• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.2 Struktur organisasi

Struktur organisasi merupakan penentuan bagaimana pekerjaan dibagi dan dikelompokkan secara formal, sedangkan organisasi merupakan unit sosial yang dikoordinasikan secara sadar terdiri dari dua atau lebih dan berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus-menerus guna mencapai tujuan bersama (Robbins dan Judge, 2007). Sruktur organisasi komite PPI bervariasi dan sangat bergantung pada situasi dan kondisi rumah sakit (Palmer, 1984).

Dari penelitian dokumen struktur organisasi PPI RSUMSW sudah sesuai dengan yang di tetapkan oleh Depkes RI, 2008 dalam pedoman manjerial pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Dimana direktur dan komite PPIRS merupakan tingkat penentu atau penyususun kebijakan sedangkan tim PPI merupakan pelaksana kebijakan.

Walaupun dalam dokumen pengorganisasian rumah sakit kedudukan komite PPI RSUMSW berada dibawah pimpinan rumah sakit namun tidak terlihat hubungan atau garis komando dan garis koordinasi ke departemen yang ada sehingga tidak terlihat adanya hubungan kerjasama dan koordinasi antara komite PPIRS dengan departemen/komite yang ada di RSU Methodist Susanna Wesley. Pada hal garis komando yang tergambar jelas di dalam struktur organisasi dan dikomunikasikan kepada seluruh staf merupakan hal yang terpenting dalam melaksanakan semua kegiatan dalam rangka pencegahan dan pengendalian.

Komite PPIPS adalah salah satu komite yang ada di RSUMSW dan salah satu alasannya dibentuk komite PPIRS adalah untuk memenuhi persyaratan akreditasi

sehingga sifatnya masih fungsional belum struktural, jabatan dalam komite PPI bukan karena jabatan promosi melainkan hanya sebagai tugas tambahan. Komite agar dapat menjalankan tugasnya perlu penguatan dari pimpinan agar dapat menggerakkan anggota dibawahnya.

Pengelolaan PPI sebaiknya melibatkan departemen/unit dirumah sakit. Dalam penelitian dokumen penggorganisasian komite PPI RSUMSW dan hasil wawancara bahwa sudah melibatkan beberapa unit di rumah sakit yaitu laboratorium, farmasi, laundry, CSSD, IPRS, house keeping, gizi, K3RS dan kamar jenazah, tetapi belum melibatkan unit kebersihan lingkungan (sanitasi). Adapun kendala yang ditemukan dari hasil wawancara dengan informan bahwa komite PPIRS belum melibatkan unit sanitasi dikarenakan belum adanya petugas sanitasi khusus yang bertanggung jawab sehingga kebersihan rumah sakit dilakukan kerja sama dengan pihak outsourching kebersihan. Kendala yang dihadapi adalah petugas kebersihan lingkungan yang bekerja setiap bulan terus berganti-ganti sehingga kegiatan kebersihan lingkungan rumah sakit seperti melaksanakan kebijakan kebersihan dan kebijakan pengolahan limbah rumah sakit tidak terlaksana baik. Hal ini mengakibatkan kegiatan IPCN untuk edukasi kepada petugas kebersihan yang baru harus terus-menerus dilakukan.

Beberapa melibatkan unit di rumah sakit tampak hanya sebagai hubungan mewakili unit berdasarkan keilmuan yang dimiliki saja untuk membantu tim PPI dalam membuat kebijakan PPI, bahkan ada informan menyatakan tidak mengetahui siapa saja yang menjabat sebagai perwakilan unit di komite PPI penyebabnya karena anggota komite tidak pernah melakukan kegiatan pertemuan atau rapat bersama untuk

menyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI. Alasan yang mendasari pentingnya melibatkan perwakilan tiap departemen/unit dikarenakan permasalahan dalam upaya PPI seringkali lintas departemen sehingga untuk penyelesaiannya membutuhkan peran serta dari semua departemen rumah sakit.

Program PPI agar dapat terlaksana pimpinan RSUMSW perlu memilih anggota komite dan tim yang mempunyai pengaruh yang besar dalam setiap unit/departemen rumah sakit. Mempunyai pengaruh yang besar sehingga mampu menciptakan minat, motivasi dan kerjasama yang baik antara departemen dengan komite dan tim PPIRS. Melibatkan departemen keperawatan merupakan hal yang paling utama dikarenakan petugas kesehatan merupakan petugas yang paling sering dan paling lama kontak dengan pasien.

