• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

B. Kajian Teori

1. Kajian Teori Tentang Internal Locus Of Control

teknik yaitu uji korelasional product moment dan uji komparasi independent sample t-test. Sedangkan dalam penelitian ini, variabel terikat (dependent variable) menekankan kepada hasil belajar siswa. Teknik sampling yang digunakan yakni Stratified proportional random sampling dan analisis datanya yaitu analisis deskriptif dan analisis korelasi kontigensi.

memberikan gambaran pada keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya.

Konsep tentang pusat kendali yang digunakan Rotter memiliki empat konsep dasar (Ghufron dan Risnawati, 2014: 67), yaitu:

1) Potensi perilaku, yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu, berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang.

2) Harapan merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan mungcul dan dialami oleh seseorang.

3) Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan atas hasil dari beberapa penguat hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa.

4) Suasana psikologi adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan.

Pusat kendali (locus of control) adalah gambaran pada keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya. Pusat kendali merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku individu (Ghufron dan Risnawati, 2014: 68).

Robbins & Judge (2008: 138) menjelaskan bahwa locus of control merupakan tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri. Sementara Soemanto (2012:

187) Locus of control ialah bagaimana individu merasa/melihat garis/hubungan antara tingkah lakunya dan akibatnya, apakah ia menerima tanggung jawab atau tidak atas tindakannya.

Berdasarkan berbagai macam definisi yang berbeda-beda dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of control adalah keyakinan seseorang tentang sejauh mana seseorang merasakan ada atau tidaknya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan hasil yang diterima, sehingga mereka mampu mengontrol peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi hidupnya.

Selanjutnya pengertian internal locus of control, untuk memahami pengertian tentang internal locus of control berikut dikemukakan beberapa pengertian internal locus of control diantaranya:

Robbins & Judge (2008: 138) mengatakan bahwa internal (internals) adalah individu yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa pun yang terjadi pada diri mereka. Sementara Solomon dan Oberlander (1974) menyatakan bahwa orang-orang internal bertanggung jawab terhadap kegagalannya (Ghufron dan Risnawati, 2014: 68).

Orang dengan internal locus of control lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong high-achivever (Findley dan Cooper, 1983 dalam Friedman dan

Schustack, 2008: 275). Sedangkan menurut Sofyandi dan Garniwa (2007: 80) orang yang percaya bahwa nasib mereka ada di tangan mereka sendiri (internal locus of control).

Orang yang mempunyai internal locus of control mempunyai keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya, kegagalan-kegagalan, keberhasilan-keberhasilannya karena pengaruh dirinya sendiri.

Menurut Rotter, orang yang mempunyai pusat kendali internal memandang hubungan antara perbuatannya dengan penguat atau reinforcement yang didapatkannya sebagai hubungan sebab-akibat.

Orang internal merasa yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengendalikan penguat yang diterimanya Ghufron dan Risnawati (2014: 65-67).

Hasil penelitian telah membuktikan bahwa orientasi pusat kendali yang internal ternyata lebih banyak menimbulkan akibat-akibat positif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lao dalam Ghufron dan Risnawati (2014: 67) menyatakan bahwa status sosial ekonomi, kepercayaan diri, aspirasi, serta harapan pada mereka yang internal ternyata lebih tinggi.

Phares juga menyatakan mereka yang berorientasi internal cenderung lebih percaya, berpikir optimis dalam setiap langkahnya.

Pernyataan tersebut didukung oleh Sceibe (1978) bahwa individu dengan locus of control internal cenderung lebih aktif, berusaha keras,

berprestasi penuh kekuatan, tidak tergantung dan efektif (Sulistin, 2012: 15-16).

Berdasarkan berbagai macam definisi yang berbeda-beda dapat ditarik kesimpulan bahwa internal locus of control adalah keyakinan individu bahwa suatu kejadian atau peristiwa yang dialami merupakan akibat dari perilaku dan tindakannya sendiri.

b. Aspek-aspek internal locus of control

Menurut Rotter dalam Soemanto (2012: 187) locus of control mempunyai dua dimensi, yakni dimensi eksternal dan dimensi internal. Dimana eksternal akan menganggap bahwa tanggung jawab segala perbuatan itu berada di luar diri si pelaku. Sedangkan dimensi internal melihat bahwa tanggung jawab segala perbuatan itu berada pada diri si pelaku.

