• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT UMUM METHODIST SUSANNA WESLEY TAHUN 2016 TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT UMUM METHODIST SUSANNA WESLEY TAHUN 2016 TESIS. Oleh"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh BUENITA. S 147032105/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh BUENITA. S 147032105/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(3)

Nomor Induk Mahasiswa : 147032105

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Juanita, S.E, M.Kes) Ketua

(dr. Fauzi, S.K.M) Anggota

Ketua Program Studi S2

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)

Dekan

Tanggal Lulus : 11 Oktober 2016

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E., M.Kes Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M

2. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang 3. dr. Heldy BZ, M.P.H

(5)

SUSANNA WESLEY 2016

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 11 Oktober 2016 Penulis

Buenita. S 147032105/IKM

(6)

pengunjung dan masyarakat sekitar. Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley sudah ada namun belum terlaksana baik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi program pencegahan dan pengendalian infeksi di RSU Methodist Susanna Wesley. Penelitian ini merupakan penelitian kualitaif menggunakan metode pendekatan analisis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, telaah dokumen dan observasi.

Hasil penelitian bahwa dukungan manajemen belum maksimal, kegiatan manajemen oleh pimpinan belum berjalan baik, struktur organisasi sudah sesuai dengan Depkes 2008 namun secara struktural belum melibatkan pejabat yang mempunyai pengaruh di rumah sakit, uraian tugas komite PPI belum terlaksana baik antara penentu dan pelaksana kebijakan, tidak tersediannya dana untuk fasilitas, pendidikan dan pelatihan komite PPI, komitmen individu yang masih harus ditingkatkan.

Saran perlu meningkatkan dukungan pimpinan untuk melaksanakan kegiatan perencanaan, pengawasan dan pelaksanaan program PPI, menyediakan dana untuk pelatihan, fasilitas serta insentif kepada tim PPI, melakukan sosialisasi uraian tugas komite PPIRS.

Kata Kunci : Implementasi, Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

(7)

personnel, visitors, and the people who live in the vicinity. Minimization and Prevention of infection program in RSU Methodist Susanna Wesley have run although they have not implemented well.

The objective of the research was to analyze the implementation of the prevention and control of infection program in RSU Methodist Susanna Wesley. The research used descriptive analytic method. The data were gathered by conducting interviews, documentation study, and observation.

The result of the research showed that managerial support was not optimal, the activity of management did not run well, organizational structure was in accordance with Depkes 2008, but structurally it did not involve the officials who had the influence in the hospital, job description of the PPI committee was not implemented well between the top management and the administrators of the policy, there was no fund for facility, education, and training for the PPI committee, and individual commitment should be increased.

It is recommended that support from the management to carry out the activities of planning, supervision, and implementation of PPI program be increased, fund for training, facility, and incentive for PPI team members be provided, and socialization of job description to PPI team members be done.

Keywords: Implementation, Prevention and Control of Infection Program

(8)

kelimpahan rahmat dan kasihNya yang tak terhingga, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “IMPLEMENTASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DI RUMAH SAKIT UMUM METHODIST SUSANNA WESLEY TAHUN 2016”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan semangat dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang dan dr. Heldy BZ, M.P.H selaku Penguji Tesis yang telah banyak memberikan saran dan dukungan dalam penulisan tesis ini.

6. dr. Hendrianto, M,Ked(PA), Sp.PA, selaku Direktur memberikan izin meneliti dan seluruh pegawai yang telah berkenan berpartisipasi selama pelaksanaan penelitian.

7. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat terutama minat studi Administrasi Rumah Sakit Kelas A Angkatan 2014 atas kebersamaan selama menjalani pendidikan.

9. Teristimewa kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Drs. K. P. Sinurat dan Ibunda Ng br. Tarigan, yang telah banyak memberikan kasih sayang yang tulus, dukungan, doa dan pengajaran yang berharga bagi penulis untuk senantiasa melakukan yang terbaik dalam hidup ini.

10. Seluruh keluargaku tercinta yang selalu memberi dukungan, semangat dan doa bagi penulis dalam penyelesaian tesis ini.

(10)

Medan, 11 Oktober 2016 Penulis

Buenita. S 147032105/IKM

(11)

Drs.K.P Sinurat dan Ng br.Tarigan Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar Swasta Methodist 6 Medan tamat tahun 1996, Sekolah Menengah Pertama Swasta Methodist 6 Medan tamat tahun 1999, Sekolah Menengah Umum Negeri 12 Medan tamat tahun 2002, Diploma Kesehatan ST.Elisabeth Medan tamat tahun 2005 dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Mutiara Indonesia tamat tahun 2009.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2014.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit ... 13

2.2 Infeksi Nosokomial ... 14

2.3.1 Penyebab Infeksi Nosokomial ... 15

2.3.2 Rantai Penularan ... 15

2.3 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ... 17

2.4 Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ... 21

2.5 Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ... 37

2.6 Faktor-faktor Keberhasilan Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ... 47

2.6.1 Dukungan Manajemen ... 47

2.6.2 Struktur Organisasi ... 51

2.6.3 Uraian Tugas ... 55

2.6.4 Fasilitas ... 63

2.6.5 Komitmen Individu ... 65

2.7 Pendekatan Sistem dalam Studi Manajemen ... 66

2.8 Landasan Teori ... 68

2.9 Kerangka Berpikir ... 72

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 73

3.1 Jenis Penelitian ... 73

3.2 Lokasi danWaktu Penelitian ... 73

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 73

3.2.2 Waktu Penelitian ... 73

(13)

3.3 Informan Penelitian ... 74

3.4 Defenisi Kerja ... 74

3.4.1 Input ... 74

3.4.2 Proses ... 75

3.4.3 Output ... 76

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 77

3.6 Metode Analisis Data ... 78

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 81

4.1 Profil Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley Medan .... 81

4.2 Visi dan Misi RSU Methodist Susanna Wesley ... 84

4.3 Karakteristik Informan ... 85

4.4 Hasil Wawancara tentang Implementasi PPI di RSU Methodist Susanna Wesley ... 86

4.4.1 Dukungan manajemen ... 86

4.4.2 Struktur Orgnisasi ... 92

4.4.3 Uraian Tugas ... 95

4.4.4 Fasilitas ... 105

4.4.5 Komitmen Individu ... 108

BAB 5. PEMBAHASAN ... 111

5.1 Dukungan manajemen ... 111

5.2 Struktur Orgnisasi ... 117

5.3 Uraian Tugas ... 120

5.4 Fasilitas ... 127

5.5 Komitmen Individu ... 131

BAB 6. PEMBAHASAN ... 135

6.1 Kesimpulan ... 135

6.2 Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 138

LAMPIRAN ... 143

(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

4.1 Nama-nama yang Pernah Menjabat Pimpinan RSU Methodist

Susanna Wesley ... 82 4.2 Jumlah Sumber Daya Manusia RSU Methodist Susanna

Wesley ... 82 4.3 Karakteristik Informan Penelitian ... 85 4.4 Tim PPI yang Sudah Mengikuti Pendidikan dan Pelatihan

Internal dan Eksternal Rumah Sakit ... 90 4.5 Laporan Analisis Surveilance Infeksi Triwulan (Januari-Maret)