Sesuai dengan kriteria dalam pedoman manajerial PPI sebaiknya komite dan tim PPI adalah seorang yang memiliki minat dalam PPI begitu juga dengan IPCN dan IPCLN yang memiliki kemampuan leadership, inovatif dan confident. Berdasarkan penelitian dokumen bahwa kebanyakan komite dan tim PPI RSUMSW adalah perawat pelaksana dan belum pernah menjabat sebagai kepala ruangan ataupun setara sehingga kriteria memiliki kemapuan leadership belum ada. Sebagian anggota komite yang menjabat dalam struktur organisasi adalah petugas yang masih baru bekerja di rumah sakit, mereka dipilih sebagai anggota komite untuk mengganti posisi pejabat yang sudah tidak bekerja lagi. Hal yang sama kepada perawat IPCLN yang merupakan perawat muda dan masih baru bekerja di rumah sakit. Kendala yang

dihadapi yaitu mereka belum mempunyai keberanian untuk tegas melakukan pengawasan kepada petugas di rumah sakit.

5.3 Uraian Tugas

Uraian tugas merupakan uraian tertulis tentang apa yang menjadi konstribusi tiap pemegang jabatan kepada organisasi. Kata kunci dari pengertian ini adalah kontribusi. Ini berarti bahwa uraian tugas haruslah memuat hal-hal apa saja yang merupakan konstribusi dari sebuah jabatan dalam tugas Komite PPIRS (Depkes RI, 2008).

Uraian tugas harus ditetapkan secara jelas untuk setiap jabatan, agar pejabat tersebut bertanggungjawab atas tugas yang dilakukan. Uraian tugas harus dapat memberikan ketegasan dan standar tugas yang harus dicapai oleh seorang pejabat yang memengang jabatan tersebut. Uraian tugas ini menjadi dasar untuk menetapkan spesifikasi pekerjaan dan evaluasi pekerjaaan bagi pejabat yang memegang jabatan itu. Uraian tugas yang kurang jelas akan mengakibatkan seorang pejabat kurang mengetahui tugas dan tanggung jawabnya (Hasibuan, 2005).

Uraian tugas masing-masing jabatan didalam komite PPI ada tercantum didalam pedoman pengorganisasian pencegahan dan pengendalian infeksi RSU Methodist Susanna Wesley. Dalam penelitian dapat dilihat bahwa sebagaian besar anggota komite yang menjadi informan mengetahui dengan baik uraian tugas dalam jabatan di komite PPIRS. Informan yang berasal dari komite ada yang belum mengetahui uraian tugas dan tanggung jawab dengan baik dikarenakan uraian tugas belum pernah diserahkan dan disosialisasikan. Bagi semua anggota tim PPIRS sudah

mengetahui tugas dan tanggung jawabnya menjadi anggota tim dikarenakan uraian tugas sudah disosialisasikan dan pernah dididik terlebih dahulu tentang pelaksanaan PPI. Kendala yang di hadapi komite PPIRS dari anggota yang tidak tahu uraian tugasnya karena kurangnya keperdulian anggota komite dengan peran dan tanggung jawab dalam organisasi meskipun anggota komite sudah mengetahui dan sudah mendapat sosialisasi terlebih dahulu.

Pada saat informan ditanya mengenai pelaksanaan tugas yang menjadi kewajibannya, dapat diketahui bahwa hampir semua informan menyatakan pelaksanaan tugasnya dalam program belum maksimal dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan uraian tugas yang sudah ditetapkan dalam pedoman yaitu uraian tugas komite sebagai penyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI tidak terlaksana, anggota komite hanya sebagai pelaksana sosialisasi kebijakan PPIRS disetiap unit kerjanya, agar kebijakan dapat dipahami dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan.

Uraian tugas komite sebagai penentu dan menetapkan kebijakan dilaksanakan oleh tim PPI sehingga tim PPI merupakan penyusun dan pelaksana kebijakan PPIRS.

