• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam lima bab.

Tata urutan sistematikanya sebagai berikut :

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan Pengaturan Tentang Perjanjian Kerja. Sub bagiannya terdiri dari Pengertian Perjanjian Kerja, Unsur- Unsur sahnya Perjanjian Kerja, Bentuk Dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sub bagiannya terdiri dari Pengertian Hubungan Kerja, Jenis- Jenis Pemutusan Kerja, Alasan Pemutusan Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Perspektif Hukum Perdata Dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Serta Undang-Undang – Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

BAB III : Membahas Tentang Akibat Hukum Bagi Pemberi Kerja Yang Tidak Memutus Perjanjian Kerja Yang Sudah Lewat yaitu Tanggung Jawab Serta Pemenuhan Prestasi Pemberi Kerja Terhadap Tenaga Kerja, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja Antara Pemberi Kerja Dan Tenaga Kerja

BAB IV : Akan Membahas Tentang Kasus Posisi, Penggugat, Tergugat Serta Menganilisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 11/Pdt.Sus-PHI/2020 PN.Mdn

BAB V : Merupakan Kesimpulan dan Saran.

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN DAN PEMUTUSAN KERJA

A. Perjanjian Kerja

1. Pengertian Perjanjian Kerja

Tentunya suatu pekerjaan memiliki perjanjian kerja yang akan dibuat oleh kedua belah pihak, yang menjadi dasar untuk menjalin hubungan kerja antara pemberi kerja / pengusaha dengan pekerja. Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang mana memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak..11

Dimana ada beberapa kemungkinan komposisi subjek hukum yang bertindak sebagai pihak di dalam perjanjian kerja yaitu (a) buruh dan pengusaha, dan (b) buruh dan pemberi kerja. Perjanjian kerja dapat dikatakan adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dan asas-asas dalam hukum perikatan yang diatur dalam KUHPerdata.

Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dibuat atas dasar yakni :12

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak, tidak ada paksaan, penyesatan, kekhilafan atau penipuan.

2. Pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai kemampuan atau kecakapan untuk bertindak melakukan perbuatan hukum (cakap usia dan tidak di bawah perwalian/pengampuan).

3. Ada objek pekerjaan yang diperjanjikan.

4. Pekerjaan yang perjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

11 Undang – Undang Ketenagakerjaan, Op.cit, Ps 1 Angka 14

12 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Berdasarkan

Undang-Perjanjian kerja (Arbeidsovreenkomst), dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Pengertian yang pertama disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601a KUHPerdata mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa :

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain si majikan untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”13

Selain dari pada pengertian normatif di atas, pengertian perjanjian kerja juga dikemukakan oleh beberapa ahli salah satunya Imam Soepomo, yang menerangkan bahwa : ”Suatu perjanjian dimana pihak kesatu, pekerja/buruh, mengikat diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah”.14

Selanjutnya perihal pengertian perjanjian kerja, dikemukakan pula oleh Subekti yang mengatakan bahwa Perjanjian kerja adalah antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai ciri; adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda, dienstverhouding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang

13 R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (c), cet. 12, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), h. 327.

14 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 56.

satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.15

Tetapi ada kemungkinan sepakat ini menjadi cacat apabila Pasal 1320 KUHPerdata mengandung unsur- unsur antara lain :16

1. Kekhilafan

Perumusan kekhilafan itu terdiri dari kekhilafan dapat mengenai benda yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan dan kekhilafan mengenai pihak lawannya dalam perjanjian yang bersangkutan.

2. Paksaan

Yang dimaksud dengan paksaan yaitu rohani dan paksaan jiwa, jadi bukan paksaan badan, sedangkan yang diancam itu harus suatu perbuatan yang terlarang oleh Undang-Undang, jadi apabila ancaman itu suatu tindakan yang memang diizinkan oleh Undang-Undang maka tidak dapat dikatakan suatu paksaan.

3. Penipuan

Penipuan terjadi apabila satu pihak memberikan keterangan palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya agar memberikan perizinannya, pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.

15Subekti, Aneka Perjanjian (b), cet. 12, (Bandung: PT Alumni,1977), h. 63

16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta,

Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut undang-undang diakui oleh hukum. Sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.17

Pada Pasal 1 angka 14 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan serta Undang – Undang 11 Tahun 2020 tertera bahwa

“perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.18

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan penjelaskan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 50 yang dimaksud “Perjanjian Kerja” adalah Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Serta pada Pasal 51 ayat 1 dinyatakan bahwa perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Dalam Pasal 51 Ayat 2 dinyatakan juga bahwa

17 Achmad Ichsan, Hukum Perdata, (Jakarta: Putra Masa, 2008), h. 65.

18 Undang-undang Ketenagakerjaan, Op. cit., Ps. 1

perjanjian kerja dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pengertian-pengertian tentang perjanjian kerja yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa Perjanjian kerja dibuat ketika adanya hubungan kerja antara pengusaha dan tenaga kerja untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan isi perjanjian kerja yang dibuat dan mempunyai hak untuk menerima upah, sebaliknya pihak majikan atau pemberi kerja mengikatkan dirinya untuk memperkerjakan pekerja serta berkewajiban untuk membayar upah.

