• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INTENSITAS BELAJAR TERLALU TINGGI DAN SIKAP OTORITER ORANG TUA DENGAN STRES SISWA KELAS V SD SE-GUGUS III KECAMATAN GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN INTENSITAS BELAJAR TERLALU TINGGI DAN SIKAP OTORITER ORANG TUA DENGAN STRES SISWA KELAS V SD SE-GUGUS III KECAMATAN GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN INTENSITAS BELAJAR TERLALU TINGGI DAN SIKAP OTORITER ORANG TUA DENGAN STRES SISWA KELAS V

SD SE-GUGUS III KECAMATAN GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Wiwit Muhammad Husni NIM 11108244036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul "HUBUNGAN INTENSITAS BELAJAR TERLALU TINGGI DAN SIKAP OTORITER ORANG TUA DENGAN STRES SISWA

KELAS V SD SE-GUGUS III KECAMATAN GONDOKUSUMAN

YOGYAKARTA" yang disusun oleh Wiwit Muhammad Husni, NIM 11108244036 ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, 15 Januari 2016 Pembimbin I

WIv

Dr. Woo Wuryandani, M.Pd NIP 19800929200501 2 003 Marjuki, M.Si NIP 19540414198403 1 002

(3)

SURATPERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, 15 Januari 2016

Yang~

Wiwit Muhammad Husni NIM 11108244036

(4)

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul "HUBUNGAN INTENSITAS BELAJAR TERLALU TINGGI DAN SIKAP OTORlTER ORANG TUA DENGAN STRES SISWA KELAS V SD SE-GUGUS III KECAMATAN GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA" yang disusun oleh Wiwit Muhammad Husni, NIM 11108244036 ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 2 Februari 2016 dan dinyatakan lulus.

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan

Dr. Wuri Wuryandani, M.Pd. Ketua Penguji Agung Hastomo, M.Pd. Sekretaris Penguji Yulia Ayriza, M.Si., Ph.D Penguji Utama

Tanda Tangan

{ltJ;:.

::..4;.:.:.:::

...r.Jtb....

Tanggal

.~~I.~~.~~t

'.£/01

;.o\t

...

\7/

01

Z-O\b

(5)

MOTTO

“Belajar adalah kebutuhan setiap manusia, maka nikmatilah belajarmu dan belajarlah dengan senang hati.”

(6)

PERSEMBAHAN

Dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta (Bapak Supiyadi dan Ibu Siti Nuriyah) atas segala kasih sayang tak terhitung dan doa yang telah diberikan, terima kasih telah menjadi pelita dalam hidupku.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Nusa, Bangsa dan Agama.

(7)

HUBUNGAN INTENSITAS BELAJAR TERLALU TINGGI DAN SIKAP OTORITER ORANG TUA DENGAN STRES SISWA KELAS V

SD SE-GUGUS III KECAMATAN GONDOKUSUMAN YOGYAKARTA

Oleh

Wiwit Muhammad Husni NIM 11108244036

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan intensitas belajar terlalu tinggi dengan stres, hubungan sikap otoriter orang tua dengan stres, serta hubungan intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V sebanyak 155 siswa yang diambil dari 6 sekolah dasar yang ada di gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala. Uji validitas menggunakan uji validitas isi, sedangkan uji reliabilitas menggunakan rumus alpha cronbach. Uji prasyarat analisis menggunakan uji normalitas dan uji multikolinieritas. Uji hipotesis menggunakan korelasi Pearson

product moment dan analisis regresi ganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dengan stres siswa siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta.

Kedua, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara sikap otoriter orang

tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta. Ketiga, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta”.

Terselesaikannya skripsi ini atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moral maupun material, sehingga segala kesulitan dan hambatan selama penyusunan skripsi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulisingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta atas ijin untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Wuri Wuryandani, M.Pd. dan Bapak Marjuki M.Si. selaku pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Kepala Sekolah Dasar se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis

(9)

6. Bapak, Ibu dan Adik-adikku tercinta yang tidak pernah lelah memberikan dukungan dan doa, sehingga memberikan kekuatan lebih bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Semua pihak yang telah banyak membantu dan mendukung dalam pelaksanaan penelitian ini yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu. Semoga semua amal dan budi baiknya mendapat imbalan yang setimpal dari Allah swt.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Yogyakarta, 15 Januari 2016 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN... ii

SURAT PERNYATAAN ...iii

PENGESAHAN... iv MOTTO ... v PERSEMBAHAN... vi ABSTRAK ... vii KATA PENGANTAR...viii DAFTAR ISI... x

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah... 7 C. Rumusan Masalah ... 8 D. Tujuan Penelitian ... 8 E. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori... 10

1. Tinjauan Intensitas Belajar Terlalu Tinggi ... 10

a. Pengertian Intensitas Belajar Terlalu Tinggi... 10

b. Indikator Intensitas Belajar Terlalu Tinggi ... 11

1) Durasi Belajar ... 12

2) Frekuensi Belajar ... 13

3) Motivasi ... 14

4) Arah Sikap ... 15

c. Dampak Belajar dengan Intensitas Terlalu Tinggi... 16 hal

(11)

a. Pengertian Sikap Otoriter Orang Tua... 18

b. Bentuk-bentuk Sikap Otoriter Orang Tua ... 19

c. Dampak Sikap Otoriter Orang Tua... 21

3. Tinjauan Stres... 23 a. Pengertian Stres... 23 b. Penyebab Stres... 24 c. Gejala Stres... 26 d. Jenis Stres ... 28 e. Tahapan Stres ... 29 f. Dampak Stres... 34

g. Cara Mengatasi Stres... 36

B. Kerangka Berpikir... 37

1. Hubungan Intensitas Belajar Terlalu Tinggi dengan Stres ... 37

2. Hubungan Sikap Otoriter Orang Tua dengan Stres... 38

3. Hubungan Intensitas Belajar Terlalu Tinggi dan Sikap Otoriter Orang Tua dengan Stres... 39

C. Perumusan Hipotesis... 41

D. Definisi Operasional Variabel... 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 42

B. Variabel Penelitian... 42

C. Hubungan antar Variabel ... 43

D. Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

1. Tempat Penelitian... 43

2. Waktu Penelitian ... 44

E. Subjek dan Objek Penelitian ... 44

1. Populasi ... 44

2. Sampel ... 45

3. Teknik Sampling ... 45

(12)

G. Instrumen Penelitian... 47

1. Perencanaan dan Penulisan Butir Soal ... 47

2. Penyusunan Item ... 50

3. Penyekoran Instrumen ... 50

4. Uji Validitas Instrumen ... 51

a. Uji Validitas Isi... 51

b. Uji Coba Instrumen... 52

5. Uji Reliabilitas Instrumen... 54

a. Reliabilitas Intensitas Belajar Terlalu Tinggi ... 54

b. Reliabilitas Sikap Otoriter Orang Tua ... 55

c. Reliabilitas Stres ... 55

H. Teknik Analisis Data... 55

1. Uji Prasyarat Analisis ... 55

a. Uji Normalitas ... 55

b. Uji Multikolinieritas ... 56

2. Uji Hipotesis ... 56

a. Korelasi Sederhana ... 57

b. Korelasi Ganda ... 58

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Sampel ... 60

B. Deskripsi Data... 60

C. Uji Prasyarat Analisis... 71

D. Uji Hipotesis ... 73

E. Pembahasan... 76

F. Keterbatasan Penelitian... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 87

B. Saran... 87

DAFTAR PUSTAKA... 89

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Uji Coba Penelitian ... 93

Lampiran 2. Data Skor Hasil Uji Coba Instrumen... 100

Lampiran 3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 106

Lampiran 4. Instrumen Penelitian... 110

Lampiran 5. Data Skor Hasil Penelitian... 116

Lampiran 6. Analisis Deskriptif... 134

Lampiran 7. Uji Normalitas ... 140

Lampiran 8. Uji Multikolinieritas ... 141

Lampiran 9. Uji Hipotesis... 142

Lampiran 10. Surat Izin Penelitian... 143

Lampiran 11. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian... 148 hal

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Nama dan Alamat Tempat Penelitian ... 44

