B. Kompetensi dan Indikator Pencapaian Kompetensi
8. Simbol pada Motif Batik
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa amba yang berarti menulis dan titik . Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam wax yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna dye , atau dalam Bahasa )nggrisnya wax‐resist dyeing .
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya )ndonesia khususnya Jawa sejak lama. Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui praktek‐praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu sumber utama penciptaan corak‐corak batik tersebut selain pengabdian sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa di dunia.
Motif kain adat dapat dilihat sebagai salah satu sarana komunikasi tradisional yang memuat lambang‐lambang atau simbol‐simbol budaya tertentu. Simbol‐simbol adat sesungguhnya dapat berlaku sebagai pranata karena dengan makna dibalik simbol itu, setiap penerima simbol akan menyadari sesuatu yang harus dan tidak harus dijalankannya. Sehingga motif batik tradisional merupakan pesan nonverbal.
Gambar . Bledak Sidoluhur Latar Putih
Kegunaan : upacara mitoni upacara Masa Bulan bagi Pengantin Putri saat hamil pertama kali . Filosofi : yang menggunakan selalu dalam keadaan
gembira
Gambar . Cakar Ayam
Kegunaan : Upacara Mitoni, Untuk Orang Tua Pengantin pada saat Upacara Tarub, siraman.
Gambar . Grageh Waluh Kegunaan : (arian bebas
Filosofi : Orang yang memakai akan selalu mempunyai cita‐cita atau tujuan tentang sesuatu.
Gambar . Grompol
Kegunaan : Dipakai oleh )bu mempelai puteri pada saat siraman
Filosofi : Grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik‐baik,
DRAFT
Gambar . (arjuno Manah
Kegunaan : Upacara Pisowanan/Menghadap Raja bagi kalangan Kraton
Filosofi : Orang yang memakai apabila mempunyai keinginan akan dapat tercapai.
Gambar . Kawung Picis
Kegunaan : Dikenakan di kalangan kerajaan
Filosofi : Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal‐usulnya, juga melambangkan empat penjuru pemimpin harus dapat berperan sebagai pengendali kearah perbuatan baik . Juga melambangkan bahwa hati nurani sebagai pusat pengendali
DRAFT
Gambar . Klitik Kegunaan : Busana Daerah
Filosofi : Orang yang memakai menunjukkan kewibawaan.
Gambar . Lerek Parang Centung
Kegunaan : Mitoni, dipakai pesta
Filosofi : Parang centung = wis ceta macak, kalau dipakai kelihatan cantik macak .
Gambar . Lung Kangkung Kegunaan : Pakaian harian
Filosofi : Lung Pulung , aslinya dengan memakai kain tersebut akan mendatangkan pulung rezeki
Gambar . Nitik Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai adalah bijaksana, dapat menilai orang lain.
Gambar . Nogo Gini
Kegunaan : Upacara temanten Jawa Gandeng temanten Filosofi : Apabila memakai kain tersebut kepada
pengantin akan mendapatkan barokah rezeki .
Gambar . Nogosari
Kegunaan : Untuk upacara mitoni
Filosofi : Nogosari nama sejenis pohon, motif batik ini melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
DRAFT
Gambar . Parang Barong
Kegunaan : Dipakai oleh Sultan/Raja.
Filosofi : Bermakna kekuasaan serta kewibawaan seorang Raja.
Gambar . Parang Bligon, Ceplok Nitik Kembang Randu Kegunaan : Menghadiri Pesta
Filosofi : Parang Bligo = bentuk bulat berarti kemantapan hati.
Kembang Randu = melambangkan uang si pemakai memiliki kemantapan dalam hidup dan banyak rejeki.
Gambar . Parang Grompol Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai akan mempunyai rezeki yang banyak.
Gambar . Parang Kusumo Ceplok Mangkoro Kegunaan : Berbusana pria dan wanita Filosofi : Parang Kusumo = Bangsawan
Mangkoro = Mahkota
Pemakai mendapatkan kedudukan, keluhuran dan dijauhkan dari marabahaya.
Gambar . Parang Nitik Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai menjadi luwes dan pantes.
Gambar . Sapit Urang
Kegunaan : Koleksi lingkungan Kraton
Filosofi : Orang yang memakai mempunyai kepribadian yang baik dan hidupnya tidak ceroboh.
Gambar . Sekar Keben
Kegunaan : Pakain harian kalangan abdi dalem Kraton Filosofi : Orang yang memakai akan memiliki
pandangan yang luas dan selalu ingin maju.
Gambar . Sekar Polo
Kegunaan : Dipakai untuk sehari‐harian.
Filosofi : Orang yang memakai akan dapat memberikan dorongan/pengaruh kepada orang lain.
DRAFT
Gambar . Semen Gurdo
Kegunaan : Untuk pesta, busana daerah
Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan berkah dan kelihatan berwibawa.
Gambar . Sido Asih Kegunaan : Bebas
Filosofi : Pemakai akan disenangi Jawa: ditresnani oleh banyak orang.
Gambar . Sido Mukti Luhur
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi : Sido Mukti, berarti gembira, kebahagiaan untuk mengendong bayi sehingga bayi merasakan ketenangan, kegembiraan,dll.
Gambar . Sido Mukti Ukel Lembat Kegunaan : Temanten panggih
Filosofi : Orang yang memakai akan menjadi mukti.
DRAFT
Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan keluarga yang ditingalkan juga diberi kesabaran dalam menerima cobaan kehilangan salah satu keluarganya.
Melambangkan harapan agar selalu diberi petunjuk dan kelancaran dalam menjalankan semua tugas‐tugas yang menjadi tangung jawabnya.
Gambar . Tirta Teja Kegunaan : Berbusana
Filosofi : Tirta = air, teja = cahaya. Si pemakai gandes luwes dan bercahaya.
Gambar . Wahyu Tumurun Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan wahyu anugerah .
Gambar . Wahyu Tumurun Cantel
Kegunaan : Dipakai Pengantin pada waktu panggih
Filosofi : Wahyu berarti anugerah, temurun berarti turun, dengan menggunakan kain ini kedua pengantin mendapatkan anugerah dari yang Maha Kuasa berupa kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta mendapat petunjukNya.
DRAFT
persepsi masyarakat yang disebabkan oleh pola‐pola berpikir yang lebih rasionil, di samping pembuatan batik secara besar‐besaran dengan alat‐alat teknologi modern, serta pengenaan atau penggunaan kain‐kain batik yang bermotif tradisional tidak pada tempatnya, menyebabkan lunturnya makna magis yang terkandung di dalam batik‐batik tradisional itu. (al‐hal demikian ini, ternyata sangat berpengaruh terhadap pemakaian batik tradisional dalam upacara pernikahan adat, sehingga pelaksanaannya dewasa ini lebih merupakan tradisi yang hanya semata‐mata untuk dilaksanakan, tanpa penghayatan batiniah dan tidak lagi memiliki arti yang bersifat sakral.