Sementara Phares (Yuliatmi, 2013: 40-42) menjelaskan aspek-aspek locus of control lebih terperinci, ada 2 aspek-aspek dalam locus of control, yaitu:

1) Aspek internal

Seseorang yang memiliki locus of control internal selalu menghubungkan peristiwa yang dialaminya dengan faktor dalam dirinya. Karena mereka percaya bahwa hasil dan perilakunya disebabkan faktor dari dalam dirinya.

Faktor dalam aspek internal antara lain kemampuan, minat dan usaha yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a) Kemampuan

Seseorang yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki. Menurut Kartono & Gulo (2003: 1) definisi kemampuan (ability) adalah istilah umum yang dikaitkan dengan kemampuan atau potensi untuk menguasai suatu keahlian ataupun pemilikan keahlian itu sendiri.

b) Minat

Seseorang memiliki minat yang lebih besar terhadap kontrol perilaku, peristiwa dan tindakannya. Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh (Slameto, 2013: 180).

Sementara Tampubulon dalam Ilmiyah (2011: 21) mengatakan bahwa minat adalah perpaduan antara keinginan dan kemauan yang dapat berkembang jika ada motivasi.

c) Usaha

Seseorang yang memiliki locus of control internal bersikap optimis, pantang menyerah dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol perilakunya. Usaha adalah kegiatan dengan menggerakkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan,

prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu (http://kbbi.web.id/usaha).

Sedangkan Segerestrom (1988) berpendapat bahwa sikap optimis adalah cara berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah. Berpikir positif adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk (Ghufron

& Risnawita, 2010: 95).

2) Aspek Eksternal

Seseorang yang memiliki locus of control eksternal percaya bahwa hasil dan perilakunya disebabkan faktor dari luar dirinya. Faktor dalam aspek eksternal antara lain nasib, keberuntungan, sosial ekonomi, dan pengaruh orang lain yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a) Nasib

Seseorang akan menanggap kesuksesan dan kegagalan yang dialami telah ditakdirkan dan mereka tidak dapat merubah kembali peristiwa yang telah terjadi, mereka percaya akan firasat baik dan buruk.

b) Keberuntungan

Seseorang yang memiliki tipe eksternal sangat mempercayai adanya keberuntungan, mereka menganggap bahwa setiap orang memiliki keberuntungan.

c) Sosial ekonomi

Seseorang yang memiliki tipe eksternal menilai orang lain berdasarkan tingkat kesejahteraan dan bersifat materialistik.

d) Pengaruh orang lain

Seseorang yang memiliki tipe eksternal menganggap bahwa orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi mempengaruhi perilaku mereka dan sangat mengharapkan bantuan orang lain.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi internal locus of control

Perkembangan pusat kendali individu dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan sosial yang pertama bagi seseorang adalah keluarga. Di dalam keluarga inilah terjadi suatu interaksi antara orang tua dan anak, termasuk di dalamnya penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang akan diwariskan kepada anak-anaknya. Apabila tingkah laku anak mendapatkan respons, maka anak akan merasakan sesuatu didalam lingkungannya. Dengan demikian, tingkah laku tersebut dapat menimbulkan motif yang dipelajari. Hal ini merupakan langkah terbentuknya pusat kendali yang internal. (Ghufron dan Risnawati, 2014: 70).

Penelitian Katkovsky dkk. dalam Ghufron dan Risnawati (2014: 70) mendukung pernyataan tersebut. Mereka menyatakan

bahwa interaksi antara orang tua dan anak yang hangat, membesarkan hati, fleksibel, menerima, dan memberikan kesempatan untuk berdiri sendiri sewaktu masih kecil akan menghasilkan anak yang orientasinya internal, bila dibandingkan dengan orang tua yang menolak, memusuhi, dan mendominasi dalam segala sesuatu.