Tahun 2016 RSU Methodist Susanna Wesley ... 103 4.6 Laporan Analisis Surveilance Infeksi Triwulan (April-Juli)

Tahun 2016 RSU Methodist Susanna Wesley ... 104

(15)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Skema Rantai Penularan Infeksi ... 17

2.2 Kewaspadaan Standar ... 19

2.3 Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi ... 20

2.4 Program PPI ... 46

2.5 Struktur Organisasi PPI di Rumah sakit ... 54

2.6 Otoritas TIM PPI ... 63

2.7 Skema Kerangka Berpikir Penelitian... 72

4.1 Struktur Organisasi dan Tata Hubungan Kerja Komite PPI RSU Methodist Susanna Wesley ... 92

4.2 Grafik Jumlah Infeksi yang terjadi pada Bulan Januari-Maret Tahun 2016 ... 103

4.3 Grafik Jumlah Infeksi yang terjadi pada Bulan Januari-Maret Tahun 2016 ... 104

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Pedoman Wawancara... 143

2. Surat Izin Penelitian ... 149

3. Surat Balasan Penelitian ... 150

4. Struktur Organisasi Rumah Sakit ... 151

5. Tata Hubungan Kerja Komite PPI RSU Methodist Susanna Wesley .... 152

6. Surat Keputusan Struktur Organisasi PPI RSUMSW ... 153

7. Uraian Jabatan Organisasi PPI RSUMSW ... 154

8. Program Kerja Tim PPI RSUMSW ... 157

(17)

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah ditentukan. Masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dan pengunjung di rumah sakit dihadapkan pada resiko terjadinya infeksi atau infeksi nosokomial yaitu infeksi yang diperoleh di rumah sakit, baik karena perawatan atau datang berkunjung ke rumah sakit. Indikator utama kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit antara lain adalah keselamatan pasien (patient safety) dan salah satu point penting di dalamnya adalah angka infeksi nosokomial. Angka kejadian infeksi nosokomial yang tinggi akan berpengaruh terhadap citra pelayanan rumah sakit.

Rumah sakit merupakan unit pelayanan medis yang sangat kompleks. Selain dari segi jenis dan macam penyakit, juga adanya berbagai macam peralatan dan sejumlah orang atau personel yang berinteraksi langsung ataupun tidak langsung mempunyai kepentingan dengan penderita-penderita yang dirawat di rumah sakit.

Dari gambaran kondisi tersebut jelas sulit dan sukar untuk mencegah penularan penyakit infeksi, khususnya mencegah terjadinya cross infection atau infeksi silang dari orang/personel tersebut ke penderita-penderita yang sedang dirawat. Kondisi ini

(18)

dapat diperparah lagi bila sanitasi rumah sakit tidak terjaga dengan baik (Darmadi, 2008).

Infeksi Nosokomial atau yang disebut dengan istilah Health-care Associted Infection (HAIs) merupakan infeksi yang didapat pasien selama menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di pelayanan kesehatan setelah lebih dari 48 jam dan setelah kurang dari 30 hari setelah keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan (WHO, 2011). Terjadinya infeksi nosokomial menimbulkan beberapa masalah, yaitu peningkatan angka kesakitan dan kematian, penambahan hari perawatan, peningkatan biaya perawatan dan ketidakpuasan, baik pasien maupun keluarganya (Herpan, 2012).

Infeksi nosokomial merupakan masalah perawatan kesehatan yang penting di seluruh dunia. Infeksi nosokomial dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan angka prevalensi 3,0 – 20,7% dan angka insidensi 5 – 10%. Ini menggambarkan dengan jelas bahwa infeksi yng diperoleh di rumah sakit meningkatkan angka kesakitan (morbidity) dan kematian (mortality) yang ditambah dengan meningkatnya beban perekonomian (Samuel dkk, 2010). Survei WHO pada tahun 1995-2010, prevalensi HAIs di negara – negara berkembang lebih tinggi dari negara maju yaitu 10,1% : 7,6% (Kemenkes RI, 2011).

Angka Length of Stay (LOS) pasien infeksi nosokomial di Amerika Serikat bertambah 5–10 hari, angka kematian pasien lebih tinggi menjadi 6% dibanding yang tidak mengalami infeksi nosokomial, yaitu hanya 3%. Kerugian akibat lama rawat akibat penambahan LOS dan pengobatan lebih dari 2 milyar US dollar. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya kerugian itu seandainya dihitung untuk rumah sakit

(19)

di Indonesia dimana kondisi sanitasi yang pada umumnya masih buruk (Bady, dkk 2007).

Satu dari sepuluh pasien yang dirawat di rumah sakit akan mendapatkan infeksi nosokomial dan sebagian besar bentuk infeksi nosokomial merupakan hal yang dapat dicegah. Infeksi nosokomial merupakan komplikasi paling umum pada pasien rawat inap di sebuah rumah sakit. Berdasarkan perkiraan konservatif, 10% dari populasi Eropa dirawat di rumah sakit setiap tahun diasumsikan bahwa 3,8% di bangsal umum dan 15,3% di unit perawatan intensive memperoleh setidaknya satu bentuk infeksi nosokomial. Berdasarkan perkiraan ini pula bahwa 1,75 juta pasien rawat inap di Eropa terkena infeksi nosokomial tiap tahunnya dan 10% diantaranya meninggal (Guggenbichler dkk, 2011).

Menurut Dewan Penasehat Aliansi dunia untuk keselamatan pasien, infeksi nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari di seluruh dunia. Studi WHO 55 rumah sakit di 14 negara seluruh dunia juga menunjukkan bahwa 7,8 % pasien rumah sakit menderita infeksi selama menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara di negara berkembang, diperkirakan lebih dari 40% pasien di rumah sakit terserang infeksi nosokomial (Nursalam, 2008).

Penelitian yang dilakukan National Nosokomial Infections Surveillance (NNIS) dan Centers of Disease Control and Prevention’s (CDC’s) pada tahun 2002 melaporkan bahwa 5 sampai 6 kasus infeksi nosokomial dari setiap 100 kunjungan ke rumah sakit diperkirakan 2 juta kasus infeksi nosokomial terjadi setiap tahun di Amerika Serikat (CDC, 2004). Data National Healthcare Safety Network (NHSN)

(20)

selama tahun 2006-2008 menunjukkan bahwa terjadi 16.147 kasus SSI diantara 849.659 prosedur operatif, yang berarti insiden rate dari infeksi daerah operasi sebesar 1,9 % (CDC, 2013).

Di Indonesia penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI, 2004 diperoleh data proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit pemerintah dengan jumlah pasien 1.527 orang terdapat jumlah pasien beresiko sebanyak 160.417 orang (0,95%), rumah sakit swasta dengan jumlah pasien 991 orang terdapat jumlah pasien beresiko sebanyak 130.047 orang (0,76%) dan rumah sakit ABRI dengan jumlah pasien 254 terdapat jumlah pasien beresiko 1.672 orang (15,1%).

Angka persentasi terjadinya infeksi nosokomial tahun 2006 di Provinsi Lampung 4,3%, Jambi 2,8%, DKI Jakarta 0,9%, Jawa Barat 2,2%, Jawa Tengah 0,5%, dan Yogyakarta 0,8% (Pratami dkk, 2008). Penelitian pada 10 RSU pendidikan di Indonesia, infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu 6 – 16% dengan rata-rata 9,8%

pada tahun 2010 (Nugraheni dkk, 2012).