Hal ini tidak sejalan dengan teori menurut Depkes RI, 2008 menyatakan bahwa komite PPI merupakan penentu kebijakan sedangkan tim PPI merupakan pelaksana kebijakan. Tim PPI menyusun pedoman kebijakan serta SPO kewaspadaan standar yaitu : kebersihan tangan, APD, penanganan linen, manajemen limbah dan benda tajam, praktek menyuntik yang aman, etika batuk, penempatan pasien. Kemudian tim PPI bertanggung jawab juga untuk menjabarkan kebijakan tersebut kepada petugas di

rumah sakit. Setelah kebijakan dijabarkan, tim PPI tidak melakukan evaluasi berkala.

Tujauan evaluasi berkala adalah salah satunya untuk mengetahui kepatuhan petugas melaksanakan kebijakan dan SPO yang sudah ditetapkan. Sebaiknya evaluasi dilakukan dengan frekuensi minimal setiap bulan. Pada dokumen program kerja tim PPI tidak membuat jadwal kegiatan evaluasi berkala. Kendala yang dihadapi tim PPI tidak membuat jadwal evaluasi tim PPI dikarenakan selain menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai penentu dan pelaksana kebijakan PPI, tim juga harus melaksanakan tupoksi sebagai perawat pelaksana dilapangan yaitu melakukan pelayanan kepada pasien. Untuk memonitoring dan mengevaluasi kepatuhan petugas terhadap kebijakan dan SPO PPIRS diserahkan kepada IPCLN dan IPCN di rumah sakit.

Bagi informan yang tidak terlibat secara langsung di komite PPIRS tetapi mereka adalah pengawas di ruang rawat inap perlu mendapat sosialisasi dan pelatihan secara khusus sehingga mereka melaksanakan tugas IPCLN tidak hanya berdasarkan instruksi atasan, walaupun secara struktural komite PPIRS pembinaannya adalah IPCN. Pelatihan yang didapatkan IPCLN yaitu pelatihan yang diselenggarakan tim PPI bersama dengan petugas di rumah sakit tentang kebijakan dan SPO dalam melaksanakan tindakan pencegahan infeksi. Sebaiknya perlu dilakukan pelatihan khusus untuk IPCLN agar lebih memahami secara baik tentang prinsip pelaksanaan PPIRS.

Hal ini sesuai dengan penelitian Mustariningrum, dkk 2015 pelatihan berhubungan cukup kuat serta berpengaruh signifikan, motivasi kerja IPCLN tidak

berpengaruh signifikan terhadap kinerjanya, supervisi berhubungan kuat serta berpengaruh signifikan terhadap kinerja IPCLN. Pelatihan, motivasi kerja, dan supervisi berhubungan kuat dan berpengaruh signifikan terhadap kinerja IPCLN secara simultan. Kinerja IPCLN dapat dijelaskan sebesar 52,6% dari variabel pelatihan, motivasi kerja dan supervisi secara simultan, dan supervisi yang berpengaruh dominan.

Uraian tugas IPCLN dalam mengisi formulir surveilans kepada IPCN di unit rawat inap masing-masing setiap hari, kemudian menyerahkan kepada IPCN ketika pasien pulang, melakukan penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat inap belum terlaksana baik, kendala yang dihadapi yaitu IPCLN sebagai perawat penghubung adalah perawat pelaksana di unit rawat inap yang masih terikat shift malam, kemudian libur lalu masuk dinas pagi dan sore mengakibatkan IPCLN tidak dapat berkoordinasi dengan IPCN. Selain itu IPCLN juga harus melaksanakan tupoksi sebagai perawat pelaksana di unit rawat inap masing-masing untuk melaksanakan perawatan kepada pasien hal ini mengakibatkan perawat IPCN tidak dapat memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam menjalankan SPO serta tidak dapat memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanan kepatuhan PPI pada setiap personil ruangan.

Hal ini sesuai yang dilakukan penelitan oleh Ulfa dan Adhyaksafitri (2015) tentang Pelaksanaan standar prosedur operasional (SPO) pemasangan ventilator di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta oleh perawat dapat dikatakan belum maksimal karena hanya 80% perawat yang patuh mengunakan SOP pada saat melakukan tindakan dikarenakan banyaknya pekerjaan yang harus di lakukan.

Perwat IPCLN menyatakan bahwa pelaksanaan uraian tugas yang rutin dilaksanakan adalah mengumpulkan formulir surveilans infeksi yang sudah diisi, hal ini dilakukan apabila terkena shift pagi dan bisa berkoordinasi dengan IPCN, sebaiknya untuk tugas pengawasan kepatuhan IPCLN berkoordinasi dengan bagian keperawatan sehingga dapat didelegasikan kepada kepala ruangan untuk membantu IPCLN.