Tabel 2. Daftar Jumlah Populasi dan Sampel Siswa... 46

Tabel 3. Kisi-Kisi Instrumen Yang Diperlukan untuk Mengukur Variabel Intensitas Belajar Terlalu Tinggi... 47

Tabel 4. Kisi-Kisi Instrumen Yang Diperlukan untuk Mengukur Variabel Sikap Otoriter Orang Tua... 48

Tabel 5. Kisi-Kisi Instrumen Yang Diperlukan untuk Mengukur Variabel Stres... 49

Tabel 6. Hasil Uji Validitas dan Item yang Diperbaiki... 53

Tabel 7. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi .. 58

Tabel 8. Daftar Jumlah Sampel Berdasarkan Asal Sekolah ... 60

Tabel 9. Skor Intensitas Belajar Terlalu Tinggi Berdasarkan Kisi-kisi Instrumen 61 Tabel 10. Klasifikasi Data Intensitas Belajar Terlalu Tinggi... 63

Tabel 11. Skor Sikap Otoriter Orang Tua Berdasarkan Kisi-kisi Instrumen ... 65

Tabel 12. Klasifikasi Data Sikap Otoriter Orang Tua... 66

Tabel 13. Skor Stres Berdasarkan Kisi-kisi Instrumen ... 68

Tabel 14. Klasifikasi Data Stres... 70

Tabel 15. Hasil Uji Normalitas Data... 71

Tabel 16. Hasil Uji Multikolinieritas Data... 73

Tabel 17. Hasil Uji Korelasi Sederhana Intensitas Belajar Terlalu Tinggi dengan Stres... 74

Tabel 18. Hasil Uji Korelasi Sederhana Sikap Otoriter Orang Tua dengan Stres .. 75

Tabel 19. Hasil Uji Korelasi Ganda Intensitas Belajar Terlalu Tinggi dan Sikap Otoriter Orang Tua dengan Stres ... 76

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hubungan Antar Variabel ... 43

Gambar 2. Diagram Histogram Skor Intensitas Belajar Terlalu Tinggi Berdasarkan Kisi-kisi Instrumen... 62

Gambar 3. Diagram Histogram Klasifikasi Data Intensitas Belajar Terlalu Tinggi 64 Gambar 4. Diagram Histogram Skor Sikap Otoriter Orang Tua Berdasarkan Kisi-Kisi Instrumen... 65

Gambar 5. Diagram Histogram Klasifikasi Data Sikap Otoriter Orang Tua ... 67

Gambar 6. Diagram Histogram Skor Stres Berdasarkan Kisi-kisi Instrumen ... 69

Gambar 7. Diagram Histogram Klasifikasi Data Stres ... 70 hal

(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sumber daya manusia merupakan aset penting bagi kemajuan suatu bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara besar yang memiliki banyak sumber daya manusia. Indonesia terdaftar sebagai negara keempat dengan penduduk terpadat di dunia. Di tahun 2014, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 252.124.458 jiwa (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Dengan memiliki sumber daya manusia yang besar, Indonesia berpotensi menciptakan pembangunan nasional yang besar apabila sumber daya manusianya berkualitas.

Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi fokus utama dalam pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang baik dapat terwujud apabila sumber daya manusianya mampu bekerja dengan potensi yang dimilikinya secara optimal. Agar potensi manusia dapat berkembang, maka dibutuhkan proses yang dinamakan dengan pendidikan. Sulistyono (2007: 1) menyatakan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan landasan pemikiran tertentu. Pakar pendidikan yang lain, Sugihartono (2007:3) mengatakan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Berdasarkan

(17)

sebelumnya belum dapat melakukan banyak hal menjadi manusia dewasa yang dapat melakukan banyak kegiatan yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan menjadi bidang yang berperan penting untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas demi kemajuan suatu bangsa. Bidang pendidikan memberikan sumbangsih besar untuk terciptanya generasi emas penerus bangsa yang mampu membangun peradaban bangsanya. Dalam sebuah negara, pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pendidikan berdampak baik terhadap pembangunan di sektor-sektor lain seperti pembangunan infrastruktur negara, pembangunan bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Hal tersebut berlaku juga untuk negara Indonesia.

Berpedoman dari peran pentingnya pendidikan dalam pembangunan nasional. Pendidikan pada hakekatnya harus mampu mengembangkan tiga aspek penting pada manusia, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tatang M. Amirin (2011:2) mengemukakan bahwa pendidikan atau kegiatan mendidik itu merupakan kegiatan mengembangkan segala kemampuan dasar atau bawaan (potensi) pedidik yang mencakup kemampuan dasar jasmaniah dan rohaniah. Kemampuan dasar jasmaniah meliputi cara mempergunakan organ-organ tubuh, sementara kemampuan dasar rohaniah mencakup daya cipta (daya kognitif atau intelektual), daya rasa (daya afektif), daya karsa atau kemauan (motivasi atau daya konatif), dan daya karya (daya raga-jiwa atau daya psikomotor).

(18)

Namun kenyataannya dalam dunia pendidikan saat ini, pendidikan tidak berjalan sebagaimana fungsinya. Pendidikan yang seharusnya mampu mengembangkan tiga aspek penting dalam diri peserta didik yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, dalam pelaksanaannya hanya mementingkan aspek kognitif saja. Aspek afektif dan psikomotorik dianggap kurang begitu penting untuk dikembangkan dalam porsi yang sama dengan aspek kognitif. Muhammad Isnaini (2013) menjelaskan bahwa pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif, sedangkan aspek afektif sangat ditelantarkan. Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik).

Pelaksanaan pendidikan yang cenderung fokus pada penguasaan aspek kognitif, juga didorong oleh tuntutan orang tua. Sebagai orang yang paling dekat dengan siswa, orang tua seringkali mempunyai harapan sangat tinggi terhadap anak. Harapan tersebut dapat berupa anak mampu meraih nilai rapor yang baik, menjadi juara kelas, berprestasi dalam bidang akademik , atau mencapai berbagai cita-cita orang tua yang diindoktrinasikan pada anak. Munculnya harapan-harapan besar orang tua terhadap anaknya juga tidak lepas dari asumsi anak pintar atau cerdas adalah anak yang mampu meraih juara kelas atau anak yang mampu meraih nilai ulangan tinggi. Dengan demikian,

(19)

fokus pengembangan kemampuan anak yang diharapkan orang tua adalah kemampuan kognitif anak tanpa melihat potensi lain yang dimiliki dan diminati oleh anak.

Dalam mewujudkan keinginannya, orang tua seringkali menuntut anak untuk menambah durasi belajar dan mengurangi kegiatan bermain. Tuntutan orang tua untuk menambah durasi belajar dan mengurangi kegiatan bermain terhadap anak sangat bertentangan dengan tugas perkembangan anak-anak usia 7-12 tahun atau usia sekolah dasar. Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 103) mengemukakan bahwa tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir (7-12 tahun) adalah :

1) belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain,

2) sebagai makhluk yang sedang tumbuh, mengembangkan sikap yang sehat mengenal diri sendiri,

3) belajar bergaul dengan teman sebaya,

4) mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita,

5) mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung,

6) mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari,

7) mengembangkan kata batin, moral dan skala nilai,

8) mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga, dan 9) mencapai kebebasan pribadi.