Hasil survey point prevalensi dari 11 rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi nosokomial untuk ILO (Infeksi Luka Operasi) 18,9%, ISK (Infeksi Saluran Kemih) 15,1%, IADP (Infeksi Aliran Darah Primer) 26,4%, pneumonia 24,5% dan infeksi saluran nafas lain 15,1%

serta infeksi lain 32,1% (Depkes RI, 2008).

Upaya meminimalkan resiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI). Di

(21)

Indonesia salah satu sasaran keselamatan pasien dalam Permenkes Nomor 1691/

Menkes/ PER/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa rumah sakit wajib mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi resiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 382 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya sebagai upaya untuk memutus siklus penularan penyakit dan melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Sedangkan petugas kesehatan termasuk petugas pendukung seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang sampah dan lainnya juga terpajan pada resiko besar terhadap infeksi. Petugas kesehatan harus memahami, mematuhi dan menerapkan kewaspadaan isolasi yaitu kewaspadaan standar, kewaspadaan berdasarkan transmisi agar tidak terinfeksi. Pedoman ini digunakan rumah sakit dalam pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu dalam rangka meningkatkan mutu layanan rumah sakit meliputi kualitas pelayanan, manajemen resiko, clinical govenance, serta kesehatan dan keselamatan kerja.

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 270 Tahun 2007 disebutkan bahwa dalam rangka mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan profesional khususnya program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas lainnya diperlukan suatu pedoman yaitu pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Dimana kegiatan managerial PPI meliputi : perencanaan, pelaksanaan, pembinaan,

(22)

pendidikan dan pelatihan, serta monitoring dan evaluasi. Program pencegahan dan pengendalian infeksi adalah surveilans, pendidikan dan pelatihan, kewaspadaan isolasi serta kebijakan penggunaan antimikroba yang rasional (Kemenkes RI, 2011).

Peran manajemen rumah sakit sangat penting dalam menunjang program pengendalian infeksi. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap komite pengendalian infeksi dalam mengidentifikasi sumber daya program pencegahan infeksi, memberikan pendidikan dan pelatihan staf tentang program pengendalian infeksi seperti tehnik sterilisasi, mewajibkan staf (perawat, laboratorium, petugas kebersihan) untuk tetap menjaga kebersihan rumah sakit, melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas dan tindakan pengendalian infeksi, memfasilitasi dan mendukung tindakan pengendalian infeksi, serta turut berpartisipasi dalam penelusuran terjadinya infeksi (WHO, 2002).

Pengendalian infeksi dapat berjalan baik bila surveilance bekerja dan menghasilkan laporan data infeksi, ada kebijakan dan prosedur kerja, ada perhatian terhadap kesehatan petugas kesehatan yaitu dalam hal pemutusan rantai penularan, intervensi langsung untuk mencegah penularan penyakit menular melalui kegiatan pengawasan infeksi oleh komite dan tim pencegahan infeksi, ada pendidikan dan pelatihan untuk seluruh tenaga kesehatan tentang pencegahan infeksi, memiliki sumber daya manusia yang berperan dalam organisasi program pencegahan infeksi (Scheckler dkk, 1998).

Komite dan tim PPI di bentuk oleh direktur rumah sakit dan langsung berada dibawah koordinasi direktur. komite dan tim PPI mempunyai tugas, fungsi dan

(23)

kewenangan yang jelas sesuai dengan pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (Depkes RI, 2001).

Perdalin (2015) faktor – faktor keberhasilan program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit meliputi : adanya dukungan manajemen, struktur organisasi, peran dan fungsi IPCN (Infection Prevention and Control Nurse), otoritas tim PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi), tersedia fasilitas, adanya komitmen individu untuk sadar, peduli dan bertanggungjawab untuk mencegah infeksi. Dengan menganalisa faktor – faktor tersebut diharapkan dapat mengetahui permasalahan sehingga dapat diperoleh pemecahan permasalahan.

Tanggung jawab upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial berada di tangan tim medis pengendalian infeksi, dibantu oleh petugas bagian perawatan mulai dari kepala bagian perawatan, kepala ruangan/bangsal perawatan, serta semua petugas perawatan (perawat). Perawat merupakan petugas kesehatan yang memberikan asuhan keperawatan selama 24 jam penuh kepada pasien dan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut berkewajiban melaksanakan pencegahan infeksi sesuai dengan standar. Dengan demikian tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

Keberhasilan pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit ditunjukkan melalui perilaku petugas karena petugas yang paling sering kontak dengan pasien. Perilaku yang dimaksud adalah dengan menunjukkan kepatuhan yang tinggi terhadap prosedur dan kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi di

(24)

rumah sakit yang telah di tetapkan sehingga angka kejadian infeksi nosokomial menurun. Dengan menurunnya angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit menunjukkan kualitas pelayanan kesehatan yang baik (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI bersama World Health Organization (WHO) ke beberapa rumah sakit di propinsi/

kabupaten/ kota disimpulkan bahwa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS) selama ini belum berfungsi optimal sebagaimana diharapkan.

Anggota komite belum memahami dengan baik tugas, kewenangan, serta tanggung jawab yang harus dilaksanakan dalam lingkup pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit (Depkes RI, 2008).

Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan area utama dari pengontrolan kualitas dan manajemen resiko. Penerapan kegiatan ini merupakan integrasi dari berbagai teori tentang pencegahan dan pengendalian infeksi serta manajemen dalam mengelola berbagai sumber daya yang ada serta pendekatan sistem yang digunakan untuk menilai suatu program (Molina, 2012).

Jumlah kasus HAIs menjadi tolak ukur akreditasi rumah sakit di seluruh Indonesia (WHO, 2011). Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, bagian ketiga pasal 40 menyatakan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun, dilakukan oleh suatu lembaga independen baik nasional maupun internasional berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. Akreditasi rumah sakit mewajibkan untuk melakukan pemenuhan standar yang terdiri dari kelompok standar pelayanan

(25)

berfokus pada pasien, kelompok standar manajemen rumah sakit, kelompok sasaran keselamatan pasien di rumah sakit dan standar program MDGs. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) merupakan salah satu penilaian akreditasi dalam kelompok standar manajemen rumah sakit.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) mencantumkan beberapa indikator tentang pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Indikator- indikator tersebut menjadi penilaian dalam akreditasi. Indikator pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus dilakukan yaitu ada anggota tim PPI yang terlatih sebanyak 75%, tersedia APD (Alat Perlindungan Diri) di setiap instalasi/ departemen sebanyak 60%, adanya kegiatan pencatatan dan pelaporan infeksi nosokomial/ HAIs (Healthcare Associeted Infections) di rumah sakit minimal 1 parameter yaitu ILO, ILI, VAP, ISK (75%).

Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley merupakan salah satu pelayanan kesehatan swasta di kota Medan dengan klasifikasi Rumah Sakit kelas C, yang didirikan oleh suatu badan hukum yaitu Yayasan Methodist Indonesia pada tahun 2003. Seiring dengan perkembangan ilmu kesehatan, Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley terus melakukan peningkatan pelayanan dengan melengkapi fasilitas dan peralatan ruang rawat inap, rawat jalan, serta SDM di bidang medis dan non medis yang berkompeten. Rumah Sakit Umum Susanna Wesley senantiasa berusaha membenahi diri untuk melaksanakan komitmen memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada masyarakat. Salah satu bentuk

(26)

pembenahan diri dan peningkatan mutu adalah terlaksananya akreditasi pada tahun 2012 dengan lulus tingkat dasar 5 (lima) pelayanan.

Saat ini Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti akreditasi program khusus melalui Peraturan Ketua Eksekutif Komisi akreditasi Rumah Sakit Nomor 1666/KARS/2014 tentang persiapan status akreditasi rumah sakit. Akreditasi program khusus hanya dapat dilaksanakan pada rumah sakit umum kelas C yang memberikan pelayanan spesialistik dasar tanpa pelayanan sub spesialistik. Salah satu bab penilaian akreditasi program khusus yaitu Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).

Data surveilance infeksi RSU Methodist Susanna Wesley dikumpulkan dan dianalisis mulai bulan Januari tahun 2016 dibuat dalam bentuk laporan triwulan.

Perincian data yang diperoleh yaitu ISK (Infeksi Saluran Kemih) sebanyak 0 %, Plebitis 5,16 %, IDO (Infeksi Daerah Operasi) sebanyak 1,2%, HAP (Hospital Acquired Pneumonia) 0 % dan decubitus 0 %. Jumlah kasus infeksi plebitis sudah diatas sasaran program kerja komite yang sudah ditetapkan yaitu 1,5% (Komite PPIRS, 2016).

Adapun kondisi dan kemungkinan permasalahan dari organisasi PPI Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley berdasarkan hasil wawancara peneliti yang di dapat dari petugas tim PPI adalah : a) Komite dan tim PPI sudah ada, namun tugas dari PPI belum optimal karena tidak memahami uraian tugas, fungsi dan tanggung jawab; b) kegiatan monitoring dan evaluasi program PPI yang sudah di susun belum berjalan dengan baik ; c) kurangnya sosialisasi kebijakan tentang pedoman manajerial

(27)

dan pelaksanaan PPI kepada anggota komite; d) Personil Komite dan tim PPI belum semua mengikuti pelatihan dan pendidikan tentang PPI.

Berdasarkan pengamatan langsung di ruang rawat inap RSUMSW terhadap petugas kesehatan di lapangan yaitu masih ada dijumpai perawat yang belum mempunyai kesadaran untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, tidak menggunakan menggunakan APD seperti sarung tangan saat melakukan tindakan keperawatan, belum patuh kepada SPO (Standar Prosedur Operasional).

Beberapa alasan yang dikemukan sebagai faktor penyebab adalah terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana di setiap unit rumah sakit.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang Implementasi Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley Medan.

1.2 Perumusan masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit Umum Susanna Wesley di lihat menurut pendekatan sistem (input - proses - output).

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit Umum Susanna Wesley dilihat menurut pendekatan sistem (input, proses, output). Dimana input merupakan dukungan manajemen, struktur organisasi, uraian tugas, fasilitas, komitmen individu.

(28)

Proses merupakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan uraian tugas komite dan tim PPI, menyediaan fasilitas bahan, alat dan fasilitas penunjang, penetapan komitmen komite dan tim PPI. Output merupakan implementasi program pencegahan dan pengendalian infeksi yaitu laporan kegiatan surveilance, laporan kegiatan kewaspadaan isolasi, penggunaan antimikroba serta pendidikan dan pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan dan pertimbangan bagi rumah sakit agar program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dapat berjalan baik dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Rumah Sakit Umum Methodist Susanna Wesley.

2. Sebagai bahan masukan untuk menambah pengetahuan dan pembahasan implementasi program pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit supaya dapat dikembangkan oleh peneliti selanjutnya.

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit

Pelaksanaan program perencanaan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya harus dikelola dan diintegrasikan antara struktural dan fungsional dari semua departemen/ instalasi/ divisi/ unit di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan falsafah dan tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi (Depkes RI, 2008).

Pencegahan dan pengendalian infeksi adalah suatu sistem pengukuran dengan menggunakan diagnosis epidemiologi yang ditujukan pada pencegahan penyebaran dan penularan penyakit infeksi di fasilitas kesehatan (Palmer, 1984). Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan merupakan suatu upaya kegiatan untuk meminimalkan atau mencegah terjadinya infeksi pada pasien, petugas, pengunjung dan masyarakat sekitar rumah sakit (Kemenkes RI,2011).

Infeksi yang terjadi di rumah sakit tidak saja dapat dikendalikan tetapi juga dapat dicegah dengan melakukan langkah – langkah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya perlu diterapkan program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), yaitu kegiatan meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta monitoring dan evaluasi (Depkes RI, 2008).

(30)

Tujuan dan sasaran program tersebut dicapai melalui kegiatan surveilans pencegahan infeksi terutama penerapan kewaspadaan universal dan penanggulangan infeksi nosokomial termasuk didalamnya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) infeksi nosokomial. Untuk itu perlu adanya perencanaan rinci dalam strategi - strategi dan langkah - langkah yang memerlukan koordinasi dari banyak pihak, baik individu, bagian, ataupun unit - unit pelayanan di rumah sakit tersebut.

2.2 Infeksi Nosokomial

Infeksi yang terjadi di rumah sakit di sebut juga infeksi nosokomial atau Health-care Associted Infection (HAIs) merupakan problem yang serius bagi kesehatan masyarakat. Menurut WHO (2011) HAI’s merupakan infeksi yang didapat pasien selama menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di pelayanan kesehatan setelah ≥ 48 jam dan ≤ 30 hari setelah keluar dari fasilitas kesehatan.

Depkes RI (2001) juga menyatakan infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi atau didapat di rumah sakit. Suatu infeksi didapat di rumah sakit apabila : 1. Pada saat masuk rumah sakit tidak ada tanda/ gejala atau tidak dalam merasa

inkubasi infeksi tersebut.

2. Infeksi terjadi 3x24 jam setelah pasien di rawat di rumah sakit.

3. Infeksi pada lokasi sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau mikroorganisme penyebab sama tetapi lokasi infeksi berbeda.

(31)

2.2.1 Penyebab Infeksi Nosokomial

Organisme yang menyebabkan infeksi nosokomial biasanya datang dari tubuh pasien sendiri (flora endogen). Juga dapat diperoleh dari kontak dengan staf (kontaminasi silang), instrumen dan jarum terkontaminasi dan lingkungan (flora eksogen). Karena pasien umumnya selalu berpindah – pindah dan waktu rawat di rumah sakit lebih pendek, pasien sering dipulangkan sebelum infeksi menjadi nyata (timbul gejala). Kenyataannya sebagian besar infeksi nosokomial pada pasien menjadi nyata setelah mereka pulang. Akibatnya sering susah menentukan apakah sumber orgnisme yang menyebabkan infeksi endogen atau eksogen.

2.2.2 Rantai Penularan

Menurut Kemenkes RI, 2011 untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu mengetahui rantai penularan. Apabila suatu rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan.

Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan tersebut adalah :

1. Agen Infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Pada manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, riketsia, jamur dan parasit. Ada tiga faktor pada agen penyebab yang mempengaruhiterjadinya infeksi yaitu : patogenesis, virulensi dan jumlah (dosis).

2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh – tumbuhan, tanah, air dan bahan – bahan organik lainnya. Pada orang sehat, permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina.

(32)

3. Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membran mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.

4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari reservoir ke penderita. Ada beberapa cara penularan yaitu : (a) kontak : langsung dan tidak langsung; (b) droplet; (c) airborne; (d) melalui vehikulum : makanan, air/minuman, darah; (e) melalui vektor biasanya serangga dan binatang pengerat.

5. Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui saluran pernafasan, penvernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka)

6. Pejamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau penyakit. Faktor yang khusus dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

(33)

Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Infeksi

Sumber : Pedoman Pencegahan dan pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya (Kemenkes RI, 2011)

2.3 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi menurut Kemenkes RI (2011) yaitu:

1. Peningkatan daya tahan penjamu. Daya tahan pejamu dapat meningkat dengan pemberian imunisasi aktif. Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.

2. Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.

3. Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling mudah mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.

(34)

CDC (2007) tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu Isolation Pecautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 (dua) tingkatan yaitu :

a. Standar Precautions (Kewaspadaan Standar)

Kewaspadaan standar dirancang untuk mengurangi resiko penularan mikroorganisme di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Diterapkan rutin dalam perawatan seluruh pasien dalam rumah sakit baik terdiagnosis infeksi, diduga terinfeksi atau kolonisasi. Strategi utama untuk Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yaitu mengurangi resiko terinfeksi patogen yang berbahaya melalui darah dan cairan tubuh lainnya serta mengurangi resiko penularan patogen yang berada dalam bahan yang berasal dari tubuh pasien tanpa memandang infeksi atau tidak terinfeksi.

Kewaspadaan Standar untuk pelayanan semua pasien meliputi : kebersihan tangan (handhygiene), Alat Perlindungan Diri (APD) yaitu sarung tangan, masker, google (kacamata pelindung), face shield (pelindung wajah), gaun, peralatan perawatan pasien, penanganan linen, manajemen limbah dan benda tajam, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen, kesehatan karyawan atau perlindungan petugas kesehatan, penempatan pasien, hgiene respirasi/ etika batuk, praktek menyuntik yang aman, praktek untuk lumbal punksi

(35)

Gambar 2.2 Kewaspadaan Standar

Sumber : Pedoman Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Perdalin, 2015)

b. Transmission-based Precautions (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).

Kewaspadaan berdasarkan penularan/ transmisi diperuntukkan bagi pasien yang menunjukkan gejala atau dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi dengan kuman yang sangat mudah menular atau sangat patogen dimana perlu upaya pencegahan tambahan selain kewaspadaan standar untuk memutus rantai penyebaran infeksi. Tiga jenis kewaspadaan berdasarkan penularan/ transmisi menurut Depkes RI, 2007 adalah sebagai berikut :

- Kewaspadaan penularan melalui kontak

Kewaspadaan Standar

Penyuntikan Yang Aman

ama

Etika Batuk

Praktek Lumbal

Penatalaksanaan Linen

Kebersihan Karyawan

Penempatan Pasien Peralatan Perawatan Pasien Penggunaan

APD

Pengolahan Limbah dan Benda Tajam

Pengendalian Lingkungan

Kebersihan Tangan

LAPIS PERTAMA

(36)

- Kewaspadaan penularan melalui percikan (droplet) - Kewaspadaan penularan melalu udara (airborne)

Menurut Depkes RI (2004) pada semua kasus secara sendiri atau bersama-sama pencegahan berdasarkan penularan harus digunakan dalam hubungan dengan kewaspadaan standar. Petugas kesehatan harus menerapkan kewaspadaan standar (cuci tangan), kewaspadaan berdasarkan penularan melalui udara (alat perlindungan pernafasan dengan efisiensi penyaringan sama atau lebih dari 95%) dan kewaspadaan berdasarkan penularan melalui kontak (sarung tangan, gaun dan perlindungan mata) ketika melakukan tindakan yang menghasilkan aerosol dilakukan pada pasien dengan penyakit menular melalui udara (airborne).

Gambar 2.3 Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi

Sumber : Pedoman Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (Perdalin, 2015) LAPIS KEDUA/TAMBAHAN

Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi

Droplet

Contact Airborne

Avian Inf, H1N1, Meningococus MRSA, VRE, herpes

Simplex TBC, Chicken Pox

Masker Bedah Penutup Wajah Sarung Tangan,

Gaun

Masker Respiratorik

(37)

4. Tindakan pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/ PEP) terhadap petugas kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.

2.4 Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi

Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi yang wajib dilaksanakan oleh semua petugas kesehatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya menurut Kemenkes (2011) yaitu :

1. Kebersihan Tangan

Dari sudut pandang pencegahan dan pengendalian infeksi, cuci tangan adalah cara sederhana pencegahan infeksi yang penting dilakukan pada saat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Cuci tangan merupakan proses secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun dan air (Kemenkes, 2011). Berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan prosedur standar cuci tangan.

a. Tujuan :

1. Menghilangkan seluruh kotoran dan debris serta menghambat atau membunuh mikroorganisme pada kulit

2. Menekan pertumbuhan bakteri pada tangan

3. Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan

(38)

b. Indikasi :

1. Segera : setelah tiba di tempat kerja

2. Sebelum : kontak langsung dengan pasien, menggunakan sarung tangan, menyiapkan obat-obatan, menyiapkan makanan, memberi makan pasien, dan meninggalkan rumah sakit

3. Setelah : kontak dengan pasien, melepas sarung tangan, melepas alat pelindung diri, kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, eksudat, luka, kontak dengan peralatan yang diketahui atau mungkin terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh, menggunakan toilet

c. Prosedur standar :

1. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir 2. Tuangkan sabun cair 3-5 cc di bagian telapak tangan yang basah 3. Ratakan dengan kedua telapak tangan

4. Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan dan sebaliknya

5. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari

6. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci

7. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya

8. Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak tangan kiri dan sebaliknya.

9. Bilas kedua tangan dengan air mengalir

(39)

10. Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai benar- benar kering

11. Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk menutup kran 12. Pada cuci tangan aseptik dilarang menyentuh permukaan tidak steril,

waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan antara 5-10 menit d. Handrub Antiseptik (handrub berbasis alkohol)

Pemakaian handrub antiseptik untuk tangan yang bersih lebih efektif mmembunuh flora residen dan flora transien. Antiseptik ini cepat dan mudah digunakan serta menghasilkan penurunan jumlah flora tangan awal yang lebih besar.

Teknik untuk menggosok tangan dengan antiseptik dijelaskan dibawah ini : 1. Tuangkan secukupnya handrub berbasis alkohol untuk dapat mencakup

seluruh permukaan tangan dan jari ( kira- kira satu sendok teh )

2. Gosokkan larutan dengan teliti dan benar pada kedua belah tangan, khususnya diantara jari-jari dan di bawah kuku hingga kering. Agar efektif, gunakan secukupnya larutan handrub sesuai petunjuk pabrik (sekitar satu sendok teh, 3-5 cc)

Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika tangan sangat kotor atau terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh, harus mencuci tangan dengan sabun dan air terlebih dahulu. Selain itu untuk mengurangi “penumpukan” emolien pada tangan setelah pemakain handrub antiseptik berulang, tetap diperlukan mencuci tangan dengan sabun dan air

(40)

setiap kali setelah 5-10 aplikasi handrub. Terakhir, handrub yang hanya berisi alkohol sebagai bahan aktifnya, memiliki efek residual yang terbatas dibandingkan dengan handrub yang berisi campuran alkohol dan antiseptik seperti khlorheksidin.

2. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Pelindung barrier, yang secara umum disebut sebagai alat pelindung diri (APD), telah digunakan selama bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang ada pada petugas kesehatan. Namun dengan munculnya AIDS dan hepatitis C, serta meningkatnya kembali tuberkulosis dibanyak negara, pemakaian APD menjadi sangat penting untuk melindungi petugas. Dengan munculnya infeksi baru seperti flu burung, SARS dan penyakit infeksi lainnya (Emerging Infectious Diseases), pemakaian APD yang tepat dan benar semakin penting.

a) Sarung Tangan, melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada ditangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) fisik paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan harus diganti antara setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya, untuk menghindari kontaminasi silang. Tergantung keadaan, sarung tangan periksa atau serbaguna bersih harus digunakan oleh semua petugas ketika :

a. Kemungkinan kontak tangan dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas

(41)

b. Melakukan prosedur medis yang bersifat invasif misalnya menusukkan sesuatu kedalam pembuluh darah, seperti memasang infus

c. Menangani bahan – bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar

d. Menerapkan kewaspadaan berdasarkan penularan melalui kontak (yang diperlukan pada kasus penyakit menular melalui kontak yang telah diketahui atau dicurigai) yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sarung tangan bersih, tidak steril ketika memasuki ruangan pasien. Petugas kesehatan harus melepas sarung tangan tersebut sebelum meninggalkan ruangan pasien dan mencuci tangan dengan air dan sabun atau dengan handrub berbasis alkohol.

b) Masker, harus cukup besar untuk menutup hidung, mulut, bagian bawah dagu dan rambut pada wajah (jenggot). Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk atau bersin serta untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan . Bila masker tidak terbuat dari bahan tahan cairan, maka masker tersebut tidak efektif untuk mencegah kedua hal tersebut.

c) Alat pelindung mata, melindungi petugas dari percikan darah atau cairan tubuh lain dengan cara melindungi mata. Pelindung mata mencakup kaca mata goggle plastik bening, kacamata pengaman, pelindung wajah dan visor.

Kacamata koreksi atau kacamata dengan lensa polos juga dapat digunakan,

(42)

tetapi hanya jika ditambahkan pelindung pada bagian sisi mata. Petugas kesehatan harus menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah, jika melakukan tugas yang memungkinkan adanya percikan cairan secara tidak sengaja kearah wajah. Bila tidak tersedia pelindung wajah, petugas kesehatan dapat menggunakan kacamata pelindung atau kacamata biasa atau masker.

d) Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan. Topi harus cukup besar untuk menutup semua rambut. Meskipun topi dapat memberikan sejumlah perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utamanya adalah untuk melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang terpercik atau menyemprot.

e) Gaun pelindung, digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui droplet/ airborne. Pemakaian gaun pelindung terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Ketika merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular tersebut, petugas kesehatan harus mengenakan gaun pelindung setiap memasuki ruangan untuk merawat pasien karena ada kemungkinan terpercik atau tersemprot darah, cairan tubuh, sekresi atau ekskresi. Pangkal sarung tangan harus menutupi ujung lengan gaun sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan area pasien. Setelah gaun

(43)

dilepas, pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak kontak dengan bagian yang potensial tercemar, lalu cuci tangan segera untuk mencegah berpindahnya organisme. Kontaminasi pada pakaian yang dipakai saat bekerja dapat diturunkan 20-100 kali dengan memakai gaun pelindung. Perawat yang memakai apron plastik saat merawat pasien bedah abdomen dapat menurunkan transmisi S.Aureus 30x dibandingkan perawat yang memakai baju seragam dan ganti tiap hari.

f) Apron, yang terbuat dari karet atau plastik merupakan penghalang tahan air untuk sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus mengenakan apron dibawah gaun penutup ketika melakukan perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan prosedur dimana ada resiko tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal ini penting jika gaun pelindung tidak tahan air. Apron akan mencegah cairan tubuh pasien mengenai baju dan kulit petugas kesehatan.

g) Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja di atas kaki.

Oleh karena itu, sandal, “sandal jepit”atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak (kain) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup sepatu tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap benda tajam atau kedap air harus tersedia dikamar bedah. Sebuah penelitian

(44)

menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain atau kertas dapat meningkatkan kontaminasi karena memungkinkan darah merembes melalui sepatu dan seringkali digunakan sampai di luar ruang operasi. Kemudian dilepas tanpa sarung tangan sehingga terjadi pencemaran.

3. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen

Proses pencegahan infeksi dasar yang dianjurkan untuk mengurangi penularan penyakit dari instrumen yang kotor, sarung tangan bedah dan barang-barang habis pakai lainnya adalah precleaning/prabilas, pencucian dan pembersihan, sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi (DTT) atau sterilisasi.

Pracleaning/prabilas adalah proses yang membuat benda mati lebih aman untuk ditangani oleh petugas sebelum dibersihkan dan mengurangi, tetapi tidak menghilangkan jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi.

Pembersihan : proses yang secara fisik membuang semua kotoran, darah atau cairan tubuh lainnya dari benda mati ataupun membuang sejumlah mikroorganisme untuk mengurangi resiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau menangani objek tersebut. Proses ini adalah terdiri dari mencuci sepenuhnya dengan sabun atau deterjen-deterjen dan air atau enzimatik, membilas dengan air bersih dan mengeringkannya.

Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT) : proses menghilangkan semua mikroorganisme, kecuali beberapa endospora bakterial dari objek, dengan merebus, menguapkan atau memakai desinfektan kimiawi

(45)

Sterilisasi : proses menghilangkan semua mikroorganisme (bakteri, virus, fungi dan parasit) termasuk endospora bakterial dari benda mati dengan uap tekanan tinggi (otoklaf), panas kering (oven), sterilan kimiawi atau radiasi.

Pengelolaan linen : penanganan linen yang sudah digunakan harus dengan hati- hati dengan menggunakan APD yang sesuai dan membersihkan tangan secara teratur.

Kehati-hatian ini mencakup penggunaan perlengkapan APD yang sesuai dan membersihkan tangan secara teratur sesuai dengan pedoman kewaspadaan standar.

4. Pengelolaan limbah

Tujuan pengolahan limbah ialah melindungi petugas pembuangan limbah dari perlukaan, melindungi penyebaran infeksi terhadap para petugas kesehatan, mencegah penularan infeksi pada masyarakat sekitarnya, membuang bahan-bahan berbahaya (bahan toksik dan radioaktif) dengan aman.

