• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Sikap Responden Tentang Obat Racikan

Kuesioner sikap responden tentang obat racikan merupakan kuisioner bagian ketiga yang diberikan kepada responden yang terdiri dari 9 pertanyaan dan sudah dijawab responden. Pada Tabel IV berisi data distribusi jawaban kuesioner mengenai sikap responden.

Tabel IV.Distribusi Jawaban Kuisioner Sikap Responden dengan N=30

No. Soal Sikap

Jumlah Responden yang menyatakan sifat positif Persentase (%) Soal No. 1 : Menurut saya obat racikan bermanfaat 29 96,7 Soal No. 2 : Menurut saya obat racikan dibutuhkan 28 93,3 Soal No. 3 : Menurut saya obat racikan praktis

untuk digunakan 30 100

Soal No. 4 : Saya selalu sembuh jika menggunakan

obat racikan 22 73,3

Soal No. 5 : Menurut saya menebus obat racikan

harus menunggu dengan waktu yang relatif lama 9 30,0

Soal No. 6 : Saya biasanya menunggu lebih dari 30

menit untuk satu resep obat racikan 5 16,7

Soal No. 7 : Saya tidak melihat proses pembuatan

obat racikan secara langsung 5 16,7

Soal No. 8 : Menurut saya puyer yang saya simpan

mudah rusak 16 53,3

Soal No. 9 : Saya tidak pernah mendapatkan informasi terkait komposisi maupun jumlah bahan obat yang tertulis dalam kemasan obat racikan

9 30,0

Setiap pertanyaan tersebut memiliki makna masing-masing yang akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Soal nomor satu : Menurut saya obat racikan bermanfaat

Pertanyaan pertama berisi tentang manfaat obat racikan bagi responden, dimana sebagian besar responden menyatakan bahwa obat racikan bermanfaat bagi mereka. Hal tersebut sesuai dengan diperolehnya 96,7% responden yang memberikan sikap positif. Tingginya sikap positif ini kemungkinan karena obat racikan dapat dikemas dalam berbagai bentuk. Bentuk yang ditemui oleh responden misalnya puyer, kapsul, dry sirup dapat memudahkan pasien yang sukar menelan tablet dan kapsul. Alasan lain untuk tingginya sikap positif ini adalah lebih praktis untuk mengkonsumsi obat racikan karena tidak perlu minum beberapa obat secara bergantian, tetapi sudah dicampur menjadi satu. Tetapi masih terdapat 3,3% responden lainnya yang memberikan sikap negatif.

Manfaat obat racikan yang dimaksud oleh responden disini lebih kearah praktis seperti yang disampaikan oleh responden berinisial NU :

kan kalau misalnya resep racikan itu kan ada 3 obat dicampur jadi satu trus dikapsul atau dipuyer gitu ya. Itu lebih praktis daripada harus minum obat satu tablet jeda beberapa menit minum satu tablet lagi. Iya,lebih praktis dan lebih enak kasih minum anaknya”.

2. Soal nomor dua : Menurut saya obat racikan dibutuhkan

Pertanyaan kedua tersebut berisi tentang kebutuhan obat racikan dimana sebagian besar responden menyatakan bahwa obat racikan masih sangat dibutuhkan oleh pasien. Dari 30 responden yang diteliti dalam penelitian ini diperoleh 93,3% responden memberikan sikap yang positif. Tetapi masih terdapat 6,7% responden lainnya yang memberikan sikap negatif.

Obat racikan memang sangat dibutuhkan oleh pasien, misalnya seperti puyer yang digunakan untuk anak-anak akan memiliki dosis yang dapat disesuaikan dengan umur dan berat badan bayi atau anak-anak sehingga dosisnya lebih tepat, berbeda dengan obat-obat yang berasal dari pabrik biasanya hanya didasarkan pada kategori umur saja. Sementara umur seseorang yang sama belum tentu memiliki karateristik yang sama seperti berat badan seseorang. Begitu juga bagi orang dewasa. Seperti sekarang ini, pengobatan mulai bergeser kearah individual, jadi tidak dapat meyamaratakan antara individu satu dengan individu lainnya.