(20)

Berpedoman pada teori perkembangan anak masa kanak-kanak akhir tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran orang tua yang menuntut anaknya untuk belajar secara terus-menerus tanpa meluangkan waktu untuk kebutuhan sosial pribadi anak tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Peran orang tua dalam menuntut anaknya untuk belajar dengan intensitas tinggi tidak selalu sesuai dengan kehendak anak. Ahli ilmu psikologi pendidikan yaitu Piaget (dalam Rita Eka Izzaty dkk, 2008: 106) mengemukakan bahwa masa kanak-kanak akhir tergolong pada masa operasi konkret dimana anak berpikir logis terhadap objek yang konkret, berkurang rasa egonya dan mulai bersikap sosial. Tuntutan belajar dengan intensitas tinggi oleh orang tua terhadap anak dapat mengurangi kesempatan anak untuk bermain. Padahal, melalui bermain anak-anak mampu untuk belajar bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Wardah Fazriyah (2013) yang mengemukakan bahwa bermain punya peran penting. Anak berbagi rasa. Lewat permainan juga akan muncul rasa berbagi dan sosial.

Apabila pada masa ini anak-anak dituntut untuk terus belajar dan mengurangi kegiatan bermain, maka dapat membatasi perkembangan sikap sosial anak. Lusia Kus Anna (2013) mengemukakan bahwa anak yang kurang bermain tumbuh menjadi anak yang kaku, tertekan, dan stres. Aspek dalam diri yang seharusnya bisa dimekarkan juga tidak berkembang semestinya.Anak menjadi jarang berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman dan

(21)

lingkungan sekitarnya. Sikap individualis semakin lama akan semakin muncul pada anak.

Tuntutan berlebih orang tua terhadap pendidikan anaknya belum tentu sesuai dengan kehendak atau kebutuhan anak dalam belajar. Stres yang ditimbulkan akibat kegiatan belajar yang terlalu lama dapat menyebabkan perubahan keadaan emosional. Priyoto (2014: 3) mengungkapkan bahwa kondisi stres dapat ditandai dengan dua gejala yaitu, gejala fisik dan gejala psikis. Bentuk gangguan fisik yang sering muncul adalah nyeri dada, diare selama beberapa hari, sakit kepala, mual, jantung berdebar, lelah, suka tidur dan lain-lain. Sementara bentuk gangguan psikis yang sering terlihat adalah cepat marah, ingatan melemah,tak mampu berkonsentrasi, tidak mampu menyelesaikan tugas, perilaku implusive, daya kemampuan berkurang, tidak mampu santai pada saat yang tepat, tidak tahan terhadap suara atau gangguan lain. Apabila keadaan tersebut berlangsung secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang panjang, maka kondisi emosional anak akan menjadi buruk. Berpedoman pada fenomena tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian tentang hubungan antara faktor intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stress di kota Yogyakarta, tepatnya di gugus III kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta. Berdasarkan hasil pra-penelitian melalui observasi dan wawancara dengan guru di SD N Baciro yang merupakan salah satu dari enam SD di gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta, diperoleh banyak informasi terkait siswa yang melakukan

(22)

kegiatan belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi dan siswa yang mendapatkan pola asuh otoriter dari orang tua. Akibat dari kegiatan belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi dan dididik secara otoriter oleh orang tua, siswa mengalami goncangan fisik, jiwa dan perilaku. Hal tersebut dapat diindikasikan sebagai gejala stres pada anak. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa wilayah gugus tersebut dinilai sesuai untuk dijadikan tempat penelitian guna memperoleh data tentang hubungan intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres.

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah, maka muncul beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Kurangnya waktu bermain anak dikarenakan intensitas belajar yang terlalu tinggi.

2. Keletihan fisik, indera dan mental siswa akibat intensitas belajar yang terlalu tinggi.

3. Kurangnya waktu istirahat anak akibat kegiatan belajar yang penuh. 4. Kondisi anak yang tertekan akibat sikap otoriter orang tua.

5. Anak kurang berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan lingkungannya.

6. Tuntutan orang tua agar anak memiliki prestasi tinggi memunculkan dampak negatif terhadap anak.

(23)

7. Munculnya kondisi stres pada siswa yang disebabkan oleh kegiatan belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan oleh peneliti di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Adakah hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman?

2. Adakah hubungan yang positif dan signifikan antara sikap otoriter orang tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman?

3. Adakah hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman?

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui hubungan intensitas belajar terlalu tinggi dengan stres siswa

kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman.

2. Mengetahui hubungan sikap otoriter orang tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman.

(24)

3. Mengetahui hubungan intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan data mengenai 1) hubungan antara intensitas belajar terlalu tinggi dengan stres, 2) sikap otoriter orang tua dengan stres, serta 3) intensitas belajar terlalu tinggi dan otoritas orang tua dengan stres, yang dapat bermanfaat untuk penelitian selanjutnya.

(25)

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori

1. Tinjauan Intensitas Belajar Terlalu Tinggi a. Pengertian Intensitas belajar terlalu tinggi

Kata intensitas menurut Markus Willy (1996: 179) berasal dari kata

intent dalam bahasa Inggris yang berarti sungguh-sungguh, sedangkan

belajar menurut Gagne (dalam Ratna, 2006: 2) dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Pakar psikologi pendidikan, Sugihartono (2007: 74) menambahkan penjelasan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan definisi kata intensitas dan belajar yang telah diuraikan beberapa ahli, maka intensitas belajar dapat diartikan sebagai suatu proses belajar dengan usaha yang sangat kuat atau dengan bersungguh-sungguh untuk memperoleh hasil belajar yang maksimal. Hal ini diperkuat oleh Arif Yulianto (2011: 2) yang mengemukakan bahwa intensitas belajar adalah seberapa sering usaha siswa yang dapat menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap. Apabila kata intensitas belajar ditambahkan kata tinggi di belakangnya, maka akan muncul makna yang berbeda.

(26)

belajar yang dilakukan lebih banyak dari biasanya atau lebih tinggi dari intensitas belajar normal. Dengan demikian, makna dari intensitas belajar terlalu tinggi adalah kegiatan belajar yang dilakukan dengan motivasi yang berlebihan, dalam jangka waktu yang lama dan frekuensi yang tinggi. Pada intensitas belajar normal kegiatan belajar dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedangkan pada intensitas belajar terlalu tinggi kegiatan belajar dilakukan dengan usaha yang terlampau lebih.

b. Indikator Intensitas belajar terlalu tinggi

Intensitas belajar merupakan kegiatan belajar yang dilakukan dengan kesungguhan oleh subjek belajar yaitu siswa. kesungguhan belajar berasal dari dalam siswa atau rohaniah atau psikologis siswa. Muhibbin Syah (2011: 148) mengemukakan bahwa aspek psikologis dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa, yang meliputi 1) inteligensi siswa, 2) sikap siswa, 3) bakat, 4) minat, dan 5) motivasi siswa. Dari beberapa aspek tersebut, maka yang dapat menunjukkan kesungguhan belajar dan menjadi indikator intensitas belajar siswa yaitu, motivasi dan arah sikap belajar siswa. Selanjutnya, Hudoyo (dalam Siti Solikhah, 2010: 6) menambahkan bahwa intensitas belajar mengacu pada banyaknya kegiatan yang dilakukan mahasiswa, cara belajar secara intensif. Sehingga, durasi belajar dan frekuensi belajar dapet dikategorikan indikator intensitas belajar.

(27)

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka motivasi, arah sikap, durasi dan frekuensi belajar merupakan indikator intensitas belajar. Indikator intensitas belajar tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Durasi belajar

Durasi adalah waktu sesuatu yang sedang berlangsung (Em Zul Fajri, 2006: 267). Durasi belajar ialah lama berlangsungnya kegiatan belajar. Durasi belajar menjadi salah satu indikator intensitas belajar dikarenakan durasi belajar menjadi salah satu alat ukur indikasi adanya kesungguhan belajar. Orang yang mempunyai kesungguhan belajar akan menambah durasi belajar untuk meningkatkan hasil belajar. Slameto (2003: 79) menjelaskan bahwa belajar sungguh-sungguh selama 4-8 jam sehari dengan teratur sudah cukup untuk memberi hasil yang memuaskan. Selanjutnya beliau menambahkan, orang dapat bekerja atau belajar dengan penuh perhatian selama 40 menit, kemudian harus istirahat kurang lebih 5 menit baru bisa bekerja kembali.