Upaya pencegahan infeksi yang utama di rumah sakit yaitu petugas harus melaksanakan kebijakan SPO dalam tindakan keparawatan, salah satunya yang paling penting yaitu SPO cuci tangan. Cuci tangan adalah kegiatan dengan air mengalir ditambah sabun atau sabun antiseptik yang bertujuan untuk meminimalkan atau menghilangkan mikroorganisme di tangan dan mencegah perpindahan mikroorganisme (infeksi silang) dari lingkungan ke pasien dan dari pasien ke petugas.

Dilapangan masih dijumpai petugas yang tidak melaksanakan pada saat 5 moment hand hygiene yaitu sebelum kontak dengan pasien, sebelum melakukan tindakan aseptic, setelah terkena cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan pasien dan setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.

Berdasarkan laporan monitoring perawat IPCN angka kepatuhan melakukan hand hygiene pada tahun 2016 hanya berkisar 55-60% yaitu masih ada petugas yang belum tahu melaksanakan langkah-langkah cuci tangan yang benar dan belum melaksanakan cuci tangan pada 5 moment. Alasan petugas kesehatan tidak melaksanakan cuci tangan tersebut adalah masih belum terbiasa sehingga petugas tidak ingat untuk cuci tangan, alasan lain yaitu petugas mengatakan tidak cukup

waktu untuk cuci tangan karena waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan cuci tangan adalah 20-30 detik.

Penelitian yang di lakukan oleh Rikayanti HK, Arta KS tahun 2013 tentang tenaga kesehatan memiliki tingkat pengetahuan mencuci tangan baik sebanyak 54 orang (73%) dan tenaga kesehatan yang memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 20 orang (27%). Tenaga kesehatan yang memiliki perilaku baik sebanyak 43 orang (58,1%) dan tenaga kesehatan yang memiliki perilaku kurang sebanyak 31 orang (41,9%).

Pernyataan IPCN tentang uraian tugas dalam pelaksanaan monitoring kepatuhan petugas dalam menjalankan kewaspadaan isolasi yaitu masih kurang kesadaran petugas. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan petugas setiap ruangan rumah sakit di buat brosur, leaflet dan stand banner tentang cuci tangan, etika batuk serta leaflet sampah infeksius dan non infeksius pada tempat sampah. Upaya ini juga mengharapkan dapat menambah informasi dan kepatuhan pasien, keluarga dan pengunjung rumah sakit untuk menghindari infeksi silang.

Salah satu hambatan dalam pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu ketidakpatuhan petugas rumah sakit terhadap kebijakan dan standar operasional prosedur tentang pencegahan dan pengendalian infeksi.

Ketidakpatuhan petugas juga disebabkan tidak adanya sanksi tegas bagi petugas yang melanggar atau tidak melaksanakan kebijakan serta kurangnya pengawasan perawat IPCLN untuk mengontrol petugas di luar shift dinas. Untuk mengatasi kendala

tersebut perawat IPCN harus melaksanakan kegiatan pengawasan ketat kepada petugas. Perlu dilakukan koordinasi kepada kepala ruangan untuk membantu pengawasan. Kepala ruangan perlu dibekali pelatihan dan pendidikan serta sosialisasi tentang PPI agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda tentang pengawasan dan pelaksanaan PPIRS. Hal ini perlu menjadi perhatian komite PPI karena baik buruknya pelaksanaan PPI tergantung kepada kemauan, pengetahuan dan pemahaman seseorang menjalankan tugasnya seuai dengan ketetapan yang berlaku.