Hasil yang didapatkan ternyata bertentangan dengan pernyataan Jimmy (2009) yang mengatakan bahwa pasien menolak untuk diberikan obat bentuk serbuk karena beberapa isu miring yang beredar akhir-akhir ini.

3. Soal nomor tiga : Menurut saya obat racikan praktis untuk digunakan

Pertanyaan tersebut berisi tentang kepraktisan obat racikan dimana seluruh responden menyatakan bahwa obat racikan sangat praktis bagi pasien. Hasil penelitian menemukan bahwa seluruh responden 100% telah memberikan sikap positif bahwa obat racikan lebih praktis digunakan dibandingkan harus menggunakan obat dalam beberapa tablet atau kapsul.

Menurut Wiedyaningsih (2013) dalam disertasinya berjudul “Faktor

Pendorong Peresepan Racikan Untuk Pasien Anak Rawat Jalan”

mengemukakan, pemberian resep racikan oleh dokter juga didorong oleh faktor yang berhubungan dengan pasien. Dokter meresepkan racikan karena

permintaan dari keluarga pasien demi kemudahan dalam meminum obat pada orang-orang yang sukar menelan tablet dan kapsul. Yang dimaksud dengan praktis dalam penelitian ini adalah hanya sekali minum obat. Praktis disini berarti tidak perlu minum 2 atau 3 kali seperti minum tablet atau kapsul. Kepraktisan inilah yang akan membantu orang tua untuk lebih mudah memberikan obat kepada anak-anak. Keunggulan lainnya dengan bentuk puyer adalah dapat diberi tambahan rasa yang disukai anak-anak.

4. Soal nomor empat : Saya selalu sembuh jika menggunakan obat racikan

Pertanyaan tersebut berisi tentang tingkat kesembuhan responden pada saat menggunakan obat racikan dimana sebagian besar responden menyatakan bahwa pasien selalu sembuh jika menggunakan obat racikan. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan pasien akan obat racikan. Dari 30 responden yang diteliti dalam penelitian ini diperoleh 73,3% responden memberikan sikap yang positif. Tetapi masih terdapat 26,7% responden lainnya yang memberikan sikap negatif.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Soedibyo (2009) yang menyebutkan :

bahkan sebagian berasumsi obat puyer lebih manjur dan lebih tepat untuk anak. Hal ini tidak terlepas dari peran dokter yang terbiasa memberikan obat

puyer, dan keyakinan masyarakat bahwa setiap dokter punya obat racikan tersendiri yang merupakan campuran dari beberapa obat dengan dosis

tertentu”.

Wiedyaningsih (2013) menemukan bahwa hasil penelitian terhadap 22 dokter yang tersebar di lima kabupaten atau kota di DIY diketahui bahwa

pertimbangan dokter untuk meresepkan obat racikan salah satunya dikarenakan faktor terapi. Keyakinan bahwa meresepkan racikan bermanfaat untuk menyesuaikan pengobatan dengan kondisi klinis pasien merupakan faktor paling berpengaruh. Keputusan meresepkan obat racikan juga digunakan sebagai solusi apabila pengobatan sebelumnya tidak menunjukkan kesembuhan pasien,

Banyak dokter yang meresepkan racikan karena keterbatasan bentuk sediaan obat untuk anak di institusinya. Misalnya saja puskesmas hanya menyediakan

obat sediaan generik bentuk obat tunggal dalam sediaan tablet, sementara yang berbentuk sirup sangat terbatas”.