Durasi belajar pada intensitas belajar terlalu tinggi lebih lama dibandingkan dengan intensitas belajar normal. Pada intensitas belajar normal durasi jam belajarnya adalah 4-8 jam. Dengan demikian durasi jam belajar pada intensitas belajar terlalu tinggi adalah lebih dari 8 jam dalam sehari.

(28)

2) Frekuensi belajar

Suharso (2011, 143) mengatakan bahwa frekuensi memiliki arti kekerapan atau perulangan yang berkali-kali. Dengan demikian, definisi frekuensi belajar adalah kegiatan belajar yang dilakukan secara berkali-kali. Dengan kata lain, frekuensi belajar dapat diartikan seberapa sering kegiatan belajar dilakukan dalam kurun waktu tertentu.

Frekuensi belajar pada intensitas belajar terlalu tinggi lebih banyak dibandingkan dengan intensitas belajar normal. Pedoman frekuensi belajar pada intensitas belajar yang terlalu tinggi adalah durasi belajar normal. Slameto (2003: 79) menjelaskan bahwa belajar sungguh-sungguh selama 4-8 jam sehari dengan teratur sudah cukup untuk memberi hasil yang memuaskan. Siswa yang telah belajar di sekolah selama 6 jam, maka siswa mempunyai waktu belajar selama 2 jam di luar jam sekolah. Waktu 2 jam tersebut dapat digunakan untuk belajar 1 atau 2 kali. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Slameto (2003: 84) bahwa kesehatan membaca salah satunya meliputi membaca pada meja belajar dan istirahat sesudah membaca kurang lebih 1 sampai 2 jam. Dengan demikian, frekuensi belajar yang normal dalam sehari adalah 1 kali di dalam sekolah dan 2 kali di luar jam sekolah. Apabila siswa melakukan kegiatan belajar dengan frekuensi melebihi 3 kali dalam sehari, maka kegiatan belajar

(29)

tersebut dapat diindikasikan sebagai kegiatan belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi.

3) Motivasi

Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu (Muhibbin Syah, 2011: 153). Selanjutnya, motivasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik, dan 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri siswa sendiri, misalnya perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang datang dari luar individu siswa, misalnya pujian dan hadiah, peraturan/ tata tertib sekolah, suri teladan orang tua, guru, dan sebagainya. Sugihartono (2007: 20) mengatakan bahwa motivasi belajar yang tinggi tercermin dari ketekunan yang tidak mudah patah untuk mencapai sukses meskipun dihadang oleh berbagai kesulitan. Pada motivasi intrinsik dan ekstrinsik, keduanya dapat menggiatkan aktivitas belajar siswa dan mendorong siswa untuk mencapai prestasi belajar.

Motivasi belajar pada intensitas belajar terlalu tinggi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas belajar normal, baik motivasi dari dalam diri siswa maupun motivasi yang berasal dari luar siswa. Motivasi tersebut sangat berfokus pada kegiatan belajar, sehingga

(30)

mengabaikan kegiatan-kegiatan lain yang merupakan kebutuhan siswa. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Raymond J. Wlodkowski dan Judith H. Jaynes (2004: 17) yang mengatakan bahwa motivasi adalah persediaan energi yang terbatas yang harus dibagi antara diri kita dan dunia secara bijak. Motivasi belajar sangat rapuh dalam menghadapi gangguan-gangguan eksistensi kehidupan sehari-hari. Apabila porsi motivasi siswa tercurah lebih banyak untuk belajar dibandingkan kegiatan-kegiatan yang lain ,maka motivasi belajar siswa dapat lenyap dalam sekejap ketika siswa mengalami gangguan dari luar.

4) Arah sikap

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Muhibbin Syah, 2011: 154). Dalam bentuknya yang negatif akan terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, bahkan tidak menyukai objek tertentu. Sedangkan dalam bentuknya yang positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu.

Pada intensitas belajar normal dan intensitas belajar terlalu tinggi memiliki arah sikap positif dan arah sikap negatif yang

(31)

berbeda. Pada intensitas belajar terlalu tinggi arah sikap negatif cenderung lebih besar dikarenakan siswa mengalami kejenuhan dalam belajar. Muhibbin Syah (2011: 180) mengatakan bahwa jenuh adalah ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Selanjutnya ia menjelaskan kejenuhan belajar adalah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil. Rentang waktu tersebut merupakan rentang waktu dimana anak akan mengalami ketidakfokusan belajar dikarenakan otak sudah mengalami kejenuhan dalam bekerja atau yang disebut dengan jenuh belajar..

c. Dampak Belajar dengan Intensitas Tinggi

Belajar dengan menambahkan intensitasnya memiliki tujuan untuk meningkatkan hasil belajar dan prestasi siswa. Penambahan durasi belajar dan frekuensi belajar siswa dianggap mampu memberikan kesempatan siswa untuk menguasai pengetahuan yang lebih banyak. Namun di sisi lain, cara belajar seperti itu memberikan dampak tertentu bagi siswa. Dampak yang dapat dirasakan siswa adalah dampak stres. Dewi Iriani (2014: 191) menyebutkan bahwa stres yang ditimbulkan akibat belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi antara lain:

1) prestasi belajar anjlok karena kondisi anak kurang bahagia,dan 2) menurunnya daya tahan tubuh sehingga menyebabkan sakit seperti

(32)

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan ahli psikologi yang lain, M. Dalyono (2009: 58) berpendapat bahwa cara belajar orang yang sangat rajin belajar siang dan malam tanpa istirahat yang cukup bukan merupakan cara belajar yang baik. Belajar juga harus ada istirahat untuk memberikan kesempatan pada mata, otak serta organ tubuh lainnya untuk memperoleh energi kembali.

Merdeka (25 November 2015) memberitakan bahwa menurut penelitian dari University of Exeter bahwa terlalu lama belajar memang buruk bagi kesehatan. Seperti yang dilansir dari Daily Mail, peneliti menyebutkan kalau terlalu lama belajar meningkatkan risiko tulang keropos pada anak perempuan. Tim peneliti tepatnya menganalisis 359 remaja asal Spanyol mengenai kebiasaan duduk mereka yang terlalu lama, termasuk di dalamnya adalah belajar, menonton televisi, atau bermain games di komputer. Peneliti lantas menemukan hubungan antara duduk terlalu lama itu dengan menurunnya jumlah mineral pada tulang di sekitar pinggul, nyeri punggung dan leher, obesitas, gangguan metabolisme, serangan jantung, bahkan kematian dini.

Dari beberapa penjelasan mengenai dampak belajar dengan intensitas tinggi yang dikemukakan beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa belajar dengan intensitas tinggi dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan fisik, indera maupun mental siswa sebagai berikut.

(33)

1) Menurunnya prestasi belajar siswa karena kondisi siswa kurang bahagia.

2) Menurunnya daya kerja organ tubuh dan daya tahan tubuh sehingga siswa mudah terserang penyakit.

2. Tinjauan Sikap Otoriter Orang Tua a. Pengertian Sikap Otoriter Orang Tua

Orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anaknya. Anak-anak sangat memerlukan perhatian, kasih sayang, dan rasa aman dari orang tua untuk tumbuh dan berkembang. Pendidikan awal anak untuk tumbuh dan berkembang adalah tanggung jawab orang tua. Sutjipto Wirowidjojo (melalui Slameto, 2003: 61) mengatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya.

