• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Sikap

Telah banyak definisi sikap yang telah dikemukakan oleh

di antara tiga kerangka pemikiran (Saifuddin Azwar,1988:3). Pertama

adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi

seperti Louis Thurstone (beliau ini perintis di bidang pengukuran

sikap) dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap objek adalah

perasaan mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak

mendukung objek tersebut (Berkowitz).

Ahli lain seperti Gordon Allport (beliau terkenal di bidang

psikologi sosial dan psikologi kepribadian), mempunyai konsepsi

tentang sikap yang lebih kompleks. Menurut Allport, sikap merupakan

semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap sesuatu objek dengan

cara-cara tertentu. Pengertian ini mengandung kecenderungan potensial

untuk bereaksi apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang

menghendaki adanya respon.

Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang

berorientasi kepada teori kognitif. Menurut kelompok ini, suatu sikap

merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif, yang

berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap

suatu objek.

Pembentukan sikap seringkali tidak disadari oleh orang

yang bersangkutan, akan tetapi sikap bersifat dinamis dan terbuka

terhadap kemungkinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang

ditampakkan dalam bentuk pernyataan perilaku, baik perilaku lisan

maupun perilaku perbuatan. Kondisi lingkungan dan situasi di suatu

saat dan di suatu tempat tidak disangsikan lagi pengaruhnya terhadap

pernyataan sikap seseorang sehingga apa yang dinyatakan seseorang

sebagai sikapnya secara terbuka tidak selalu sesuai dengan sikap

hatinya yang sesungguhnya.

Sikap dikatakan sebagai respon. Respon hanya akan timbul

apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki

timbulnya reaksi individu. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk

respon yang dinyatakan sebagai sikap itu disadari oleh proses evaluasi

dalam diri individu, yang memberi kesimpulan nilai terhadap stimulus

dalam bentuk baik atau buruk-positif atau negative-menyenangkan

atau tidak menyenangkan-suka atau tidak suka, yang kemudian

mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.

Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia adalah sifat

diferensialnya. Artinya suatu stimulus yang sama belum tentu akan

menimbulkan bentuk reaksi yang sama dari individu. Sebaliknya, suatu

reaksi yang sama juga belum tentu timbul akibat adanya stimulus yang

serupa. Karena itulah, kemudian disadari bahwa perilaku manusia

tidak dapat diprediksi atau diramalkan dengan kepastian yang tinggi.

Selalu ada bagian perilaku yang tak dapat diperkirakan terjadinya.

Faktor yang menentukan bentuk respon individu terhadap

stimulus itu sendiri, latar belakang pengalaman idividu, motivasi, dan

sebagainya, adalah sikap individu ikut memegang peranan penting

dalam menentukan bagaimanakah reaksi seseorang terhadap

lingkungan. Pada gilirannya, lingkunganm secara timbal balik akan

mempengaruhi perilaku. Interaksi antara situasi lingkungan dengan

sikap. Dengan berbagai faktor di dalam maupun di luar diri individu

akan membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan

bentuk perilaku yang ditampakkan oleh seseorang.

2. Karakteristik Sikap

Sax (dalam Saifuddin Azwar,1988:9) menunjukkan

beberapa karakteristik sikap yang meliputi arah, intensitas, keluasan,

konsistensi, dan spontanitasnya. Suatu sikap mempunyai arah, artinya

sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau tidak

menyetujui, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah

memihak atau tidak memihak terhadap suatu objek sikap. Sesseorang

yang mempunyai sikap mendukung terhadap suatu objek sikap berarti

mempunyai sikap yang berarah positif terhadap objek tersebut dan

sebaliknya.

Karakteristik yang kedua adalah intensitas. Intensitas atau

kekuatan sikap pada setiap orang belum tentu sama. Dua orang yang

sama-sama mempunyai sikap positif terhadap sesuatu, mungkin tidak

yang yang lain bersikap lebih positif lagi daripada yang pertama dan

sebaliknya.

Karakteristik yang ketiga adalah keluasan sikap. Pengertian

keluasan sikap menunjuk kepada luas tidaknya cakupan aspek objek

sikap yang disetujui atau tidak disetujui oleh seseorang. Seseorang

dapat mempunyai sikap favorable (mendukung) terhadap objek sikap

secara menyeluruh, yaitu terhadap semua aspek yang ada pada objek

sikap.

Karakteristik yang keempat adalah konsistensi sikap.

Konsistensi sikap ditunjukkan oleh kesesuaian antara pernyataan sikap

yang dikemukakan oleh subyek dengan responnya terhadap obyek

sikap. Konsistensi sikap juga ditunjukkan oleh tidak adanya

kebimbangan dalam bersikap.

