ANALISIS STRATEGI PENERJEMAHAN DAN TINGKAT
KETERBACAAN TEKS BERSITEGUH MENGURAI
BENANG KUSUT DI SIBOLANGIT
TESIS
Oleh
EVY SOFIA MANURUNG
117009010/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS STRATEGI PENERJEMAHAN DAN TINGKAT
KETERBACAAN TEKS BERSITEGUH MENGURAI
BENANG KUSUT DI SIBOLANGIT
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara
Oleh
EVY SOFIA MANURUNG
117009010/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : Analisis Strategi Penerjemahan dan Tingkat Keterbacaan Teks Beristeguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit
Nama Mahasiswa : Evy Sofia Manurung Nomor Pokok : 117009010
Program Studi : Linguistik
Konsentrasi : Kajian Terjemahan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. Roswita Silalahi, M.Hum) (Dr. Irawaty Kahar, M.Pd)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Dr. Syahron Lubis, M.A)
Telah diuji pada
Tanggal : 28 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Roswita Silalahi, M.Hum
Anggota : 1. Dr. Irawaty Kahar, M.Pd
2. Dr. Syahron Lubis, M.A
PERNYATAAN
Judul Tesis
“ANALISIS STRATEGI PENERJEMAHAN DAN TINGKAT
KETERBACAAN TEKS BERSITEGUH MENGURAIBENANG KUSUT DI SIBOLANGIT”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Linguistik Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya
penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis
ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Penulis,
Evy Sofia Manurung
ANALISIS STRATEGI PENERJEMAHAN DAN TINGKAT KETERBACAAN TEKS BERSITEGUH MENGURAI
BENANG KUSUT DI SIBOLANGIT
ABSTRAK
Kata Kunci : Strategi Penerjemahan, Kesepadanan, Tingkat Keterbacaan, Grafik Fry
ANALYZING TRANSLATION STRATEGIES AND READIBILITY ON TRANSLATED TEXT BERSITEGUH MENGURAI
BENANG KUSUT DI SIBOLANGIT
ABSTRACT
The objectives of this reserach are to either describe the translation strategies or to know and to measure the readibility of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text. The research method applied is qualitative descriptive approach and the data presentation is in embeded research. This research does not only analyze the kinds of translation strategy but also the readibility of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text. It is conducted by applying document analysis approach. The unit analysis are Consistent in Loosening Tangled Thread in Sibolangit text consists of 161 sentences, 3.527 English words and Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text consists of 161 sentences, 3.158 Indonesian words. The findings show that there are eight translation strategies applied in this research. They are: (1) borrowing: 7,45%, (2) calque: 9,32%, (3) literal translation: 10,56%, (4) transposition: 13,04%, (5) modulation: 18,01%, (6) adaptation: 10,56%, (7) functional equivalent : 16,77%, (8) descriptive equivalent (14,29%). Modulation strategy has the highest frequency of all. The readibility of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text is in difficult category text. It was found clearly from the Fry Graphics. If the readibility number is above 11, it is a difficult category text, if they are among 9,10,11 called standard/appropriate category text, below 11 is in easy category text and it will be invalid if it is in “shaded in area”. The readibility number of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text is shown in “17” area. That is why it is categorized as a difficult text. The text is “difficult” means here that the text is standard to the target readers namely the civil servants of Bappeda Deli Serdang, that most of them are from S1 and S2. The inaccuracy of translation process must be prevented so that the appropriate readibility can be gained.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kemurahan dan Kasih-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat waktu. Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.
Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc, (CTM), Sp.A(K).
2. Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai penguji, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, yang telah memberikan arahan dan dukungan kepada penulis.
3. Pembimbing, Ibu Dr. Roswita Silalahi, M.Hum, sebagai pembimbing pertama yang telah mengarahkan, membantu, dan mendampingi penulis sejak dari awal sampai selesai penulisan tesis ini.
5. Penguji Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A dan Bapak Dr. Muhizar Muchtar, M.S yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam penyelesaian tesis ini. 6. Sekretaris Program Studi Linguistik Universitas Sumatera Utara, Ibu Dr.
Nurlela, M.Hum.
7. Keluarga yang saya cintai khususnya kepada kedua orang tua tercinta Bapak M. Manurung dan Ibu R. Pasaribu, S.Pd, Kakak saya tercinta Lenny Melkiana Manroe, S.Pd, adik-adik saya yang tercinta Jackson Manroe, Ameli Oktavia Manroe, Esi Wilia Manroe dan Kekasih hati saya Christian Simanjuntak yang telah memberi dukungan baik moral, doa, financial dan motivasi. Atas dukungan mereka , penulis dapat selesai dengan tepat waktu.
8. Teman-teman kuliah di Translation Studies (2011) P’Demetrius, Mas Supriyadi, P’Ganda, Merry, P’Bertova, P’Ismail, bunda Irfah, kakanda Tedty, bunda Hani, Mas Apraisman, Boy, Ratih and Yuni yang selalu mengingatkan dan menolong penulis dalam penyelesaian tesis ini.
9. Teman-teman di Oriflame dan Harvest yang telah memberikan dukungan moral kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan Semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada pembaca.
Medan, Juli 2013 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
Nama : EVY SOFIA MANURUNG
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : PKS RAMBUTAN, 15 Juli 1987
Alamat : Jln. Saudara Gg. Mandor Medan
Agama : Kristen Protestan
Status : Belum Menikah
HP : 0852 9645 0954
Alamat Kantor : Jln Negara No.300 Sei Rampah
E-mail : sofiemanurung@ymail.com
II. Riwayat Pendidikan
Tahun 1993-1999 : SD Swasta R.A.Kartini Kota T.Tinggi, Tahun 1999-2002 : SMP Negeri 1 Kota Tebing Tinggi, Tahun 2002-2005 : SMA Negeri 1 Kota Tebing Tinggi
Tahun 2005-2009 : USU
III. Riwayat Pekerjaan
Tahun 2007- Sekarang : Staf Pengajar BT/BS Medica
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Teoritis ... 11
2.1.1 Definisi Penerjemahan ... 11
2.1.2 Jenis-jenis Penerjemahan ... 14
2.1.3 Kompleksitas Penerjemahan ... 17
2.1.4 Ekuivalensi dalam Penerjemahan ... 19
2.1.5 Strategi Penerjemahan ... 20
2.2 Teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit sebagai Teks Ilmiah ... 29
2.3 Tingkat Keterbacaan Teks ... 30
2.3.1 Formula Keterbacaan ... 33
2.4 Penelitian yang Relevan ... 36
2.5 Kerangka Berpikir ... 46
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ... 48
3.2 Sumber Data ... 49
3.2.1 Data ... 50
3.3 Pengolahan Data ... 50
3.4 Langkah Mengukur Tingkat Keterbacaan Teks ... 51
3.5 Jadwal dan Waktu Penelitian ... 52
BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Penelitian ... 53
4.1.1 Strategi Penerjemahan ... 53
2 Calque... 55
3 Literal Translation ... 57
4 Transposisi ... 58
5 Modulasi ... 60
6 Adaptasi ... 61
7 Pemadanan Fungsional ... 63
8 Pemadanan Deskriptif ... 65
4.2 Pembahasan Strategi Penerjemahan ... 66
4.3 Strategi “Modulasi” sebagai Penerapan dengan Frekuensi Tertinggi ... 69
4.4 Strategi “Borrowing” sebagai Penerapan dengan Frekuensi Terendah ... 69
4.5 Keterbacaan Teks ... 70
4.6 Pembahasan Tingkat Keterbacaan ... 74
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 78
5.1 Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1 Tabel 3.1 Jadwal dan Waktu Penelitian 52
2 3 4 5 6
Tabel 4.1 Identifikasi Strategi Borrowing (1) Tabel 4.2 Identifikasi Strategi Borrowing (2) Tabel 4.2 Identifikasi Strategi Borrowing (3) Tabel 4.3 Identifikasi Strategi Calque (1) Tabel 4.3 Identifikasi Strategi Calque (2)
