• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuadran IV Kuadran III

5.5.3. Strategi Partisipasi Komunitas

Terlaksananya program pemilahan dan pengomposan di wilayah permukiman lebih banyak terjadi karena dorongan bersama dalam suatu komunitas (RT atau RW) dengan kepemimpinan yang progresif. Pemimpin-pemimpin di lingkungan kecil tersebut (block leader), baik pengurus RT atau RW maupun tokoh masyarakat, merupakan motivator utama bagi warga untuk memulai upaya pengelolaan sampah di wilayah tersebut. Oleh sebab itu, pemilahan sampah merupakan kegiatan bersama dalam suatu komunitas dengan kelembagaan yang ada dalam komunitas tersebut sebagai wadahnya.

Peran block leader terbukti penting dalam keberhasilan pengelolaan sampah

melalui pemilahan dan daur ulang sampah. Hal tersebut terjadi pada lokasi-lokasi percontohan secara sporadis di DKI Jakarta yang telah melakukan pemilahan sampah. Meskipun demikian, jumlah wilayah yang telah memilah sampah masih menunjukkan persentase yang kecil secara keseluruhan. Hal tersebut ditunjukkan dengan rendahnya persentase masyarakat yang telah melakukan pemilahan sampah saat ini, sebagaimana terlihat pada Gambar 38 berikut,

4 17 9 11 129 0 20 40 60 80 100 120 140

Jenis Pemilahan Sampah Permukiman Fr e k . (1) Pilah organik-anorganik

(2) Pilah kertas dan sejenisnya

(3) Pilah plastik, botol, kaleng dan sejenisnya (4) Pilah (2) dan (3) Tidak memilah/disatukan

Gambar 38. Jenis Pemilahan Sampah di Permukiman

Pengembangan pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman yang sesuai dengan karakteristik masyarakat dapat ditentukan melalui pendekatan tipologi permukiman. Keberhasilan pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat tidak hanya ditentukan oleh tingkat keterlibatan masyarakat dalam seluruh tahap kegiatan, tetapi ditentukan juga oleh kebijakan pemerintah dan sarana pendukungnya. Di samping itu, penerimaan masyarakat terhadap program pemilahan dan daur ulang sampah ditentukan oleh adanya keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat. Keuntungan tersebut tidak selalu berarti materi, tetapi juga keuntungan sosial, antara lain kenyamanan dan peningkatan kualitas lingkungan serta keterlibatan

masyarakat dalam proses pengambilan keputusan (Ohnuma et al., 2005). Oleh

sebab itu, perencanaan secara partisipatif perlu dikembangkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, sebab pada dasarnya masyarakat mau berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan sampah di lingkungan permukimannya masing-masing. Hal tersebut ditunjukkan dari kesediaan masyarakat turut berkontribusi dalam mengatasi permasalahan sampah di permukimannya masing-masing, seperti terlihat pada Gambar 39 berikut,

75,88% 6,47% 5,29% 10,00% 2,35%

87 72 11 94 96 90 5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Permasalahan Sampah Permukiman

Fr e k Tenaga Dana Bahan/material Ide Informasi Kehadiran dlm pertemuan Lainnya

Gambar 39. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Mengatasi Permasalahan Sampah di Permukiman

Dari data di atas terlihat bahwa sebagian besar masyarakat mau berpartisipasi dalam berbagai bentuk, antara lain memberikan informasi, ide, kehadiran dalam pertemuan, tenaga dan kontribusi dana jika diperlukan. Masyarakat cukup menyadari bahwa permasalahan sampah di lingkungan permukiman merupakan hal yang mendesak, meskipun sebenarnya fungsi pengelolaan sampah tersebut lebih merupakan kewajiban pemerintah daerah sebagai bagian dari tujuan pembangunan daerah (Sen, 1999). Salah satu tujuan pembangunan yang diharapkan oleh masyarakat adalah tersedianya fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, sebab sampah merupakan permasalahan perkotaan yang cukup rumit dan berkaitan dengan beberapa aspek penting dalam peningkatan kualitas hidup, antara lain kesehatan, kenyamanan dan estetika.