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan orang tua terkait dengan mengambil sikap dalam menentukan pendidikan anak-anaknya. Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 15) menjabarkan bahwa pendekatan yang dilakukan orang tua kepada anaknya terdiri dari pendekatan permisif atau serba boleh, pendekatan otoriter yang tidak membolehkan individu berbuat apapun, ataukah bersifat otoritatif yang merupakan perpaduan dari keduanya. Salah satu dari tiga jenis pendekatan yang banyak diterapkan orang tua di dalam lingkungan keluarga adalah pendekatan otoriter. Sugihartono (2007:31) mengatakan bahwa pola asuh otoriter

(34)

adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua kepada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat ditentukan bahwa sikap otoriter orang tua merupakan kekuasaan orang tua secara penuh untuk untuk mengatur anak. Orang tua yang mengambil sikap otoriter dan memperlakukan maupun mendidik anaknya dimaksudkan “demi kebaikan anaknya”. Orang tua yang demikian mempunyai cita-cita yang tinggi untuk anaknya, dan jika anak menuruti segala perintah orang tuanya, anak akan menemukan kebahagiaan. Demikian hal-hal yang dipikirankan oleh orang tua.

b. Bentuk-bentuk Sikap otoriter orang tua

Titin Indrawati (1985: 97) mengatakan bahwa bentuk-bentuk sikap otoriter orang tua terhadap anaknya dalam bidang pendidikan adalah sebagai berikut.

1) Memiliki cita-cita yang tinggi terhadap anaknya, sehingga orang tua memberi perintah kepada anaknya untuk mencapai cita-cita seperti yang diinginkan orang tuanya.

2) Orang tua sering menekan anaknya untuk membaca atau mempelajari hal-hal menarik perhatian orang tua

3) Anak harus mendapat nilai yang tinggi di buku rapornya, anak harus dapat main musik, dan sebagainya.

(35)

Sementara itu, ahli psikologi pendidikan lain yaitu Rita Eka Izzaty,dkk (2008: 15) mengatakan bahwa ciri-ciri sikap otoriter orang tua antara lain.

1) Semua hal terkait anak diatur oleh orang tua. 2) Anak selalu bergantung kepada orang tua.

3) Anak memiliki daya kreativitas yang rendah karena adanya pembatasan-pembatasan dalam berpikir dan berperilaku.

Berdasarkan pendapat mengenai bentuk sikap otoriter orang tua dari beberapa ahli tersebut, yang dimaksud dengan bentuk sikap otoriter orang tua adalah sebagai berikut.

1) Menuntut anak untuk mencapai cita-cita seperti yang diinginkan orang tua.

2) Menekan anak untuk mempelajari hal-hal yang menarik perhatian orang tua.

3) Menuntut anak mendapatkan nilai rapor yang tinggi. 4) Mengatur semua hal yang terkait dengan anak. 5) Membuat anak selalu bergantung pada orang tua.

6) Membatasi pikiran dan perilaku anak sehingga anak memiliki daya kreativitas yang rendah.

Bentuk-bentuk sikap orang tua yang otoriter tersebut tidak didukung oleh Slameto yang menyatakan bahwa mendidik anak dengan cara memperlakukannya terlalu keras, memaksa dan mengejar-ngejar

(36)

anaknya untuk belajar, adalah cara mendidik yang juga salah (Slameto, 2003: 61). Dengan cara demikian, anak dapat memiliki rasa ketakutan dan benci terhadap belajar, bahkan jika ketakutan itu semakin serius anak dapat mengalami gangguan kejiwaan akibat dari tekanan-tekanan tersebut.

c. Dampak Sikap Otoriter Orang Tua

Pendekatan orang tua yang bersifat otoriter dan cenderung memberikan tekanan pada anak akan memberikan dampak negatif pada anak. Titin Indrawati (1985: 98-99) menjelaskan tentang dampak-dampak yang muncul akibat sikap otoriter orang tua terhadap pendidikan anak adalah sebagai berikut.

1) Anak belum tentu merasa bahagia sebab arah dan tujuannya tidak merupakan pilihannya sendiri.

2) Anak yang kurang mampu merealisasikan keinginan orang tuanya menjadi merasa tertekan.

3) Anak dapat berkembang menjadi anak yang canggung dalam pergaulan, selalu tegang, khawatir, bimbang dan bahkan menjadi labil.

4) Saat belajar di sekolah, anak mudah lari ke perbuatan menyontek, berbuat tidak jujur, berontak terhadap orang tuanya secara tersembunyi, atau menjadi anak yang apatis.

(37)

5) Anak akan mempunyai perasaan rendah diri, dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.

6) Anak tidak berani memikul tanggung jawab karena dikarenakan sejak kecil sudah terbiasa takut dan patuh kepada orang tua.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Dewi Iriani (2014: 195) yang menyatakan bahwa dampak sikap otoriter orang tua adalah sebagai berikut.

1) Anak jadi merasa kehilangan kepribadiannya karena dipaksa mengikuti keinginan orang tuanya.

2) Anak mempunyai perasaan benci terhadap orang tua. 3) Anak menjadi kehilangan semangat.

4) Motivasi belajar anak berubah-ubah, anak belajar bukan karena rencana dan keinginan dirinya lagi, tetapi semata-mata karena kepatuhannya terhadap orang tua.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka dapat dianalisis apa saja dampak sikap otoriter orang tua. Beberapa dampak sikap otoriter orang tua dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Anak kurang merasa bahagia sebab arah dan tujuannya untuk belajar atau mempelajari sesuatu bukan merupakan pilihannya sendiri. 2) Anak merasa tertekan karena kurang mampu merealisasikan

(38)

3) Anak menjadi canggung dalam pergaulan, kurang memiliki kemampuaan untuk bersosialisasi dengan teman, minder, dan labil. 4) Anak kehilangan rasa kepercayaan diri dalam belajar, sehingga anak

menjadi mudah lari ke perbuatan menyontek,berbuat curang saat ulangan, tidak betah belajar bahkan sampai membolos sekolah. 5) Anak menjadi tidak berani memikul tanggung jawab karena

dikarenakan sejak kecil sudah terbiasa takut dan patuh kepada orang tua.

6) Anak jadi merasa kehilangan kepribadiannya karena dipaksa mengikuti keinginan orang tuanya.

7) Anak memiliki perasaan benci terhadap orang tua. 8) Anak menjadi kehilangan semangat hidup.

9) Motivasi belajar anak berubah-ubah,bukan karena keinginan dirinya lagi, tetapi semata-mata karena kepatuhannya terhadap orang tua.

3. Tinjauan Stres a. Pengertian Stres

Definisi stres menurut Priyoto (2014: 2) adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari. Judith Swarth (2006: 1) mengemukakan bahwa stres adalah suatu kekuataan yang memaksa seseorang untuk berubah, bertumbuh juang, beradaptasi atau mendapatkan keuntungan. Definisi stres juga dikemukakan oleh seorang

(39)

psikologi klinis, Dra. Trisna Chandra (dalam Dewi Iriani, 2014: 192) bahwa stres adalah keadaan tegang secara fisik maupun psikis. Selanjutnya ia menambahkan stres merupakan reaksi tubuh terhadap situasi yang tidak menyenangkan.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat diambil garis besar bahwa stres merupakan reaksi tubuh terhadap kondisi atau situasi yang tidak menyenangkan, baik yang ada di luar maupun di dalam diri seseorang. Stres dapat berupa ketegangan fisik maupun psikis.

b. Penyebab Stres

Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber. Penyebab tersebut sering dikenal dengan istilah stresor. Priyoto (2014;2) menjelaskan bahwa stresor adalah keadaan atau situasi, objek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Secara umum stressor terdiri dari tiga macam, yaitu stresor fisik, sosial dan psikologis.

1) Stresor fisik

Bentuk dari stresor fisik adalah suhu (panas dan dingin), suara bising, polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimiawi).

2) Stresor sosial

a) Stresor sosial, ekonomi dan politik, misalnya tingkat inflasi yang tinggi, tidak ada pekerjaan, pajak yang tinggi, perubahan teknologi yang cepat, kejahatan.

(40)

b) Keluarga, misalnya peran seks, iri, cemburu, kematian anggota keluarga, masalah keuangan, perbedaan gaya hidup dengan pasangan atau anggota keluarga yang lain.

c) Jabatan dan karir, misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang kurang baik dengan atasan atau sejawat, pelatihan, aturan kerja.

d) Hubungan interpersonal dan lingkungan, misalnya harapan sosial yang terlalu tinggi, pelayanan yang buruk, hubungan sosial yang buruk.