54 54 55 55 56 7 Tabel 4.4 Identifikasi Strategi Calque (3) 56 8
9 10 11 12
Tabel 4.5 Identifikasi Strategi Literal Translation (1) Tabel 4.6 Identifikasi Strategi Literal Translation (2) Tabel 4.6 Identifikasi Strategi Literal Translation (3) Tabel 4.7 Identifikasi Strategi Transposisi (1)
Tabel 4.7 Identifikasi Strategi Transposisi (2)
57 57 58 58 59 13 Tabel 4.8 Identifikasi Strategi Transposisi (3) 60 14
15 16 17 18
Tabel 4.9 Identifikasi Strategi Modulasi (1) Tabel 4.10. Identifikasi Strategi Modulasi (2) Tabel 4.10. Identifikasi Strategi Modulasi (3) Tabel 4.11 Identifikasi Strategi Adaptasi (1) Tabel 4.11 Identifikasi Strategi Adaptasi (2)
60 61 62 62 64 19 Tabel 4.12 Identifikasi Strategi Adaptasi (3) 63 20
21 22 23 24
Tabel 4.13 Identifikasi Strategi Pemadanan Fungsional (1) Tabel 4.14 Identifikasi Strategi Pemadanan Fungsional (2) Tabel 4.14 Identifikasi Strategi Pemadanan Fungsional (3) Tabel 4.15 Identifikasi Strategi Pemadanan Deskriptif (1) Tabel 4.15 Identifikasi Strategi Pemadanan Deskriptif (2)
25 Tabel 4.16 Identifikasi Strategi Pemadanan Deskriptif (3) 65 26 Tabel 4.10 Frekuensi Penerapan Strategi Penerjemahan 66
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1 Gambar 2.1 Grafik Fry 34
2 3
Gambar 4.1 Frekuensi Penerapan Strategi Penerjemahan Gambar 4.2 Identifikasi Tingkat Keterbacaan
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1 Lampiran 1. Identifikasi Strategi Penerjemahan 86 2
3
Lampiran 2. Teks Bahasa Sumber (Bahasa Inggris) Lampiran 3. Teks Bahasa Sasaran (Bahasa Indonesia)
Penulis,
Evy Sofia Manurung
ANALISIS STRATEGI PENERJEMAHAN DAN TINGKAT KETERBACAAN TEKS BERSITEGUH MENGURAI
BENANG KUSUT DI SIBOLANGIT
ABSTRAK
Kata Kunci : Strategi Penerjemahan, Kesepadanan, Tingkat Keterbacaan, Grafik Fry
ANALYZING TRANSLATION STRATEGIES AND READIBILITY ON TRANSLATED TEXT BERSITEGUH MENGURAI
BENANG KUSUT DI SIBOLANGIT
ABSTRACT
The objectives of this reserach are to either describe the translation strategies or to know and to measure the readibility of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text. The research method applied is qualitative descriptive approach and the data presentation is in embeded research. This research does not only analyze the kinds of translation strategy but also the readibility of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text. It is conducted by applying document analysis approach. The unit analysis are Consistent in Loosening Tangled Thread in Sibolangit text consists of 161 sentences, 3.527 English words and Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text consists of 161 sentences, 3.158 Indonesian words. The findings show that there are eight translation strategies applied in this research. They are: (1) borrowing: 7,45%, (2) calque: 9,32%, (3) literal translation: 10,56%, (4) transposition: 13,04%, (5) modulation: 18,01%, (6) adaptation: 10,56%, (7) functional equivalent : 16,77%, (8) descriptive equivalent (14,29%). Modulation strategy has the highest frequency of all. The readibility of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text is in difficult category text. It was found clearly from the Fry Graphics. If the readibility number is above 11, it is a difficult category text, if they are among 9,10,11 called standard/appropriate category text, below 11 is in easy category text and it will be invalid if it is in “shaded in area”. The readibility number of Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit text is shown in “17” area. That is why it is categorized as a difficult text. The text is “difficult” means here that the text is standard to the target readers namely the civil servants of Bappeda Deli Serdang, that most of them are from S1 and S2. The inaccuracy of translation process must be prevented so that the appropriate readibility can be gained.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Provinsi Sumatera Utara umumnya memiliki potensi wisata yang cukup banyak,
diantaranya adalah ekowisata. Hal yang paling menggembirakan adalah banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberi perhatian besar dan
keturutsertaan mereka dalam mengembangkan ekowisata tersebut. Pengelolaan ekowisata tidaklah terlepas dari sektor bisnis, oleh karena itu diperlukan pelatihan untuk pengelolaaan suatu usaha kecil. JICA (Japan International Cooperation
Agency), salah satu organisasi Non-Pemerintah atau NGO yang telah berhasil mengadakan pelatihan-pelatihan tersebut. Saat ini JICA juga telah menelurkan
sebuah buku dengan judul From the Ocean to the Mountain: Observing the Paths, Appraising the Promises (bahasa sumber) atau Dari Laut ke Gunung: Meninjau Jejak, Menakar Ikrar (bahasa sasaran) yang berisi kompilasi artikel proyek-proyek
CEP (Community Empowerment Program) di seluruh Indonesia yang didasarkan pada catatan-catatatn dan lesson-learned ke-16 LSM yang telah dan sedang
menggarap 17 proyek CEP.
juga disajikan dalam dua bahasa yakni bahasa Inggris sebagai bahasa sumber dan bahasa indonesia sebagai bahasa Sasaran. Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia
telah dilakukan dengan harapan agar pesan atau makna yang terdapat pada artikel-artikel proyek CEP-JICA tersebut dapat menjangkau pembaca dari kalangan
Pemkab Deli Serdang dan BAPEDALSU (Badan Dampak dan Lingkungan Sumatera Utara) pada khususnya, dan kalangan masyarakat Sibolangit serta masyarakat Sumatera Utara pada umumnya. Dari Harapan yang dijelaskan
sebelumnya, terlihat jelas bahwa keterbacaan penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran sangat penting, karena tingkat keterbacaan selalu berbanding lurus
dengan makna yang hendak disampaikan. Nida dan Taber (1982:12) memberikan definisi tentang penerjemahan “Translating consists of reproducing in the receptor language the closer natural equivalenvce of the source language mesage, first in
term of meaning and secondly in terms of style”. Dapat dikatakan, penerjemahan adalah usaha mencipta kembali pesan dalam bahasa yang sedekat mungkin,
pertama-tama dalam hal makna dan kemudian gaya bahasanya.
Banyak perspektif yang dikemukakan oleh para ahli tentang penerjemahan. Penerjemahan terkadang dianggap suatu kegiatan mengalihkan kata demi kata dari
bahasa sumber ke bahasa sasaran. Padahal, menerjemahkan sesungguhnya adalah usaha menghadirkan pesan secara ekuivalen, sebab ada amanat yang harus
disampaikan kepada pembaca. Penjelasan singkat tersebut di atas tentu sudah memberi sedikit gambaran bahwa menerjemahkan itu tidaklah mudah. Esensi penerjemahan sesungguhnya menyampaikan gagasan, pemikiran, perasaan dari
pembaca.Teks terjemahan yang mengandung makna tidak lengkap atau rancu akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap pembaca. Kenyataannya adalah, setiap
bahasa memiliki keunikannya masing-masing dengan fitur-fitur budaya yang menyertainya, keunikannya inilah yang menyebabkan sesuatu menjadi mungkin
dalam menghasilkan terjemahan yang ideal. Sesuai dengan pendapat Hatim (2001: 10) yang menyatakan “A translation work is a multi-faceted activity; it is not simple matter of vocabulary and grammar only but that it can never be separated from the
culture”, yakni penerjemahan adalah sesuatu yang kompleks. Proses penerjemahan tidak hanya menyangkut kosa kata dan tata bahasa saja, tetapi juga menyangkut
masalah budaya. Seorang penerjemah bahasa biasanya mempelajari berbagai macam istilah dari berbagai cabang ilmu yang kadang tidak dimengerti oleh orang awam.
Kendala yang seringkali terjadi dalam interaksi baik secara tulisan (translasi) maupun lisan (interpretasi) adalah perbedaan pada kebudayaan.
Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam penerjemahan antar bahasa. Seorang penerjemah yang handal biasanya tidak hanya belajar soal bahasa atau teknik penerjemahan saja namun juga mempelajari tentang
kebudayaan dimana bahasa tersebut digunakan. Mempelajari kebudayaan ini erat kaitannya dengan kebiasaan penggunaan bahasa sehari-hari serta bahasa slang yang
kadang tidak akan ditemui di kamus-kamus formal.
Pada hakekatnya, bahasa yang digunakan dalam proses penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran yang merupakan salah satu persyaratan yang
teks harus sesuai dengan kemampuan membaca pembacanya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Richards et.al seperti yang dikutip oleh Nababan (2007: 19),
keterbacaan merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Dari uraian di atas, keterbacaan itu dengan jelas menunjukkan
bahwa ada dua faktor umum yang mempengaruhi keterbacaan teks, yaitu (1) unsur-unsur linguistik yang digunakan untuk menyampaikan pesan, dan (2) keterampilan membaca para pembaca. Keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik,
yang didasarkan pada panjang rata-rata kalimat, kompleksitas struktur kalimat, dan jumlah kata baru yang digunakan dalam teks. Kata-kata yang berfrekuensi
pemakaian tinggi (lazim) lebih mudah dipahami dibanding dengan kata-kata yang jarang dipakai atau jarang dijumpai. Demikian juga bentuk, jenis, dan makna kata, seperti kata benda abstrak, istilah, serapan, penghubung, dan kata majemuk
dipertimbangkan sebagai indikator keterbacaan.
Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa keterbacaan teks dilihat dari
keterbacaan masing-masing paragrafnya. Lebih lanjut, keterbacaan paragraf dapat dilihat dari keterbacaan kalimat pendukung, dan dari jenis, tipe, serta kata-kata pembentuknya. Semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan
bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah. Kriteria kesulitan
kata juga didasarkan atas wujud/struktur yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut
panjang-pendeknya sebuah kata benar-benar dapat menjadi indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan kata zaman, maka kita
akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi keterbacaannya, walaupun katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman, begitu pula sebaliknya.
Teks yang berjudul “Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit”
adalah hasil terjemahan dari “Consistent in Loosening Tangled Thread in Sibolangit”. “Consistent” (kata sifat) diterjemahkan menjadi “bersiteguh” (kata
kerja) merupakan terjemahan yang menggunakan strategi penerjemahan yang menggunakan padanan kata yang se-alami atau lebih umum dan netral dan se-dekat mungkin/tidak mengubah makna. Dapat dikatakan bahwa strategi penerjemahan
merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan permasalahan penerjemahan. Oleh sebab itu, strategi penerjemahan diawali dari
kesadaran penerjemah tentang adanya sebuah permasalahan dan diakhiri dengan pemecahan permasalahan atau disadarinya bahwa masalah tersebut tidak dapat dipecahkan pada titik waktu tertentu. Pada umumnya beberapa ahli penerjemahan
menggunakan istilah yang berbeda untuk “strategi penerjemahan”. Vinay dan Darbelnet (2000) serta Baker (1992) menggunakan “strategi”, Hoed (2006)
memakai istilah “teknik”, sedangkan Newmark (1988) menyatakan “prosedur”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa strategi, prosedur dan teknik penerjemahan digunakan untuk mengatasi masalah penerjemahan. Alasan
Penerjemahan Consistent in Loosening Tangled Thread in Sibolangit menjadi Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit merupakan satu contoh
penggunaan strategi penerjemahan. Bagaimana dengan keseluruhan teks?. Uraian tersebut di atas merupakan hal yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian
tentang strategi penerjemahan yakni keingintahuan peneliti tentang cara menemukan pemadanan terjemahan yang tepat dalam teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit dan mengetahui tingkat keterbacaannya.
Vinay dan Darbelnet yang dikutip oleh Venuti (2008: 84-93) mengemukakan cara pemadanan dan membaginya dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsumg (direct translation) dan (2) pemadanan oblik (oblique
translation) yang terdiri dari tujuh strategi berbeda. Namun, secara garis besar terdapat beberapa kemungkinan kesepadanan dalam penerjemahan, yakni (1)
sepadan sekaligus berkorespondensi, (2) sepadan tapi bentuk tidak berkorespondensi, dan (3) sepadan dan makna tidak berkorespondensi karena beda cakupan makna. Penerjemahan sebagai proses pemadanan tidaklah sesederhana
definisi yang umum diterima, yakni mengungkapkan makna ke dalam bahasa lain. Menurut Nida yang dikutip Silalahi (2009: 16), proses penerjemahan merujuk pada
linguistic operation (operasi linguistik) yang dilakukan oleh penerjemah dalam mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke bahasa sasaran dan diwujudkan dalam tiga tahapan: 1) analisis teks bahasa sumber, 2) pengalihan pesan, 3) penyusunan
kembali teks bahasa sasaran.
Dalam bidang linguistik, penerjemahan dikelompokkan ke dalam bidang
sebagaimana yang diuraikan pada penjelasan di atas. Kenyataannya, penerjemahan sering memunculkan perdebatan dan kompleksitas masalah yang berujung pada
hasil terjemahan yang kurang atau bahkan tidak berkualitas. Masalah penerjemahan cenderung teletak pada pengalihan arti (rendering) baik secar leksikal, semantik
dan atau secara pragmatik dari bahasa sumber ke bahsa sasaran. Masalah lain yang timbul ialah ketiadaan padanan kata bahasa sumber dalam bahasa sasaran, dalam situasi seperti itu timbul masalah ketakterjemahan linguistik (linguistic
untranslatability) dan ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability) karena setiap bahasa mempunyai ciri-ciri tersendiri ”sui generis” yang berbeda dari bahasa
lain.
Kegiatan penerjemahan sering berhadapan dengan berbagai varian teks diantaranya teks hukum, teks sastra, teks medis dan teks ilmiah lainnya. Salah satu
jenis teks ilmiah adalah teks ilmiah populer. Teks tentang proyek CEP-JICA merupakan teks ilmiah populer karena teks tersebut tidak terikat secara ketat
dengan aturan penulisan ilmiah, karena ditulis lebih bersifat umum, untuk konsumsi publik. Suatu teks dinamakan teks ilmiah populer karena ditulis bukan untuk keperluan akademik tetapi untuk menjangkau pembaca khalayak, selain itu
aturan-aturan penulisan ilmiahnya juga fleksibel..
Penelitian dengan judul “Analisis Strategi Penerjemahan pada Teks Mengurai Benang Kusut di Sibolangit” mengkaji suatu produk terjemahan sebagai
genre teks ilmiah yang berfokus pada segi cara pandang dan strategi penerjemahan yang terdapat didalamnya. Kesepadanan yang dapat dicapai pada teks hasil
peneliti/pengada proyek dan masyarakat Sumatera Utara khususnya masyarakat Siobolangit sebagai penduduk dimana proyek tersebut diadakan. Pengidentifikasian
teks yang terkait dengan proses penerjemahan merupakan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti. Proses penerjemahan itu sendiri menyangkut pemilihan
padanan yang paling mendekati untuk unit bahasa sumber dalam bahasa sasaran. Berdasarkan pada tingkat unit bahasa yang akan diterjemahkan, Riazi (2003) mengelompokkan pendekatan terhadap penerjemahan menjadi (1) penerjemahan
pada tataran kata (word for word translation), (2) penerjemahan pada tataran kalimat, dan (3) penerjemahan konseptual (unit terjemahan bukan pada tingkatan
kata atau kalimat).
Setiap penerjemah memiliki istilah tersendiri dalam menentukan suatu strategi penerjemahan dimana hal-hal tersebut dijadikan acuan dalam melakukan
proses penerjemahan yang kemudian menghasilkan produk terjemahan yang ideal, yakni adanya kesepadanan makna antar bahasa sumber dan bahasa sasaran. Strategi
penerjemahan tersebut merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan permasalahan penerjemahan.
Strategi penerjemahan sangatlah penting karena penerapan strategi
penerjemahan yang tepat, akurat, dan berterima sangat berperan dalam menentukan kualitas terjemahan. Keakuratan dalam penerapan strategi penerjemaahn juga akan
menghindari hasil terjemahan yang tidak ideal. Jika hasil terjemahan tidak ideal maka pesan dari bahasa sumber tidak tersampaikan dengan baik. Borrowing, Calque, dan Literal Translation mungkin adalah beberapa contoh strategi
dan tidak memerlukan proses pemikiran yang serius. Sebagai contoh, Bonus (BS) diterjemahkan menjadi Bonus (BT).