Tumpukan limbah terbuka harus dihindari karena menjadi objek pemulung yang akan memanfaatkan limbah yang terkontaminasi, dapat menyebabkan perlukaan, menimbulkan bau busuk, mengundang lalat dan hewan penyebar penyakit lainnya. Pengelolaan limbah dapat dilakukan mulai dari identifikasi limbah (padat, cair, tajam, infeksius, non infeksius), pemisahan (pemisahan dimulai dari awal penghasil limbah, memisahkan limbah sesuai dengan jenis limbah, menempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, membuang limbah cair segera ke wastafel), labeling (limbah padat infeksius : plastik kantong kuning, kantong warna lain tapi diikat tali warna kuning, limbah padat non infeksius : plastik kantong warna hitam, limbah benda tajam : wadah tahan tusuk dan air), kantong pembuangan diberi label

(46)

biohazard atau sesuai jenis limbah, packing (ditempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup muka dibuka, sebaiknya bisa dengan menggunakan kaki, kontainer dalam keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan tidak berkarat, menempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10-20 meter, mengikat limbah jika sudah terisi ¾ penuh, kontainer limbah harus dicuci setiap hari), penyimpanan (menyimpan limbah di tempat penampungan sementara khusus, menempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat, memberi label pada kantong plastik limbah, setiap hari limbah diangkat dari tempat penampungan sementara, tempat penampungan sementara harus di area terbuka, terjangkau (oleh kendaraan), aman dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi kering), pengangkutan (mengangkut limbah harus menggunakan kereta dorong khusus, kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup, tidak boleh ada yang tercecer, sebaiknya lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, menggunakan alat pelindung diri ketika menangani limbah), treatment (limbah infeksius dimasukkan dalam incinerator, limbah non infeksius dibawa ke tempat pembuangan limbah umum, limbah benda tajam dimasukkan dalam incinerator, limbah cair dalam wastafel di ruang spoelhok, limbah feses, urine ke dalam WC).

Penanganan limbah benda tajam yaitu jangan menekuk atau mematahkan benda tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat, limbah benda tajam segera dibuang ke kontainer yang tersedia tahan tusuk dan tahan air dan tidak bisa dibuka lagi, selalu dibuang sendiri oleh si pemakai, tidak menyarungkan

(47)

kembali jarum suntik habis pakai, kontainer benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.

Penanganan limbah pecahan kaca yaitu menggunakan sarung tangan rumah tangga, menggunakan kertas koran untuk mengumpulkan pecahan benda tajam tersebut kemudian dibungkus dengan kertas, dimasukkan dalam kontainer tahan tusukan beri label.

Unit pengelolaan limbah cair yaitu kolam stabilisasi air limbah, kolam oksidasi air limbah, sistem proses pembusukan anaerob, septik tank.Pengelolaan limbah padat di ruang perawatan merupakan bagian dari pencegahan infeksi nosokomial. Berikut ini dijelaskan tentang jenis limbah, cara pengelolaan dan penanganan limbah.

Limbah yang ada di rumah sakit dapat dibagi dua yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat yang berasal dari rumah sakit secara umum dibedakan atas limbah medis, yaitu limbah yang kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dan dikategorikan sebagai limbah resiko tinggi. Limbah medis terdiri dari limbah klinis dan limbah laboratorium. Contoh limbah klinis antara lain kasa, pembalut wanita, potongan tubuh, jarum bekas pakai dan alat infus bekas pakai, dan kantong drain bekas pakai. Limbah non medis atau limbah rumah tangga yaitu limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien, sehingga disebut sebagai limbah resiko rendah.

(48)

a. Cara penanganan limbah

1. Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir semua jenis limbah klinis ditampung dalam kantong kedap air, biasanya kantong berwarna kuning 2. Kantong yang sudah terisi 2/3 penuh diikat dengan rapat

b. Prosedur pengelolaan limbah

1. Pemilahan limbah sesuai jenis resiko limbah

2. Semua limbah resiko tinggi harus dilabelkan dengan jelas

3. Menggunakan kode kantong plastik berbeda warna untuk setiap jenis limbah, misalnya kuning untuk limbah medis dan hitam untuk limbah non medis 4. Penyimpanan limbah

5. Apabila 2/3 kantong telah terisi maka kantong harus diikat kuat dan diberi label

6. Kantong dikelompokkan pada tempat pengumpulan kantong sewarna

7. Semua tempat sampah yang digunakan untuk meletakkan limbah harus dikosongkan dan dicuci setiap hari

c. Pemisahan limbah

Untuk memudahkan pengelolaan limbah padat maka limbah dipilah-pilah untuk dipisahkan. Untuk memisahkan limbah padat ini digunakan kantong berwarna, yaitu kantong kuning untuk limbah medis dan kantong hitam untuk limbah non medis.

d. Indikator penanganan limbah tajam yang aman dan benar, adalah sebagai berikut : 1. Selalu dibuang ke tempat penampungan sementara

(49)

2. Tidak menyerahkan limbah tajam secara langsung dari orang ke orang

3. Melindungi jari tangan terhadap bahaya tusukan, contoh dengan menggunakan penjepit

4. Tidak menyarungkan kembali jarum suntik bekas pakai

5. Menempatkan segera jarum suntik setelah dipakai pada wadah tahan tusukan sebelum siap dibawa ke tempat pembuangan akhir

6. Meletakkan wadah penampung jarum bekas dekat dengan lokasi tindakan misalnya di ruang tindakan

7. Tidak meletakkan limbah tajam ke dalam wadah lain selain yang tahan tusukan 8. Menjauhkan tempat penampungan limbah tajam jauh dari jangkauan anak-anak 9. Agar jangan sampai tumpah, wadah penampung limbah dikirim sebelum penuh

(2/3 penuh) untuk didekontaminasi atau untuk diinserasi.

5. Pengendalian lingkungan rumah sakit

Tujuan pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya adalah untuk menciptakan lingkungan yang bersih aman dan nyaman sehingga dapat meminimalkan atau mencegah terjadinya transmisi mikroorganisme dari lingkungan kepada pasien, petugas, pengunjung dan masyarakat di sekitar rumah sakit dan fasilitas kesehatan sehingga infeksi nosokomial dan kecelakaan kerja dapat dicegah. Prinsip dasar pembersihan lingkungan antara lain : a. Semua permukaan horizontal di tempat di mana pelayanan yang disediakan

untuk pasien harus dibersihkan setiap hari dan bila terlihat kotor. Permukaan

(50)

tersebut juga harus dibersihkan bila pasien sudah keluar dan sebelum pasien masuk.

b. Bila permukaan tersebut, meja pemeriksaan atau peralatan lainnya pernah bersentuhan langsung dengan pasien, permukaan tersebut harus dibersihkan dan didesinfeksi di antara pasien-pasien yang berbeda.

c. Semua kain lap yang digunakan harus dibasahi sebelum digunakan.

Membersihkan debu dengan kain kering atau dengan sapu dapat menimbulkan aerosolisasi dan harus dihindari.

d. Larutan, kain lap dan kain pel harus diganti secara berkala sesuai dengan peraturan setempat.

e. Semua peralatan pembersih harus dibersihkan dan dikeringkan setelah digunakan.

f. Kain pel yang dapat digunakan kembali harus dicuci dan dikeringkan setelah digunakan dan sebelum disimpan.

g. Tempat-tempat di sekitar pasien harus bersih dari peralatan serta perlengkapan yang tidak perlu sehingga memudahkan pembersihan menyeluruh setiap hari.

h. Meja pemeriksaan dan peralatan di sekitarnya yang telah digunakan pasien yang diketahui atau suspek terinfeksi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang dapat menimbulkan kekhawatiran harus dibersihkan dengan desinfektan segera setelah digunakan.

