• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Tingkat Keterbacaan

Sebagai teks ilmiah, tingkat keterbacaan teks perlu diperhatikan agar pesan yang ingin disampaikan oleh peneliti dapat dipahami dan diterima oleh pembacanya. Terkait dengan tingkat keterbacaan tersebut, Cowie (1989: 1043) selaku Chief Editor Oxford Advanced Learner’s Dictionary memadankan “keterbacaan” dengan istilah “readibility atau readable yang berarti “dapat dibaca dengan mudah dan nyaman. Selanjutnya Richards et al (dalam Nababan, 2007: 46) mengungkapkan bahwa keterbacaan pada dasarnya merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Dale dan chall (1948: 236) menyatakan bahwa “ada unsur lain, yakni pembaca yang turut menetukan keterbacaan suatu teks: readibility, the sum total (including the ones) of all those elements within a given piece of printed material that affects the success oa group of readers have with it”. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwasanya keterbacaan itu mempersoalkan tingkat kesulitan dan atau tingkat kemudahan baca suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca

tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kajian keterbacaan sasaran utamanya adalah wacana, bukan pembaca wacananya (Sulastri, dalam

bahwa keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang.

Keterbacaan merupakan padanan readability dalam bahasa inggris. Istilah ini diartikan Harjasujana, dkk.(1999: 10) yaitu:

1) Kemudahan tipografi atau tulisan tangan,

2) Kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca atau,

3) Kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.

Teks ilmiah merupakan teks yang harus memiliki tingkat keterbacaan yang layak. Untuk menentukan tingkat kelayakan sebuah wacana/teks, peneliti hendak menganalisisnya dengan formula keterbacaan. Oleh karena itu Keterbacaaan (readibility) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Uraian definisi dan pengertian keterbacaan menurut ahli di atas membuat penulis menyimpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana.

Dalam menentukan tingkat keterbacaan suatu teks dilakukan kajian pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks

dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan oleh Rusyana (1984: 213) bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan tingkat keterbacaan teks.

Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca seperti yang diungkapkan oleh McNeill et.al. yang dikutip oleh Singer & Donlan (1980). Formula keterbacaan merupakan instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) dalam suherlicenter.blogspot.com/2008/10/hut-70-tahun-profdryus-rusyana.html menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama. Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.

2.3.1 Formula Keterbacaan

Uraian tentang definisi keterbacaan di atas, semakin memperjelas bahwa Keterbacaaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu yang dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya. Dapat dikatakan, untuk mengetahui dan mengukur tingkat keterbacaan teks/wacana tersebut diperlukan penerapan sebuah rumus atau formula. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:107) menyatakan bahwa formula-formula

keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolak ukur yakni panjang kalimat dan kesulitan kata. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, diantaranya adalah formula keterbacaan-keterbacaan yang dibuat Spache, Dale dan Chart, Gunning dan Fry.

Melalui berbagai percobaan terhadap formula keterbacaan-keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan formula Fry dalam penelitian ini karena dianggap lebih praktis dan efisisen. Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading” (Harjasujana dan Yeti, 1996: 113). Formula keterbacaan Fry mengambil seratus kata dalam sebuah teks sebagai sampel tanpa memperhatikan panjangnya wacana. Jadi, setebal apapun jumlah halaman suatu buku ataupun sepanjang apapun suatu bacaan, pengukuran keterbacaan menggunakan formula ini hanya menggunakan seratus kata saja. Angka ini dianggap representatif menurut Fry. Berikut ini adalah model grafik Fry.

Petunjuk Penggunaan Grafik Fry

1. Pilihlah seratus kata dari wacana yang akan diukur keterbacaannya. Jika dalam wacana tersebut terdapat nama, deret angka, dan singkatan, ketiganya dihitung satu kata. Kata ulang juga dianggap satu kata. Kata dalam judul bab atau sub-bab tidak boleh dihitung. Misalnya budi, ABRI, dan 1979 masing-masing dihitung satu kata. 2. Hitunglah jumlah kalimat yang terdapat dalam keseratus kata terpilih

tersebut. Jika kalimat akhir tidak tepat pada titik, perhitungannya adalah jumlah kalimat lengkap ditambah jumlah kata pada kalimat terakhir yang masuk pada jumlah kata keseratus dibagi jumlah keseluruhan kata kalimat terakhir. Misalnya dari keseratus kata yang telah dipilih ada 6 kalimat lengkap dan pada kalimat terakhir kata yang masuk keseratus kata ada 5 kata sedangkan jumlah kata pada kalimat itu seluruhnya ada 10 kata, jumlah kalimatnya adalah 6 + 5 = 6,5 kalimat

3. Hitunglah jumlah suku kata dari keseratus kata yang telah dipilih. Kata yang berupa deretan angka dan singkatan dianggap masing-masing huruf / angkanya satu suku kata. Karena jumlah suku kata bahasa indonesia dan bahasa inggris bebeda, jumlah suku kata yang dihitung tersebut selanjutnya harus dikalikan 0.6. misalnya jumlah suku kata keseratus kata terpilih adalah 250 suku kata maka jumlah suku kata yang sebenarnya adalah 250 × 0,6 = 150 suku kata.

yang dihasilkan dari jumlah suku kata dan jumlah kalimat. Jika hasilnya terletak pada satu kolom tertentu, itulah tingkat kesulitan wacana tersebut.

5. Jika pertemuan garis tersebut jatuh pada daerah yang diarsir, wacana tersebut dikategorikan wacana yang tidak valid.

Selanjutnya dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian menghitung hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.

Dokumen terkait