Keinginan untuk berkontribusi dalam pengelolaan sampah di permukiman juga terlihat dari kesediaan masyarakat untuk memilah sampah. Pemilahan sampah merupakan faktor mendasar dari efektivitas sistem pengolahan sampah apapun yang akan dipilih oleh pemerintah daerah, baik mengembangkan energi listrik dari sampah maupun industri yang menghasilkan produk daur ulang. Oleh sebab itu, tingginya kesediaan masyarakat untuk memilah sampah pada dasarnya merupakan sumberdaya penting yang perlu direspon dan dikembangkan oleh pemerintah, seperti terlihat pada Tabel 25 berikut,

Tabel 25. Kesediaan Memilah Sampah dengan Beberapa Pilihan Partisipasi dalam Penyediaan Sarana Pemilahan

Bersedia Tidak Bersedia Tidak Menjawab No. Pilihan f % f % f % 1. Kesediaan memilah

sampah apabila disediakan tempat sampah yang berbeda

161 94,71 2 1,18 7 4,12

2. Kesediaan memilah

sampah apabila diharuskan oleh pemerintah daerah

160 94,12 3 1,76 7 4,12

3. Kesediaan memilah apabila

menyiapkan/membeli sendiri tempat sampah yang berbeda

122 71,76 38 22,35 10 5,88

Keterangan : f = frekuensi

Dari Tabel 25 di atas terlihat bahwa tidak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah dan melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong partisipasi tersebut. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi sangat signifikan, sebab ternyata hampir seluruh warga bersedia melakukan pemilahan, baik dengan ada tempat pemilahan yang disediakan oleh pemerintah (94,71%), dengan aturan keharusan memilah oleh pemerintah 94,12%), maupun apabila diminta menyediakan sendiri tempat sampah yang berbeda, meskipun untuk pilihan ketiga tersebut persentasenya lebih kecil (71,76%).

Umumnya masyarakat menilai bahwa pengelolaan sampah adalah untuk kepentingan bersama, meskipun merupakan tanggung jawab pemerintah. Kesediaan masyarakat dalam pemilahan sampah menuntut pemerintah untuk mempersiapkan sistem yang mendukungnya, yaitu kelanjutan dari pemilahan tersebut berupa daur ulang atau pemanfaatannya sebagai sumber energi. Mekanisme dan infrastruktur dalam pengelolaan sampah perlu dibenahi dan dipersiapkan terlebih dahulu. Hal tersebut antara lain dimaksudkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa proses pemilahan yang dilakukan tidak sia-sia dan akan ditindaklanjuti sesuai dengan sistem pengelolaan yang diterapkan. Tanpa itu, akan terulang kasus di rumah susun Klender seperti yang dilaporkan oleh Bebassari (1995), ketika warga yang semula sudah melakukan pemilahan sampah, kembali tidak memilah setelah tahu pada akhirnya sampah tersebut disatukan kembali sebab belum tersedia sistem yang jelas sebagai kelanjutan

dari proses pemilahan yang mereka lakukan. Untuk itu, diperlukan Strategi Partisipasi Komunitas yang meliputi kegiatan:

1. Kajian Potensi Komunitas

Untuk mendukung pengembangan upaya pengelolaan sampah permukiman berbasis masyarakat, diperlukan kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi komunitas, dalam hal ini permukiman berdasarkan tipologinya. Kajian potensi komunitas dapat meliputi inventarisasi tokoh masyarakat yang berpotensi sebagai block leader, serta kelompok-kelompok dalam komunitas yang dapat berperan dalam perubahan persepsi dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sampah, seperti kelompok PKK, Majlis Ta’lim, dan lain-lain.

2. Pengembangan Keswadayaan

Pengembangan kemandirian komunitas dalam mengelola sampah permukiman dapat dilakukan dalam berbagai tahapan dan jenis kegiatan. Untuk itu, perlu dibangun sistem yang efisien dan menyeluruh dengan mengintegrasikan sistem informasi, pengadaan sarana pemilahan dan daur ulang sampah, ketersediaan industri daur ulang, sistem pemasaran yang baik, dan ketersedian sarana pendukung yang diperlukan (misalnya lembaga keuangan, infrastruktur, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta kebijakan yang kondusif). Pada permukiman lapisan atas dan menengah atas, keswadayaan dapat diwujudkan melalui kegiatan pemilahan dan daur ulang dalam skala kawasan (komunal) dan warga berperan melalui retribusi yang dapat membiayai kegiatan pengelolaan sampah tersebut.

3. Pengembangan kemitraan

Dalam rangka memperkuat usaha masyarakat dalam daur ulang sampah yang efisien dan berdaya saing, perlu kemitraan antara usaha ekonomi rakyat dengan usaha ekonomi skala besar, kemitraan antar usaha ekonomi rakyat, dan kemitraan antara usaha ekonomi rakyat dengan pemerintah dalam rangka pengelolaan usaha baik dari sumberdaya manusianya maupun

pengelolaan usahanya (skill and management), pengembangan permodalan,

dan pengembangan pasar. Kemitraan lebih diutamakan pada permukiman lapisan bawah atau menengah-bawah, sehingga sekaligus menjadi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan

(income generating). Meskipun demikian, kemitraan tidak terbatas pada lapisan permukiman tersebut, sebab pada lapisan lain yang lebih tinggi, kemitraan terutama diperlukan untuk menggugah kesadaran dan meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pelestarian lingkungan.