Ketika akta perjanjian kerja dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak maka sah secara hukum bagi mereka yang mengikatkan dirinya dengan pihak lain.

2. Unsur – Unsur Perjanjian Kerja

Suatu perjanjian kerja yang berdasarkan pada ketentuan dalam Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dapat dinyatakan sah apabila memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut adalah :

a. Melakukan pekerjaan tertentu

Di dalam suatu perjanjian kerja harus terdapat suatu pekerjaan yang diperjanjikan dan dikarenakan sendiri oleh pekerja yang membuat perjanjian kerja tersebut.

b. Di bawah perintah

Dalam melakukan suatu pekerjaan pekerja/buruh harus tunduk pada perintah pihak pemberi kerja. Prinsip dari unsur ini adalah

kebermanfaatan bagi pengusaha atau pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang dimuat dalam isi perjanjian kerja.

c. Waktu tertentu

Dalam melakukan hubungan kerja tersebut, haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja.

d. Dengan upah

Seseorang bekerja, dalam melaksanakan suatu pekerjaan bertujuan untuk mendapatkan upah atau pembayaran. Unsur ini mempunyai peranan yang penting dalam perjanjian kerja karena meskipun ketiga unsur telah terpenuhi, akan tetapi karena unsur keempat tidak terpenuhi, maka hubungan tersebut bukan merupakan implementasi dari pelaksanaan suatu perjanjian kerja.19

3. Bentuk Dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 50 yang dimaksud “Perjanjian Kerja” adalah hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Sesuai dengan kondisi dan sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu yang berbeda, jenis- jenis hubungan kerja dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yakni : Pertama, pekerjaan yang dilakukan secara berulang atau pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang tidak tertentu, dan kedua, pekerjaan yang menurut sifat dan jenis serta tuntutan kegiatannya perlu dilakukan dalam jangka waktu tertentu yang relatif pendek. Pekerjaan seperti (jenis yang terakhir itu dapat

19 FX. Djumialdji, Pemutusan Hubungan Kerja “Perselisihan Perburuhan Perorangan”, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 27-33

dikelola sendiri atau diborongkan kepada orang lain, kelompok atau unit usaha lain.Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat 2 macam hubungan kerja yakni : Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), PKWT ini dapat didasarkan atas, jangka waktu tertentu atau selesainya suatu (paket) pekerjaan tertentu. Dan Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Pengertian Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara (Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, selanjutnya disebut Kepmen 100/2004).

Mengenai sistem pengaturan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (selanjutnya disebut PKWT) baru ditemukan pada era berlakunya UU Ketenagakerjaan. Namun mengenai perjanjian kerja waktu tertentu tidak diberikan batasan-batasan yang ketat dalam Undang-Undang ini.

Kemudian lahirlah suatu pengaturan yang lebih detail mengenail perjanjian kerja waktu tertentu dalam peraturan pelaksana untuk PKWT, yakni dengan lahirnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pekerjaan waktu Tertentu.

Menurut Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pekerjaan Waktu Tertentu,

PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.

Perjanjian kerja dibuat oleh pengusaha atau perusahaan dalam bentuk tertulis, yaitu surat perjanjian yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak.

PKWT menurut Pasal 59 ayat (1) Undang – Undamg RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a) Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara waktu sifatnya;

b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tertentu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep/100/Men/VI/2004 terdapat beberapa Pasal yang mengatur tentang jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT antara lain terdapat dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 12. Hal- hal yang diatur tersebut antara lain : 1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, harus memuat antara lain:

a) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.

b) Jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.

c) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT tersebut, dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat pekerjaan selesai.

d) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.

e) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan dapat dilakukan pembaharuan PKWT.

f) Pembaharuan dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.

g) Selama masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan.

Para pihak dapat mengatur hal lain yang dituangkan dalam perjanjian kerja.

2. PKWT untuk pekerjaan yang sifatnya musiman, hal yang diatur antara lain:

a) Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung musim atau cuaca.

b) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan tersebut hanya dapat

dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.

c) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk pekerjaan tersebut hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

d) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.

e) PKWT tersebut tidak dapat dilakukan pembaharuan.

3. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, hal diatur antara lain:

a) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalm percobaan atau penjajakan.

b) PKWT tersebut hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.

c) PKWT tersebut juga tidak dapat dilakukan pembaharuan.

d) PKWT tersebut hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.

4. Perjanjian kerja harian atau lepas, hal yang diatur antara lain:

a) Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam

waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.

b) Perjanjian kerja harian lepas tersebut dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.

c) Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)

d) Perjanjian kerja harian lepas yang memnuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam hal tersebut dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.

e) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.

f) Perjanjian kerja harian lepas dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat:

1) Nama/alamat perusahaan atau pemberikerja 2) Nama/alamatpekerja/buruh

3) Jenis pekerjaan yang dilakukan

4) Besarnya upah dan atau imbalan lainnya

g) Daftar pekerja/buruh harian lepas tersebut disampaikan kepada

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak mempekerjakan pekerja/buruh.

Dalam Pasal 59 ayat (2) UUK disebutkan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap yaitu pekerjaan yang sifatnya terus- menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.

Pasal 59 ayat (3) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pengusaha yang bermaksud akan memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, telah memberitahukan maksudnya untuk memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu tersebut akan berakhir. Dengan memberitahukan maksudnya tersebut secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan

Pasal 59 ayat (4) UUK menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

2. Perjanjian Waktu Tidak Tertentu

Menurut Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pekerjaan Waktu Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja

antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Menurut Pasal 60 ayat (1) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT) dapat mempersyaratkan masa percobaan selama tiga bulan. Hal ini dilatarbelakangi oleh sifat perjanjian yang berkelanjutan dan jangka panjang sehingga perusahaan memerlukan waktu untuk mengevaluasi pekerja tersebut sebelum menjadi pekerja tetapnya. Selama masa percobaan tersebut pengusaha dilarang membayarkan upah minimum yang berlaku.

Penjelasan pada Pasal 60 ayat (1) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ditentukan bahwa syarat masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam PKWTT maka selama waktu 3 bulan itu masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemberitahuan penghentian.

Berbeda dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UUK dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep/100/Men/VI/2004 dimana jenis pekerjaan sudah ditetapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yang sifatnya sekali selesai atau sementara, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang sifatnya musiman, pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau pekerjaan yang sifatnya harian atau lepas.

Melihat ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat dilihat bahwa pekerjaan waktu tidak tertentu adalah suatu pekerjaan yang bersifat tetap, terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu danmerupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Isi perjanjian kerja waktu tidak tertentu sekurang-kurangnya memuat :

a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja;

c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Dari jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

f. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

g. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja;

h. Besarnya upah dan cara pembayarannya yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerjasama bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

i. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 61 ayat (1) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa berakhirnya suatu perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha/majikan dan pihak

pekerja/buruh adalah :

a. Pekerja/buruh meninggal dunia;

b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap; atau

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau

e. perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Pasal 61 ayat (2) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tidak tertentu tidaklah berakhir meski meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

Pasal 61 ayat (3) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang mengurangi hak-hakpekerja/buruh.

Pasal 61 ayat (4) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dalam hal pengusaha meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja dengan terlebih dahulu

Pasal 61 ayat (5) Undang – Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja

Setiap perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut, begitu pula dalam perjanjian kerja terdapat hak dan kewajiban pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja.

Dalam melaksanakan hubungan industrial20, pengusaha dan pekerja mempunyai fungsi masing-masing, yaitu: Pekerja berfungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya21.

Sedangkan pengusaha berfungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka demokratis dan berkeadilan.22Dari rumusan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerja dan pengusaha merupakan mitra kerja yang saling membutuhkan untuk mencapai tujuan bersama terutama ekonomi dan

20 Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Undang-undang Ketenagakerjaan, Op. cit., Ps. 1.

21 Ibid., Ps. 102.

22 Ibid.

kesejahteraan. Untuk mencapai tujuan tersebut, masing-masing pihak bertanggung jawab terhadap kewajiban sebagaimana disepakati dalam perjanjian kerja. Secara garis besar kewajiban pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja adalah sebagai berikut:

a) Kewajiban Pekerja

Pekerja berkewajiban melakukan pekerjaan menurut petunjuk/perintah dari perusahaan atau pemberi kerja yang mempunyai hak atas pelaksanaan pekerjaan yang diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan pada perjanjian kerja. Kewajiban

Pekerja berkewajiban melakukan pekerjaan menurut petunjuk/perintah dari perusahaan atau pemberi kerja yang mempunyai hak atas pelaksanaan pekerjaan yang diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan pada perjanjian kerja. Kewajiban