• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teoritis .1 Penerjemahan

2.1.5 Strategi Penerjemahan

penyampaian pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan menyelaraskan kosa kata dan aspek gramatikanya, (2) pengutamaan ekuivalensi isi ketimbang bentuk, (3) pemilihan ekuivalensi yang paling wajar dalam bahasa penerima seraya mempertimbangkan kedekatan dengan makna yang terdapat dalam bahasa sumber, (4) pengutamaan makna daripada gaya, walaupun gaya bahasa juga penting, (5) dan pengutamaan kepentingan pembaca terjemahan”.

Startegi penerjemahan merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan permasalahan penerjemahan. Strategi penerjemahan dimulai dari disadarinya permasalahan oleh penerjemah dan diakhiri dengan disadarinya bahwa masalah tersebut tidak dapat dipecahkan pada titik waktu tertentu (Lorscher, 2005: 73). Strategi penerjemahan identik dengan pengertian metode penerjemahan yang digunakan Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000: 84-93) dan pengertian prosedur oleh Newmark (1988: 68-93) yakni suatu cara mencapai kesepadanan antara teks sumber dan teks sasaran. Dapat dikatakan, dengan menerapkan istilah strategi penerjemahan berarti menerapkan strategi pemadanan dalam proses penerjemahan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menggunakan istilah “strategi penerjemahan” dalam penelitian ini. Terkait dengan istilah strategi, Newmark (1988: 19-30) menyebutnya sebagai prosedur. Prosedur penerjemahan tersebut dibagi dalam empat bentuk sebagai berikut:

1) Textual level (tingkat teks)

Seorang penerjemah harus memahami terlebih dahulu jenis teks yang diterjemahkan khususnya berkaitan dengan kata dan kalimat. Dalam menerjemahkan, kita masih mentransfer tata bahasa BSu ke BSa dengan mudah, begitu juga dengan kata, frasa, kalimat dan ungkapan dalam BSu yang mudah ditemukan kesepadannya dalam BSa. Dapat dibilang bahwa ini masih dalam tahap penerjemahan literal.

2) Referential level (tingkat referensi)

Seorang penerjemah juga memperhatikan istilah atau terminologi dalam teks. Kemudian, pencarian sumber referensi sesuai dengan istilah yang

berkaitan itu. Dalam hal ini, ketika menemukan ketidakjelasan dalam teks atau ketaksaan (ambiguitas) bahkan suatu ungkapan yang terasa asing, pastinya kita akan bertanya-tanya sendiri ataupun kebingungan. Penerjemah membutuhkan tidak hanya kamus ekabahasa tapi juga tesaurus, ensiklopedia, glosari, buku-buku, majalah, koran hingga pencarian di internet.

3) Cohesive level (tingkat kohesif)

Terdapat dua faktor yang perlu ditinjau: struktur dan suasana hati (mood). Pertama, Seorang penerjemah perlu meninjau kekohesifan teks setelah diterjemahkan terutama hubungan antara kata atau kalimat pada teks. Kita akan lebih memerhatikan kata penghubung (konjungsi) berupa kata atau ungkapan penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat. Kedua, faktor ini juga disebut faktor dialektikal. Penerjemahan juga tergantung pada suasana hati penerjemah. Hal ini behubungan dengan perasaan, emosi, netralitas penerjemah. Biasanya penerjemahan ini terjadi pada kata sifat, ungkapan idiomatis, dan suatu peristiwa.

4) Natural level (tingkat alamiah)

Penerjemah harus meyakinkan bahwa terjemahannya masuk akal, terlihat alamiah atau tidak terasa hasil penerjemahan. Artinya, teks harus dengan bahasa yang wajar, tata bahasa yang tidak kaku, serta menggunakan ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan tema di teks. Teks juga dapat dengan mudah dimengerti dan diterima oleh pembaca.

Keempat tataran tersebut sebaiknya dipadukan ketika menerjemahkan karena penerjemahan merupakan suatu diskusi yang dilakukan sendiri dengan ditemani beberapa referensi. Bertolak dari pembagian prosedur penerjemahan tersebut, Newmark (1988) dan Machali (2000) menilai perbedaan antara metode dan prosedur terletak pada satuan penerapannya. Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan teks sedangkan prosedur berlaku untuk kalimat dan satuan-sastuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frasa, kata). Lorscher (2005: 27) membagi strategi penerjemahan menjadi :

1) struktur dasar, 2) struktur perluasan 3) struktur kompleks.

Struktur dasar terdiri atas lima tipe strategi penerjemahan:

• Tipe I adalah pengenalan masalah, yang diikuti oleh pemecahan masalah secara langsung atau diikuti oleh pengenalan masalah yang sementara belum terpecahkan.

• Tipe II sama dengan Tipe I tetapi di dalamnya terdapat fase tambahan, yaitu fase pencarian solusi untuk memecahkan masalah.

