• Tidak ada hasil yang ditemukan

Signifikansi Studi Islam

Dalam dokumen Diktat Metodologi Studi Islam I (Halaman 34-38)

ISLAM DAN AGAMA-AGAMA

C. Signifikansi Studi Islam

Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip fungsional mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu sampai sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti ia mempunyai dan

memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.14. Oleh karena itu secara umum studi Islam menjadi sangat penting, karena agama (termasuk Islam) memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.

Islam adalah agama terakhir diantara sekalian agama besar di dunia yang semuanya merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan revolusi duia dan mengubah nasib sekalian bangsa.Agama yang melingkupi segala-galanya dan mencakup agama sekalian yang datang sebelumnya.15

Ide-ide dalam kitab suci Al Qur’an merupakan dasar normatif dan pondasi dari ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia. Al-Qur’an memegang landasan moral bagi gagasan-gagasan dalam praktek seperti ekonomi, politik dan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia. Meski Al-Qur’an meliputi ide-ide normatif Islam, teks-teksnya di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara verbal.

Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam Al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normative doctrinal yang cukup terhadap sumber dari teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang kontekstual–histories sehingga didapatkan pandangan yang relatif utuh terhadap Islam dengan berbagai atributnya. Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam mengambil kesimpulan tentangnya.

Kesalahan dan kegagalan para Ilmuwan Barat dalam mamahami masyarakat muslim bukan terletak pada “Perspektif tentang kebenaran” yang berbeda, melainkan karena ketidaktahuan dan ketidak-akuratan dalam memahami masyarakat muslim. Salah satu penyebabnya yaitu kurang diperankanya teks-teks normatif Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normatif untuk melihat historisitas Islam.

Untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan studi terhadap dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide-ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa

14 Djamari,1933:79).

sekarang, baik diwilayah tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia. Menurut masdar Hilmy (2005: 24-27), kerangka besar urgensi dan signifikansi studi Islam dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Studi Islam diarahkan sebagai instrument untuk memahami dan mengetahui proses sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki kapasitas dan daya gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai asuhan budaya, baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi.

2. Studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas–empiris maupun normative doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal ini agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang. Selama ini, beberapa ahli ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya para orientalis, mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka tidak bisa menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata.

3. Studi Islam begerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang notabene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought).

4. Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya. Pencampur-adukan itu pada akhirnya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolute dan relative.

Pendidikan Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Pada masa kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di Ibu kota negara, yaitu Bagdad. Di

Eropa terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh Abd al-Rahman III (929-961 M.) dari Bani Umayah di Spanyol.

Studi Islam sekarang ini berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di negara Islam maupun bukan negara islam. Di Indonesia, studi Islam dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam, serta beberapa sekolah dan perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam.

Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan kondisi keagamaan yang legalistik dan formalistik. Agama harus dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.

Harun Nasution berpandangan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang dekat dengan Tuhan; dan yang dekat dengan yang Maha suci adalah “suci”; orang-orang yang suci lah yang mempunyai moral yang tinggi.

Gambaran yang dikemukakan oleh Harun Nasution diatas mendapat sambutan cukup serius dari Masdar F. Mas’udi. Beliau mengatakan bahwa kesalahan kita, sebagai umat islam di Indonesia, adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berakal budi.

Karena itu, kita prihatin ketika muncul ironi: negara Indonesia yang penduduknya 100% beragama, mayoritas beragama islam, dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar keagamaan, ternyata menduduki peringkat terkemuka diantara negara-negara terkorup di dunia. Oleh karena itulah bisa disimpulkan bahwa umat islam di Indonesia belum sepenuhnya memahami dan menghayati mengenai Islam sebenar-benarnya.

Maka signifikasi studi islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan pengahayatan keIslaman masyarakat muslim di Indonesia secara khusus, dan masyarakat beragama pada umumnya sehingga studi islam diharapkan melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam wacana pluralitas agama, sehingga tidak melahirkan muslim ekstrim yang membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula;pembakaran masjid dibalas dengan pembakaran gereja, dan semisanya. Oleh karena itu studi Islam sangat penting untuk dilakukan.

Dalam dokumen Diktat Metodologi Studi Islam I (Halaman 34-38)