Karakteristik yang kelima adalah spontanitasnya, yaitu

sejauh mana kesiapan subyek untuk menyatakan sikapnya secara

spontan. Suatu sikap dikatakan mempunyai spontanitas yang tinggi

apabila sikap dinyatakan tanpa perlu mengadakan pengungkapan atau

desakan agar subyek menyatakan sikapnya. Hal ini tampak dengan

penanyaan saja atau dengan pengamatan terhadap indikator sikap

3. Struktur Sikap

Dilihat dari strukturnya,sikap terdiri atas tiga komponen

yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif (cognitive),

komponen afektif (affective), dan komponen konatif (conative)

(Saifuddin Azwar,1988:17). Komponen kognitif berupa apa yang akan

dipercayai oleh subyek pemilik sikap, komponen afektif merupakan

komponen perasaan yang menyangkut aspek emosional dan komponen

konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai

dengan sikap yang dimiliki oleh subyek. Berikut ini penjelasan dari

ketiga komponen tersebut di atas.

a. Komponen kognitif

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, komponen

kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai obyek sikap.

Mengapa orang percaya atau mempunyai kepercayaan?

Kepercayaan datang dari apa yang telah kita lihat atau apa yang

telah kita ketahui. Berdasarkan apa yang telah kita lihat itu

kemudian terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau

karakteristik umum suatu obyek. Karena itulah kita percaya,

misalnya bahwa burung dapat bertelur. Sekali kepercayaan itu

telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan

seseorang mengenai apa yang diharapkan dan apa yang tidak

Kepercayaan dapat terus berkembang. Pengalaman

pribadi, apa yang diceritakan orang lain, dan kebutuhan emosional

kita sendiri merupakan determinan utama dalam terbentuknya

kepercayaan. Apabila ada suatu stereotipe yang mengatakan bahwa

orang Cina mata duitan, maka pengalaman pribadi yang

digeneralisir ini lalu membentuk stereotipe. Apabila stereotipe ini

sudah berakar sejak lama, maka orang kemudian akan mempunyai

sikap yang lebih didasarkan pada predikat yang dilekatkan oleh

pola stereotipenya dan bukan didasarkan pada obyek tertentu.

Sikap yang didasarkan pola stereotipe semacam ini biasanya sangat

sulit untuk menerima perubahan.

Tentu saja kepercayaan sebagai komponen kognitif

tidak selalu akurat. Kadang-kadang kepercayaan itu terbentuk

justru dikarenakan tidak adanya informasi yang tepat mengenai

obyek yang dihadapi.

b. Komponen afektif

Komponen afektif manyangkut masalah emosional

subyektif seseorang terhadap sesuatu obyek sikap. Secara umum,

komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiiki terhadap

sesuatu. Namun, pengertian perasaan pribadi seringkali sangat

Reaksi emosional yang merupakan komponen afektif

ini banyak ditentukan oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai

sebagai benar bagi obyek termaksud.

c. Komponen konatif

Komponen perilaku atau komponen konatif dalam sikap

menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku

yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek yang

dihadapinya. Asumsi dasar adalah bahwa kepercayaan dan

perasaan mempengaruhi perilaku. Maksudnya, bagaimana orang

akan berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus

tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan

perasaannya terhadap stimulus tersebut. Kecenderungan

berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan

perasaan ini membentuk sikap individual. Karena itu, adalah logis

untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang akan dicerminkan

dalam bentuk perilaku terhadap obyek.

4. Pembentukan Sikap

Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang

dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada

sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai

anggota kelompok sosial. Dalam interaksi social, terjadi hubungan

saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain,

masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut,

interaksi sosial itu meliputi hubungan antara individu dengan

lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya.

Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk

pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang

dihadapinya. Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi

pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang

lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga

pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.

5. Ciri-ciri Attitude (Gerungan,1987:151)

a. Attitude bukan dibawa orang sejak ia dilahirkan, melainkan

dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu

dalam hubungan dengan obyeknya.

b. Attitude itu dapat berubah-ubah, karena itu attitude dapat dipelajari

orang atau sebaliknya, attitude-attitude itu dapat dipelajari, karena

itu attitude-attitude dapat berubah pada orang-orang bila terdapat

keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah

berubahnya attitude pada orang itu.

c. Attitude tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi

tertentu terhadap suatu obyek.

d. Obyek attitude dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga

merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

6. Metode-metode Attitude

Untuk dapat memahami attitude-attitude itu terdapat

beberapa metode yang dapat digolongkan ke dalam metode-metode

langsung dan metode-metode tidak langsung, dan metode yang

memakai tes tersusun atau tes tak tersusun. Pengertian dari

metode-metode tersebut adalah (Gerungan,1987:154):

a. Metode langsung adalah metode yang di mana orang itu secara

langsung diminta pendapat atau anggapan mengenai obyek

tertentu. Metode ini mudah pelaksanaannya, tetapi hasil-hasilnya

kurang dapat dipercaya daripada metode tak langsung.

b. Pada metode tak langsung, orang diminta supaya menyatakan

dirinya mengenai obyek attitude yang diselidiki, tetapi secara tidak

langsung. Cara ini lebih sulit dilaksanakan, tetapi lebih mendalam.

c. Tes tersusun misalnya skala attitude yang dikonstruksikan terlebih

dahulu menurut prisip-prinsip tertentu seperti yang dilakukan

dengan metode Thurstone, Likert, atau Guttman.

Dokumen terkait