• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Strategi Pengelolaan Ekosistem Pesisir

Metode perencanaan secara ekologis atau dikenal dengan ecological planning methode merupakan suatu bentuk perencanaan yang memanfaatkan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai penatagunaan lahan. Selain aspek biofisik dan sosiokultur juga akan dimasukkan aspek tingkat kerentanan ekosistem maupun sosial masyarakat terhadap prediksi dampak perubahan iklim juga mempertimbangkan potensi ancaman bahaya (hazard) sampingan yang mungkin akan muncul akibat penggenangan daratan akibat kenaikan muka air laut.

Hasil analisis stakeholder akan digunakan untuk menentukan aktor yang akan terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan ekosistem pesisir serta peran dalam kegiatan sebagaiaman. Dari hasil analisis tabel di atas, beberap aktor yang memegang peran penting dalam pengelolaan yaitu Pemerintah Kelurahan Sawahluhur, Kelompok Penghijauan Pesisir, Pengelola CAPD, Masyarakat Kelurahan Sawah Luhur, Nelayan, Petambak.

Tabel 14 Analisis stakholder dan potensi keterlibatan dalam kegiatan

No Stakeholder

Peran

Kuat Lemah Langsung Tidak Langsung 1. Pemerintah Kelurahan

Sawahluhur  -  -

2. LSM Padepokan Macan Kikik -  - 

3. Kelompok Penghijauan Pesisir  -  -

4. Pengelola CAPD  -  -

5. Masyarakat Kelurahan

Sawahluhur  -  -

6. Nelayan  -  -

7. Petambak  -  -

Model pengelolaan ekosistem pesisir yang dikembangkan menggunakan pendekatan ekologi dan sosial atau dikenal dengan ecological planning method, merupakan suatu bentuk perencanaan yang memanfaatkan informasi biofisik dan sosiokultur untuk melihat suatu peluang dan membantu pembuatan keputusan mengenai pengelolaan kawasan, untuk membantu memahami kekompleksan informasi biofisik dan sosial yang dikaji dalam penelitian ini, maka digunakan alat analisis SWOT seperti berikut.

Tabel 15 Hasil analisis SWOT terhadap kenaikan muka laut

Hasil pengkajian informasi biofisik dan sosial ekonomi tersebut diatas dapat diketahui bahwa kawasan pertambakan CAPD seluas 515 ha memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada kawasan konservasi CAPD. Kerusakan kawasan CAPD bisa berdampak langsung pada kondisi sosial ekonomi Serang dan disekitarnya dan memiliki dampak tidak langsung pada kondisi ekologi secara global. Saat ini CAPD menghadapi ancaman yang sangat nyata berupa hilangnya lahan akibat kenaikan muka laut, oleh sebab itu fokus strategi pengelolaan ekosistem pertambakan CAPD dilakukan dengan menjadikan CAPD sebagai prioritas, sedang strategi dan komponen lain sebagai pendukung. Strategi yang dikembangkan harus ditekankan pada upaya menurunkan tingkat ancaman dan mengurangi kelemahan. Berdasarkan hasil analisis SWOT di atas diperoleh indikasi strategi pengelolaan ekosistem pesisir Kelurahan Sawah Luhur sebagai berikut:

1. Menurunkan tingkat ancaman:

Fokus strategi adalah upaya-upaya mengurangi kejadian abrasi dengan mempertahankan garis pantai saat ini. Terdapat dua pilihan yang bisa dilakukan yaitu dengan hard engineering (rekayasa fisik) berupa pemasangan tanggul laut dan soft engineering (rekayasa biologi) dengan penanaman mangrove. Pilihan soft engineering sebaiknya dilakukan sehingga diperoleh biaya investasi dan perawatan yang lebih murah. Disamping itu, ekosistem

STRENGHTS Modal sumberdaya alam :

 Keberadaan CAPD

 Ketersediaan bibit mangrove

 Keanekaragaman jenis burung yang tinggi

WEAKNES

 Modal Finansial : masuk dalam kategori desa miskin

 Modal Sumberdaya Manusia: kapasitas adaptasi terhadap kenaikan muka air laut masih sangat rendah

 Modal Politik : belum ada kebijakan lokal untuk mengantisipasi kenaikan mukalaut

OPPORTUNITIES

 Kebijakan nasional pengurangan emisi

 Kolaborasi dengan Dinas Kehutanan dan Pengelola Cagar Alam

 Kondisi tambak yang memungkinkan untuk penanaman

 Modal sosial berupa semangat gotong royong masyarakat yang masih kuat

THREATS  Abrasi

 Pengambilan Kayu Bakar

 Banjir Rob

mangrove yang terbentuk akan memberikan dampak ekologis yang lebih baik bagi lingkungan lokal maupun globa (Leatherman 2001).

2. Menurunkan tingkat kelemahan:

Fokus strategi adalah dengan mengupayakan peningkatan kapasitas finansial, sumberdaya manusia, dan politik masyarakat agar mengarus-utamakan upaya adaptasi perubahan iklim dalam kegiatan sehari-hari. Mata-pencaharian masyarakat, terutama perikanan agar diperkuat dengan dukungan finansial dan teknis sehingga bisa mengubah pola budidaya pertambakan konvensional saat ini menjadi model silvofishery. Pertambakan silvofishery akan memberikan dampak ganda yaitu manfaat ekonomi berupa hasil panen dan manfaat fisik berupa pertahanan garis pantai. Hal ini dapat terwujud dengan kondisi politik lokal yang kodusif antara lain dengan penerapan secara ketat peraturan sabuk hijau nasional yang diadopsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten tahun 2011. Berdasarkan RTRW tersebut diketahui bahwa lebar green belt Provinsi Banten adalah berkisar antara 78- 117 m mengacu pada Kepres No. 32/1990.