Strategi pemadanan dengan melakukan pergeseran bentuk juga dapat menentukan keterbacaan produk terjemahan seperti yang telah dijelaskan pada
pemaparan terdahulu. Uraian tersebut di atas semakin memantapkan peneliti untuk mengangkat permasalahan dengan judul penelitian “Analisis Strategi Penerjemahan dan Tingkat Keterbacaan pada Teks Bersiteguh mengurai Benang Kusut di
Sibolangit” sebagai penelitian.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Jenis strategi penerjemahan apa saja yang digunakan pada proses penerjemahan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit?
b. Bagaimana tingkat keterbacaan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan strategi penerjemahan yang digunakan dalam proses penerjemahan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.
b. Mengetahui dan mengukur tingkat keterbacaan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dibedakan atas manfaat teoritis dan praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
b. Sebagai referensi bagi penelitian lanjutan dengan topik yang sama namun dalam aspek maupun metode yang berbeda.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan kepada LSM dan CEP-JICA dalam
pengembangan lanjutan terhadap buku kompilasi berisi artikel-artikel proyek (bilingual) yang diadakan di Sibolangit.
b. Sebagai media informasi tentang ekowisata di Sibolangit bagi
Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan seluruh masyarakat.
1.5 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas dan untuk memfokuskan objek penelitian maka peneliti membuat suatu batasan runag lingkup yakni: a. Strategi penerjemahan baik yang berorientasi pada teks sumber maupun teks
sasaran, yakni hanya satu unsur strategi penerjemahan untuk setiap kata, frasa, klausa dan kalimat.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Teoritis 2.1.1 Penerjemahan
Larson (1984: 3) mendefinisikan penerjemahan sebagai pengalihan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui tiga (3) langkah pendekatan, yakni:
1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber, 2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya, dan 3) mengungkapkan kembali makna yang sama dengan
menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai yang sesuai dalam bahasa sasaran.
Halliday (dalam Steiner, 2001: 17) mengemukakan bahwa terjemahan yang baik adalah suatu teks yang merupakan terjemahan ekuivalen terkait dengan fitur-fitur linguistik yang bernilai dalam konteks penerjemahan. Berdasarkan beberapa
definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas, terlihat adanya kesepakatan bahwa penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multilanguage) yakni adanya transfer makna dari bahasa sumber
(Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Dalam penerjemahan, transfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dibarengi dengan keakuratan pesan, keterbacaan dan
Dari perspektif ekuivalensi, penerjemahan itu melibatkan usaha menghasilkan kembali ke dalam bahasa si penerima, pesan dari bahasa sumber
yang ekuivalen se-alami mungkin dan se-dekat mungkin dengan bahasa sumbernya, dari segi arti dan gaya (Nida dan Taber, 1969: 12), sedangkan dari
perspektif makna, Brislin (dalam Ahmad, 2011: 12) menerjemahkan berarti mengalihkan makna, “Translation is the general term referring to the transfer of thoughts and ideas from one language (source) to another (target).
Penerjemahan itu sendiri juga tidak terlepas dari seni. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat ahli bahwa seni mengganti bahasa ucapan atau lisan
dari bahasa sumber ke dalam bahasa yang dituju. Penerjemahan dapat dikatakan seni, dikarenakan adanya hubungan yang sangat erat antara language taste (selera bahasa) penulis dengan penerjemah.. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
penerjemahan adalah busana pemikiran seseorang. Apabila busana itu baik dan dipakai sesuai dengan suasana dan keadaan, maka akan terlihat indah dan menarik.
Dalam penerjemahan, yang paling mendasar adalah kemampuan berpikir dan memindahkan hasil pemikiran ke dalam ungkapan yang baik.
Terlepas dari kaitan seni, penerjemahan juga melibatkan bidang linguistik
kedua bahasa yaitu bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa), yang mencakup teori makna (semantik), metode, prosedur, dan teknik penerjemahan, dan bidang
ilmu teks yang diterjemahkan (Bell, 1991: 10). Dengan demikian, penerjemahan dapat melibatkan beberapa pihak terkait sesuai dengan teks yang akan diterjemahkan. Hal ini disebabkan seorang penerjemah tidak akan menguasai
penerjemahan menemui kesulitan dalam menerjemahkan, dia dapat berkonsultasi dengan pakar bidang ilmu terkait.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli di atas mengenai penerjemahan, maka dapat dimaknai bahwa “penerjemahan adalah proses menemukan makna/.arti yang
sepadan dari bahasa sumber ke bahasa target”, sebagaimana yang dikemukakan Halliday (dalam Steiner, 2001: 17), “A good translation is a text which is a translation (i.e is equivalent) in respect of those linguistic features which are most valued in the given
translation”. Masalah kesepadanan merupakan bagian inti dari teori dan praktek penerjemahan karena proses penerjemahan selalu melibatkan pencarian padanan. Barnstone (dalam Nababan, 2007: 62) “Analisis kesepadanan terjemahan merupakan suatu analisis yang menggiring kepada konteks keterjemahan dan ketakterjemahan. Konteks keterjemahan pada umumnya tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan, sebaliknya konteks ketakterjemahan menimbulkan permasalahan karena penerjemah harus menemukan padanan yang sesuai dalam Bahasa Sasaran “. Menurut Baker (1992: 21), kesulitan yang timbul dalam menemukan padanan disebabkan oleh 2 hal yakni :
1. Konsep khusus budaya
2. Kata bahasa Sumber yang tidak tersedia dalam bahasa Sasaran
Kata bahasa Sumber diterjemahkan ke dalam suatu konsep yang dikenal dalam bahasa Sasaran tetapi bahasa Sasaran tidak mempunyai padanan satu-satu untuk mengungkapkannya. Misalnya kata “hamburger” dalam bahasa Inggris yang sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia, tetapi bahasa Indonesia tidak mempunyai padanan satu-satu untuk mengungkapkan konsep yang dikandung oleh jenis makanan tersebut.
Oleh sebab itu, diperlukan strategi-strategi tertentu yang harus digunakan
penerjemah untuk menemukan efek padan dalam suatu hasil terjemahan. Strategi
penerjemahan merupakan bagian dari proses penerjemahan yang diterapkan pada
saat proses penerjemahan berlangsung, baik pada tahap analisis teks bahasa Sumber
maupun pada tahap pengalihan pesan (Silalahi, 2009: 29). Suryawinata dan Hariyanto
(2003: 67) mengklasifikasikan strategi penerjemahan menjadi dua jenis yaitu strategi
struktural dan strategi semantis. Strategi struktural mengacu kepada bentuk atau
struktur bahasa, sedangkan strategi semantis mengacu pada makna atau pesan
bahasa.
2.1.2 Jenis-jenis Penerjemahan
Pada umumnya, terjemahan dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu:
Terjemahan seperti ini sering disebut dengan parafrase atau menggunakan kata-kata lain untuk menyampaikan pesan yang sama.
b. Interlingual translation, terjemahan antar bahasa yaitu menerjemahkan teks sumber ke teks target dalam bahasa yang berbeda. Misalnya, teks
sumber adalah bahasa Inggris maka teks targetnya adalah bahasa Indonesia. c. Intersemiotic translation, terjemahan sistem lambang/non verbal yaitu
menerjemahkan suatu lambang/tanda/gambar/ yang digunakan untuk
menyampaikan suatu pesan dengan kata-kata atau secara verbaal. Contoh: huruf “S” yang dicoret sebagai rambu lalu lintas diterjemahkan sebagai “dilarang berhenti” (Jakobson, 2000: 114).