Ketidakpatuhan petugas dapat menjadi dampak kepada kejadian infeksi di rumah sakit. Petugas IPCN RSUMSW penting melaksanakan kegiatan surveilans dan membuat laporan kepada tim PPI. Laporan surveilans infeksi sudah dibuat dalam bentuk triwulan. Kendala yang dihadapi perawat IPCN yaitu laporan sering terlambat dikarenakan dalam mengumpulkan data di lapangan IPCN sering tidak dibantu IPCLN, perawat IPCLN hanya melakukan pengumpulan data pada saat shift dinas saja sehingga IPCN harus bekerja sendiri. Kendala lain perawat IPCN juga harus memantau dan meberikan edukasi kepada petugas kebersihan dikarenakan belum ada petugas sanitari untuk memantau. Perawat IPCN harus memeriksa setiap ruangan rumah sakit, memeriksa kebersihan rumah sakit. Pengendalian lingkungan rumah sakit juga merupakan hal penting dalam pelaksanaan PPI tujuannya yaitu untuk menciptakan lingkungan yang bersih, aman dan nyaman sehingga dapat meminimalkan dan mencegah terjadinya transmisi mikroorganisme dari lingkungan kepada pasien, petugas dan pengunjung. Untuk mengatasi keterlambatan pelaporan tersebut, tim PPI membantu IPCN melakukan pengolahan data infeksi. Data infeksi

harus diolah dan diinterpretasikan dengan baik dan jujur sehingga bisa menjadi acuan dalam melaksanakan program PPI lainnya.

5.4 Fasilitas

Fasilitas merupakan hal penting yang perlu diperhatikan. Keberadaan sarana dan prasarana ini akan menunjang kegiatan program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit serta mendukung proses terwujudnya tujuan organisasi untuk mencegah infeksi. Diperlukan dukungan manajemen dalam penyediaan (pengadaan) fasilitas penunjang tersebut (Depkes RI, 2008).

Notoatmodjo (2010) mengemukakan bahwa mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Kurangnya faktor pendukung ketersediaan sarana mencuci tangan menjadi salah satu kendala responden dalam mewujudkan sikap positif yang mereka miliki menjadi perilaku yang patuh terhadap prosedur mencuci tangan antara lain sebelum dan setelah melakukan prosedur invasif.

Dalam hubungannya dengan pencegahan infeksi, sarana dan prasarana kerja adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi seperti sarana dan peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan, melaksanakan dekontaminasi alat-alat kesehatan, dan untuk mengelola limbah padat yang ada di ruang rawat inap.

Fasilitas alat dan bahan untuk pelaksanaan mencuci tangan di RSUMSW terlihat sudah ada disediakan handrub disetiap ruangan pasien dan perkantoran

namun penyediaan handsoap hanya disediakan pada wastafel saja. Kendala yang dihadapi belum tersedianya wastafel pada setiap ruangan di unit rawat inap.

Pelaksanaan mencuci tangan yang baik diharapkan bukan hanya kepada petugas saja melainkan harus dilakukan pasien, keluarga dan pengunjung.

Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di ruangan/bangsal perawatan, keberadaan fasilitas sanitasi penting sekali, antara lain : kamar mandi dan WC penderita, kamar mandi dan WC untuk petugas/keluarga penderita (penunggu), tempat cuci tangan/wastafel, gudang tempat menyimpan alat-alat sanitasi, wadah/kontainer sampah dan limbah, air bersih. Pemisahan kamar mandi antara petugas, pasien dan keluarga perlu menjadi perhatian agar penggunaan kamar mandi tidak bercampur antara penderita dan yang sehat sehingga dapat menjadi pemutus transmisi organisme.

Penyediaan fasilitas alat perlindungan diri perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya transmisi mikroorganisme dari pasien kepada petugas, fasilitas APD yang paling utama yaitu sarung tangan. Sarung tangan merupakan penghalang (barier) fisik paling penting untuk mencegah infeksi. Sarung tangan harus diganti antara setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya untuk menghindari kontaminasi silang. Keterbatasan penyediaan sarung tangan di RSUMSW mengakibatkan petugas tidak menggunakan sarung tangan dalam melakukan prosedur medis yang bersifat invasif seperti memasang infus. Hal ini mempunyai dampak terhadap tingginya angka kejadian IADP di RSUMSW. Kendala yang dihadapi petugas dikarenakan sarung tangan disediakan rutin setiap bulan hanya 1 kotak untuk setiap unit sehingga

penyediaan sarung tangan tidak mencukupi, untuk menghemat jumlah pemakaian sehingga petugas mengunakan sarung tangan yang sama antara pasien yang satu dengan pasien yang lain.

Tidak tersedianya APD lainnya seperti masker dan gaun pelindung di beberapa unit cukup besar terutama di unit-unit rawat inap pasien dengan sumber infeksius tinggi seperti unit isolasi, laboratorium dan laundry. Penyediaan APD sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan antara lain : APD harus tersedia dimana pasien dirawat atau diutamakan pada ruangan yang terdapat sumber infeksius tinggi, penempatan APD sesuai dengan transmisi penyakit dimana pasien dirawat, APD mudah dijangkau, pengadaan APD berkoordinasi dengan bagian farmasi rumah sakit.