5. Soal nomor lima : Menurut saya menebus obat racikan harus menunggu dengan waktu yang relatif lama; dan enam : Saya biasanya menunggu lebih dari 30 menit untuk satu resep obat racikan

Pertanyaan ke lima dan enam berisi tentang waktu yang dibutuhkan untuk menebus obat racikan dimana sebagian besar responden menyatakan bahwa pasien harus menunggu dengan waktu yang cukup lama untuk menebus obat racikan. Dari 30 responden yang diteliti dalam penelitian ini diperoleh 70% responden menyatakan benar bahwa untuk menebus obat racikan membutuhkan waktu yang cukup lama dan hanya 30% responden lainnya yang menyatakan tidak. Untuk pertanyaan ke enam, yang menyatakan bahwa responden biasanya menunggu lebih dari 30 menit untuk satu resep obat racikan, sebagian besar menyatakan “ya” yaitu sebanyak 83,3% dan 16,7% menyatakan “tidak”.

Waktu untuk menebus obat racikan yang relatif lama ini disebabkan karena pembuatan obat racikan memang memakan waktu untuk menyiapkan bahan obat, penimbangan, peracikan dan pengemasan, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Standar pelayanan minimal rumah sakit berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 untuk

pelayanan obat jadi adalah ≤ 30 menit dan untuk resep racikan adalah ≤ 60

menit. Hayaza (2013) dalam analisis kepuasan pasien menyebutkan bahwa pelayanan di Puskesman Surabaya Utara untuk non racikan <20 menit dan racikan <40 menit. Pada dasarnya pelayanan Instalasi Farmasi sudah sesuai dengan standart pelayanan yang seharusnya, seperti yang disampaikan oleh responden AN :

iya mbak, kalau dapat obat racikan itu lama, sekitar 30-45 menitan lah mbak. Ya sekitar segitu mbak. Soalnya anu mbak itu kan ya lama karna

antrinya juga banyak kan, ya tergantung antrian mbak”.

Seperti yang sudah disampaikan oleh responden AN yang menebus obat di instalasi farmasi rumah sakit biasanya harus menunggu antrian yang panjang sehingga menambah persepsi sikap negatif mereka tentang lamanya menebus obat racikan.

6. Soal nomor tujuh : Saya tidak melihat proses pembuatan obat racikan secara langsung

Pertanyaan ketujuh berisi tentang melihat proses pembuatan obat racikan secara langsung, dimana sebagian besar responden menyatakan bahwa tidak melihat proses pembuatan obat racikan tersebut secara langsung. Dari 30

responden yang diteliti dalam penelitian ini diperoleh 83,3% responden menyatakan tidak melihat proses pembuatan obat racikan secara langsung dan hanya 16,7% responden lainnya yang menyatakan melihat proses pembuatannya secara langsung.

Peracikan obat di instalasi farmasi rumah sakit atau apotek selama ini hanya dilakukan di ruang yang tertutup yang tentunya tidak dapat dilihat langsung oleh konsumen. Selama ini, belum pernah ditemui instalasi farmasi yang memperlihatkan proses peracikan obat kepada pasien secara langsung. Hal ini dimunculkan sebagai pertanyaan untuk mengetahui apakah sebenarnya pasien ingin melihat secara langsung proses peracikan obat mereka. Jika ternyata hasil penelitian menunjukkan sebagian besar pasien ingin melihat proses pembuatan secara langsung, maka nantinya hal ini dapat menjadi dasar bagi pelayanan kefarmasian untuk memperlihatkan proses pembuatan obat racikan secara langsung.

Jika pasien dapat melihat secara langsung proses pembuatan obat ini, maka pasien dapat memastikan kebersihan dan higienitas obat yang dibuat oleh apoteker maupun asisten apoteker tersebut. Keuntungan lain apabila pasien dapat melihat secara langsung proses peracikan ini maka dapat membantu menghilangkan rasa bosan pasien dalam menunggu pelayanan obat racikan. Dengan melihat proses yang higienis ini maka kepercayaan pasien terhadap apoteker akan bertambah, oleh karena itu apoteker juga harus memperhatikan apapun yang dilakukannya dalam proses peracikannya. Kepercayan pasien terhadap apoteker masih perlu ditingkatkan mengingat

masih banyak masyarakat yang belum mengenal adanya profesi apoteker dalam dunia kesehatan seperti yang diungkapkan oleh Sari (2014).

