• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sagala (2012: 16) menyebutkan bahwa variabel penting dalam sumber daya manusia adalah kemampuan-kemampuan (capabilities), sikap (attitudes), nilai-nilai (values), kebutuhan-kebutuhan (needs), dan karakteristik demografisnya (penduduk). Untuk itu, pendidikan sangat dibutuhkan dalam hal pengembangan variabel-variabel yang dimaksud. Di setiap negara, baik negara maju maupun berkembang terus mengevaluasi sistem pendidikannya dengan harapan agar pendidikan dapat lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan mutu sumber daya manusia untuk pembangunan nasional.

Amerika Serikat sebagai negara maju juga terus mengevaluasi kebijakan-kebijakan pendidikannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cohen dan Spillance (1992: pp. 3-4) Bruce S. at. all (2004:83) “major efforts are under way

to mobilize much more consistent and powerful direction for instruction from state or national agencies…. to create state and national curricula and tests to pull instruction in the same direction. Under the guise of education reform, president Bush signed legislation mandating state testing of students at every grade level between grades 3 and 8.

Ungkapan diatas dapat disimpulkan bahwa upaya besar sedang dilakukan pemerintah untuk memobilisasi pendidikan kearah yang lebih maju, lebih konsisten dan kuat serta agar menuju arah yang sama dengan membuat kurikulum dan tes secara nasional, Presiden Bush menandatangani undang-undang yang mewajibkan tes terhadap siswa pada setiap tingkat kelas antara nilai 3 dan 8. Pendidikan di Indonesia sejak berakhirnya era orde baru menuju reformasi, arah pendidikan Indonesia yang dulunya bersifat sentralisasi sekarang menjadi desentralisasi atau sering disebut dengan otonomi daerah.

Saleh (1963) mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak yang diperoleh dari pemerintah pusat. Wayong (1979 : 16) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara

dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri.

Menurut Fransisca dalam Muhdi (2007:149), ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni: a) dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran birokrasi pusat, b) pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik, c) devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah, d)

swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau

perorangan. Melihat keadaan di Indonesia sendiri, sejauh yang telah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yang terakhir, yaitu swastanisasi. Kebijakan diatas dari sentralisasi menuju desentralisasi hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah: a) kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah, b) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan formalisme dan pada saat yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik.

Suryono (2000:6) menjelaskan bahwa kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut, diantaranya:

a) secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun bergelut dengan persoalan-persoalan kuantitas.

b) pada sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.

c) terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial

sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.

d) kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada relnya.

e) pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan menengah; penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan.

f) sudah selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan.

g) pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka otonomi keilmuan.

h) dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional.

i) secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya.

Dengan adanya kebijakan desentralisasi ataupun otonomi daerah seharusnya pendidikan yang berjalan di Indonesia ini adalah pendidikan yang terarah dan memiliki kualitas yang baik dan terarah. Menurut buya Hamka (1962) bahwa kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kesempurnaan sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran yang ditawarkan. Dalam hal ini sistem merupakan satu kesatuan yang saling memiliki ketergantungan dan mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dimulai dari perencanaan pembelajaran, metode yang digunakan dalam belajar dan tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik setelah proses belajar dan mengajar berlangsung.

Pendapat Buya di atas maka dapat dipahami bahwa seharusnya pendidikan yang dilakukan di Indonesia adalah pendidikan yang telah mempunyai perencanaan yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya dapat terarah dan terstruktur sehingga tidak terjadi kekacauan atau double activities dalam proses belajar mengajar. Selanjutnya dalam proses belajar mengajar juga harus dilaksanakan dengan metode pembelajaran yang menyenangkan dan menyesuaikan metode pembelajaran dengan tingkat pendidikan yang akan di didik. Dalam merancang metode pembelajaran bisa saja seorang guru mengambil dua metode pembelajaran yang diramu menjadi satu sehingga dapat membuat peserta didik semangat dalam belajar dan suasan belajar menjadi hangat. Tidak seperti yang selama

ini kita rasakan, proses pembelajaran yang monoton sehingga membuat peserta didik cepat merasa bosan dan mengantuk.

Selain itu, seharusnya peserta didik yang ada di Indonesia ini tidak dijadikan sebagai bahan percobaan dalam melakukan kurikulum pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan seringnya berganti kurikulum pendidikan di Indonesia. Seharusnya para penggiat pendidikan hanya menetapkan satu kurikulum dan harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa kurikulum yang telah dirancang ini dapat mengantarkan peserta didik kepada sebuah tujuan pendidikan.