Larson (1984) membagi terjemahan menjadi dua yaitu terjemahan yang berdasarkan makna (meaning-based translation) dan terjemahan yang berdasarkan
bentuk (form-based translation). Terjemahan berdasarkan makna cenderung mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber dalam bentuk bahasa sasaran yang
alami, dengan demikina terjemahan tersebut dikatakan sebagai terjemahan idiomatik. Teori pembagian jenis terjemahan berdasarkan Larson memiliki persamaan dengan teori pergeseran-pergeseran (shifts) Catford yang
mengembangkan form-based translation menjadi pergeseran-pergeseran berdasarkan kategori (category shifts) dalam empat jenis pergeseran, yakni:
(1)Pergeseran Struktural (Structural shifts), dalam pengelompokan pergeseran
kategori, pergeseran struktur inilah yang paling sering terjadi. Secara gramatika, pergeseran struktur dapat muncul pada berbagai tataran (kata,
Sebagai contoh, sebuah kalimat dalam bahasa sumber diterjemahkan masih dalam tingkatan kalimat juga, walaupun secara gramatika kalimat dalam
bahasa sasaran berbeda. Contoh:
Pasif Aktif
Your message has been sent mi telah mengirim pesan anda
(2)Pergeseran kelas (Class shifts), pergeseran kelas kata ini terjadi ketika kelas kata dalam bahasa sumber berbeda dengan kelas kata dalam bahasa sasaran.
Contoh :
Preposisi Konjungsi
After that, I walked her home rbelanja, aku mengantarnya pulang
(3)Pergeseran unit (Unit shifts), pergeseran ini hampir sama dengan pergeseran struktur (structure shift), tetapi pada pergeseran tataran ini, tingkatan antara
bahasa sumber dan bahasa sasarannya berbeda. Misalnya, dua buah kata dalam bahasa sumber dapat menjadi sebuah kata saja dalam bahasa sasaran.
Contoh :
Frasa Kata
His father is very nice Ayahnya sangat baik
(4)Pergeseran intra-sistem (Intra-system Shifts), pergeseran ini terjadi pada
dalam penerjemahan bentuk tunggal sebuah bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dapat terjadi pergeseran bentuk.
Contoh :
Plural Singular
People often think negative about
him
Orang sering berpikir negatif tentang dia
2.1.3 Kompleksitas Penerjemahan
Penerjemahan teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tidak bisa lagi menghindar dari keharusan menggunakan genre sebagai salah satu paradigma yang mampu menyederhanakan kompleksitas aktivitas penerjemahan itu sendiri. Dengan mengenali aktivitas komunikasi dari teks yang akan diterjemahkan, tujuan
komunikasinya, ekspresi atau terminologi yang biasa digunakan dalam teks tertentu (jurnal akademik, laporan penelitian, kontrak, MOU, iklan, press release, undangan,
ijazah, akte lahir, dll), bentuk fisik, struktur retoris, kosa kata dan tata bahasa yang lazim digunakan, akan sangat membantu seorang penerjemah lebih fokus dan menyadari batasan-batasan (constraint) yang dihadapinya. Dengan demikian,
proses penerjemahan tidak lagi bertumpu pada pengalihan kata, frasa atau kalimat, tetapi mengalihkan tujuan komunikasi , ekspresi yang telah mentradisi, struktur
retoris dan konsep berpikir institusional dan kultural produser teks ke dalam teks bahasa sasaran dengan “repertoir” yang dapat dipahami oleh konsumen teks.
Selain penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, proses penerjemahan
keahlian yang akan menunjang kualitas produk terjemahan. Terjemahan dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai pengetahuan bahasa asing.
Kekompleksitasan penerjemahan semakin terlihat dengan tidak menjadi semakin mudahnya proses menerjemahkan suatu teks dari waktu ke waktu. Bagi para
penerjemah yang paling ahli sekalipun, dalam beberapa hal, tugas itu menjadi sulit. Para penerjemah harus gigih dan sabar dalam menerjemahkan suatu teks dan diperlukan waktu berhari-hari hanya untuk mencari satu istilah terjemahan yang
tepat, meneliti latar belakang buku itu, membaca baris per baris untuk menangkap maksud si penulis yang sebenarnya. Kesetiaan adalah satu unsur terpenting dalam
menerjemahkan.
Bell (1991: 38-41) memberikan uraian profesionalisme, dimana profesionalisme tersebut mutlak diperlukan untuk penanganna kompleksitas proses
penerjemahan. Profesional tersebut terdiri dari beberapa kompetensi, yaitu: 1. Kompetensi dalam dua bahasa (Ideal bilingual competence)
2. Memiliki keahlian (expertise) dalam pengetahuan dasar genre teks serta terampil menyimpulkan (inference) dan,
3. Kompetensi dalam komunikasi
Dalam melaksanakan kegiatan penerjemahan, penerjemah tidak terlepas dari permasalahan teknis. Oleh sebab itu, seorang penerjemah sangat perlu berhati-hati
2.1.4 Ekuivalensi dalam Terjemahan
Terjemahan adalah penggantian dari bahan tekstual dalam bahasa sumber ke bahan tekstual yang ekuivalen dalam bahasa target (Catford dalam Hornby 1990: 20). Dari definisi tersebut, tentulah pencapaian ekuivalensi dalam penerjemahan
sangat penting. Hal ini telah diuraikan oleh Jacobson (1959/2000) dalam artikelnya yang berjudul “On Linguistic Aspect of Translation”. Dalam tulisannya tersebut,
dijelaskan bahwa tidak ada ekuivalensi penuh antar kode unit-unit. Misalnya untuk kata “cheese” yang merupakan kode unit dalam bahasa Inggris ternyata tidak sama dengan kata “syr” dalam bahasa Rusia. Dengan demikian, Jacobson menambahkan
bahwa dalam proses penerjemahan, penerjemah mengkodekan dan mengalihkan pesan yang diterimanya dari sumber lain. Maka terjemahan itu melibatkan dua
pesan yang ekuivalen dalam dua kode yang berbeda. Namun Nida sebagaimana
dikutip oleh M. Zaka Al-Farizi (dalam
penyampaian pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan
menyelaraskan kosa kata dan aspek gramatikanya, (2) pengutamaan ekuivalensi isi ketimbang bentuk, (3) pemilihan ekuivalensi yang paling wajar dalam bahasa penerima seraya mempertimbangkan kedekatan dengan makna yang terdapat dalam
bahasa sumber, (4) pengutamaan makna daripada gaya, walaupun gaya bahasa juga penting, (5) dan pengutamaan kepentingan pembaca terjemahan”.
Startegi penerjemahan merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan permasalahan penerjemahan. Strategi penerjemahan dimulai
dari disadarinya permasalahan oleh penerjemah dan diakhiri dengan disadarinya bahwa masalah tersebut tidak dapat dipecahkan pada titik waktu tertentu (Lorscher,
2005: 73). Strategi penerjemahan identik dengan pengertian metode penerjemahan yang digunakan Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000: 84-93) dan pengertian prosedur oleh Newmark (1988: 68-93) yakni suatu cara mencapai kesepadanan
antara teks sumber dan teks sasaran. Dapat dikatakan, dengan menerapkan istilah strategi penerjemahan berarti menerapkan strategi pemadanan dalam proses
penerjemahan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menggunakan istilah “strategi penerjemahan” dalam penelitian ini. Terkait dengan istilah strategi, Newmark (1988: 19-30) menyebutnya sebagai prosedur. Prosedur penerjemahan
tersebut dibagi dalam empat bentuk sebagai berikut: 1) Textual level (tingkat teks)
Seorang penerjemah harus memahami terlebih dahulu jenis teks yang diterjemahkan khususnya berkaitan dengan kata dan kalimat. Dalam menerjemahkan, kita masih mentransfer tata bahasa BSu ke BSa dengan
mudah, begitu juga dengan kata, frasa, kalimat dan ungkapan dalam BSu yang mudah ditemukan kesepadannya dalam BSa. Dapat dibilang bahwa
ini masih dalam tahap penerjemahan literal. 2) Referential level (tingkat referensi)
Seorang penerjemah juga memperhatikan istilah atau terminologi dalam
berkaitan itu. Dalam hal ini, ketika menemukan ketidakjelasan dalam teks atau ketaksaan (ambiguitas) bahkan suatu ungkapan yang terasa asing,
pastinya kita akan bertanya-tanya sendiri ataupun kebingungan. Penerjemah membutuhkan tidak hanya kamus ekabahasa tapi juga tesaurus,
ensiklopedia, glosari, buku-buku, majalah, koran hingga pencarian di internet.
