• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesatuan Republik Indonesia

B. Tragedi Politik Nasional

2) Strategi PKI

Dalam buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia yang diterbitkan Intermasa 1989, Nugroho Notosusanto

Sumber:30 Tahun Indonesia Merdeka

Gambar 6.22Jenderal A.H. Nasution: Tokoh Angkatan Darat yang lolos dari peristiwa Gerakan 30 September/PKI.

menyebutkan bahwa PKI-lah yang berada di balik Gerakan 30 September. Oleh karena itu, ada tiga tugas yang harus dilaksanakan oleh para pimpinan PKI. Pertama, memperbaiki pengaruh dan kekuasaan mereka di angkatan bersenjata. Kedua, bersiap-siap menghadapi saat-saat Presiden Ir. Soekarno tidak berkuasa lagi.

Ketiga, meneruskan usaha menyebarkan pengaruh mereka di semua sektor masyarakat Indonesia. Dari ketiga tugas itu, kedekatan PKI dengan Ir. Soekarno yang saat itu memegang semua kekuasaan, membuka peluang yang lebih besar bagi misi perjuangan PKI.

Menurut Nugroho Notosusanto, PKI mengadakan serangkaian rapat maraton pada bulan Agustus–September 1965 dengan tempat yang berpindah-pindah. Beberapa keputusan pentingnya sebagai berikut.

a) Menunjuk satu kompi Tjakrabirawa, dua peleton Brigade Infanteri I, satu batalion pasukan Para Angkatan Udara, dan 2.000 anggota terlatih dari Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain, sebagai pelaku dan pendukung serangan.

b) Mengamankan” sejumlah jenderal pada permulaan operasi karena mereka akan menentang operasi.

c) Saat operasi berjalan, pasukan-pasukan Angkatan Darat akan dikerahkan untuk memberi kesan bahwa operasi ini adalah ”semata-mata tindakan intern dalam Angkatan Darat”. d) Kota Jakarta dibagi dalam berbagai sektor operasional,

sementara beberapa bangunan vital seperti istana kepresidenan, stasiun radio, dan pusat telekomunikasi harus diduduki dengan maksud menguasai kota serta penduduknya.

Dalam rapat-rapat yang diadakan di rumah Sam disepakati penggunaan Central Komando (Cenko) dengan pasukan khusus bersenjata meliputi Pasopati, Bimasakti, dan Pringgodani. Terpilih sebagai ketua Cenko Letkol Untung dengan anggota Kolonel Abdul Latief, Mayor Udara Sujono, Sam, dan Pono. Kesatuan Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief terdiri atas satu kompi dari Batalion Kawal Kehormatan 1 Resimen Tjakrabirawa, Batalion Para 454, Batalion Para 530, dan dua peleton dari Brigade Infanteri 1, Kesatuan Pasukan Para Angkatan Udara, serta kesatuan Kavaleri. Mereka bertugas menangkap, menculik, atau membunuh para jenderal, untuk dibawa ke Lubang Buaya dan diserahkan kepada kesatuan Pringgodani. Kesatuan Pringgodani dipimpin oleh Mayor Udara Sujono yang terdiri atas satu Batalion Pasukan Para Angkatan Udara dan kekuatan massa rakyat. Mereka bertugas menjaga pangkalan Lubang Buaya, menguasai logistik, dan menerima jenderal-jenderal yang tertangkap.

Kesatuan Bimasakti dipimpin oleh Kapten Suradi bertugas menduduki instalasi-instalasi vital dan mengelola daerah-daerah yang dikuasai. Mereka terdiri atas tiga kompi dari Batalion Para 454, empat kompi dari Batalion Para 530, dan kekuatan massa dipersenjatai.

Menurut Nugroho Notosusanto, Cenko memutuskan bahwa gerakan tersebut bernama Gerakan 30 September. Dalam briefing tanggal 29 September 1965, gerakan itu diberi nama ”Gerakan 30 September” dan Jam-J adalah pukul 04.00 pagi.

