• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

4) Arah Sikap

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Muhibbin Syah, 2011: 154). Dalam bentuknya yang negatif akan terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, bahkan tidak menyukai objek tertentu. Sedangkan dalam bentuknya yang positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu.

Pada intensitas belajar normal dan intensitas belajar terlalu tinggi memiliki arah sikap positif dan arah sikap negatif yang

berbeda. Pada intensitas belajar terlalu tinggi arah sikap negatif cenderung lebih besar dikarenakan siswa mengalami kejenuhan dalam belajar. Muhibbin Syah (2011: 180) mengatakan bahwa jenuh adalah ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Selanjutnya ia menjelaskan kejenuhan belajar adalah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil. Rentang waktu tersebut merupakan rentang waktu dimana anak akan mengalami ketidakfokusan belajar dikarenakan otak sudah mengalami kejenuhan dalam bekerja atau yang disebut dengan jenuh belajar..

c. Dampak Belajar dengan Intensitas Tinggi

Belajar dengan menambahkan intensitasnya memiliki tujuan untuk meningkatkan hasil belajar dan prestasi siswa. Penambahan durasi belajar dan frekuensi belajar siswa dianggap mampu memberikan kesempatan siswa untuk menguasai pengetahuan yang lebih banyak. Namun di sisi lain, cara belajar seperti itu memberikan dampak tertentu bagi siswa. Dampak yang dapat dirasakan siswa adalah dampak stres. Dewi Iriani (2014: 191) menyebutkan bahwa stres yang ditimbulkan akibat belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi antara lain:

1) prestasi belajar anjlok karena kondisi anak kurang bahagia,dan 2) menurunnya daya tahan tubuh sehingga menyebabkan sakit seperti

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan ahli psikologi yang lain, M. Dalyono (2009: 58) berpendapat bahwa cara belajar orang yang sangat rajin belajar siang dan malam tanpa istirahat yang cukup bukan merupakan cara belajar yang baik. Belajar juga harus ada istirahat untuk memberikan kesempatan pada mata, otak serta organ tubuh lainnya untuk memperoleh energi kembali.

Merdeka (25 November 2015) memberitakan bahwa menurut penelitian dari University of Exeter bahwa terlalu lama belajar memang buruk bagi kesehatan. Seperti yang dilansir dari Daily Mail, peneliti menyebutkan kalau terlalu lama belajar meningkatkan risiko tulang keropos pada anak perempuan. Tim peneliti tepatnya menganalisis 359 remaja asal Spanyol mengenai kebiasaan duduk mereka yang terlalu lama, termasuk di dalamnya adalah belajar, menonton televisi, atau bermain games di komputer. Peneliti lantas menemukan hubungan antara duduk terlalu lama itu dengan menurunnya jumlah mineral pada tulang di sekitar pinggul, nyeri punggung dan leher, obesitas, gangguan metabolisme, serangan jantung, bahkan kematian dini.

Dari beberapa penjelasan mengenai dampak belajar dengan intensitas tinggi yang dikemukakan beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa belajar dengan intensitas tinggi dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan fisik, indera maupun mental siswa sebagai berikut.

1) Menurunnya prestasi belajar siswa karena kondisi siswa kurang bahagia.

2) Menurunnya daya kerja organ tubuh dan daya tahan tubuh sehingga siswa mudah terserang penyakit.

2. Tinjauan Sikap Otoriter Orang Tua a. Pengertian Sikap Otoriter Orang Tua

Orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anaknya. Anak-anak sangat memerlukan perhatian, kasih sayang, dan rasa aman dari orang tua untuk tumbuh dan berkembang. Pendidikan awal anak untuk tumbuh dan berkembang adalah tanggung jawab orang tua. Sutjipto Wirowidjojo (melalui Slameto, 2003: 61) mengatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya.

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan orang tua terkait dengan mengambil sikap dalam menentukan pendidikan anak-anaknya. Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 15) menjabarkan bahwa pendekatan yang dilakukan orang tua kepada anaknya terdiri dari pendekatan permisif atau serba boleh, pendekatan otoriter yang tidak membolehkan individu berbuat apapun, ataukah bersifat otoritatif yang merupakan perpaduan dari keduanya. Salah satu dari tiga jenis pendekatan yang banyak diterapkan orang tua di dalam lingkungan keluarga adalah pendekatan otoriter. Sugihartono (2007:31) mengatakan bahwa pola asuh otoriter

adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua kepada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat ditentukan bahwa sikap otoriter orang tua merupakan kekuasaan orang tua secara penuh untuk untuk mengatur anak. Orang tua yang mengambil sikap otoriter dan memperlakukan maupun mendidik anaknya dimaksudkan “demi kebaikan anaknya”. Orang tua yang demikian mempunyai cita-cita yang tinggi untuk anaknya, dan jika anak menuruti segala perintah orang tuanya, anak akan menemukan kebahagiaan. Demikian hal-hal yang dipikirankan oleh orang tua.

b. Bentuk-bentuk Sikap otoriter orang tua

Titin Indrawati (1985: 97) mengatakan bahwa bentuk-bentuk sikap otoriter orang tua terhadap anaknya dalam bidang pendidikan adalah sebagai berikut.