Sudah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya menteri pendidikan dan kebudayaan dalam menyikapi dan mensiasati permasalahan pendidikan di Negara Indonesia. Akhir-akhir ini usaha yang dilakukan oleh menteri pendidikan adalah dengan membuat program SM3T (sarjana mendidik untuk daerah terdepan, terluar dan tertinggal) dengan tema baju bersama membangun yang diproyitaskan kepada guru-guru yang baru menyelesaikan studinya untuk melaksanakan proses pendidikan didaerah tertinggal, terluar dan terdalam.

Program SM-3T dimaksudkan untuk membantu mengatasi kekurangan guru, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa, agar dapat maju bersama mencapai citacita luhur seperti yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa Indonesia (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2012).

Selanjutnya, strategi yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dalam menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Persamaan kesempatan dalam memperoleh pendidikan seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu

b. Aksesibilitas, dapat dijelaskan bahwa setiap orang tanpa memandang asal usulnya mempunyai akses yang sama terhadap pendidikan pada semua jenis dan jalur pendidikan

c. Keadilan dan atau kewajaran (equity) dijelaskan bahwa perlakuan kepada peserta didik sesuai dengan keadaan internal dan eksternal peserta didik, dalam arti adalah wajar dan adil jika peserta didik diperlakukan sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa suasana pendidikan di Indonesia memiliki banyak permasalahan yang harus diselesaikan dalam waktu dekat. Para pejabat pemerintahan telah berupaya semaksimal mungkin dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Tetapi dalam sebagian sisi ada beberapa masalah yang masih belum dapat di selesaikan, disinilah peran kita sebagai penggiat pendidikan dalam membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan pendidikan dengan cara menemukan solusi permasalahan melalui penelitian-penelitian yang terkait dengan pendidikan Disamping beberapa permasalahan pendidikan yang ada, terdapat juga peningkatan pendidikan pada sisi lain. Ini membuktikan dinamika dunia pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan. Hal ini memiliki keterkaitan dengan sistem kepemimpinan yang ada dalam tatanan kepemerintahan. Dengan bergantinya pemimpin di negara ini, maka ada beberapa peraturan dan sistem pendidikan yang harus dirubah.

DAFTAR PUSTAKA

Anies R. Baswedan. 2014. Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia. Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan. disampaikan dalam Silaturahmi Kementerian

dengan Kepala Dinas. Jakarta: Desember 2014.

Cooper, Bruce S. at.all. 2004. Better Policies, Better Schools; Theories and

Applications. Pearson Education, Inc.

Chandra Fransisca. 2009. Peran Partisipasi Kegiatan di Alam Masa anak, Pendidikan

dan Jenis Kelamin sebagai Moderasi Terhadap Perilaku Ramah Lingkungan.

Disertasi S3. Program Magister Psikologi Fakultas Psikologi. Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2012. Pedoman Pelaksanaan sm 3t. Jakarta. Kementerian pendidikan dan kebudayaan.

H.A.R. Tilaar. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam

Persfektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.

Hamka. 1996. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni.

Indra Hartoyo. 2012. Pengintegrasian Pilar-Pilar Pendidikan Karakter dalam

Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. FBS: Unimed.

Jumadi. 1962. Perlu Membangun Pembelajaran Humanis. ,http://www.unlamview.com. Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Sambutan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Muhdi, Ali. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta. Pustaka Fahima.

PP No. 38 Tahun 1992 Tentang Tujuan Pendidikan.

Prayitno. 2009. Wawasan Dasar Bimbingan dan Konseling. Padang. UNP Press. Qodry Azizy. 2002. Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, Mendidikan

Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat. Semarang: Aneka

Ilmu.

Sadirman. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Sagala, Saiful. 2012. Human Capital : Kepemimpinan Visioner dan Beberapa

Kebijkan Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Saleh, Syarif. 1963. Otonomi dan Daerah Otonom. Jakarta : Penerbit Endang Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryono, Yoyon. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks

Otonomi Daerah. Yogyakarta. FIP UNY

Umar Tirtarahardja & S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. UNESCO. 1996. Learning the Treasure Within. Paris. Co-publication unesco/

odile Jacob Publishers.

Wayong J. 1979. Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Penerbit Djambatan Yuli Sectio Rini. 2010. Pendidikan: Hakekat, Tujuan dan Proses. UNY