3) Cohesive level (tingkat kohesif)
Terdapat dua faktor yang perlu ditinjau: struktur dan suasana hati (mood). Pertama, Seorang penerjemah perlu meninjau kekohesifan teks setelah
diterjemahkan terutama hubungan antara kata atau kalimat pada teks. Kita akan lebih memerhatikan kata penghubung (konjungsi) berupa kata atau ungkapan penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat.
Kedua, faktor ini juga disebut faktor dialektikal. Penerjemahan juga tergantung pada suasana hati penerjemah. Hal ini behubungan dengan
perasaan, emosi, netralitas penerjemah. Biasanya penerjemahan ini terjadi pada kata sifat, ungkapan idiomatis, dan suatu peristiwa.
4) Natural level (tingkat alamiah)
Penerjemah harus meyakinkan bahwa terjemahannya masuk akal, terlihat alamiah atau tidak terasa hasil penerjemahan. Artinya, teks harus dengan bahasa yang wajar, tata bahasa yang tidak kaku, serta menggunakan
Keempat tataran tersebut sebaiknya dipadukan ketika menerjemahkan karena penerjemahan merupakan suatu diskusi yang dilakukan sendiri dengan
ditemani beberapa referensi. Bertolak dari pembagian prosedur penerjemahan tersebut, Newmark (1988) dan Machali (2000) menilai perbedaan antara metode
dan prosedur terletak pada satuan penerapannya. Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan teks sedangkan prosedur berlaku untuk kalimat dan satuan-sastuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frasa, kata). Lorscher (2005: 27)
membagi strategi penerjemahan menjadi : 1) struktur dasar,
2) struktur perluasan 3) struktur kompleks.
Struktur dasar terdiri atas lima tipe strategi penerjemahan:
• Tipe I adalah pengenalan masalah, yang diikuti oleh pemecahan masalah
secara langsung atau diikuti oleh pengenalan masalah yang sementara
belum terpecahkan.
• Tipe II sama dengan Tipe I tetapi di dalamnya terdapat fase tambahan, yaitu
fase pencarian solusi untuk memecahkan masalah.
• Tipe III juga sama dengan Tipe I, tetapi di dalamnya terdapat fase
tambahan, yaitu pemverbalisasian masalah.
• Tipe IV terdiri atas pengenalan masalah, yang diikuti oleh pemecahan
masalah secara langsung atau diikuti oleh pengenalan masalah yang sementara belum terpecahkan, dan di dalamnya terdapat fase pencarian
• Tipe V merupakan struktur belah dua. Ketika masalah yang kompleks
timbul dan tidak terpecahkan pada waktu yang bersamaan, penerjemah cenderung memecahnya menjadi beberapa bagian dan kemudian bagian-bagian dari masalah tersebut dipecahkan secara berurutan.
Struktur perluasan terdiri atas struktur dasar yang mengandung satu perluasan atau lebih. Perluasan diartikan sebagai unsur-unsur tambahan dari strategi itu sendiri.
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan strategi penerjemahan terhadap pencarian padanan dan pemeriksaan padanan, sebagaiaman yang dikemukakan oleh Krings (1986) yakni beliau mengklasifikasikan strategi penerjemahan menjadi: 1)
strategi pemahaman (comprehension), yang meliputi penarikan kesimpulan (inferencing) dan penggunaan buku referensi, 2) pencarian padanan (terutama
asosiasi interlingual dan intralingual), 3) pemeriksaan padanan (seperti membandingkan teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran), 4) pengambilan keputusan (memilih di antara dua solusi yang sepadan), dan 5) reduksi (misalnya
terhadap porsi teks yang khusus atau metaforis). Di samping itu, fokus tersebut mengacu pada pengertian penerjemahan adalah usaha mengalihkan amanat dari
bahasa sumber dengan cara menemukan padanan, yakni suatu bentuk dalam bahasa sasaran dilihat dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber. Kesepadanan merupakan isu sentral dalam penerjemahan karena menyangkut
perbandingan teks dalam bahasa yang berbeda. Vinay dan Darbelnet (dalam Leonardi, 2000: 27) memandang penerjemahan yang bberorientasi mencari
kembali replika situasi yang sama sebagaiman situasi aslinya dengan menggunakan ungkapan yang berbeda.
Beberapa ahli mendefinisikan pemadanan sebagai “pengalihan makna” dimana hal tersebut mengacu pada pengungkapan kembali makna (berkonteks
budaya) yang terdapat dalam teks bahasa sumber (unit terjemahan) bke dalam teks bahasa sasaran. Secara leksikal, kata “pengalihan” tersebut di atas mengandung pengertian adanya proses pemindahan, penggantian dan pengubahan. Berbeda
halnya dengan Nida dan Taber (1964) yang membedakan kesepadanan dalam terjemahan ke dalam dua jenis:
1. Kesepadanan formal memfokuskan perhatian pada pesan baik dalam bentuknya maupun isinya.
2. Kesepadanan dinamis merupakan prinsip penerjemahan yang menjadi dasar
bagi penerjemah untuk menerjemahkan makna asli dalam sebuah cara di mana bahasa Sasaran yang digunakan akan memberikan dampak yang sama pada pembaca seperti dampak yang diciptakan oleh bahasa sumber
pada sasaran sumbernya.
Kesepadanan formal pada dasarnya dihasilkan dari proses penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan dasarnya untuk mengungkap sejauh
mungkin bentuk dan isi dari pesan asli. Oleh karena itu, dalam proses penerjemahan segala usaha ditujukan untk mereproduksi elemen formal termasuk (1) unit gramatikal, ketaatasasan penggunaan kata dan (2) makna yang sesuai dengan
dinamis berorientasi pada prinsip kesepadanan efek yang diperoleh melalui pemusatan perhatian dalam penerjemahan lebih utama ke arah tanggapan penerima
mencapai tingkat kealamian pesan bahasa sumber.
Dalam kaitannya dengan perpadanan, Catford mengidentifikasi dua jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan formal (formal equivalence) yang selanjutnya
diubah ke dalam istilah korespondensi formal (formal correspondence) dan (2) kesepadanan tekstual (textual equivalence) yang terjadi bila suatu teks atau
sebagian dari teks bahasa sasaran dalam situasi tertentu sepadan dengan teks atau sebagian teks bahasa sumber. Dengan demikian, penerjemahan sebagai proses
pemadanan tidaklah sesederhana definisi yang umum diterima, yakni mengungkapkan makna ke dalam bahasa lain. Secara praktek, penerjemahan dapat menjadi rumit, dibuat-buat (artificial) dan dipandang menipu (fraudulent),
sebagaimana yang dikemukakan oleh Newmark (1988: 5) “By using another language you are pretending to be someone you are not”.
Walaupun terdapat berbagai alternatif penerapan namun suatu cara pemadanan sangat ditentukan oleh kedekatan tipologi bahasa serta perbedaan budaya sumber dan sasaran. Setelah mengkaji berbagai alternatif yang telah
dikemukan oleh berbagai pendapat ahli di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan strategi pemadanan yang dikemukakan oleh Vinay dan Darbelnet
(dalam Venuti,2000: 84-93) seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Strategi pemadanan ini dibagi dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsung (direct translation), dikatakan juga berorientasi pada bahasa sumber dan
sasaran, yang terdiri dari sembilan strategi berbeda. Berikut ini adalah sembilan jenis strategi pemadanan oleh Vinay dan Darbelnet yang dikutip oleh Venuti (2000:
84-93) yang diterapkan pada penelitian ini, diantaranya tiga jenis strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa sumber dan termasuk dalam kategori direct translation meliputi:
1. Borrowing yaitu mengambil dan membawa item leksikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target tanpa modifikasi formal dan semantik.
Strategi ini merupakan cara pemadanan yang paling sederhana . Borrowing yang sudah lama dan digunakan secara luas bahkan sudah tidak dianggap
lagi sebagai item leksikal pinjaman tetapi sebagai bagian dari leksikon bahasa sasaran.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Menu Menu
2. Calque, semacam borrowing tertentu dimana suatu bahasa meminjam suatu
bentuk ekspresi bahasa lain kemudian menerjemahkannya secara harfiah masing-masing elemennya sehingga menghasilkan lexical calque dengan mempertahankan struktur bahasa sasaran sambil memperkenalkan modus
ekspresi baru seperti yang terlihat dalam penerjemahan di bawah ini. Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Interest rate Tingkat Suku Bunga
3. Literal Translation, yakni pengalihan langsung teks sumber ke dalam teks sasaran yang sepadan secara gramatikal dan idiomatik.
