• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPONDILITIS TUBERKULOSIS (Kode ICD X : A18.01)

Spinal Stenosis Lumbalis M48.0

SPONDILITIS TUBERKULOSIS (Kode ICD X : A18.01)

1. Pengertian

Tuberkulosis susunan saraf pusat dapat terjadi di dalam medulla spinalis dan membrannya berupa arahnoiditis, vaskulitis dan massa intra parenchyma. Lesi pada medulla spinalis bersifat lokal tapi lebih sering berhubungan dengan intrakranial.

2. Anamnesis

Dapat terjadi secara mendadak atau perlahan berupa kelemahan yang sifatnya naik dan terjadi dalam waktu bulan atau tahun. Selain itu pasien dapat mengeluh lemas, berkurangnya nafsu makan dan berat badan, demam terutama pada sore hari, serta berkeringat pada malam hari yang terjadi sebelum manifestasi tulang belakang. Dapat juga ditemui gejala yang berhubungan dengan extra-skeletal tuberculosis, seperti batuk, benjolan pada leher (limfadenopati), diare, dan distensi abdomen. Selain itu pasien dapat merasakan nyeri punggung dan spasme otot.

3. Pemeriksaan Fisik

• Pemeriksaan tanda vital (demam) dan pemeriksaan fisik menyeluruh

(ditemukan manifestasi tuberkulosis ekstra-skeletal) • Deformitas pada tulang belakang (kifosis)

• Nyeri lokal dan spasme otot paravertebral

• Pemeriksaan neurologis: clumsiness walking, spontaneous muscle

twitching, nerve palsy, sampai hemiplegia, atau paraplegia spastik, keluhan sensorik, bladder/bowel involvement.

4. Kriteria Diagnosis

Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan imaging (Rontgen tulang belakang dan MRI tulang belakang)

5. Diagnosis Banding

Pyogenic dan fungal vertebral osteomyelitis • tumor medulla spinalis metastasis

6. Pemeriksaan Penunjang

• Foto vertebra (servikal, torakal atau lumbal sesuai kecurigaan)

• Lab: darah rutin (Hb/leuko), ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, natrium

• Pemeriksaan mikrobiologi: pewarnaan langsung dengan ZN, kultur Ogawa,

GeneXpert

• Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS): protein tinggi, glukosa menurun, pleositosis limfositik pada 30-50% pasien.

• Mielografi: filling defect sepanjang Medula Spinalis.

• MRI (servikal/torakal/lumbal sesuai diagnosis) dengan/tanpa kontras 7. Tatalaksana

Tatalaksana non-operatif: • Obat anti TB oral

• Steriod: dexamethasone iv, dilanjut po

• Edukasi: pengobatan jangka panjang, perawatan di rumah, • Diet:tinggi kalori dan protein

Tatalaksana operatif

Koreksi tulang (konsultasi ke Bagian Ortopedi)

8. Edukasi

• Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan komplikasi)

• Penjelasan mengenai Spondilitis Tuberkulosa, risiko dan komplikasi selama perawatan

• Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi

• Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)

• Penjelasan mengenai gejala Spondilitis Tuberkulosa, dan apa yang harus dilakukan sebelum dibawa ke RS

9. Prognosis

Ad vitam : dubia ada bonam Ad Sanationam : dubia ad bonam Ad Fungsionam : dubia ad bonam

10.Kewenangan berdasar Tingkat Pelayanan Kesehatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

Tatalaksana ABC dan Resusitasi  rujuk • PPK 2 (RS tipe B dan C) :

Tatalaksana medis komprehensif sesuai ketersediaan fasilitas • PPK 3 (RS tipe A) :

Tatalaksana medis komprehensif dan bedah 11.Kepustakaan

1. Roper AH and Samuels MA. 2009. Infections of the Nervous System (Bacterial, Fungal, Spirochetal, Parasite) and Sarcoidosis. In: Principles of Neurology. Adam and Victor’s. 9th Ed. New York – Toronto. McGraw Hill Medical: 667-707.

2. Zuger A. 2004. Tuberculosis. In: Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM (eds). Infection of the central nervous system, third ed. Philadelphia. Lippincott Williams&Wilkins: 441-457

3. Rom WN. 2004. Tuberculosis, second ed. Philadelphia. Lippincott Williams&Wilkins: 445-458

4. Krieger S. 2009. Neurologic infections. In: Frontera JA (ed). Decision making in Neurocritical Care. New York. Thieme Medical Publishers. Inc: 134-148

5. Rasouli MR, Mirkoohi M, Vaccaro AR, Yarandi KK, Rahimi-Movaghar

V. Spinal Tuberculosis: Diagnosis and Management. Asian Spine

Journal Vol. 6, No. 4, pp 294-308, 2012.

http://dx.doi.org/10.4184/asj.2012.6.4.294.

6. Spinal Tuberculosis. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine. Vol. 8, No. 1. January-March, 2007.

7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

RABIES

(Kode ICD X : A82.9) 1. Pengertian

Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala, kelelawar) Rabies hampir selalu berakibat fatal jika post- exposure prophylaxis tidak diberikan sebelum onset gejala berat. Virus rabies bergerak ke otak melalui saraf perifer. Masa inkubasi dari penyakit ini tergantung pada seberapa jauh jarak perjalanan virus untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya mengambil masa beberapa bulan.

2. Anamnesis

• Stadium prodromal

Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

• Stadium sensoris

Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensoris.

• Stadium eksitasi

Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal yang sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macam-macam fobia seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring dan otot pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsangan sensoris misalnya dengan meniupkan udara ke muka penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsan, dan takikardia. Tindak tanduk penderita tidak rasional kadang maniakal disertai dengan responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung sampai penderita meninggal.

• Stadium paralisis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium sebelumnya, namun kadang ditemukan pasien yang tidak menunjukkan gejala eksitasi melainkan paresis otot yang terjadi secara progresif karena gangguan pada medulla spinalis.

Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu. Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya timbul sesudah 12 minggu. Mengetahui port de entry virus tersebut secepatnya pada tubuh pasien merupakan kunci untuk meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post exposure therapy). Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan mungkin telah dilupakan. Tetapi pasien

sekarang mengeluh tentang perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas gigitan tersebut. Perasaan itu dapat berupa rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar (panas), berdenyut dan sebagainya.

• Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan anjing, kucing, atau binatang lainnya yang :

- Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka). - Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh).

- Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan sebagainya). - Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-lain). Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari-7 tahun. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, dan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.

3. Pemeriksaan Fisik

• Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan

mungkin telah dilupakan.

• Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%), mioedema (menetap selama perjalanan penyakit).

• Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat: hiperventilasi, hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADH, paralitik/paralisis flaksid.

• Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.

• Tanda patognomonis

• Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.

4. Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang menggigit mati dalam 1 minggu. Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise, anoreksia, kadang ditemukan parestesia pada daerah gigitan.

Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.

5. Diagnosis Banding • Tetanus.