• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Stres

1. Defenisi Stres

Menurut Riggio (2003) stres kerja sebagai reaksi fisiologis dan atau psikologis terhadap suatu kejadian yang dipersepsi individu sebagai ancaman. Evan dan Johnson (2000) menyebutkan bahwa stres kerja merupakan satu faktor yang menentukan naik turunnya kinerja karyawan. Stres kerja menyebabkan penyimpangan pada fungsi psikologis, fisik dan tingkah laku individu yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dari fungsi normal (Beehr & Newman, 1988; dan Robbins 2004).

Perkataan stres berasal dari bahasa latin Stingere, yang digunakan pada abad XVII untuk menggambarkan kesukaran, penderitaan dan kemalangan. Stres adalah ketegangan atau tekanan emosional yang dialami sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang (Marihot, 2002).

Perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini tampak dari simptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak

Berdasarkan dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan reaksi baik fisiologis maupun psikologis terhadap suatu kejadian yang dapat menimbulkan ketegangan, ancaman bahkan hambatan yang dihadapi sehingga individu merasa tertekan yang dapat terlihat dari beberapa simptom seperti emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan.

2. Aspek-Aspek Stres

Menurut Schultz dan Schultz (1994) dan Robbins (2004), aspek-aspek stres kerja meliputi :

a. Deviasi fisiologis, hal ini dapat dilihat pada orang yang terkena stres antara lain adalah sakit kepala, pusing, pening, tidak tidur teratur, susah tidur, bangun terlalu awal, sakit punggung, susah buang air besar, gatal-gatal pada kulit, tegang, pencernaan terganggu, tekanan darah naik, serangan jantung, keringat berlebihan, selera makan berubah, lelah atau kehilangan daya energi, dan lain-lain.

b. Deviasi psikologis yang mencakup sedih, depresi, mudah menangis, hati merana, mudah marah, dan panas, gelisah, cemas, rasa harga diri menurun, merasa tidak aman, terlalu peka, mudah tersinggung, marah-marah, mudah menyerang, bermusuhan dengan orang lain, tegang, bingung, meredam

kreativitas, dan kehilangan semangat hidup.

c. Deviasi perilaku yang mencakup kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhi janji, suka mencari kesalahan orang lain atau menyerang orang lain, terlalu membentengi atau mempertahankan diri, meningkatnya frekuensi absensi, meningkatkan penggunaan minuman keras dan mabuk, sabotase, meningkatnya agresivitas dan kriminalitas.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

Menurut Sheridan dan Radmacher (1992), ada tiga faktor penyebab stres kerja, yaitu yang berkaitan dengan lingkungan, organisasi, dan individu yang diuraikan sebagai berikut:

a. Faktor lingkungan, yaitu keadaan secara global. Lingkungan yang dapat menyebabkan stres ialah ketidakpastian lingkungan, seperti ketidakpastian situasi ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan teknologi. Kondisi organisasi ini akan mempengaruhi individu yang terlibat di dalamnya (Sheridan & Radmacher, 1992).

b. Faktor organisasional, yaitu kondisi organisasi yang langsung mempengaruhi kinerja individu. Kondisi-kondisi tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

a) Karakteristik intrinsik dalam pekerjaan, yaitu setiap pekerjaan memiliki kondisi yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Karakteristik

authority), heterogenitas personalia, saling ketergantungan dalam pelaksanaan tugas, dan spesialisasi (Schultz, 1982) dan juga (2) beban kerja yang berupa satuan tugas atau pekerjaan yang harus diselesaikan dalam satuan waktu tertentu. Tugas yang berlebihan (work overload) dan sebaliknya, beban kerja yang terlalu ringan pun dapat menyebabkan stres sama besarnya (Gibson, dkk., 1994).

b) Karakteristik peran individu. Pekerjaan atau jabatan yang disandang individu memunculkan peran. Hal ini merupakan norma-norma sosial yang harus dituruti individu menurut posisinya dalam pekerjaan (Riggio, 1996). Karakteristik yang berhubungan dengan peran, antara lain: (1) konflik peran, muncul ketika terjadi ketidakseimbangan antara tugas dan standar, atau nilai-nilai pada diri individu dan atau keluarganya (Schultz, 1982; Beutell & Greenhauss, 1983; Luthans, 1998). (2) ketidakjelasan peran, muncul ketika individu tidak memahami dengan jelas ruang lingkup, tanggung jawab, atau apa yang diharapkan dalam melaksanakan tugas. (3) beban peran, berhubungan dengan tuntutan peran yang terlalu tinggi atau terlalu rendah bagi kedudukan dalam jabatan (Anaroga, 1992). (4) ketiadaan kontrol, terjadi ketika individu merasa tidak mempunyai kontrol atas lingkungan kerja atau sikapnya sendiri dalam bekerja (Riggio, 1996).

menjadi sumber stres terjadi pada bentuk pola hubungan antar rekan kerja, atasan dengan bawahan, dan dengan klien dengan konsumen (Fontana, 1993). Hubungan yang kurang baik antar kelompok kerja akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan individu dan organisasi (Gibson, dkk., 1994).

d) Iklim organisasi, yaitu yaitu karakteristik khas yang bersifat relatif tetap dari lingkungan suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lainnya. Iklim organisasi meliputi sistem penggajian, disiplin kerja dan proses pengambilan keputusan (Sheridan & Radmacher, 1992); budaya kerja yang mencakup rasa memiliki, konsultasi, dan komunikasi (Gibson, dkk., 1994).

e) Karakteristik fisik lingkungan kerja. Kondisi fisik lingkungan suatu pekerjaan memiliki pengaruh penting pada kinerja dan kepuasan kerja (Gifford, 1987). Beberapa kondisi fisik dapat mempengaruhi kemunculan stres, seperti polusi bahan kimia, penggunaaan asbes, polusi asap rokok, batu bara, dan kebisingan (Napoli, Kilbride, & Tebs 1988).

c. Faktor individual, terdapat dalam kehidupan pribadi individu di luar pekerjaan, seperti masalah keluarga dan ekonomi (Sheridan & Radmacher, 1992).

Iklim organisasi yang buruk dapat mempengaruhi tingkat stres yang dialami karyawan. Dimana iklim organisasi itu sendiri dapat memicu timbulnya stres bagi individu. Iklim organisasi berpengaruh besar pada proses menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, sehingga dapat menciptakan kerja sama yang harmonis pada setiap anggotanya di dalam suatu organisasi, sebaliknya jika iklim organisasi yang dirasakan oleh para pekerja itu negatif, maka akan membuat para pekerja mengalami stres kerja sehingga akan berdampak buruk pada lingkungan kerja individu itu sendiri (Wijono, 2006). Hal-hal yang demikian juga dapat mempengaruhi perasaan, perilaku dan kesejahteraan individu di tempat kerja yang berdampak pada penguasaan lingkungan individu di tempat. Dimana seperti yang dikemukakan oleh Ryff, individu yang memiliki kesejahteraan psikologis adalah individu yang memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang salah satunya adalah penguasaan lingkungan.

Hal diatas dapat diketahui adanya hubungan yang secara bersama dan saling berkaitan antara iklim organisasi dengan stres dapat berpengaruh kepada kesejahteraan psikologis karyawan pribumi. Keterkaitan tersebut adanya kesamaan indikator pada masing masing variabel sehingga dapat berpengaruh satu sama lainnya

individu di organisasi. Tagiurin dan Litwin (1968) yang mengatakan bahwa iklim organisasi adalah kualitas lingkungan internal organisasi yang bertahan cukup lama dan yang dialami oleh segenap anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka, dan yang dapat digambarkan sebagai cerminan nilai-nilai dari seperangkat ciri-ciri (atau atribut) khas organisasi tersebut. Sehingga iklim organisasi juga menjadi salah satu faktor yang digunakan untuk menciptakan tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

Iklim organisasi yang kondusif bagi anggota organisasi (karyawan) mampu memberikan kenyamanan dalam bekerja, bahkan memungkinkan karyawan akan bertahan dan loyal terhadap organisasi (perusahaan). Namun, hal tersebut terkadang terhalang dengan hadirnya budaya organisasi yang buruk di beberapa perusahaan yang memiliki kelompok minoritas dan mayoritas. Dimana, kelompok minoritas terkadang merasa dikucilkan bahkan di acuhkan oleh kelompok mayoritas. Untuk itu dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam budaya organisasi, sehingga kelompok minoritas tidak merasa terabaikan.

Dalam dunia kerja, dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung karyawan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup. Menurut Robertson dan Cooper (2011) memberikan pengertian tentang kesejahteraan psikologis ditempat kerja sebagai tingkat perasaan dan tujuan psikologis yang dirasakan seseorang ditempat kerja.

psikologis individu mengalami penuruanan. Dan sebaliknya jika iklim organisasi memiliki pengaruh yang positif maka kesejahteraan psikologisnya mengalami peningkatan.

3. Perbedaan Tingkat Stres Terhadap Kesejahteraan Psikologis

Hampir sebagian dari kehidupan seseorang berisi kegiatan bekerja. Anoraga (2001), mengatakan ada individu yang mencintai pekerjaanya, melakukannya setiap hari dan terdorong untuk melakukannya lebih banyak lagi pekerjaan. Namun, ada juga individu yang hanya menerima pekerjaan begitu saja sebagai sebuah tuntutan hidup dan merasakan sesuatu yang berat , membosankan dan tidak memuaskan. Biasanya individu seperti bekerja sekedarnya, melakukan tugas-tugasnya dengan memiliki rasa tertarik atau kondisi kerja yang tidak manusiawi seperti beban kerja yang terlalu berat. Hal-hal yang demikian dapat menjadi penyebab munculny stres. Dimana stres adalah suatu kondisi ketegangn yang mempengaruhi emosi, proses berfikir, dan kondisi seseorang. Hasilnya stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, yang akhirnya mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya.

Tidak dapat dipungkiri hampir semua orang dalam kehidupannya pernah mengalami stres. Dimana bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan Goldstein (2007) mengatakan bahwa seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi dapat menurunkan stres. Dimana kesejahteraan psikologis itu sendiri

adanya gejala-gejala depresi.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa adanya pengaruh negatif antara tingkatan stres dan kesejahteraan psikologis. Jadi semakin tinggi tingkat stres seseorang, maka akan semakin rendah kesejahteraan psikologisnya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat stres seseorang maka semakin tinggi kesejahteraan psikologis seseorang.

Dokumen terkait