I like music Saya suka musik
Selanjutnya ada enam jenis strategi pemadanan berorientasi pada bahasa
sasaran dan termasuk dalam kategori oblique translation meliputi:
4. Transposisi (transposition), yakni menggantikan elemen bahasa sumber
dengan elemen bahasa target yang secara semantik berpadanan namun secar formal tidak berpadanan misalnya karena perubahan kelas kata, perubahan bentuk jamak ke tunggal, posisi kata sifat sampai pengubahan
struktur kalimat secara keseluruhan.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Musical Instruments Alat Musik
5. Modulasi (modulation), yakni pergeseran sudut pandang atau perspektif Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
I broke my leg Kaki ku patah
6. Equivalence, yakni penggantian sebagian bahasa sumber dengan padanan
fungsionalnya dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, suatu situasi yang sama dapat diungkapkan ke dalama dua teks dengan menggunakan metode stilistika dan struktural yang sama. Contoh klasik dari pemadanan ini
adalahaa pemadanan bunyi-bunyi onomatopik seperti kukuruyuk (bunyi ayam) berpadanan dengan cock-a-doodle-do dalam bahasa Inggris, ngeong (suara kucing) berpadanan dengan miaow, dan dor (suara senapan/pistol)
berpadanan dengan bang. Strategi ini bersifat tetap atau pasti (fixed) dan termasuk dalam “phraseological repertoire” idiom, klise, peribahasa dan
7. Adaptasi (adaptation), yakni pengupayaan padana kultural antara dua situasi tertentu. Strategi ini digunakan pada kasus pemadanan dimana situasi yang
diacu oleh pesan bahasa sumber tidak dikenal/dimiliki (unknown) dalam budaya bahasa sasaran sebingga penerjemah harus menciptakan situasi
yang dapat dianggap sepadan.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Dear sir Dengan hormat
8. Pemadanan Fungsional (functional equivalent), suatu strategi yang sangat umum digunakan dalam penerjemahan kata berkonteks budaya dengan cara menggunakan kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan
terkadang dengan ungkapan spesifik baru. Cara ini menetralisir atau menggeneralisasi kata-kata bahasa sumber dan tidak jarang cara ini disertai
dengan penambahan uraian khusus. Strategi ini dinilai sebagai suatu analisis komponensional budaya dan cara yang paling akurat dalam
penerjemahan karena dengan dekulturalisasi kata-kata budaya strategi ini menduduki daerah pertengahan atau universal antara bahasa atau budaya bahasa sumber dengan bahasa dan budaya sasaran.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Baccalaureat French Secondary school
Sejm Polish parliament
9. Pemadanan Deskriptif (descriptive equivalent) merupakan eksplikasi, yakni pemadanan yang dilakukan dengan memberikan deskripsi dan terkadang
dipadukan dengan fungsi.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Samurai The Japanese aristocracy
From the eleventh to the nineteenth century
2.2 Teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit Sebagai Teks Ilmiah Teks ilmiah adalah suatu teks yang berisikan suatu topik tertentu yang disajikan secara lugas, logis dan runtut. Peter Newmark (dalam
Linguist” mengatakan “ a variety of translation and linguistics topics, including
ethics, aesthetics and medicine”. Dalam hal ini, beliau mengatakan bahwa (penerjemahan yang dicontohkan pada teks medis sebagai salah satu jenis teks
ilmiah), ethics adalah yang paling penting pada penerjemahan teks medis karena penerjemah tidak hanya menerjemahkan teks secara akurat tetapi juga produk terjemahannya tidak melukai atau sebaliknya dapat membunuh pasien. Penerjemah
harus mempunyai akses ke ahli medis atau mengecek aspek medis dalam penerjemahaan. Dalam hal ini yang lebih ditekankan adalah hal apa yang sednag
terjadi dan tidak hanya berpijak pada bagaimana bahasa itu dideskripsikan. Pada penerjemahan medis atau penerjemahan yang berhubungan dengan keilmiahan sebuah disiplin ilmu, penerjemah dituntut untuk dapat menvisualisasikan apa yang
“keadaanya pada saat itu” (temporally) logis atau dapat diterima. Hal ini terkait dengan penggunaan kata “untuk itu” dan “kemudian” merujuk pada sesuatu yang
sedang terjadi. Aesthetics mengacu pada bahwa teks yang diterjemahkan harus jelas dan padat serta dapat diterima. Sama halnya dengan teks Consistent in Loosening Tangled Thread in Sibolangit yang diterjemahkan menjadi Bersiteguh Mengurai
Benang Kusut di Sibolangit. Dari hasil terjemahan tersebut, terlihat jelas adanmya perubahan bentuk kata yang terdapat antara Tangled thread menjadi Benang kusut
(strategi transposisi).
2.3 Tingkat Keterbacaan
Sebagai teks ilmiah, tingkat keterbacaan teks perlu diperhatikan agar pesan yang ingin disampaikan oleh peneliti dapat dipahami dan diterima oleh pembacanya. Terkait dengan tingkat keterbacaan tersebut, Cowie (1989: 1043) selaku Chief
Editor Oxford Advanced Learner’s Dictionary memadankan “keterbacaan” dengan istilah “readibility atau readable yang berarti “dapat dibaca dengan mudah dan
nyaman. Selanjutnya Richards et al (dalam Nababan, 2007: 46) mengungkapkan bahwa keterbacaan pada dasarnya merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Dale dan chall (1948: 236) menyatakan bahwa
“ada unsur lain, yakni pembaca yang turut menetukan keterbacaan suatu teks: readibility, the sum total (including the ones) of all those elements within a given piece of printed material that affects the success oa group of readers have with it”.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwasanya keterbacaan itu mempersoalkan tingkat kesulitan dan
tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kajian keterbacaan sasaran utamanya adalah wacana, bukan pembaca wacananya (Sulastri, dalam
bahwa keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang.
Keterbacaan merupakan padanan readability dalam bahasa inggris. Istilah ini
diartikan Harjasujana, dkk.(1999: 10) yaitu: 1) Kemudahan tipografi atau tulisan tangan,
2) Kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan
tingkat minat baca atau,
3) Kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan
bahasanya.
Teks ilmiah merupakan teks yang harus memiliki tingkat keterbacaan yang layak. Untuk menentukan tingkat kelayakan sebuah wacana/teks, peneliti hendak
menganalisisnya dengan formula keterbacaan. Oleh karena itu Keterbacaaan (readibility) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi
pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Uraian definisi dan pengertian keterbacaan menurut ahli di atas membuat penulis menyimpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat
kesulitan atau kemudahan wacana.
Dalam menentukan tingkat keterbacaan suatu teks dilakukan kajian pada tiga
dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan oleh Rusyana (1984: 213) bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca
yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan tingkat
keterbacaan teks.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca seperti yang
diungkapkan oleh McNeill et.al. yang dikutip oleh Singer & Donlan (1980). Formula keterbacaan merupakan instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam
memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry
(1977), dan Grafik Raygor (1984) dalam suherlicenter.blogspot.com/2008/10/hut-70-tahun-profdryus-rusyana.html menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama.
Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
2.3.1 Formula Keterbacaan
Uraian tentang definisi keterbacaan di atas, semakin memperjelas bahwa Keterbacaaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu yang dilihat dari segi tingkat kesukaran atau
keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolak ukur yakni panjang
kalimat dan kesulitan kata. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, diantaranya adalah formula keterbacaan-keterbacaan yang
dibuat Spache, Dale dan Chart, Gunning dan Fry.
Melalui berbagai percobaan terhadap formula keterbacaan-keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan formula Fry dalam penelitian
ini karena dianggap lebih praktis dan efisisen. Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading” (Harjasujana dan Yeti, 1996: 113).