7. Soal nomor delapan : Menurut saya puyer yang saya simpan mudah rusak Pertanyaan kedelapan berisi tentang puyer yang disimpan apakah mudah rusak atau tidak. Sebagian besar responden 53,3% menyatakan bahwa puyer yang disimpan tidak mudah rusak, sedangkan sisanya sebanyak 46,7% menyatakan mudah rusak.

Salah satu kelemahan dari obat racikan terutama puyer adalah obat ini pengemasannya yang menggunakan kertas perkamen khusus namun tidak tahan terhadap air sehingga mudah rusak. Pembungkus obat merupakan salah

satu bentuk “Guarantee” dalam pelayanan dan pemberian obat kepada pasien. Safety Consulting Incorporation (SCI, 2013) mencetuskan sebuah ide pembuatan sebuah sistem pembungkus obat sekali minum, dengan beberapa keunggulan seperti :

1. jenis-jenis obat yang akan dikonsumsi pasien sudah dimasukkan dalam 1 kemasan sekali minum.

2. Bahan baku khusus untuk obat dan transparan yang mempermudah kontrol petugas farmasi dan pasien karena jenis obat dapat dilihat langsung oleh pihak farmasi dan pasien.

3. Adanya label (nama instansi, nama pasien, alamat instansi, etiket penggunaan, apoteker dan komposisi obat) pada pembungkus obat.

4. Mempermudah pihak farmasi dalam memberikan pelayanan obat kepada pasien.

5. Penyeragaman dalam mengemas obat.

6. Adanya seal yang merupakan “Guarantee” dari instansi pembuatnya.

7. Bahan dilapisi plastik sehingga tidak mudah rusak karena terkena percikan air.

Kelebihan pembungkus obat sekali minum dapat menjadi “Guarantee

kebenaran obat yang diberikan kepada pasien dari instansi pembuatnya. Kemasan sekali minum ini dapat menjadi Guarantee karena memiliki seal

atau segel sebagai penjamin bahwa obat ini baru dan asli, sehingga memberikan kesan profesional dari segi kemasannya. Pembungkus obat sekali minum yang dikemas secara modern, dapat mempermudah dan mempercepat pihak farmasi dalam menyiapkan obat sehingga tenaga farmasi dapat lebih dikonsentrasikan untuk pengetahuan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), namun pengemasan obat dalam bentuk racikan ini harus mengalami perbaikan terus menerus.

8. Soal nomor sembilan : Saya tidak pernah mendapatkan informasi terkait komposisi maupun jumlah bahan obat yang tertulis dalam kemasan obat racikan

Pertanyaan kesembilan berisi tentang informasi dan komposisi obat yang diperoleh responden, dimana sebagian besar responden menyatakan tidak mendapatkan informasi terkait komposisi maupun jumlah bahan obat

yang tertulis dalam kemasan obat racikan. Dari 30 responden, 70% responden menyatakan tidak mendapatkan informasi komposisi dan jumlah bahan dari kemasan dan hanya 30% responden yang menyatakan mendapat informasi komposisi dan jumlah bahan dari kemasan obat tesebut.

Responden tidak mendapat informasi secara spesifik dan detail pada kemasan obat. Sebagian kecil responden sudah mengetahui fungsi obat yang diberikan kepada mereka seperti sebagai penurunan panas, menghilangkan gejala flu, batuk dan lain sebagainya. Informasi yang diperoleh mengenai fungsi obat ini karena responden sudah mendapat obat tersebut secara berulang, bukan karena mendapatkan informasi dari kemasan obatnya.

Hal ini menjadi koreksi bagi apoteker kedepan untuk semakin meningkatkan atau memperbaiki kemasan obat racikan agar pasien semakin paham dengan pengobatan yang didapat, selain dari kemasan seorang apoteker juga harus meningkatkan komunikasi dan informasi melalui konseling personal yang dilakukan kepada pasien.