• Tipe III juga sama dengan Tipe I, tetapi di dalamnya terdapat fase tambahan, yaitu pemverbalisasian masalah.

• Tipe IV terdiri atas pengenalan masalah, yang diikuti oleh pemecahan masalah secara langsung atau diikuti oleh pengenalan masalah yang sementara belum terpecahkan, dan di dalamnya terdapat fase pencarian solusi untuk memecahkan masalah dan fase pemverbalisasian masalah.

• Tipe V merupakan struktur belah dua. Ketika masalah yang kompleks timbul dan tidak terpecahkan pada waktu yang bersamaan, penerjemah cenderung memecahnya menjadi beberapa bagian dan kemudian bagian-bagian dari masalah tersebut dipecahkan secara berurutan.

Struktur perluasan terdiri atas struktur dasar yang mengandung satu perluasan atau lebih. Perluasan diartikan sebagai unsur-unsur tambahan dari strategi itu sendiri.

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan strategi penerjemahan terhadap pencarian padanan dan pemeriksaan padanan, sebagaiaman yang dikemukakan oleh Krings (1986) yakni beliau mengklasifikasikan strategi penerjemahan menjadi: 1) strategi pemahaman (comprehension), yang meliputi penarikan kesimpulan (inferencing) dan penggunaan buku referensi, 2) pencarian padanan (terutama asosiasi interlingual dan intralingual), 3) pemeriksaan padanan (seperti membandingkan teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran), 4) pengambilan keputusan (memilih di antara dua solusi yang sepadan), dan 5) reduksi (misalnya terhadap porsi teks yang khusus atau metaforis). Di samping itu, fokus tersebut mengacu pada pengertian penerjemahan adalah usaha mengalihkan amanat dari bahasa sumber dengan cara menemukan padanan, yakni suatu bentuk dalam bahasa sasaran dilihat dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber. Kesepadanan merupakan isu sentral dalam penerjemahan karena menyangkut perbandingan teks dalam bahasa yang berbeda. Vinay dan Darbelnet (dalam Leonardi, 2000: 27) memandang penerjemahan yang bberorientasi mencari padanan (equivalence-oriented translation) sebagai suatu prosedur menciptakan

kembali replika situasi yang sama sebagaiman situasi aslinya dengan menggunakan ungkapan yang berbeda.

Beberapa ahli mendefinisikan pemadanan sebagai “pengalihan makna” dimana hal tersebut mengacu pada pengungkapan kembali makna (berkonteks budaya) yang terdapat dalam teks bahasa sumber (unit terjemahan) bke dalam teks bahasa sasaran. Secara leksikal, kata “pengalihan” tersebut di atas mengandung pengertian adanya proses pemindahan, penggantian dan pengubahan. Berbeda halnya dengan Nida dan Taber (1964) yang membedakan kesepadanan dalam terjemahan ke dalam dua jenis:

1. Kesepadanan formal memfokuskan perhatian pada pesan baik dalam bentuknya maupun isinya.

2. Kesepadanan dinamis merupakan prinsip penerjemahan yang menjadi dasar bagi penerjemah untuk menerjemahkan makna asli dalam sebuah cara di mana bahasa Sasaran yang digunakan akan memberikan dampak yang sama pada pembaca seperti dampak yang diciptakan oleh bahasa sumber pada sasaran sumbernya.

Kesepadanan formal pada dasarnya dihasilkan dari proses penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan dasarnya untuk mengungkap sejauh mungkin bentuk dan isi dari pesan asli. Oleh karena itu, dalam proses penerjemahan segala usaha ditujukan untk mereproduksi elemen formal termasuk (1) unit gramatikal, ketaatasasan penggunaan kata dan (2) makna yang sesuai dengan konteks teks sumber. Berlawanan dengan kesepadanan formal, kesepadanan

dinamis berorientasi pada prinsip kesepadanan efek yang diperoleh melalui pemusatan perhatian dalam penerjemahan lebih utama ke arah tanggapan penerima mencapai tingkat kealamian pesan bahasa sumber.

Dalam kaitannya dengan perpadanan, Catford mengidentifikasi dua jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan formal (formal equivalence) yang selanjutnya diubah ke dalam istilah korespondensi formal (formal correspondence) dan (2) kesepadanan tekstual (textual equivalence) yang terjadi bila suatu teks atau sebagian dari teks bahasa sasaran dalam situasi tertentu sepadan dengan teks atau sebagian teks bahasa sumber. Dengan demikian, penerjemahan sebagai proses pemadanan tidaklah sesederhana definisi yang umum diterima, yakni mengungkapkan makna ke dalam bahasa lain. Secara praktek, penerjemahan dapat menjadi rumit, dibuat-buat (artificial) dan dipandang menipu (fraudulent), sebagaimana yang dikemukakan oleh Newmark (1988: 5) “By using another language you are pretending to be someone you are not”.

