• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Produksi Perkebunan Kopi Indonesia 1.Gambaran Umum Kopi Indonesia

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Sistem Produksi Perkebunan Kopi Indonesia 1.Gambaran Umum Kopi Indonesia

Kopi lebih banyak dimanfaatkan sebagai minuman penyegar baik di negara-negara eksportir maupun importer kopi di seluruh dunia. Kopi diminum setiap saat, tempat dan pada acara-acara tertentu (seperti coffe break, kendurian

dan bentuk acara lainnya) oleh masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Kondisi ini menjadikan kopi sebagai minuman masyarakat umum. Lebih dari 4 triliun cangkir kopi dikonsumsi setiap tahunnya di seluruh dunia. Bahkan kopi telah menjadi komoditas perdagangan terbesar kedua setelah minyak. Konsumsi kopi di Negara-negara eksportir setiap tahunnya memiliki rata-rata 24.630 ribu karung/bushel (1 karung/bushel setara dengan 60 kg), di Indonesia rata-rata konsumsi kopi tiap tahunnya adalah 2.045 ribu karung dan didominasi oleh kopi robusta. Tingginya tingkat permintaan terhadap produk kopi adalah dasar untuk memilih kopi sebagai produk agroindustri unggulan dan merupakan peluang bisnis yang baik di masa mendatang terutama untuk Indonesia yang memiliki potensi alam yang memadai untuk memproduksi kopi (ICO, 2012).

Tanaman kopi merupakan salah satu genus dari famili Rubiaceae. Genus kopi ini memiliki sekitar 100 spesies, namun dari 100 spesies itu hanya dua jenis yang memiliki nilai ekonomis yaitu Robusta dan Arabika. Jenis kopi yang diusahakan di Indonesia mayoritas adalah kopi robusta dengan produksi rata-rata per tahun adalah 600.000 ton dan jenis kopi arabika memiliki rata-rata produksi per tahun adalah 150.000 ton. Kopi robusta Indonesia memiliki keunggulan terutama karena bodinya kuat dan kopi arabika memiliki keunggulan dalam hal cita rasa. Berikut adalah gambar perbandingan kopi arabika dan kopi robusta.

Gambar 2.1. Perbandingan kopi arabika dan kopi robusta

Arabika (Coffea arabica) diduga pertama kali diklasifikasikan oleh seoran gilmuan Swedia bernama Carl Linnaeus (Carl von Linné) pada tahun 1753. Jenis kopi yang memiliki kandungan kafein sebesar 0.8-1.4% ini awalnya berasal dari Brazil dan Etiopia. Arabika atau Coffea arabicamerupakan spesies kopi pertama yang ditemukan dan dibudidayakan manusia hingga sekarang. Kopi arabika tumbuh di daerah dengan ketinggian 700-1700 mdpl dengan suhu 16-20 °C, beriklim kering tiga bulan secara berturut-turut. Jenis kopi arabika sangat rentan terhadap serangan penyakit karat daun Hemilei avastatrix (HV), terutama bila ditanam di daerah dengan elevasi kurang dari 700 m. Kondisi ini menjadikan perawatan dan pembudidayaan kopi arabika membutuhkan perhatian lebih dibanding kopi robusta atau jenis kopi lainnya. Kopi arabika saat ini telah menguasai sebagian besar pasar kopi dunia dan harganya jauh lebih tinggi daripada jenis kopi lainnya. Kopi arabika di Indonesia dapat ditemukan sebagian besar di daerah pegunungan Toraja, Sumatera Utara, Aceh dan di beberapa daerah di pulau Jawa. Beberapa varietas kopi arabika memang sudah banyak dikembangkan di Indonesia antara lain kopi arabika jenis Abesinia, Pasumah,

Marago, Typica dan Congensis. Jenis kopi selanjutnya adalah kopi robusta, kopi robusta merupakan keturunan beberapa spesies kopi, terutama coffea canephora. Tumbuh baik pada ketinggian 400-700 mdpl, temperatur 21-24° C dengan bulan kering 3-4 bulan secara berturut-turut dan 3-4 kali hujan kiriman. Kualitas buah lebih rendah dari Arabika dan Liberika.

Luas areal perkebunan kopi Indonesia saat ini mencapai 1,2 juta hektar. Mayoritas dari luas areal tersebut, sebesar 96% merupakan lahan perkebunan kopi rakyat dan sisanya 4% milik perkebunan swasta dan Pemerintah (PTP Nusantara). Mayorutas perkebunan kopi Indonesia yang merupakan perkebunan rakyat menjadikan produksi kopi Indonesia sangat tergantung oleh perkebunan rakyat. Dari luas areal perkebunan kopi, luas areal yang menghasilkan (produktif) mencapai 920 hektar (sekitar 77%). Luas areal perkebunan kopi sejak tahun 1960 terus menunjukkan peningkatan khususnya pada perkebunan kopi rakyat. Sebaliknya pada perkebunan swasta dan perkebunan negara tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Produksi kopi Indonesia pada tahun 2012 mencapai 750.000 ton. Peningkatan tersebut disebabkan cuaca yang mendukung untuk pembungaan dan pembentukan buah kopi. Pengaruh cuaca merupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi tingkat produksi kopi nasional.