Pada Gambar 6 terdapat diagram distribusi sikap yang kemudian dikategorikan kedalam 3 kategori yang sesuai dengan kriteria dari setiap kategori tersebut. Kategori tersebut, yaitu sebagai berikut (Khomsan, 2000) :

1. Kategori positif, memiliki kriteria persentase nilai sebesar > 80% 2. Kategori sedang, memiliki kriteria persentase nilai sebesar 60-80% 3. Kategori negatif, memiliki kriteria persentase nilai sebesar < 60%

Hasil dari penelitian ini diperoleh 56% responden tergolong dalam kategori negatif. Berarti 56% responden memiliki sikap negatif tentang obat

racikan dengan diwakili 9 pertanyaan diatas. Kategori positif tentang sikap responden pada resep racikan sebesar 34% dan 10% responden termasuk dalam sikap yang sedang atau netral.

Gambar 2. Distirbusi Sikap Responden dengan N=30

Sikap responden tertinggi terdapat pada pertanyan nomor tiga yaitu obat racikan merupakan obat yang praktis untuk digunakan, tingkat sikap terendah terdapat pada nomor enam tentang lama waktu menunggu untuk mendapatkan obat racikan lebih dari 30 menit untuk satu resep obat racikan dan nomor tujuh yaitu responden tidak melihat proses peracikan obat secara langsung.

Hal yang menyebabkan sikap negatif responden terhadap obat racikan adalah karena waktu tunggu yang cukup lama untuk menebus obat dan tidak dapat melihat proses peracikan obat secara langsung. Selain itu minimnya informasi yang diberikan kepada responden terkait obat yang diserahkan juga menjadi faktor

34% 10% 56% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

penyebab rendahnya angka sikap ini. Hasil ini didukung dengan hasil wawancara, kepada responden dengan inisial AG yang menyatakan bahwa dibutuhkan waktu dua hari untuk menebus obat padahal obat ini segera butuhkan pasien untuk mengobati sakit punggung. Selain itu dokter langsung menuliskan resepnya tanpa memberikan informasi mengenai obat yang diberikan. AG juga menyampaikan bahwa harga obat racikan lebih murah, lalu lebih praktis penggunaanya karena diberikan dalam bentuk racikan, hanya saja harus menunggu sekitar 2 hari karena apotek kehabisan stok.

Hal yang sama juga dirasakan oleh responden berinisial AM yang menyatakan bahwa beliau mendapatkan resep racikan dalam bentuk puyer untuk anaknya yang sakit pilek, tetapi tidak tahu nama obatnya apa karena tidak ada informasi yang disampaikan tentang kandungan obat tersebut. Bapak AM menyatakan bahwa obat racikan merupakan obat yang lebih praktis tetapi harus menunggu sekitar satu jam untuk pelayanannya.

Berbeda dengan responden berinisial PR yang mendapatkan resep racikan dalam bentuk cream untuk mengobati luka akibat jatuh, membutuhkan waktu tunggu antara 15 – 20 menit, dan dia tidak mengetahui isi atau kandungan obat racikan tersebut karena memang tidak disampaikan oleh dokter maupun farmasis atau petugas farmasi. Sementara hasil wawancara dengan Ibu LA yang mendapatkan obat racikan dalam bentuk puyer untuk pengobatan sakit jantung karena nadinya yang dirasa terlalu cepat dibutuhkan waktu sekitar 30 menit sampai dengan 1 jam, dan beliau menyampaikan bahwa obat racikan ini lebih praktis namun tidak tahu apa isi kandungan obat racikan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka sikap responden terhadap obat racikan tidak sepenuhnya dinilai positif, karena menurut sebagian besar responden masih banyak kekurangan-kekurangan dalam pelayanan obat racikan ini, terutama mengenai waktu penebusan obat yang membutuhkan waktu cukup lama.

Dokumen terkait