Ruang isolasi RSUMW tidak dilengkapi fasilitas APD yang lengkap seperti sarung tangan, masker, gaun pelindung dimana pada ruangan tidak tersedia fasilitas khusus tersebut, ruangan hanya dilengkapi handrub dan handsoap sehingga petugas dalam melaksanakan tindakan tidak menggunakan APD.

Antiseptik untuk alkohol dan bethadine sudah tersedia di semua unit rawatan.

Peralatan dekontaminasi seperti penyediaan larutan klorin, wadah untuk sterilisasi masih sangat kurang hanya tersedia di kamar operasi. Penyediaan wadah anti tusuk (safetybox) belum ada di setiap unit tindakan, alat suntik masih di buang pada kardus karton dan tidak tahan tusuk. Tempat pembuangan sampah masih ditemukan belum bertutup dan tidak berkantong plastik. Sebaiknya plastik limbah padat infeksius dibuat plastik kantong bewarna kuning sedangkan limbah padat non infeksius dibuat plastik kantong warna hitam, limbah benda tajam pada wadah tahan tusuk dan air.

Pengolahan limbah yang baik merupakan upaya pencegahan infeksi dimana pengolahan limbah memerlukan alat, bahan dan wadah serta ruangan khusus untuk menghindari perlukaan atau tertusuk jarum, mencegah bau busuk, serta menncegah datangnya hewan penyebar penyakit lainnya.

Penyediaan fasilitas perlu menjadi perhatian komite PPI, hal ini dapat menjadi pengusulan kepada manajemen rumah sakit untuk melakukan ketersediaan fasilitas.

Fasilitas yang lengkap dapat menjadi penyebab meningkatnya kepatuhan petugas dalam melaksanakan kebijakan SPO.

Hasil penelitian oleh Astuti (2004) mengungkapkan bahwa variabel ketersediaan fasilitas merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku pencegahan infeksi nosokomial pada tindakan medik/ keperawatan.

Keberadaan sarana dan prasaran ini akan menunjang kegiatan program PPI di rumah sakit serta mendukung proses terwujudnya tujuan organisasi untuk mencegah infeksi. Penyediaan sarana dan prasarana penunjang (supporting system) di RSUMSW seperti ruangan sekretaris sudah ada namun masih bergabung dengan ruangan kerja bidang pelayanan, penyediaan peralatan komputer dan printer sudah ada 1 (satu) unit, fasilitas internet dan telepon belum tersedia.

Penelitian wawancara kepada beberapa informan meyatakan bahwa penyediaan fasilitas bahan dan peralatan sebagai pelaksanaan program PPI di RSUMSW masih kurang dan sangat terbatas penyediaanya. Sedangkan penyediaan fasilitas penunjang untuk kerja komite dan tim PPI juga masih kurang disebabkan belum ada ruangan khusus tersendiri untuk ruang sekretaris, selain itu perlu

penambahan peralatan komputer dan telepon. Kendala yang dihadapi rumah sakit belum menyediakan fasilitas (bahan dan alat) yang lengkap disemua unit dan belum menurut kebutuhan unit dikarenakan kurangnya pemahaman akan pentingnya fasilitas tersebut serta fasilitas penunjang kerja bagi komite PPI ini masih terbatas disebabkan penyediaan fasilitas tersebut belum menjadi prioritas manajemen dan yayasan, saat ini anggaran rumah sakit diprioritaskan kepada perbaikan gedung, ruangan rawat inap dan pengadaan peralatan medis. Sebaiknya manajemen rumah sakit perlu juga memberikan perhatian kepada kelengkapan penyediaan fasilitas sebagai upaya pencegahan pengendalian infeksi rumah sakit.

Hasil penelitian oleh Duerink (2006) di salah satu rumah sakit pendidikan di Indonesia menemukan bahwa mencuci tangan yang sesuai dengan prosedur meningkat

Hasil penelitian oleh Duerink (2006) di salah satu rumah sakit pendidikan di Indonesia menemukan bahwa mencuci tangan yang sesuai dengan prosedur meningkat