Walaupun terdapat berbagai alternatif penerapan namun suatu cara pemadanan sangat ditentukan oleh kedekatan tipologi bahasa serta perbedaan budaya sumber dan sasaran. Setelah mengkaji berbagai alternatif yang telah dikemukan oleh berbagai pendapat ahli di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan strategi pemadanan yang dikemukakan oleh Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti,2000: 84-93) seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Strategi pemadanan ini dibagi dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsung (direct translation), dikatakan juga berorientasi pada bahasa sumber dan (2) pemadanan oblik (oblique translation), dikatakan juga berorientasi pada bahasa

sasaran, yang terdiri dari sembilan strategi berbeda. Berikut ini adalah sembilan jenis strategi pemadanan oleh Vinay dan Darbelnet yang dikutip oleh Venuti (2000: 84-93) yang diterapkan pada penelitian ini, diantaranya tiga jenis strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa sumber dan termasuk dalam kategori direct translation meliputi:

1. Borrowing yaitu mengambil dan membawa item leksikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target tanpa modifikasi formal dan semantik. Strategi ini merupakan cara pemadanan yang paling sederhana . Borrowing yang sudah lama dan digunakan secara luas bahkan sudah tidak dianggap lagi sebagai item leksikal pinjaman tetapi sebagai bagian dari leksikon bahasa sasaran.

Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran

Menu Menu

2. Calque, semacam borrowing tertentu dimana suatu bahasa meminjam suatu bentuk ekspresi bahasa lain kemudian menerjemahkannya secara harfiah masing-masing elemennya sehingga menghasilkan lexical calque dengan mempertahankan struktur bahasa sasaran sambil memperkenalkan modus ekspresi baru seperti yang terlihat dalam penerjemahan di bawah ini.

Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran Interest rate Tingkat Suku Bunga

3. Literal Translation, yakni pengalihan langsung teks sumber ke dalam teks sasaran yang sepadan secara gramatikal dan idiomatik.

I like music Saya suka musik

Selanjutnya ada enam jenis strategi pemadanan berorientasi pada bahasa sasaran dan termasuk dalam kategori oblique translation meliputi:

4. Transposisi (transposition), yakni menggantikan elemen bahasa sumber dengan elemen bahasa target yang secara semantik berpadanan namun secar formal tidak berpadanan misalnya karena perubahan kelas kata, perubahan bentuk jamak ke tunggal, posisi kata sifat sampai pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan.

Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran Musical Instruments Alat Musik

5. Modulasi (modulation), yakni pergeseran sudut pandang atau perspektif Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran

I broke my leg Kaki ku patah

6. Equivalence, yakni penggantian sebagian bahasa sumber dengan padanan fungsionalnya dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, suatu situasi yang sama dapat diungkapkan ke dalama dua teks dengan menggunakan metode stilistika dan struktural yang sama. Contoh klasik dari pemadanan ini adalahaa pemadanan bunyi-bunyi onomatopik seperti kukuruyuk (bunyi ayam) berpadanan dengan cock-a-doodle-do dalam bahasa Inggris, ngeong (suara kucing) berpadanan dengan miaow, dan dor (suara senapan/pistol) berpadanan dengan bang. Strategi ini bersifat tetap atau pasti (fixed) dan termasuk dalam “phraseological repertoire” idiom, klise, peribahasa dan sejenis.

7. Adaptasi (adaptation), yakni pengupayaan padana kultural antara dua situasi tertentu. Strategi ini digunakan pada kasus pemadanan dimana situasi yang diacu oleh pesan bahasa sumber tidak dikenal/dimiliki (unknown) dalam budaya bahasa sasaran sebingga penerjemah harus menciptakan situasi yang dapat dianggap sepadan.

Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran

Dear sir Dengan hormat

8. Pemadanan Fungsional (functional equivalent), suatu strategi yang sangat umum digunakan dalam penerjemahan kata berkonteks budaya dengan cara menggunakan kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan terkadang dengan ungkapan spesifik baru. Cara ini menetralisir atau menggeneralisasi kata-kata bahasa sumber dan tidak jarang cara ini disertai dengan penambahan uraian khusus. Strategi ini dinilai sebagai suatu analisis komponensional budaya dan cara yang paling akurat dalam penerjemahan karena dengan dekulturalisasi kata-kata budaya strategi ini menduduki daerah pertengahan atau universal antara bahasa atau budaya bahasa sumber dengan bahasa dan budaya sasaran.

Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran

Baccalaureat French Secondary school

Sejm Polish parliament

9. Pemadanan Deskriptif (descriptive equivalent) merupakan eksplikasi, yakni pemadanan yang dilakukan dengan memberikan deskripsi dan terkadang dipadukan dengan fungsi.

Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran

Samurai The Japanese aristocracy

From the eleventh to the nineteenth century

2.2 Teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit Sebagai Teks Ilmiah

Dokumen terkait