Berdasarkan dua strategi prioritas diatas, pengelolaan ekosistem mangrove dan pertambakan CAPD dalam upaya menghadapi kenaikan muka laut dapat dijabarkan dalam 2 model skenario seperti sebagai berikut:

Skenario 1

Gambar 25 Skenario 1 pengembangan green belt 100m secara intensif

Pada skenario 1 diketahui bahwa lebar green belt yang ada saat ini kurang dari 100m, sehingga pembuatan green belt yang dilakukan dengan menanam secara intensif petakan tambak dengan mangrove sehingga didapatkan lebar green belt 100m.

Tambak ditanam Mangrove 100 %

Green Belt yang ada < 100 meter 100 meter

Tambak ditanam sehingga lebar green belt 100m

Skenario 2

Gambar 26 Skenario 2 kombinasi green belt dan tambak silvofishery

Pada skenario 2 dikarenakan saat ini status kepemilikan lahan tambak didaerah sabuk hijau telah bersertifikat, maka langkah pembentukan sabuk hijau dapat dilakukan dengan memadukan langsung antara areal tambak dengan penanaman mangrove dengan proporsi 60% mangrove dan 40% areal tambak yang masih dapat dibudidayakan. Berdasarkan wawancara dengan petambak, skenario 2 yang paling disukai atau dikenal dengan istilah tambak silvofishery.

Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu “sylvo’ yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan “fishery” yang berarti perikanan (mina). Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sesuai dengan konsep keterpaduan antara hutan dan perikanan, maka sistem ini akan serta merta ikut menciptakan atau mempertahankan jalur hijau (mangrove) pinggir pantai.

Teknologi yang diterapkan pada model tambak ini sepatutnya menerapkan sistem tambak ekstensif (tradisional) berteknologi sederhana, disesuaikan dengan daya dukung kawasan mangrove yang, saat ini, hanya mampu menopang kebutuhan tersebut. Hal ini dikarenakan kawasan mangrove tidak cocok untuk sistem budidaya intensif dikarenakan faktor elevasi (kontur) yang tidak sesuai untuk sistem drainase, kandungan bahan organik yang tinggi serta keberadaan tanah sulfat masam atau pyrit. Namun, sistem tradisional yang diterapkan, jika menggunakan kaidah budidaya yang baik, akan mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi dan berharga lebih mahal akibat proses produksi yang

100 meter

LAUT

GREEN BELT

meniadakan bahan berbahaya serta dengan memperhatikan faktor lingkungan. Di sisi lain, konsep tambak ini dapat diintegrasikan dengan pengembangan ekonomi lainnya seperti ekowisata, pelestarian keaneka ragaman hayati, serta peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam. Sehingga model tambak sylvofishery dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas dengan tidak mengurangi manfaat ekonomi tambak secara langsung.

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery, yaitu:

a. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar- akar mangrove dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove

b. Petambak dapat mengunakan daun tanaman mangrove sebagai pakan ternak, terutama kambing (ternak ini sebaiknya dikandangkan agar bibit mangrove yang masih muda tidak mati dimakan kambing)

c. Keanekaragaman hayati akan meningkat (termasuk bibit ikan alami dan kepiting) dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan. d. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan

sumber air tawar dapat dipertahankan

e. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat (sequester) CO2 dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut.

f. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan

g. Dalam pengembangannya, tambak silvofishery telah banyak dimodifikasi, namun secara umum terdapat (tiga) model tambak silvofishery, yaitu: model empang parit, komplangan, dan jalur (Gambar 27).

Gambar 27 Silvofishery: (a) empang parit, (b) komplangan, (c) jalur, (d) tanggul Sumber : PMD Mahakam & Fakultas Perikanan UNMUL, 2009

Pengembangan sistem tambak sylvofishery tidak hanya akan menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan, akan tetapi juga sejalan dengan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan jalur hijau, sehingga mampu menghindari konflik dengan pemerintah daerah setempat. Kebijakan Pemerintah RI mengenai pengelolaan sabuk hijau (green belt) yang terkait dengan pengembangan tambak di wilayah pesisir telah dimulai sejak tahun 1975 dengan dikeluarkannnya SK Dirjen Perikanan No H.I/4/2/18/1975 tentang lebar green belt selebar 400m yang didasarkan dari rata rata perbedaan pasang tertinggi dan surut. SK Dirjen Kehutanan No 60/KPTS/DJ/I/1978 tentang tambak silvofishery dimana mengharuskan adanya sabuk hijau selebar 10m di sepanjang sungai dan lebar 50m di sepanjang pantai.

(A)

(B)

(C)

Peraturan lainnya yang sangat relevan dengan pengambangan tambak dan konservasi mangrove adalah :

 Kepres No 32 Tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung

 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 mengenai perlindungan sumberdaya hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah yang memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove.

Dokumen terkait