu berarti mengusahakan agar peserta dapat mengungkapkan pengalamannya dengan suasana yang mendukung dan diberi sarana dengan pertanyaan oleh pendamping (Haryatno, 1997: 5).

Pembimbing berperan sebagai fasilitator yang menciptakan suasana pertemuan agar menjadi hangat dan mendukung peserta untuk membagikan pengalaman hidupnya berkaitan dengan tema dasarnya. Pembimbing membuat pertanyaan-pertanyaan yang jelas, tidak menyinggung perasaan seseorang, pertanyaan sesuai dengan latar belakang peserta yang bersifat terbuka dan objektif. Oleh karena itu, pembimbing perlu bersikap ramah, sabar, hormat, bersahabat dan peka terhadap latarbelakang keadaan dan permasalahan peserta (Sumarno, 2007: 19.lih juga. Heryatno, 1997: 5).

b. Langkah Kedua: Refleksi Kritis Pengalaman Hidup Faktual (Mendalami Pengalaman Hidup Peserta)

Kekhasan pada langkah kedua ini adalah mendalami secara kritis pengalaman hidup peserta yang telah disharingkan dalam langkah pertama.

Langkah kedua ini mendorong peserta untuk lebih aktif dan kritis memahami serta mengolah keterlibatan hidup mereka sendiri maupun masyarakat yang ada disekitarnya.

Tujuan dari langkah ini adalah memperdalam refleksi dan mengantar peserta pada kesadaran kritis akan pengalaman hidup dan tindakannya yang meliputi: pemahaman kritis dan sosial, kenangan analisis, imajinasi kreatif dan sosial. Dengan refleksi kritis pada pengalaman konkrit peserta diharapkan sampai pada nilai dan visinya yang pada langkah keempat akan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman Gereja sepanjang sejarah (tradisi) dan visi kristiani.

Tugas pendamping dalam langkah ini adalah berusaha menciptakan suasana pertemuan yang kondusif agar mendukung jalanannya pertemuan. Pendamping mendorong, menyemangati peserta supaya mengadakan dialog bersama untuk sampai pada tujuan yang akan dicapai. Langkah ini bersifat analistis yang kritis (Heryatno, 1997: 5).

c. Langkah Ketiga: Mengusahakan Supaya Tradisi Kristiani dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau (Menggali Pengalaman Iman Kristiani)

Kekhasan langkah ketiga ini adalah peserta mendialogkan “tradisi dan “visi” hidup mereka dengan tradisi hidup Gereja. Tradisi hidup Gereja mencakup Kitab Suci, spiritualitas, devosi, kebiasaan hidup beriman, aneka kesenian gereja, liturgi kepemimpinan dan lain sebagainya.

Langkah ini bertujuan mengaktualisasikan (memahami secara aktual) nilai-nilai Kristiani (Tradisi dan visi Kristiani) agar kabar gembira lebih

terjangkau dan lebih mengena pada kehidupan peserta jaman sekarang. Tradisi dan visi Kristiani ini adalah pewahyuan diri Allah yang berpuncak dalam misteri hidup dan karya Yesus serta tanggapan manusia atas pewahyuan tersebut.

Dalam langkah ini pendamping dapat menggunakan salah satu bentuk interpretasi yang bersifat menggarisbawahi, mempertanyakan ataupun yang mengundang keterlibatan baru yang kreatif agar peserta merasa didukung dan diteguhkan (Heryatno, 1997: 6. lih juga. Sumarno, 2007: 19).

d. Langkah Keempat: Interpretasi Dialegtis Antara Tradisi Dan Visi Kristiani Dengan Tradisi Dan Visi Peserta (Menerapkan Iman Kristiani Dalam Situasi Konkrit Peserta)

Langkah keempat ini bertujuan mengajak peserta berkontak secara personal dengan nilai Tradisi dan visi Kristiani, menemukan nilai hidup yang hendak digarisbawahi, sikap-sikap pribadi yang tidak baik yang akan di hilangkan dan nilai-nilai baru akan dikembangkan. Di lain pihak peserta mengintegrasikan nilai-nilai hidup mereka ke dalam tradisi dan visi Kristiani, sekaligus juga mempersonalisasikan tradisi dan visi Kristiani menjadi milik mereka sendiri. Di samping itu, mewujudkan kesadaran iman yang baru dapat memperkaya dan mendinamisir tradisi dan visi kristiani juga menjadi pokok penting pada langkah ini. Dengan langkah ini diharapkan hidup peserta menjadi lebih aktif, dewasa, dan missioner.

Peran pendamping dalam langkah ini adalah membesarkan hati peserta, mengundang refleksi kritis mereka, dan mendorong mereka supaya

mengkomunikasikan hasilnya dengan peserta lain dengan maksud untuk mempertajam dan menyempurnakannya. Pendamping menghormati kebebasan dan hasil penegasan roh dari peserta, meyakinkan peserta tentang kemampuan mereka untuk mempertemukan nilai pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai tradisi dan visi kristiani.

Peran peserta dalam langkah ini dapat menyampaikan hasil dialognya dengan jalan mengungkapkan perasaannya, sikap, intuisi, persepsi, evaluasi, dan penegasannya yang menyatakan kebenaran, nilai serta kesadaran yang diyakini. Caranya peserta dapat menggunakan tulisan, penjelasan, symbol atau ekspresi yang artistik (Sumarno, 2007: 15. lih juga. Heryatno, 1997: 7.48).

e. Langkah Kelima: Keterlibatan Baru demi terwujudnya kerajaan Allah Di Dunia (Mengusahakan Aksi Konkrit)

Kekhasan langkah kelima ini ini adalah suatu dinamika yang secara eksplisit mengundang peserta untuk sampai pada keputusan baik secara pribadi maupun kolektif untuk sebuah pembaharuan hidup. Di dalam langkah ini peserta diajak untuk sampai pada pemahaman, kesadaran, niat-niat dan tindakan baru yang membantu memperkembangkan kehidupan mereka.

Langkah kelima ini bertujuan untuk mendorong peserta sampai pada keputusan konkrit atau keputusan praktis untuk menanggapi pewahyuan Allah yang terus berlangsung di dalam sejarah kehidupan manusia dalam kontinuitasnya. Keterlibatan baru dengan mengusahakan pertobatan pribadi dan sosial yang terus-menerus, keputusan konkrit dari langkah ini merupakan puncak

dan buah dari metode ini. Di sini tanggapan peserta dipengaruhi oleh tema dasar yang direfleksikan, nilai-nilai kristiani yang diinternalisasi dan konteks relegius, politis, sosial dan ekonomis peserta.

Peran pendamping dalam langkah kelima ini praktis, inovatif, serta transformatif. Artinya terbuka dan merumuskan pertanyaan sederhana yang mudah ditangkap oleh peserta, misalnya: bagaimana cara bapak/ibu mewujudkan cita-cita iman bapak/ibu? Apa yang hendak bapak/ibu lakukan agar cita-cita itu tercapai? Yang lebih penting adalah pendamping selalu menekankan sikap optimis dan realistis kepada peserta, agar peserta sampai pada keputusan pribadi dan bersama (Heryatno, 1997: 7.50. lih juga. Sumarno, 2007: 14).

Dokumen terkait