Selain faktor lingkungan sosial, perkembangan locus of control ke arah internal terjadi dengan bertambahnya usia seseorang. Menurut Englar (Ilmiyah, 2011: 23-24) semakin dewasa usia maka locus of control berkembang ke arah internal dan stabil pada usia paruh baya.

Hal ini disebabkan karena bertambahnya kemampuan persepsi sehingga memungkinkan mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap model-model penalaran logis yang menyangkut sebab-akibat yang terjadi antara perilaku dan motivasi yang melatarbelakanginya.

Pada usia dewasa perkembangan orientasi locus of control internal lebih ditentukan kemampuannya menunda pemuasan kebutuhan untuk pencapaian hadiah yang lebih besar. Internal locus of control akan menjadi semakin rendah dari masa dewasa hingga usia tua, yaitu terjadi peningkatan keyakinan bahwa takdir atau nasib dan kekuatan orang lain mempengaruhi kehidupannya. Hal ini mungkin berkaitan dengan meningkatnya ketergantungan pada orang lain untuk kebutuhan pribadi seperti kesehatan dan keuangan.

Benson dan Steele (2005) dalam Sulistin (2012: 24), Sejarah dan konteks juga penting dalam perkembangan locus of control karena

dapat mempengaruhi kontrol persepsi seseorang tentang perhitungan nilai-nilai sosial. Adanya kemampuan kontrol dan ketidakmampuan kontrol menunjukkan tingkat dimana seseorang menganggap dirinya mampu mempengaruhi suatu peristiwa dan penyebabnya terletak di dalam atau di luar dirinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan internal locus of control diperoleh dari hasil belajar, dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan berkembang sejalan dengan pertambahan usia, sejarah dan konteks budaya dan arah perkembangannya, akan terus mengalami perubahan sesuai pertambahan usia.

d. Internal locus of control dalam perspektif Islam

Internal locus of control merupakan sumber keyakinan yang dimiliki oleh setiap individu terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya yang dipengaruhi oleh faktor di dalam dirinya.

Dalam Islam keyakinan pada diri sendiri sangat penting, karena keyakinan membuat seseorang mampu mengerahkan seluruh tindakan dan perilakunya. Tanpa keyakinan seorang akan selalu merasa dalam keraguan sehingga jiwanya mudah terombang-ambing dan akan mengikuti arus yang akan membawanya, ia akan lemah dan rapuh dan akhirnya mudah terpengaruh.

Sebagaimana firman Allah di dalam QS. Ar-Ra’ad ayat 11:









































































Artinya:”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah [Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka]

yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”(Depag RI, 2008: 287) Berdasarkan ayat tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa manusia harus senantiasa berusaha dengan kemampuan yang dimilikinya untuk meraih tujuan yang ingin dicapainya. Karena hasil yang akan dicapainya tergantung dari usaha yang telah dilakukannya.

Sikap optimis dan selalu mawas diri sangat dibutuhkan dalam memjalani kehidupan, dengan mawas diri kita akan berusaha mengoreksi diri

Allah SWT telah menjanjikan kepada hamba-Nya bahwa segala usaha yang telah dilakukannya akan menuai hasil yang diharapkan apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Untuk itu

sifat optimis agar tidak pantang menyerah dalam berusaha harus kita terapkan. Allah berfirman dalam QS. An-Najm ayat 39-41:



































Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”

(Hatta, 2011: 527).

Seseorang yang memiliki orientasi locus of control internal terdorong untuk berfikir positif sehingga akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. Mereka meyakini bahwa segala permasalahan yang terjadi dalam hidupnya, dalam bentuk cobaan, rintangan dan hambatan yang dihadapinya sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pribadi.

Dan mereka tidak menilainya sebagai beban serta meyakini bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya (Ilmiyah, 2011: 29). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 286:

























Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya...”(Hatta, 2011: 49).

2. Kajian teori tentang hasil belajar

Dokumen terkait