6. Kesehatan karyawan/perlindungan petugas kesehatan

(51)

Petugas kesehatan beresiko terinfeksi bila terekspos saat bekerja, juga dapat mentransmisikan infeksi kepada pasien maupun petugas kesehatan yang lain. Fasilitas kesehatan harus memiliki program pencegahan dan pengendalian infeksi bagi petugas kesehatan. Saat menjadi karyawan baru seorang petugas kesehatan harus diperiksa riwayat pernah infeksi apa saja, status imunisasinya.

Imunisasi yang dianjurkan untuk petugas kesehatan adalah hepatitis B dan bila memungkinkan A, influenza, campak, tetanus, difteri, rubella. Mantoux test untuk melihat adakah infeksi Tuberculosis (TB) sebelumnya, sebagai data awal. Pada kasus khusus dapat diberikan varicella.

7. Penempatan pasien

Pertimbangan pada saat penempatan pasien :

a. Kamar terpisah bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan, misal : luka lebar dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol.

b. Kamar terpisah dengan pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui udara ke kontak, misalnya luka dengan infeksi kuman gram positif

c. Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi dibuang keluar dengan exhaust ke area tidak ada orang lalu lalang, misalnya TBC

d. Kamar terpisah dengan udara terkuci bila diwaspadai transmisi airborne luas, misal varicella.

e. Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan (anak gangguan mental)

(52)

Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat kohorting. Bila pasien terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien, petugas dan pengunjung menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi.

8. Higiene respirasi/etika batuk

Kebersihan pernapasan dan etika batuk adalah dua cara penting untuk mengendalikan penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien, pengunjung dan petugas kesehatan harus dianjurkan untuk selalu mematuhi etika batuk dan kebersihan pernapasan untuk mencegah sekresi pernapasan. Saat batuk atau bersin : tutup hidung dan mulut, segera buang tisu yang sudah dipakai, lakukan kebersihan tangan.

Sebaiknya gunakan masker bedah bila sedang batuk. Etika batuk dan kebersihan pernapasan harus diterapkan di semua bagian rumah sakit, di lingkungan masyarakat dan bahkan di rumah.

9. Praktek menyuntik yang aman

a. Menggunakan jarum yang steril, sekali pakai pada setiap suntikan untuk mencegah kontaminasi pada peralatan injeksi dan terapi

b. Bila memungkinkan sekali pakai vial walaupun multidose. Jarum atau spuit yang dipakai ulang untuk mengambil obat dalam vial multidose dapat menimbulkan kontaminasi mikroba yang dapat menyebar saat obat dipakai untuk pasien lain

(53)

10. Praktek untuk lumbal punksi

Pemakaian masker pada insersi kateter atau injeksi suatu obat ke dalam area spinal/epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan anastesi spinal dan epidural, myelogram, untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring.

2.5 Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit

Tujuan program pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit adalah untuk melindungi pasien, petugas dan pengunjung. Program pencegahan dan pengendalian infeksi dapat tercapai perlu dilakukan perencanaan secara rinci dalam membuat strategi dan langkah yang memerlukan koordinasi dari banyak pihak, baik individu, bagian maupun unit pelayanan di sarana kesehatan tersebut. Program harus dijabarkan secara tertulis dan menjadi dasar perencanaan pencegahan dan pengendalian infeksi serta memuat unsur standar akreditasi rumah sakit rumah sakit dan juga ketentuan pemerintah yang berlaku (Depkes RI, 2001).

Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di rumah sakit menurut Scheckler dkk, 1998; Palmer, 1984; Kemenkes RI, 2011; Depkes RI, 2004; Depkes, 2008; dan Perdalin, 2015 yaitu :

1. Jejaring surveilans infeksi di rumah sakit

Surveilans infeksi rumah sakit adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus-menerus, dalam mengumpulkan, identifikasi, analisa dan interpretasi dari data kesehatan yang penting pada suatu populasi spesifik yang didiseminasikan secara berkala kepada pihak-pihak yang memerlukan untuk digunakan dalam

(54)

perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.

Adapun tujuan surveilans infeksi rumah sakit terutama adalah : a. Mendapatkan data dasar infeksi rumah sakit

Dengan demikian dapat diketahui berapa resiko yang dihadapi oleh setiap psien yang dirawat di rumah sakit. Sebagian besar (90-95%) dari infeksi rumah sakit adalah endemik dan ini di luar dari KLB yang dikenal. Kegiatan surveilan ditujukan untuk menurunkan laju angka endemik tersebut.

b. Menurunkan laju infeksi rumah sakit

Dengan surveilans ditemukan faktor resiko infeksi rumah sakit yang akan diintervensi sehingga dapat menurunkan laju angka infeksi rumah sakit.

Untuk mencapai tujuan ini surveilans harus didasarkan cara penggunaan data, sumber daya manusia dan dana yang tersedia.

c. Identifikasi dini Kejadian Luar Biasa (KLB) infeksi rumah sakit

Bila laju angka dasar telah diketahui, maka kita dapat segera mengenali bila terjadi suatu penyimpangan dari laju angka dasar tersebut, yang mencerminkan suatu peningkatan kasus atau kejadian luar biasa (outbreak) dari infeksi rumah sakit.

d. Meyakinkan para tenaga kesehatan tentang adanya masalah yang memerlukan penanggulangan

Data surveilans yang diolah dengan naik dan disajikan secara rutin dapat menyakinkan tenaga kesehatan untuk menerapkan Pencegahan dan

Gambar

Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Infeksi
Gambar 2.2 Kewaspadaan Standar
Gambar 2.3 Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
Gambar 2.4 Program PPI
+6

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga node sensor tersebut terhubung secara langsung ke node sink, tanpa melalui node router (perantara), antara satu node sensor dengan node sensor lainnya tidak terhubung

Guru memberikan kebebasan peserta didik bertanya, berdiskusi, mengenai latihan soal yang diberikan oleh guru tentang menentukan Nilai optimum fungsi objektif dalam group whatsApp

Contoh bahan tanah ditimbang dengan tabungnya, dan dinyatakan sebagai X (g), selanjutnya contoh bahan tanah ini dikeringkan pada temperatur 105 0 C selama 24 jam

Pengisian lanjut bertujuan untuk menaikkan daya mesin yang perpindahan torak dan kecepatannya telah ditentukan. Dalam mesin disel daya dibangkitkan oleh pembakaran

Indikator kinerja persentase aparatur yang memiliki pembinaan dan pengembangan karir sesuai kebutuhan untuk tahun 2012 sesuai dengan RPJMD di targetkan sebesar 75,13% dan

Untuk menghubungkan ke database pertama-tama harus melakukan koneksi ke database MySQL dan pada langkah berikutnya Anda harus memilih database yang akan digunakan. Ingatlah jika

Penjualan kredit adalah penjualan pada saat barang atau jasa diterima oleh pembeli beserta bukti atas pembelian barang yang akan dibayar secara berkala untuk