3) Stresor psikologis a) Frustasi

Frustasi adalah tidak tercapainya keinginan atau tujuan karena ada hambatan.

b) Ketidakpastian

Apabila seseorang sering berada dalam keraguan dan merasa tidak pasti mengenai masa depan atau pekerjaannya. Atau selalu merasa bingung dan tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir dan inferior.

Dari pendapat tersebut, maka stresor yang secara khusus dapat terjadi pada anak dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Stresor fisik yang terdiri dari suhu panas dan dingin, suara bising, polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimiawi).

(41)

2) Stresor sosial, misalnya kematian anggota keluarga, masalah keuangan keluarga, perbedaan gaya hidup dengan anggota keluarga yang lain dan masalah dengan teman sebaya.

3) Stresor psikologis, seperti frustasi yaitu tidak tercapainya suatu keinginan atau tujuan karena ada hambatan.

Pendapat mengenai penyebab stres pada anak juga diperkuat oleh Dewi Iriani (2014: 191-193) yang mengatakan bahwa stres tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi juga pada anak. Selanjutnya, penyebab munculnya stres pada anak dikarenakan hal-hal antara lain: 1) ketakutan pada orang yang tidak dikenal, 2) perpisahan dengan orang tua, 3) ketakutan pada teman sebaya yang tidak akrab, 4) pindah rumah, 5) kelahiran adik. Selanjutnya beliau menambahkan stres pada anak juga dapat disebabkan oleh harapan orang tua yang terlalu tinggi pada anak dan adanya masalah dengan tugas-tugas sekolah. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka yang dapat digolongkan sebagai stresor atau penyebab stres pada anak dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Harapan orang tua yang terlalu tinggi pada anak. 2) Masalah dengan tugas-tugas sekolah.

c. Gejala Stres

Gejala terjadinya stres menurut Priyoto (2014: 3) secara umum terdiri dari dua gejala, yaitu sebagai berikut.

(42)

1) Gejala fisik

Beberapa bentuk gangguan fisik yang sering muncul pada stres adalah nyeri dada, diare selama beberapa hari, sakit kepala, mual, jantung berdebar, lelah, sukar tidur, dan lain-lain.

2) Gejala psikis

Sementara bentuk gangguan psikis yang sering terlihat adalah cepat marah, ingatan melemah, tak mampu berkonsentrasi, tidak mampu menyelesaikan tugas, perilaku impulsive, reaksi berlebihan terhadap hal sepele, daya kemampuan berkurang, tidak mampu santai pada saat yang tepat, tidak tahan terhadap suara atau gangguan lain, dan emosi tidak terkendali.

Selanjutnya, menurut Dewi Iriani (2014: 192-193) menjelaskan bahwa tidak mudah untuk mengenali anak yang mengalami stres. Akan tetapi, orang tua atau guru bisa melihat perilaku yang dapat menunjukkan anak sedang stres, seperti suasana hati anak sering berubah-ubah. Anak lebih suka mengurung diri di kamar. Anak juga menjadi lebih senang bermain sendiri dikamar, seperti bermain game di computer atau menonton televisi daripada bermain dengan teman-temannya. Di sekolah juga anak akan cenderung menyendiri, terlihat tidak bergairah dan letih. Perilaku yang ditunjukkan tidak terlihat seperti biasanya.

Gejala lain yang bisa ditunjukkan adala pola tidurnya berubah. Anak menjadi susah tidur dan sering mengigau. Anak bisa mengalami

(43)

mengompol, nafsu makan hilang, sering mengeluh sakit kepala atau sakit perut tanpa sebab yang jelas. Gangguan fisik yang lebih parah pun bisa terjadi, seperti asma, migrain, demam tinggi dan gangguan pencernaan.

Berdasarkan teori yang dikemukakan beberapa ahli tersebut, maka dapat dianalisis gejala-gejala stres pada anak sebagai berikut.

1) Gejala fisik, seperti badan terasa tidak enak ( kelelahan, badan pegal-pegal, sukar tidur, dan jantung berdebar-debar) dan badan sakit (nyeri dada, diare selama beberapa hari, sakit kepala, sakit perut, dan lain-lain).

2) Gejala psikis, misalnya cepat marah, ingatan melemah, tak mampu berkonsentrasi, tidak mampu menyelesaikan tugas, reaksi berlebihan terhadap hal sepele, tidak tahan terhadap suara atau gangguan lain, dan emosi tidak terkendali.

3) Gejala perilaku, seperti seperti suasana hati anak sering berubah-ubah, lebih suka mengurung diri di kamar, menjadi lebih senang bermain sendiri dikamar dengan bermain game di computer atau menonton televisi daripada bermain dengan teman-temannya. Di sekolah juga anak akan cenderung menyendiri, terlihat tidak bergairah dan letih.

d. Jenis Stres

Dr. Hans Steyle (dalam Ed Boenisch & C. Michele Haney, 1998: 1-2) membagi stres menjadi dua jenis dengan penjelasan sebagai berikut.

(44)

1) Distres (Stres yang merusak)

Distres adalah stres yang dapat menyebabkan seseorang tidak berdaya, frustrasi, kecewa, mengakibatkan gangguan fisik maupun psikologis. Stres tersebut merupakan jenis stres yang diteliti dalam penelitian ini.

2) Eustres (Stres yang menguntungkan)

Eustres adalah stres yang dapat memberikan rasa keberhasilan, kepuasan, kebermaknaan, keseimbangan dan kesehatan.

e. Tahapan Stres

Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena munculnya stres pada seseorang berlangsung secara lambat. Kemudian stres baru dapat dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun di pergaulan lingkungan sosialnya.

Dalam penelitiannya Priyoto (2014: 5-8) membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut.

1) Stres tahap I

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut.

a) bekerja dengan penuh semangat, berlebihan, b) penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasa,

(45)

c) merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya; namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan disertai rasa gugup yang berlebihan pula, dan

d) merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.

2) Stres tahap II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula menyenangkan sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk istirahat. Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami deficit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut:

a) merasa pegal-pegal sewaktu bagun pagi, b) merasa mudah lelah sesudah makan siang, c) merasa capai menjelang sore hari,

d) sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman,

e) detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-berdebar), f) otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang, dan

(46)

3) Stres tahap III

Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres tahap II tersebut di atas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu:

a) gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan “maag’ (gastritis), buang air besar tidak teratur (diare),

b) otot menjadi tegang,

c) perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional meningkat, d) gangguan pola tidur (insomnia), dan

e) koordinasi tubuh terganggu (serasa mau pingsan). 4) Stres Tahap IV

Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul seperti:

a) untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit, b) aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah

(47)

c) yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate),

d) ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari, e) gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang

menegangkan,

f) daya konsentrasi dan daya ingat menurun, dan

g) timbul perasaan takut dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

5) Stres tahap V

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V yang ditandai dengan hal-hal seperti:

a) kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam,

b) ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana,

c) gangguan sistem pencernaan semakin berat, dan

d) timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

6) Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini berulang kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICU, meskipun pada akhirnya

(48)

dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut:

a) debaran jantung teramat keras,

b) susah bernafas (sesak dan megap-megap),

c) sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran, d) ketiadaan tenaga untuk hal-hal ringan, dan

e) pingsan atau kolaps.

Dari penjelasan tahapan stres tersebut, maka dapat dianalisis tahapan-tahapan stres pada anak yang dapat dijelaskan sebagai berikut. a) Stres tahap I, seperti energi cadangan untuk belajar atau beraktivitas

semakin menipis.

b) Stres tahap II, seperti badan merasa pegal-pegal sewaktu pagi dan mudah merasa lelah.

c) Stres tahap III, seperti sakit perut (maag, mual) dan ketegangan emosional yang semakin meningkat.

d) Stres tahap IV, misalnya ketidakmampuan menyelesaikan tugas sehari-hari dengan baik, muncul perasaan takut dan daya konsentrasi menurun.

e) Stres tahap V, misalnya ketidakmampuan mengerjakan rutinitas sehari-hari, gangguan pencernaan, perasaan cemas yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

(49)

f) Stres tahap VI, misalnya debaran jantung meningkat, susah bernapas, sekujur badan gemetar, bahkan sampai pingsan atau kolaps.

Berdasarkan tahapan-tahapan stres di atas, gejala stres yang menjadi indikator untuk diteliti dalam penelitian ini adalah stres tahap II.

e. Dampak Stres

Dampak stres dapat dibedakan dalam 3 macam, yaitu: 1) dampak fisiologik, 2) dampak psikologik, dan 3) dampak perilaku (Priyoto, 2014:10). Selanjutnya, dampak-dampak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Dampak fisiologik

Dampak fisiologik merupakan dampak-dampak yang dirasakan oleh tubuh atau jasmani seseorang yang mengalami stres. Gangguan-gangguan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

a) Gangguan pada organ tubuh hiperaktif dalam satu sistem tertentu seperti otot tertentu yang mengencang/ melemah, kerusakan jantung dan arteri, serta maag dan diare.

b) Gangguan pada sistem reproduksi yang berupa tertahannya menstruasi (Amenorrhea), kegagalan ovulasi pada wanita, impotensi pada pria, kurang produksi semen pada pria, dan kehilangan gairah seks.

c) Gangguan lainnya, seperti pening, tegang otot, rasa bosan, dan sebagainya.

(50)

2) Dampak psikologik

a) Keletihan, emosi, jenuh.

b) Pencapaian pribadi yang bersangkutan turun, sehingga berakibat pula menurunnya rasa kompeten dan sukses.

3) Dampak perilaku

a) Manakala stres berubahmenjadi distress, prestasi belajar menurun dan sering terjadi tingkah laku yang sulit diterima di masyarakat.

b) Level stres yang cukup tinggi berdampak negatif pada kemampuan mengingat sesuatu, membuat keputusan, dan mengambil langkah tepat.

c) Stres yang berat seringkali banyak membolos atau tidak aktif mengikuti kegiatan pembelajaran.

Berpedoman dari pendapat para ahli tersebut, maka dapat dianalisis dampak stres pada anak yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Dampak fisik, seperti maag dan diare, otot yang mengencang dan melemah, sakit jantung,dan badan terasa sangat pegal.

2) Dampak psikis, seperti keletihan, emosi, jenuh, dan kecemasan yang berlebihan.

3) Dampak tingkah laku, seperti kemampuan mengingat kurang, kesulitan dalam membuat keputusan, dan suka membolos serta menyontek dalam kelas.

(51)

f. Cara Mengatasi Stres

Stres merupakan hal yang tidak bisa dihindari ketikan muncul masalah dalam belajar dan hubungan dengan orang tua. Ketika muncul masalah stres dalam belajar, maka Priyoto (2014: 17-18) mengemukakan beberapa cara mengatasi stres sebagai berikut.

1) Perlu memiliki gaya belajar yang efektif dan efisien dalam menggunakan daya dan waktu yang tersedia.

2) Perlunya istirahat atau jeda waktu dalam belajar.

3) Mencermati asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh.

4) Berusaha bertemu dengan teman, supaya memberikan semangat pada diri sendiri.

Selanjutnya, cara untuk mengatasi stres pada anak yang berhubungan dengan sikap otoriter orang tua, Priyoto (2014: 64) mengemukakan bahwa orang tua harus meningkatkan diri agar bisa menjadi orang tua yang menyanyangi anaknya dengan melakukan kegiatan antara lain: 1) memasak masakan kesukaan anak, dan 2) menjemput anak di sekolah setiap hari tepat waktu.

Pertahanan yang terbaik untuk stres adalah tubuh yang sehat dengan jaringan yang mengandung zat gizi secara optimal (Judith Swarth, 2006: 50). Selanjutnya, dia mengemukakan bahwa selama stres tubuh memerlukan tiga nutrisi penting yaitu protein , lemak, dan karbohidrat. Apabila stres menigkat, maka kebutuhan tubuh akan tiga

(52)

komponen zat tersebut juga meningkat. Maka, meningkatkan konsumsi zat protein, lemak, dan karbohidrat selama stres dapat mengurangi stres yang dirasakan oleh seseorang.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka cara yang dapat digunakan untuk mengatasi stres pada anak akibat adalah sebagai berikut. 1) Memperbanyak waktu istirahat apabila sudah mulai merasa

kelelahan dalam belajar.

2) Menggunakan cara belajar yang efisien.

3) Orang tua berhenti menuntut berlebihan pada anak, sehingga anak tidak tertekan.

4) Mengkonsumsi makanan-makanan yang bergizi secara teratur. 5) Menyempatkan waktu untuk bermain dengan teman agar dapat

mendapatkan semangat dan rasa gembira.

B. Kerangka Berpikir

1. Hubungan Intensitas belajar terlalu tinggi dengan Stres

Intensitas belajar terlalu tinggi adalah kegiatan belajar yang dilakukan dengan motivasi yang berlebihan, dalam jangka waktu yang lama dan frekuensi yang tinggi. Kegiatan belajar seperti ini dapat menimbulkan kelelahan yang hebat pada badan, menimbulkan kejenuhan dalam berpikir, kondisi emosi menjadi labil dan berujung pada stres. Dewi Iriani (2014: 191) menyebutkan bahwa stres yang ditimbulkan akibat belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi antara lain: 1) prestasi belajar

(53)

anjlok karena kondisi anak kurang bahagia, dan 2) menurunnya daya tahan tubuh sehingga menyebabkan sakit seperti sakit perut dan kepala. Sesuai dengan pendapat tersebut, M. Dalyono (2009: 58) mengemukakan bahwa cara belajar orang yang sangat rajin belajar siang dan malam tanpa istirahat yang cukup bukan merupakan cara belajar yang baik. Belajar juga harus ada istirahat untuk memberikan kesempatan pada mata, otak serta organ tubuh lainnya untuk memperoleh energi kembali.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dengan stres. Intensitas belajar yang tinggi dapat memicu stres pada fisik maupun psikis siswa.

2. Hubungan Sikap otoriter orang tua dengan Stres

Sikap otoriter orang tua adalah kekuasaan orang tua secara penuh untuk mengatur anak. Kekuasaan orang tua secara penuh tanpa memperhatikan keinginan anak dapat berpengaruh positif terhadap munculnya stres pada anak. Indikasi sikap otoriter orang tua menurut Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 15) antara lain: 1) semua hal terkait anak diatur oleh orang tua, 2) anak selalu bergantung kepada orang tua, dan 3) anak memiliki daya kreativitas yang rendah karena adanya pembatasan-pembatasan dalam berpikir dan berperilaku..

Sikap-sikap otoriter orang tua tersebut dapat memunculkan dampak buruk kepada anak. Seorang anak yang merasa tidak tahan ketika

(54)

keinginannya tidak didengar dan dituntut untuk selalu mendengarkan perintah orang tua, dapat berpotensi memunculkan sikap perlawanan dari anak. Sebaliknya, jika anak tersebut tidak berani melawan orang tua, maka anak akan menjadi seorang yang penakut dan minder. Titin Indrawati (1985: 98) menjelaskan bahwa dampak sikap otoriter orang tua salah satunya adalah anak dapat berkembang menjadi anak yang canggung dalam pergaulan, selalu tegang, khawatir, bimbang dan bahkan menjadi labil. Kondisi anak-anak yang demikian adalah kondisi anak yang mengalami stres.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara sikap otoriter orang tua dengan stres. Sikap orang tua yang otoriter dan kurang mendengarkan keinginan anak dapat memunculkan kondisi stres pada anak, baik stres psikis maupun perilaku anak.

3. Hubungan Intensitas belajar terlalu tinggi dan Sikap otoriter orang tua dengan Stres

Kegiatan belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi dapat merupakan hasil tuntutan gaya belajar yang ditekankan oleh orang tua. Orang tua yang mempunyai tanggung jawab penuh terhadap masa depan anaknya dapat bersikap otoriter terhadap dunia pendidikan anak. Salah satu sikap otoriter yang digunakan oleh orang tua menurut Titin Indrawati (1985: 97) adalah orang tua sering menekan anaknya untuk membaca atau

(55)

mempelajari hal-hal menarik perhatian orang tua. Tujuan dari hal tersebut adalah supaya anak dapat mendapatkan hasil belajar yang memuaskan.

Adanya tekanan dari orang tua untuk terus belajar dan mencapai prestasi yang baik membuat kondisi psikologis anak semakin memburuk. Waktu belajar yang semakin bertambah dan waktu bermain yang semakin berkurang menimbulkan kelelahan dan kejenuhan pada diri anak. Lusia Kus Anna (2013) mengemukakan bahwa anak yang kurang bermain tumbuh menjadi anak yang kaku, tertekan, dan stres. Di samping kebutuhan belajar, anak juga mempunyai kebutuhan lain seperti bermain supaya anak tidak mengalami stres. Selanjutnya, Titin Indrawati (1985: 98) menjelaskan tentang dampak-dampak yang muncul akibat sikap otoriter orang tua terhadap pendidikan anak antara lain: 1) anak belum tentu merasa bahagia sebab arah dan tujuannya tidak merupakan pilihannya sendiri; 2) anak yang kurang mampu merealisasikan keinginan orang tuanya menjadi merasa tertekan; 3) anak dapat berkembang menjadi anak yang canggung dalam pergaulan, selalu tegang, khawatir, bimbang dan bahkan menjadi labil.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres. Kegiatan belajar dengan intensitas yang terlalu tinggi ditambah dengan sikap orang tua yang otoriter berpeluang tinggi memicu kondisi stres pada anak. Kondisi

(56)

fisik yang kelelahan dan suasana psikis yang kurang baik menjadi faktor utama pemicu stres pada anak.

C. Perumusan Hipotesis

1. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dengan stres.

2. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara sikap otoriter orang tua dengan stres.

3. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres.

D. Definisi Operasional Variabel

Beberapa konsep yang perlu peneliti berikan definisi operasional adalah:

1. Intensitas belajar terlalu tinggi adalah kegiatan belajar yang dilakukan dengan motivasi yang berlebihan, dalam jangka waktu lebih dari 8 jam dan frekuensi lebih dari 3 kali sehari.

2. Sikap otoriter orang tua adalah tindakan menuntut, menekan dan mengatur anak untuk melakukan hal-hal yang diinginkan orang tua tanpa memperhatikan keinginan anak.

3. Stres adalah kondisi tidak enak badan, cepat marah, reaksi berlebihan terhadap hal-hal yang sepele, dan suka menyendiri akibat menghadapi permasalahan tertentu.

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2008: 11) mengemukakan bahwa penelitian kuantitatif dalam melihat hubungan variabel terhadap obyek yang diteliti lebih bersifat sebab dan akibat, sehingga dalam penelitiannya ada variabel independen dan dependen. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional.Penelitian korelasional digunakan untuk mencari hubungan dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2014: 224). Penelitian dilakukan denganmeneliti populasi atau sampel tertentu, mengumpulkan data, menggunakan instrumen, menganalisis data untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Metode yang digunakan adalah metode survey. Metode survey digunakan untuk mendapatkan data dari tempat tertentu yang alamiah (bukan buatan), tetapi peneliti melakukan perlakuan dalam pengumpulan data (Sugiyono, 2008:6). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendeskripsikan hubungan antara variabel intensitas belajar terlalu tinggi dan sikap otoriter orang tua dengan stres menggunakan data yang diambil dan diperoleh dari responden dalam bentuk angka-angka.

B. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini ada dua, yaitu

(58)

orang tua yang dilambangkan dengan X2,sedangkan variabel terikatnya adalah

stres yang dilambangkan dengan Y.

C. Hubungan antar Variabel

Hubungan antara variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Hubungan antar Variabel Keterangan:

X1: variabel intensitas belajar terlalu tinggi

X2: variabel sikap otoriter orang tua

Y : stres

H : hipotesis yang diajukan

D. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di gugus III Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta yang terdiri dari SD N Serayu, SD N Baciro, SD Muhammadiyah Gendeng, SD Kanisius Baciro, SD Kanisius Gayam, dan SD Juara. X1 X2 Y H1 H2 H3

(59)

Tabel 1. Daftar Nama dan Alamat Tempat Penelitian

No. Nama Sekolah Alamat Sekolah

1. SD N Serayu Jl.Juadi No.2Kotabaru

Kec.Gondokusuman Yogyakarta

2. SD N Baciro Jl.Mawar 17 A Baciro

Gondokusuman Yogyakarta 3. SD Muhammadiyah Gendeng Jl.Melati Wetan Gk V/374

Yogyakarta

4. SD Kanisius Baciro Jl.Melati Wetan No. 53 Yogyakarta 5. SD Kanisius Gayam 1 Jl.Ki Mangunsarkono 80

Kec.Gondokusuman Yogyakarta

6. SD Juara Jl Gayam No 9, Gondokusuman,

Yogyakarta

Sumber data : UPT Pengelola TK/SD Wilayah Utara Yogyakarta

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2015.

E. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Sugiyono (2008:80) mengemukakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakterisitik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek atau subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subyek atau obyek itu. Populasi dalam

(60)

penelitian ini adalah siswa kelas V SD se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 284 siswa.

2. Sampel

Sugiyono (2008: 81) menyatakan bahwa sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). Berikut ini adalah uraian teknik pengambilan sampel dan ukuran sampel.

a. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik

Proportional Random Sampling. Teknik ini menghendaki cara

pengambilan sampel dari tiap sub populasi dengan memperhitungkan besar kecilnya sub-sub populasi tersebut secara acak (Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2007: 115).

b. Ukuran Sampel

Berdasarkan observasi, penelitian ini memiliki populasi sebesar 284 siswa kelas V dari sekolah dasar negeri se-gugus III Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan melihat tabel penentuan jumlah sampel dari populasi

Gambar

Gambar 1. Hubungan antar Variabel Keterangan:
Tabel 1. Daftar Nama dan Alamat Tempat Penelitian
Tabel 2. Daftar Jumlah Populasi dan Sampel Siswa
Tabel 3. Kisi-Kisi Instrumen Yang Diperlukan untuk Mengukur Variabel Intensitas Belajar Terlalu Tinggi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada orbit prograde pergerakan satelit dalam orbitnya searah dengan rotasi Bumi.. Arah rotasi  bumi kalau dilihat dari atas kutub utara adalah berlawanan arah

Hasil yang diperoleh adalah besarnya kontribusi atau pengaruh penerapan sistem administrasi perpajakan modern yang terdiri dari sub variabel struktur

Atas isu tersebut penulis meresponnya secara arsitektural dengan menghadirkan “Ruang Antara: Sarana Edukasi Pola Asuh Orang Tua terhadap Anak”, sehingga mewadahi kebutuhan

Setelah itu dilakukan lagi smearing untuk proses akhir pencarian lokasi plat kendaraan dengan cara mencari lokasi hitam dari plat nomor hasil penggabungan

Menjelaskan ikatan-ikatan kimia yang terlibat pada interaksi obat reseptor (ikatan kovalen, hidrogen, ion, dipol, van der Waals, dan hidrofob) dan peran ikatan

Banyaknya diagram sekuence yang harus digambar adalah sebanyak pendefenisian use case yang memiliki proses sendiri atau yang penting semua use case yang telah

Hasil penelitian variasi genetik masyarakat Bali Mula di Desa Sembiran dengan penanda DNA mikrosatelit menunjukkan bahwa lokus yang baik digunakan dalam analisis DNA

Factors that influence students' perceptions about a motorcycle gang in junior secondary school (MTs) Al-Muttaqin the absence of information about the motorcycle