Formula keterbacaan Fry mengambil seratus kata dalam sebuah teks sebagai sampel tanpa memperhatikan panjangnya wacana. Jadi, setebal apapun jumlah halaman
suatu buku ataupun sepanjang apapun suatu bacaan, pengukuran keterbacaan menggunakan formula ini hanya menggunakan seratus kata saja. Angka ini
dianggap representatif menurut Fry. Berikut ini adalah model grafik Fry.
Petunjuk Penggunaan Grafik Fry
1. Pilihlah seratus kata dari wacana yang akan diukur keterbacaannya. Jika dalam wacana tersebut terdapat nama, deret angka, dan
singkatan, ketiganya dihitung satu kata. Kata ulang juga dianggap satu kata. Kata dalam judul bab atau sub-bab tidak boleh dihitung. Misalnya budi, ABRI, dan 1979 masing-masing dihitung satu kata.
2. Hitunglah jumlah kalimat yang terdapat dalam keseratus kata terpilih tersebut. Jika kalimat akhir tidak tepat pada titik, perhitungannya
adalah jumlah kalimat lengkap ditambah jumlah kata pada kalimat terakhir yang masuk pada jumlah kata keseratus dibagi jumlah keseluruhan kata kalimat terakhir. Misalnya dari keseratus kata yang
telah dipilih ada 6 kalimat lengkap dan pada kalimat terakhir kata yang masuk keseratus kata ada 5 kata sedangkan jumlah kata pada
kalimat itu seluruhnya ada 10 kata, jumlah kalimatnya adalah 6 + 5 = 6,5 kalimat
3. Hitunglah jumlah suku kata dari keseratus kata yang telah dipilih.
Kata yang berupa deretan angka dan singkatan dianggap masing-masing huruf / angkanya satu suku kata. Karena jumlah suku kata
bahasa indonesia dan bahasa inggris bebeda, jumlah suku kata yang dihitung tersebut selanjutnya harus dikalikan 0.6. misalnya jumlah suku kata keseratus kata terpilih adalah 250 suku kata maka jumlah
suku kata yang sebenarnya adalah 250 × 0,6 = 150 suku kata.
yang dihasilkan dari jumlah suku kata dan jumlah kalimat. Jika hasilnya terletak pada satu kolom tertentu, itulah tingkat kesulitan
wacana tersebut.
5. Jika pertemuan garis tersebut jatuh pada daerah yang diarsir, wacana
tersebut dikategorikan wacana yang tidak valid.
Selanjutnya dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian
menghitung hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.
2.4 Penelitian yang Relevan
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang mengkaji tentang teknik dan
pergeseran (shifts) penerjemahan :
1. Fatukhna’imah Rhina Zuliani (2001), dalam tesisnya Kajian Teknik Penerjemahan dan Kualitas Penerjemahan Ungkapan dalam Novel The Kite
Runner Karya Khaled Hosseini
novel The kite Runner, mengkaji teknik penerjemahan yang digunakan dan menunjukan kualitas penerjemahan, kaitannya dengan teknik penerjemahan
yang digunakan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif terpancang. Hasil analisis menunjukan bahwa dalam novel the kite runner terdapat 139 ungkapan budaya. Ungkapan budaya tersebut diklasifikasi
dan kesenian. Hasil lengkap klasifikasi budaya adalah sebagai berikut : Bahasa 44 data (32%), system pengetahuan 3 data (2%), organisasi sosial 6
data (4%), sistem peralatan hidup dan teknologi 46 data (33%), sistem mata pencaharian hidup 5 data (4%), sistem religi 27 data (19%), dan kesenian 8
data (6%). Dari kajian yang dilakukan terhadap teknik penerjemahan, terindentifikasi teknik yang digunakan dalam menerjemahkan ungkapan budaya adalah sebagai berikut : peminjaman murni 75 data (54%),
peminjaman alamiah 27 data (19,4%), calque 7 data (5%), amplifikasi 8 data (5,8%), deskripsi 2 data (1,4%), literal 7 data (5%) dan established equivalent
13 data (9,4%). Dalam menerjemahkan ungkapan budaya, penerjemah lebih banyak menggunakan peminjaman murni dengan mempertahankan bentuk asli ungkapan BSu. Adapun kualitas penerjemah kaitannya dengan teknik
penerjemahan yang digunakan adalah sebagai berikut : terjemahan akurat pada 60 data (43%) paling banyak dihasilkan dengan teknik peminjaman alamiah
yaitu 23 data (16,5%), terjemahan kurang akurat pada 39 data (28%) dan tidak akurat 40 data (29%) paling banyak dihasilkan dengan teknik peminjaman murni. Terjemahan ungkapan budaya yang berterima sebanyak 57 data (41%)
paling banyak dihasilkan dengan peminjaman alamiah, yaitu 23 data (16,5%) kurang berterima 42 data (30%), dan tidak berterima 40 data (29%) paling
bnayak dihasilkan dengan teknik peminjaman murni. Rater pembaca sepakat menilai 54 data (39%) memiliki keterbacaan mudah, 41 data (29%) keterbacaan agak sulit, dan 44 data (32%) memiliki keterbacaan sulit. Adapun
peminjaman murni (15,8%), dan keterbacaan sulit dengan peminjaman murni (26,6%). Dari temuan tersebut dapat dilihat bahwa teknik peminjaman
alamiah menghasilkan lebih banyak terjemahan yang akurat, berterima, dan memiliki keterbacaan mudah karena digunakannyaungkapan budaya yang
tepat dan familier. Sebaliknya, teknik peminjaman murni menghasilkan lebih banyak terjemahan yg tidak akurat, tidak berterima, dan memiliki keterbacaan sulit karena digunakannya ungkapan budaya BSu yang masih asing dalam
BSa.
Relevansinya terhadap penelitian ini ialah bahwa keduanya merupakan penelitian deskriptif kualitatif terpancang. Namun penelitian di atas mengkaji
teknik penerjemahan yang digunakan untuk menunjukan kualitas penerjemahan, sedangkan penelitian yang dilakukan penelti mengidentifikasi
strategi penerjemahan dan tingkat keterbacaan teks.
2. Indonesian Subtitling Strategies of the English Movie Inception. Oleh Andalusia lestarian, Universitas Andalas (2011). Penelitian ini membahas
tentang strategi penerjemahan pada teks film ( Indonesian subtitling strategies) yang digunakan pada film berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi penerjemahan apa yang digunakan pada teks film dan strategi apa yang paling banyak digunakan. Metode yang digunakan adalah membandingkan data sumber dengan
penerjemahan yang diajukan oleh Gottlieb (2011), yang terdiri dari penghilangan penyingkatan, penambahan, pemindahan, pengurangan ,
penyimpulan dan penyalinan. Data analisis diambil dari petikan percakapan dari film berjudul Inception dalam bentuk DVD. Dalam menganalis data,
penulis menjelaskan bagian mana yang mengalami strategi penerjemahan, klasifikasi dan asumsi mengapa strategi itu digunakan. Penjabaran data analisis dijelaskan berdasarkan strategi, bukan petikan percakapan. Data
analisis berjumlah 56 petikan percakapan, terdiri dari delapan tabel. Masing-masing tabel berjumlah tujuh petikan percakapan. Dari hasil analis,
ditemukan semua strategi penerjemahan, dan terdapat 70 kali penggunaan strategi penerjemahan. Dari hasil penelitian ditemukan strategi-strategi yang muncul dengan frekuensi sebagai berikut: penyingkatan 24 kali (42,85%),
penghilangan 20 kali (37,71%), penyimpulan 14 kali (25%), penambahan 5 kali (8,93%) pemindahan 4 kali (7,14%) pengurangan dua kali (3,57%), dan
penyalinan satu kali (1,75%) dengan kajian pergeseran kategori kata kerja dan kata benda dalam konteks keterkaitan makna bahasa dalam berbagai budaya. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ada 12 variasi nomina serta 9 variasi
pergeseran verba terjemahan pada karya-karya Hemingway : The Old Man and The sea;, sedangkan dalam A Farewell to Arms terdapat 11 variasi
pergeseran nomina serta 7 variasi pergeseran nomina.
Relevansinya terhadap penelitian ini ialah keduanya membahas tentang strategi penerjemahan. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti.