• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Karagenan

2.4.1 Struktur karagenan

Karagenan merupakan polisakarida linier atau lurus, dan merupakan molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa.Karagenan merupakan molekul besar yang terdiri dari 1000 residu galaktosa. Karagenan dibagi atas tiga kelompok utama yaitu:

a. Kappa karagenan

Kappa karagenan (Gambar 2.1) terdiri dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan 3,6-anhidro-D- galaktosa. Karagenan juga sering mengandung D-galaktosa-6 sulfat ester dan 3,anhidro-D-galaktosa 2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat dapat menurunkan daya gelasi dari karagenan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan transeliminasi gugusan 6-sulfat, sehingga menghasilkan bentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah.

Gambar 2.1.Kappa Karagenan b. Iota karagenan

Iota karagenan (Gambar 2.2) ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D galaktosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D- galaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti halnya kappa karagenan.

Gambar 2.2.Iota Karagenan c. Lamda karagenan

Lamda karagenan (Gambar 2.3) berbeda dengan kappa dan iota karagenan, karena memiliki sebuah residu disulphated α-(1,4)-D-galaktosa (Winarno, 1990).

Gambar 2.3.Lamda Karagenan 2.4.2 Sifat-sifat karagenan

Sifat-sifat karagenan meliputi kelarutan, viskositas, dan pembentukan gel.

2.4.2.1 Kelarutan

Kelarutan karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranyatipe karagenan, temperatur, pH, kehadiran jenis ion tandingan, dan zat-zat terlarutlainnya. Gugus hidroksil dan sulfat pada karagenan bersifat hidrofilik, sedangkangugus 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik.

Lamdakaragenan mudah larutpada semua kondisi karena tanpa unit 3,6-anhidro-D-galaktosa dan mengandunggugus sulfat yang tinggi. Karagenan jenis iota bersifat lebih hidrofilik karenaadanya gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang kuranghidrofilik. Karagenan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memilikigugus 3,6-anhidro-D-galaktosa (Towle 1973).

Karakteristik daya larut karagenan juga dipengaruhi oleh bentuk garam darigugus ester sulfatnya.Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenispotasium lebih sukar larut.Hal ini menyebabkan kappakaragenan dalam bentukgaram potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untukmengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebihmudah larut.Lamdakaragenan larut dalam air dan tidak tergantung jenisgaramnya (cPKelco ApS 2004 diacu dalam Syamsuar 2006).

Suryaningrum (1988) menyatakan bahwa karagenan dapat membentuk gelsecara reversibel artinya dapat membentuk gel pada saat pendinginan dan kembalicair pada saat dipanaskan.Pembentukan gel disebabkan karena terbentuknyastruktur heliks rangkap yang tidak terjadi pada suhu tinggi.Daya kelarutankaragenan pada berbagai media dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Daya kelarutan karagenan pada berbagai media pelarut.

No Medium Kappa Iota Lamda

1 Air Panas Larut di atas 60oC Larut di atas 60oC Larut

2 Air dingin Garam natrium larut, garam K, Ca, tidak larut

Garam Na larut Ca memberi dispersi thixotropic

Tidak larut Larut

5 Larutan gula pekat Larut (Dipanaskan) Larut, sukar Larut (Dipanaskan)

Larut (dipanaskan) 6 Larutan garam pekat Tidak larut Larut (dipanaskan) Larut (dipanaskan)

Sumber: Indriani dan Sumarsih,1991 2.4.2.2 Viskositas

Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan.Viskositas suatu hidrokoloid dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi karagenan, suhu, jenis karagenan, berat molekul, dan adanya molekul-molekul lain (Towle 1973; FAO 1990). Jika konsentrasi karagenan meningkat maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara progresif dengan adanya peningkatan suhu, pada konsentrasi 1,5%, dan suhu 75oC nilai viskositas karagenan berkisar antara 5–800 cP (FAO 1990).

Viskositas larutan karagenan terutama disebabkan oleh sifat karagenan sebagai polielektrolit.Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negative sepanjang rantai polimer, yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang.Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut dikelilingi oleh molekul-molekul air yang terimobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karagenan bersifat kental (Guiseley, et al., 1980).

Moirano (1977), mengemukakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat. Adanya garam-garam yang terlarut dalam karagenanakan menurunkan muatan sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antar gugus-gugus sulfat,

sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Viskositas larutan karagenanakan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karagenan (Towle 1973).

2.4.2.3PembentukanGelasi

Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatansilang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensibersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air didalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Gel mempunyai sifatseperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.

Struktur kappa dan iota karagenan memungkinkan bagian dari dua molekul masing-masing membentuk double helix yang mengikat rantai molekul menjadi bentuk jaringan 3 dimensi atau gel.Lamda karagenan tidak mampu membentuk double helix tersebut. Sifat ini dapat terlihat bila larutan dipanaskan kemudian diikuti dengan pendinginan sampai di bawah suhu tertentu, kappa dan iota karagenan akan membentuk gel dalam air yang bersifat reversible yaitu akan mencair kembali pada saat larutan dipanaskan (Winarno, 1990).Mekanismepembentukan gel karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Glicksman 1983).

Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gelakan mengakibatkan polimer karagenan dalam larutan menjadi random coil (acak).Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix(pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan, polimer-polimer iniakan terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliksakan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap terbentuknya gel yangkuat (Glicksman 1969). Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukanagregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhirini disebut sineresis (Fardiaz 1989).

Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iotakaragenan terjadi padasaat larutan panas dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus3,6-anhidrogalaktosa. Adanya perbedaan jumlah, tipe, dan posisi gugus sulfatakan mempengaruhi proses pembentukan gel. Kappakaragenan sensitif terhadapion kalium dan membentuk gel kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan

iotakaragenan akan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+, akan tetapilamdakaragenan tidak dapat membentuk gel (Glicksman 1983).

Potensimembentuk gel dan viskositas larutan karagenan akan menurun denganmenurunnya pH, karena ion H+membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik padamolekul karagenan (Angka dan Suhartono 2000). Konsistensi gel dipengaruhibeberapa faktor antara lain jenis dan tipe karagenan, konsistensi, adanya ion-ionserta pelarut yang menghambat pembentukan hidrokoloid (Towle 1973).

2.4.3 Kegunaan Karagenan

Karagenan sangat penting perananya sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi, dan lain-lain.Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan lain-lain.

Pemanfaatan karagenan dalam bidang industri antara lain:

1. Pada industri makanan

Pada industri makanan, karagenan digunakan pada pembuatan (Indriani dan Sumiarsih, 1991):

- Es krim yaitu sebagai stabilisator, mencegah kristalisasi dari es krim.

- Susu coklat yaitu mencegah pengendapan coklat dan pemisahan krim serta meningkatkan kekentalan lemak dan pengendapan kalsium.

- Kue dan roti yaitu meningkatkan mutu adonan.

- Daging kalengan yaitu sebagai gel pengikat air atau gel pelapis produk daging.

- Makanan bayi yaitu sebagai stabilisator lemak dan protein.

- Gel susu (pudding, custard) yaitu sebagai pembentuk gel.

- Sirup yaitu sebagai pensuspensi.

2. Pada industri farmasi dan kosmetika

Pada industri farmasi dan kosmetika, karagenan digunakan pada pembuatan (Anggadiredja, dkk., 2010):

- Pasta gigi yaitu untuk memperhalus tekstur dan memperbaiki sifat busanya.

- Lotion sebagaibodying agent.

- Tablet yaitu sebagai bahan pengikat.

- Krem yaitu sebagai bodying agent.

3. Pada industri kertas dan tekstil

Pada industri kertas dan tekstil karagenan mempunyai banyak peranan (Sadhori, 1998), yaitu: pada industri kertas yaitu untuk memperhalus permukaan kertas dan pada industri tekstil yaitu sebagai painting silk pada waktu pencetakan dapat memperbaiki warna yang timbul.

4. Pada industri kulit (leather)

Pada industri kulit (leather) karagenan digunakan untuk memperhalus dan mengkilatkan permukaan kulit serta menjadikan kulit tidak kaku.

5. Pada industri cat

Pada industri cat karagenan digunakan sebagai zat warna, yaitu: zat warna yaitu sebagai pensuspensi dan water base paint yaitu sebagai bahan pengental.

6. Pada industri pertanian

Pada industri pertanian karagenan digunakan dalam pembuatan pestisida dan herbisida yaitu sebagai pensuspensi.

2.4.4 Tumbuhan Penghasil Karagenan

Sumber karagenan untuk daerah tropis adalah dari spesies Kappaphycus alvarezii (Doty) yang menghasilkan karagenan dalam bentuk kappa, Eucheuma spinosum yang menghasilkan karagenan dalam bentuk iota.Kedua jenis rumput laut tersebut banyak terdapat disepanjang pantai Filipina dan Indonesia.Sebagian besar karagenan diproduksi dari jenis Chondrus crispus yang berwarna merah tua, bentuknya seperti daun parsley, dan hidup pada kedalaman sekitar 3 meter.Jenis ini banyak tumbuh di daerah utama lautan atlantik, yaitu di pantai Kanada, Inggris dan Prancis (Winarno, 1990).

2.5Ekstraksi

Ekstraksi adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Depkes, 1995).

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Ada beberapa metode ekstraksi, yaitu:

A. Cara Dingin 1. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-terpotong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi.

Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kira-kira 3 kali sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut.

Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1995).

2. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dalam wadah berbenruk silindris atau kerucut (perkulator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan pengekstaksi yang dialirkan secara kontinyu dari atas, akan mengalir turun secara lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar.

Melalui penyegaran bahan pelarut secara kontinyu, akan terjadi proses maserasi bertahap banyak. Jika pada maserasi sederhana tidak terjadi ekstraksi sempurna dari simplisia oleh karena akan terjadi keseimbangan kosentrasi antara larutan dalam seldengan cairan disekelilingnya, maka pada perkolasi melalui simplisia bahan pelarut segar perbedaan kosentrasi tadi selalu dipertahnkan. Dengan demikian ekstraksi total secara teoritis dimungkinkan (praktis jumlah bahan yang dapat diekstraksi mencapai 95%) (Voight,1995).

B. Cara Panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).

2. Sokletasi

Sokletasi dilakukan dengan cara bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya) dibagian dalam alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu (perkulator). Wadah gelas yang mengandung kantung ndiletakkan diantar labu penyulingan dengan pendingin aliran balik dan dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi bahan pelarut yang menguap dan mencapai kedalam pendingin aliran balik melalui pipet yang berkodensasi didalamnya.

Menetes ketas bahan yang diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul didalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara otomatis dipindahkan kedalam labu. Dengan demikian zat yang terekstraksi terakumulasi melaui penguapan bahan pelarut murni berikutnya (Voight, 1995).

2.10 Spektrofotometri Inframerah 2.10.1 Spektrum inframerah

Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran (vibrasi) yang berlainan. Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen mengalami getaran (vibrasi) atau osilasi (oscillation). Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan dalam

amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi (excited vibrational state); energi yang diserap ini akan dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar(Supratman, 2010).

Bilangan gelombangdari absorbsi oleh suatu tipe ikatan, bergantung pada macam getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan (C-H, C-C, C=O, C=C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berlainan. Dengan demikian spektrofotometri inframerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya gugus fungsi dalam suatu molekul. Banyaknya energi yang diserap juga beraneka ragam dari ikatan ke ikatan. Ini disebabkan sebagian oleh perubahan dalam momen dipol (µ≠0) pada saat energi diserap. Ikatan nonpolar (seperti C -H atau C-C) menyebabkan absorpsi lemah, sedangkan ikatan polar (seperti misalnya O-H, N-H, dan C=O) menunjukkan absorpsi yang lebih kuat(Supratman, 2010).

Bila suatu senyawa menyerap radiasi pada suatu panjang gelombang tertentu, intensitas radiasi yang diteruskan oleh contoh berkurang. Ini mengakibatkan suatu penurunan dalam %T dan terlihat pada spektrum sebagai suatu sumur (dip) yang disebut puncak absorpsi atau pita absorpsi. Bagian spektrum di mana %T menunjukkan angka 100 (atau hampir 100) disebut garis dasar (base line), yang direkam pada spektrum inframerah pada bagian atas (Supratman, 2010).

2.10.2 Spektroskopi inframerah fourier transform

Radiasi inframerah dapat dianalisis dengan spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared)yang bagiannya terdiri dari cermin gerak, cermin statik, dan pembagi berkas radiasi. Radiasi yang berasal dari sumber radiasi inframerah dikolimasikan oleh sebuah cermin cekung ke pembagi berkas radiasi, setengah berkas dilewatkan cermin statik dan setengah berkas lainnya ke cermin gerak.

Pergerakan cermin memodulasi semua panjang gelombang (frekuensi) dalam berkas radiasi. Setelah terjadi refleksi pada kedua cermin, kedua berkas tersebut bergabung kembali pada pembagi berkas radiasi(Satiadarma, dkk., 2004).

Meskipun cahaya masuk inkoheren, pemecahan menjadi dua berkas dan penggabungannya kembali pada pembagi menjamin bahwa keduanya dapat bergabung sepertinya koheren. Sebagai hasilnya, kedua berkas panjang gelombangnya dapat berinterferensi dengan kadar yang berbeda. Berkas gabungan lewat melalui sel sampel dan sampai ke detektor. Dengan pengkuran tanpa dispersi panjang gelombang, semua panjang gelombang jatuh secara bersamaan pada detektor yang memberikan keuntungan dibandingkan dengan metode dispersi (Satiadarma, dkk., 2004).

Kelebihan-kelebihan dari spektroskopi FT-IR (Fourier Transform Infrared)mencakup persyaratan ukuran sampel yang kecil, perkembanagan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini memiliki komputer yang terdedikasi, kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum (Stevens, 2001). Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) pada prinsipnya sama dengan prinsip dari spektroskopi inframerah, hanya saja spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared)ditambahkan suatu alat optik (Fourier Transform) untuk menghasilkan spektra yang lebih baik, sehingga

spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared)dapat menghasilkan data-data dimana dengan spektroskopi inframerah puncak yang diinginkan tidak muncul (Khan, 2002).

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan metode eksperimental yang meliputi penyiapan bahan tumbuhan, pemeriksaan karakteristik simplisia, isolasi karagenan terhadap variasi suhu dan waktu, pemeriksaan karakteristik karagenan meliputi identifikasi kualitatif, penetapan viskositas, susut pengeringan, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam, Spektrofotometri FTIR(Fourier Transform Infrared)dan analisis data.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara Medan dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, cawan porselin, desikator, lemari pengering, hot plate (Fissons), mikroskop (Olympus),blender (National), termometer, indikator universal, penangas air (Yenaco), spatula, labu bersumbat, botol timbang dangkal bertutup, neraca kasar, neraca listrik (Vibra), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, Spektrofotometri FTIR (Shimadzu), kaca objek, kaca penutup, krus tang, kain blacu, mortir dan stamper dan alumunium foil.

3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan padapercobaan adalah talus rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty), asam klorida,kloroform, isopropanol,kalsium klorida,natrium hidroksida,hidrogen peroksida, kloralhidrat yang berkualitas pro analisis (E. Merck) dan air suling.

3.3PembuatanLarutanPereaksi

3.3.1 Larutan natrium hidroksida 0,1N (b/v)

Sebanyak 4 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh 1000 ml larutan (Depkes,1978).

3.3.2 Larutan asam klorida 2 N (v/v)

Larutan 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Ditjen POM, 1979).

3.3.3Larutan hidrogen peroksida 1 % (v/v)

Sebanyak 2 ml hidrogen peroksida 50% diencerkan dengan air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Ditjen POM, 1979).

3.3.4Larutan kalsium klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g kalsium klorida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh 100 ml larutan (Depkes,1978).

3.4Penyiapan Bahan Tumbuhan

Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengambilan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, dan pengolahan bahan tumbuhan.

3.4.1 Pengumpulanbahan tumbuhan

Bahan tumbuhanpada penelitian ini adalah bahan tumbuhan yang telah dikumpulkan oleh Milala (Mahasiswi Universitas Tjut Nyak Dien.Medan pada tahun 2012).Bahan tumbuhan yang digunakan adalah rumput laut Kappaphycus alvarezii (Doty) yang berasal dari desa Kutuh Banjar Kaja Jati,Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Bali, Provinsi Bali

3.4.2Identifikasitumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI di Jakarta.Hasil identifikasi bahan tumbuhan adalah Kappaphycus alvarezii (Doty)yang sebelumnya diidentifikasi oleh Milala(Mahasiswi Universitas Tjut Nyak Dien.Medan pada tahun 2012).Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1,halaman 46.

3.4.3 Pembuatan simplisia rumput laut

Bahan tumbuhan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang melekat seperti pasir dan garamdengan cara di cuci dengan air mengalir sampai bersih, ditiriskan dan ditimbang beratnya.Kemudian dikeringkan dengan cara dianginkan terlebih dahulu, lalu dikeringkan dilemari pengering hingga kering,dan ditimbang beratnya. Gambar serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran3, halaman 48.

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia 3.5.1 Pemeriksaan makroskopik simplisia

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia.Pengamatan makroskopik meliputi pengamatan terhadap bentuk talus, bentuk percabangan danwarna talusnya.Gambar makroskopik simplisia dapat dilihat pada Lampiran2, halaman 47.

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia. Serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4,halaman 58.

3.5.3 Penetapan kadarair

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi(destilasi toluen). Alat terdiri dari alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima.

1. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat,di atas alat penampung dan pendingin,kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

2. Penetapan kadar air simplisia

Sebanyak 5g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu yang berisi toluen yang telah dijenuhkankemudian dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilasdengan toluen.Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar, setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dengan persen (WHO,1992).Hasil perhitungan penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran5,halaman 59.

3.5.4 Penetapan kadarsari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara.Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam

persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadarsari yang larut dalam air dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 60.

3.5.5 Penetapan kadarsari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama,kemudian dibiarkan selama 18 jam. Selanjutnya disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobot tetap.Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan(Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 61.

3.5.6 Penetapan kadarabu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978).Hasil perhitungan penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran5, halaman 62.

3.5.7 Penetapan kadarabu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam

dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1978). Hasil perhitungan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam dapat dilihat pada Lampiran5,halaman 63.

3.6 Isolasi Karagenan

Isolasi karagenan dilakukan dengan 4 tahap yaitu: tahap pra ekstraksi, tahap ekstraksi, tahap pengendapan, tahap pengeringan dan tahap penggilingan.

a. Tahap pra ekstraksi

Tahap pra ekstraksi terdiri dari 2 tahap yaitu:tahap perendaman dan tahap pemucatan.

Tahap perendaman

Cara :Sebanyak 20g serbuk simplisia direndam dalam kalsium klorida 1%

selama 2 jam, kemudian di saring dan residu dicuci dengan air suling.

Tahap pemucatan

Cara :Residu yang telah dicuci kemudian di pucatkan dengan larutan hidrogen peroksida konsentrasi 1% selama 6 jam, lalu disaring dan dicuci dengan air suling.

b. Tahap ekstraksi

Residu yang telah dipucatkan diekstraksi dengan perlakuan sebagai berikut:

1. Perlakuan waktu ekstraksi (T) terdiri dari 3 taraf yaitu:

T1= 30 menit; T2= 60 menit; T3 = 120 menit 2. Perlakuan suhu (C) terdiri dari 3 taraf yaitu:

C1 = 80oC; C2 = 90oC; C3 =100oC

Cara :Residu yang telah dipucatkan diekstraksi dengan air suling sebanyak 200

Cara :Residu yang telah dipucatkan diekstraksi dengan air suling sebanyak 200

Dokumen terkait