Secara komersial ada dua jenis kopi yang dihasilkan di Indonesia yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Tanaman kopi arabika dapat tumbuh dan berbuah optimal pada ketinggian diatas 1.000 mdpl sedangkan kopi robusta pada ketinggian 400-800 mdpl. Kondisi lahan Indonesia dengan ketinggian diatas 1.000 m diatas permukaan laut pada umumnya berupa hutan, maka perkembangan tanaman kopi arabika terbatas. Total produksi kopi 750.000 ton tahun 2012, kopi arabika menghasilkan hampir 150.000 ton dari luas areal 250.000 ha, sedangkan kopirobusta menghasilkan 600.000 ton dari luas areal 1,05 juta ha.

2.3.2.Sistem Budidaya Kopi

a. Persiapan Lahan Tanaman Kopi

Lubang untuk tanaman kopi dapat dibuat dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm dengan jarak tanam 2,5 x 2,5 m tergantuk letak dan keadaan kebun. Kebutuhan bibit yaitu berkisar antara 1600-2000 bibit/ha dengan pembukaan atau persiapan lahan minimal 8 bulan. Pohon-pohon peneduh seperti dadap, lamtoro, perlu disiapkan sebelum penanaman kopi dan sangat dianjurkan ditanam sekurang-kurangnya setahun sebelum penanaman kopi. Penanaman bibit sebaiknya

dilakukan setelah 6-8 bulan umur bibit tanaman dan dianjurkan pada awal musim hujan sehingga terjamin tanaman tidak akan dihadapkan pada kekeringan.

b. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman

Pemilihan bibit kopi harus memperhatikan tiga kriteria kunci yaitu, produktivitas, kualitas (aroma dan rasa amat berpengaruh terutama pada jenis arabika) dan ketahanan terhadap gangguan hama/penyakit. Pupuk yang digunakan pada umumnya harus mengandung unsur-unsur Nitrogen, Phospat dan Kalium dalam jumlah yang cukup banyak dan unsur-unsur mikro lainnya yang diberikan dalam jumlah kecil. Ketiga jenis tersebut dipasaran dijual sebagai pupuk Urea atau Za (Sumber N), Triple Super Phospat (TSP) dan KCl. Selain penggunaan pupuk tunggal, di pasaran juga tersedia penggunaan pupuk majemuk. Pupuk tersebut berbentuk tablet atau briket di dalamnya, selain mengandung unsur NPK, juga unsur-unsur mikro. Selain pupuk anorganik tersebut, tanaman kopi sebaiknya juga dipupuk dengan pupuk organik seperti pupuk kandang atau kompos. Pemberian pupuk buatan dilakukan 2 kali per tahun yaitu pada awal dan akhir musim hujan, dengan meletakkan pupuk tersebut di dalam tanah (sekitar 10-20 cm dari permukaan tanah) dan disebarkan di sekeliling tanaman. Adapun pemberian pupuk kandanghanya dilakukan Tahun ke-0 (penanaman pertama).

2.3.3 Proses Produksi 1. Periode Produksi Kopi

Periode produksi kopi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) periode tanaman belum menghasilkan (TBM), (2) Periode tanaman menghasilkan (TM). Selama 3 tahun pertama, tanaman kopi biasanya belum menghasilkan atau dikenal sebagai periode TBM. Tanaman baru menghasilkan biasanya pada tahun ke empat dan diperkirakan dapat berumur sampai 30 tahun apabila dirawat dengan baik. Tanaman kopi termasuk tanaman hari pendek (short day plant), yaitu tanaman yang membentuk bakal bunga dalam periode hari pendek. Hari pendek adalah hari dengan waktu siang hari yang panjangnya kurang dari 12 jam.

Pola panen tanaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain cuaca, musim dan terutama curah hujan. Masa panen di daerah basah dimana hujan turun sepanjang tahun biasanya lebih lama, dibandingkan masa panen di daerah kering yang produksi tertinggi pada masa puncak panen. Tanaman kopi termasuk tanaman yang mengalami satu kali masa panen selama dua tahun. Penurunan produksi tanaman ini merupakan konsekuensi sifat alaminya dapat mencapai 20 hingga 60 %, tergantung pada kondisi kesehatan tanaman tersebut. Fenomena ini digunakan untuk membandingkan produktivitas kopi dari satu masa panen ke masa panen yang lain, yaitu dengan mengambil tiap 2 tahun. Sebagai contoh ketika membandingkan produksi panen pada tahun 4 dengan tahun ke-6, dan bukan membandingkannya dengan tahun ke-5. Dengan metode ini kita mendapatkan produksi rata-rata per dua tahun, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesimpulan yang salah.