Sumber:30 Tahun Indonesia Merdeka

Gambar 6.23Salah satu pemberitaan di seputar peristiwa Gerakan 30 September/PKI.

c. Penumpasan Gerakan 30 September/PKI

Setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September/PKI dan Kolonel Untung mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi-oner Indonesia, permasalahan menjadi sedikit terang. Reaksi pun muncul dari berbagai kalangan. Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution yang saat itu di tempat persembunyian, mengirim pesan melalui penghubung kepada Panglima KOSTRAD. Pesan itu antara lain berisi agar melokalisir pasukan lawan, menutup Kota Jakarta, minta bantuan pasukan dari KODAM VI/Siliwangi, meng-gunakan RRI Bandung untuk membantah adanya Dewan Jenderal, memastikan keadaan presiden, serta segera menghubungi panglima Angkatan Laut, panglima angkatan kepolisian dan panglima KKO. Pelan-pelan markas KOSTRAD pun menjadi pusat gerakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September/PKI.

Upaya pembebasan dari Gerakan 30 September/PKI melibatkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan Batalion 328/Para Kujang/Siliwangi. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi setelah Kolonel Untung mengumumkan komposisi personalia Dewan Revolusi Indonesia, Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan instruksi. Instruksi itu dimaksudkan untuk melancarkan tindakan yang cepat, tegas, menyeluruh dengan melibatkan kerja sama antarangkatan. Pada tanggal 3 Oktober 1965 lokasi jenazah para jenderal AD telah ditemukan. Namun, karena sudah malam dan kendala teknis (keadaan sumur yaitu dengan kedalaman 12 m dan garis tengah kurang dari 1 m), pengangkatan jenazah ditunda hingga keesokan harinya. Malam itu juga, para jenderal senior AD membuat petisi kepada presiden. Isinya antara lain supaya fitnah terhadap Angkatan Darat (bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kudeta) diperiksa. Apabila fitnah itu benar, para jenderal senior AD siap diadili. Apabila fitnah itu tidak benar, pemfitnah itu juga harus dihukum.

Foto: Doly Eny Khalifah

Gambar 6.24Makostrad, tempat Mayjen Soeharto mengendalikan operasi penumpasan G 30 S/PKI.

Sumber:30 Tahun Indonesia Merdeka

Gambar 6.25Jenderal Soeharto saat pengambilan jenazah korban G 30 S/PKI

Bung Karno dan Pak Harto tentang G 30 S/PKI

1. Pendapat Bung Karno:

”Saya selalu memakai kata Gestok.

Pem-bunuhan kepada jenderal-jenderal dan ajudan-ajudan serta pengawal-pengawal terjadi pada 1 Oktober pagi-pagi sekali. Saya menyebutnya

”Gerakan Satu Oktober”, singkatnya Gestok.

Penyelidikanku yang saksama menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September itu di-timbulkan oleh ”pertemuannya” tiga sebab, yaitu:

a. kebelingernya pimpinan PKI,

b. kelihaian subversi Nekolim, dan

c. memang adanya oknum-oknum yang ”yang

tidak benar”.

Sumber:Surat Presiden Soekarno Nomor 01/Pres/67 tanggal 10 Januari 1967 tentang Pelengkap Pidato Nawaksara kepada pimpinan MPRS

2. Pendapat Pak Harto:

”Apa yang menamakan dirinya ”Gerakan 30 September” telah membentuk apa yang mereka sebut Dewan Revolusi Indonesia. Mereka telah mengambil kekuasaan Negara atau lazimnya

disebut coup dari tangan PYM Presiden/Panglima

Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan melempar Kabinet Dwikora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah menculik beberapa Perwira Tinggi AD. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka itu kontra revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya.

Sumber:Pidato Pimpinan Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto tanggal 1 Oktober 1965

Bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para jenderal Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Keberangkatan jenazah dari Aula Departemen Angkatan Darat dilepas dengan pidato Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution.

Demikianlah, prahara politik yang meminta korban para perwira tinggi Angkatan Darat itu sempat menggoyahkan persatuan bangsa. Presiden Ir. Soekarno sendiri shock setelah mengetahui jenderal-jenderal Angkatan Darat itu tewas terbunuh dalam Gerakan 30 September/PKI. Sementara itu, di dalam tubuh Angkatan Darat terjadi dualisme kepemimpinan karena Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai panglima operasi pemulihan keamanan. Mayor Jenderal Pranoto diangkat sebagai caretaker

pimpinan Angkatan Darat. Dualisme kepemimpinan dan tidak adanya penyelesaian tegas dari presiden terhadap Gerakan 30 September/PKI, memicu reaksi rakyat.

Dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Ir. Soekarno mengatakan bahwa peristiwa Gerakan 30 September/ PKI itu adalah sebuah riak dalam samudra revolusi. Mengenai penyelesaiannya, presiden menawarkan tiga opsi yaitu aspek politik Gerakan 30 September/ PKI akan diselesaikan sendiri oleh presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto, dan aspek militer teknis (keamanan dan ketertiban) diserahkan kepada Mayjen Soeharto. Namun, realitas yang terjadi di masyarakat menjadi tidak terkontrol dan cenderung anarkis.

PKI menjadi sasaran kemarahan rakyat. Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta dibakar, begitu pula rumah tokoh-tokoh PKI. Konflik fisik pun pecah antara massa yang pro dan anti-PKI. Peristiwa ini tidak saja terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Orang-orang menyebut saat itu tengah terjadi perang saudara dan jutaan nyawa melayang menjadi korban. Berturut-turut tokoh-tokoh PKI ditangkap seperti Kolonel Abdul Latief (di Jakarta tanggal 9 Oktober 1965) dan Kolonel Untung (di Tegal 11 Oktober 1965). Pada tanggal 14 Oktober 1965 Mayjen Soeharto diangkat sebagai menteri/panglima Angkatan Darat dan dilantik dua hari kemudian. Pelan-pelan ia memegang kendali pemulihan keamanan dan ketertiban. Tanggal 16 Oktober 1965 Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah (selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah/Pepelrada) membekukan untuk sementara semua kegiatan PKI dan ketujuh ormas-ormasnya. Ormas-ormas PKI antara lain Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Tindakan Pepelrada Jakarta ini diikuti oleh Pepelrada Jawa Timur (22 Oktober 1965), Pepelrada Jawa Tengah-DIY tanggal 26 Oktober 1965 menyatakan keadaan perang.

Sementara itu, mulai tanggal 20 Oktober 1965 mulai dilakukan penertiban/personalia sipil dan militer dari unsur-unsur yang terlibat Gerak-an 30 September/PKI. Di masyarakat pun mulai berdiri kelompok-kelompok aksi yang menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Misalnya Ke-satuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), KeKe-satuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Pada tanggal 26 Oktober 1965 mereka mengadakan rapat akbar di Lapangan Banteng untuk menuntut pembubaran PKI.

Sumber:Dwi Windu Orde Baru

Gambar 6.27Letkol Untung: Tokoh utama Gerakan 30 September/PKI.

Sumber:30 Tahun Indonesia Merdeka

Gambar 6.26Prosesi pemakaman jenderal-jenderal Angkatan Darat pada hari ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965.

Janji Presiden Ir. Soekarno untuk menyelesaikan secara politik peristiwa Gerakan 30 September/PKI tidak kunjung direalisasikan. Konflik sosial politik di masyarakat dan seringnya terjadi tindakan main hakim sendiri, semakin memperuncing keadaan. Demonstrasi terhadap presiden pun sering terjadi di tempat ketika presiden melakukan aktivitas. Pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Front Pancasila mengajukan tiga tuntutan kepada DPR-GR. Mereka menuntut pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur Gerakan 30 September/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Tuntutan mereka kemudian dikenal dengan Tritura.

Upaya presiden untuk memperbaiki keadaan dengan mengadakan

reshufle Kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966, justru menyulut demonstrasi besar-besaran. Oleh karena dalam kabinet yang dijuluki ”Kabinet 100 Menteri” ini masih bercokol tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI. Dalam sebuah demonstrasi, Arief Rachman Hakim (Mahasiswa Universitas Indonesia) tewas tertembak. Dalam krisis yang mencapai puncak itu, Presiden Ir. Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Men/Pangad untuk atas nama presiden yaitu mengambil tindakan demi terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat inilah yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret

(Supersemar), yang menjadi penanda lahirnya Orde Baru.

A. Pilihlah jawaban yang tepat!

1. Angkatan Darat dan PKI terlibat konflik permanen sejak tahun 1948 karena . . . .

a. keduanya sama-sama ingin merebut ke-kuasaan

b. perbedaan ideologi dan perjuangan di antara keduanya

c. keduanya berlomba-lomba ingin mendapat dukungan Bung Karno

d. PKI ingin menyediakan Angkatan Darat sebagai angkatan kelima

2. Salah satu strategi yang digunakan oleh PKI untuk memperoleh kekuasaan adalah . . . .

a. melakukan aksi sepihak hingga kudeta b. menggunakan lembaga konstitusional c. mengikuti pemilu secara jujur dan adil d. membentuk koalisi dengan partai-partai

Islam

3. Haluan PKI menjadi lebih revolusioner setelah Musso pulang dari Soviet karena . . . .

a. dukungan politik dari Bung Karno

b. ingin menjadikan revolusi Indonesia bagian dari revolusi dunia dengan pusat Soviet c. Musso menggandeng Cina untuk

memper-senjatai rakyat

d. rakyat secara frontal mendukung langkah-langkah politik Musso

Sumber:Republika, 11 Maret 2000

Gambar 6.28 Dua versi Supersemar.