1) Memiliki cita-cita yang tinggi terhadap anaknya, sehingga orang tua memberi perintah kepada anaknya untuk mencapai cita-cita seperti yang diinginkan orang tuanya.

2) Orang tua sering menekan anaknya untuk membaca atau mempelajari hal-hal menarik perhatian orang tua

3) Anak harus mendapat nilai yang tinggi di buku rapornya, anak harus dapat main musik, dan sebagainya.

Sementara itu, ahli psikologi pendidikan lain yaitu Rita Eka Izzaty,dkk (2008: 15) mengatakan bahwa ciri-ciri sikap otoriter orang tua antara lain.

1) Semua hal terkait anak diatur oleh orang tua. 2) Anak selalu bergantung kepada orang tua.

3) Anak memiliki daya kreativitas yang rendah karena adanya pembatasan-pembatasan dalam berpikir dan berperilaku.

Berdasarkan pendapat mengenai bentuk sikap otoriter orang tua dari beberapa ahli tersebut, yang dimaksud dengan bentuk sikap otoriter orang tua adalah sebagai berikut.

1) Menuntut anak untuk mencapai cita-cita seperti yang diinginkan orang tua.

2) Menekan anak untuk mempelajari hal-hal yang menarik perhatian orang tua.

3) Menuntut anak mendapatkan nilai rapor yang tinggi. 4) Mengatur semua hal yang terkait dengan anak. 5) Membuat anak selalu bergantung pada orang tua.

6) Membatasi pikiran dan perilaku anak sehingga anak memiliki daya kreativitas yang rendah.

Bentuk-bentuk sikap orang tua yang otoriter tersebut tidak didukung oleh Slameto yang menyatakan bahwa mendidik anak dengan cara memperlakukannya terlalu keras, memaksa dan mengejar-ngejar

anaknya untuk belajar, adalah cara mendidik yang juga salah (Slameto, 2003: 61). Dengan cara demikian, anak dapat memiliki rasa ketakutan dan benci terhadap belajar, bahkan jika ketakutan itu semakin serius anak dapat mengalami gangguan kejiwaan akibat dari tekanan-tekanan tersebut.

c. Dampak Sikap Otoriter Orang Tua

Pendekatan orang tua yang bersifat otoriter dan cenderung memberikan tekanan pada anak akan memberikan dampak negatif pada anak. Titin Indrawati (1985: 98-99) menjelaskan tentang dampak-dampak yang muncul akibat sikap otoriter orang tua terhadap pendidikan anak adalah sebagai berikut.

1) Anak belum tentu merasa bahagia sebab arah dan tujuannya tidak merupakan pilihannya sendiri.

2) Anak yang kurang mampu merealisasikan keinginan orang tuanya menjadi merasa tertekan.

3) Anak dapat berkembang menjadi anak yang canggung dalam pergaulan, selalu tegang, khawatir, bimbang dan bahkan menjadi labil.

4) Saat belajar di sekolah, anak mudah lari ke perbuatan menyontek, berbuat tidak jujur, berontak terhadap orang tuanya secara tersembunyi, atau menjadi anak yang apatis.

5) Anak akan mempunyai perasaan rendah diri, dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.

6) Anak tidak berani memikul tanggung jawab karena dikarenakan sejak kecil sudah terbiasa takut dan patuh kepada orang tua.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Dewi Iriani (2014: 195) yang menyatakan bahwa dampak sikap otoriter orang tua adalah sebagai berikut.

1) Anak jadi merasa kehilangan kepribadiannya karena dipaksa mengikuti keinginan orang tuanya.

2) Anak mempunyai perasaan benci terhadap orang tua. 3) Anak menjadi kehilangan semangat.

4) Motivasi belajar anak berubah-ubah, anak belajar bukan karena rencana dan keinginan dirinya lagi, tetapi semata-mata karena kepatuhannya terhadap orang tua.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka dapat dianalisis apa saja dampak sikap otoriter orang tua. Beberapa dampak sikap otoriter orang tua dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Anak kurang merasa bahagia sebab arah dan tujuannya untuk belajar atau mempelajari sesuatu bukan merupakan pilihannya sendiri. 2) Anak merasa tertekan karena kurang mampu merealisasikan

3) Anak menjadi canggung dalam pergaulan, kurang memiliki kemampuaan untuk bersosialisasi dengan teman, minder, dan labil. 4) Anak kehilangan rasa kepercayaan diri dalam belajar, sehingga anak

menjadi mudah lari ke perbuatan menyontek,berbuat curang saat ulangan, tidak betah belajar bahkan sampai membolos sekolah. 5) Anak menjadi tidak berani memikul tanggung jawab karena

dikarenakan sejak kecil sudah terbiasa takut dan patuh kepada orang tua.

6) Anak jadi merasa kehilangan kepribadiannya karena dipaksa mengikuti keinginan orang tuanya.

7) Anak memiliki perasaan benci terhadap orang tua. 8) Anak menjadi kehilangan semangat hidup.

9) Motivasi belajar anak berubah-ubah,bukan karena keinginan dirinya lagi, tetapi semata-mata karena kepatuhannya terhadap orang tua.

3. Tinjauan Stres

Dokumen terkait