Peristiwa Gerakan 30 September/PKI yang terjadi pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965 merupakan sebuah peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa yang dipicu oleh konflik elite di Jakarta itu berubah menjadi perang saudara yang menewaskan jutaan rakyat. Dampak peristiwa itu bahkan masih

terasa hingga saat ini. Akan tetapi, hingga kini peristiwa itu belum juga tersingkap fakta sejarahnya.

Nah, sekarang kamu tanyakan kepada kakek/ nenek atau orang tuamu, pendapat mereka tentang peristiwa Gerakan 30 September/PKI. Tulislah hasil wawancaramu itu ke dalam bentuk cerita kemudian sampaikan di depan kelas.

4. Setelah direhabilitasi tahun 1950 akibat peristiwa Madiun, PKI dengan mudah masuk dalam konstelasi politik nasional karena . . . .

a. PKI memang tidak bersalah dalam peristiwa itu

b. dukungan dari seluruh kekuatan politik saat itu

c. Angkatan Darat sudah tidak

memper-masalahkan kehadiran PKI

d. saat itu terjadi beragam gerakan separatisme dan pembubaran partai-partai politik 5. PKI menggunakan doktrin ”Pancasila = Nasakom”

untuk . . . .

a. menyebarluaskan ajaran Pancasila

b. mendekati Bung Karno dan memperluas pengaruh

c. antara Pancasila dan Nasakom memang

sama

d. PKI memang kekuatan politik yang Pancasilais 6. Ide dasar yang menjadi pertimbangan Bung Karno untuk mengeluarkan doktrin Nasakom adalah . . . .

a. keinginan untuk menjadikan PKI sebagai partai penguasa

b. pemikirannya untuk mempersatukan seluruh potensi dan kekuatan bangsa

c. ketiga kekuatan itu memang mempunyai persamaan

d. Pancasila sudah tidak relevan lagi dan perlu diganti dengan Nasakom

7. Menurut Nugroho Notosusanto, PKI kesulitan untuk mendapatkan pengaruhnya di tubuh angkatan bersenjata karena . . . .

a. PKI harus berhadapan dengan TNI AD b. tidak adanya tokoh yang bisa melobi c. adanya larangan Bung Karno

d. angkatan bersenjata dalam posisi yang solid 8. Jenderal Soeharto bertindak cepat setelah meletus peristiwa Gerakan 30 September/PKI karena . . . .

a. diduga ia mengetahui secara pasti peristiwa tersebut

b. saat itu dialah pejabat tertinggi angkatan bersenjata

c. dialah perwira tinggi yang lolos dari upaya penculikan

d. ia mendapat perintah langsung dari Bung Karno

9. Setelah peristiwa Gerakan 30 September/PKI terjadi kemelut dalam kepemimpinan Angkatan Darat karena . . . .

a. banyak tokoh Angkatan Darat terbunuh b. Soeharto mengambil alih pimpinan sementara

Bung Karno menunjuk pejabat lain

c. adanya pertentangan dan perebutan

pengaruh di kalangan Angkatan Darat d. angkatan selain Angkatan Darat berusaha

memprovokasi keadaan

10. PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan aktivitasnya dibekukan karena . . . .

a. diduga terlibat peristiwa Gerakan 30 September

b. Angkatan Darat ingin mengurangi kekuasaan Bung Karno

c. adanya instruksi langsung dari Bung Karno d. agar semua sepak terjangnya tidak diketahui

oleh generasi penerus

B. Jawablah pertanyaan dengan tepat!

1. Jelaskan latar belakang peristiwa Gerakan 30 September 1965/PKI!

2. Apa sajakah kebijakan pemerintah untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional? Sebut dan jelaskan!

3. Sebutkan lima peristiwa politik penting yang terjadi pada masa Orde Baru. Jelaskan!

4. Berilah contoh perkembangan ekonomi pada masa Orde Baru!

5. Apa perbedaan dan persamaan antara Orde Lama dan Orde Baru? Jelaskan!