• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

5.3. Struktur Perekonomian dan Potensi Ekonomi

6.1.1. Struktur Output

Pengertian dari output dalam penelitian ini adalah seluruh nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi di Aceh. Analisis struktur output ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran sektor-sektor mana saja yang mampu memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pembentukan output secara keseluruhan (Amir dan Nazara, 2005). Jumlah output yang mampu dihasilkan menurut sektor ekonomi di Aceh dapat dilihat pada Lampiran 3. Total nilai produksi barang dan jasa yang produksi oleh sektor-sektor ekonomi (output) di Aceh mencapai Rp 123 347 013 juta .

Jika dilihat dari jumlah penciptaan output menurut sektor, terlihat bahwa ada sepuluh sektor terbesar menurut peringkat output seperti yang disajikan pada Tabel 9. Sektor pertambangan gas merupakan sektor yang mempunyai output terbesar yaitu sebesar Rp 16 260 630 juta. Meskipun laju pertumbuhan sektor ini menunjukkan laju pertumbuhan negatif dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto namun dalam penciptaan output sektor ini masih mampu

menciptakan output yang relatif besar dalam pembangunan ekonomi Aceh. Hal ini dikarenakan sumberdaya yang terdapat pada sektor pertambangan masih relatif besar yang dihasilkan oleh dua perusahaan besar di Aceh yaitu PT. Arun dan PT. Exxon Mobil Oil. Selain kedua perusahan terbesar tersebut, pertambangan lain di Aceh juga masih ada meskipun belum diusahakan secara komersial. Dengan adanya perusahaan dan sumberdaya yang dimiliki sektor tersebut maka output yang dihasilkan juga relatif besar. Kemudian diikuti oleh sektor perdagangan yang memiliki laju pertumbuhan yang relatif besar setelah tsunami dan mampu menghasilkan output yang relatif besar dalam perkembangan ekonomi Aceh saat ini. Sementara itu untuk sektor bangunan, sektor pemerintahan dan pertahanan, sektor angkutan jalan raya dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau masing-masing juga mampu menyumbang output yang relatif besar dalam menunjang pembangunan ekonomi. Selain sektor tersebut sektor padi, sektor ternak dan hasilnya dan sektor sayuran masing-masing mampu memberikan kontribusi yang relatif besar dalam penciptaan ouput meskipun laju pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2009 relatif kecil lebih kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor listrik, sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor jasa-jasa. Hal ini dikarenakan sektor pertanian di Provinsi Aceh masih merupakan sektor pekerjaan utama bagi rumahtangga yang ada di daerah pedesaan. Sementara itu meskipun laju pertumbuhan sektor listrik dari tahun 2004 ke tahun 2009 lebih besar daripada laju pertumbuhan sektor ekonomi lain, namun dalam penciptaan output sektor ini masih relatif kecil dan tidak termasuk ke dalam peringkat sepuluh besar sektor yang menghasilkan output terbesar.

Secara kumulatif kesepuluh sektor yang disajikan pada Tabel 9 dibawah ini, mampu menciptakan output sebesar 77.01 persen dari keseluruhan output di Provinsi Aceh. Apabila dilihat dari besarnya output yang dihasilkan, sektor tersebut merupakanleading sectoryang perlu mendapat perhatian dari pemerintah

dalam rangka pengembangan perekonomian daerah.

Tabel 9. Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Output

Rangking Sektor Nilai

(Juta Rp) Persen (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pertambangan Gas

Pengilangan Minyak dan Gas Perdagangan

Bangunan

Pemerintahan dan Pertahanan Angkutan Jalan Raya

Industri makanan, minuman dan tembakau Padi

Ternak dan Hasilnya Sayuran dan Buah-buahan

16 260 630 15 531 384 14 800 837 13 292 505 9 106 603 8 602 314 5 465 012 4 379 783 4 296 950 3 255 865 13.18 12.59 12.00 10.78 7.38 6.97 4.43 3.55 3.48 2.64 Jumlah Peringkat (1-10) 94 991 882 77.01 Sektor Lainnya 28 355 131 22.99 Jumlah 123 347 013 100.00

Sumber : Tabel IO Hasil updating Provinsi Aceh Tahun 2009 (Diolah) 6.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto

Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi berdasarkan penggunaannnya. Total nilai tambah bruto dalam perekonomian suatu daerah juga merupakan nilai PDRB daerah tersebut berdasarkan pendekatan nilai tambah. Nilai total nilai tambah bruto/ input primer ini akan sama dengan nilai permintaan akhir domestik atau yang disebut nilai PDRB (Novitaet al, 2007).

Dalam Tabel Input-Output di Provinsi Aceh, nilai tambah dirinci lagi menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa, bunga dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung. Besarnya nilai tambah di tiap-tiap sektor ditentukan

oleh besarnya output (besarnya nilai produksi) yang dihasilkan dan jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi (Hotman, 2006). Oleh karena itu, suatu sektor yang memiliki nilai output besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar juga. Hal ini dikarenakan, dalam nilai tambah dihitung juga besarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh suatu sektor dalam melakukan aktivitasnya. Jumlah nilai tambah bruto yang mampu dihasilkan menurut sektor ekonomi di Aceh secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil analisis pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sektor pertambangan gas merupakan sektor terbesar dalam penciptaan nilai tambah. Selain besar dalam penciptaan output sektor ini juga mampu menghasilkan nilai tambah yang relatif besar yaitu sebesar Rp 15 481 236 juta atau sebesar 20.63 persen. Sektor pertambangan mampu menghasilkan nilai tambah yang relatif besar dikarenakan selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, sektor ini juga mampu mengekspor sebagian besar hasil outputnya. Kemudian berturut-turut sektor perdagangan , sektor pemerintahan dan pertahanan, sektor angkutan jalan raya, sektor bangunan, sektor padi, sektor ternak dan hasilnya, sektor sayur-sayuran dan buah-buahan, dan yang terakhir sektor kehutanan.

Dalam penciptaan nilai tambah rata-rata sektor yang menghasilkan nilai tambah yang relatif tinggi dalam perekonomian adalah sektor yang mampu menghasilkan output yang relatif besar kecuali sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Artinya di Provinsi Aceh sektor industri makanan, minuman dan tembakau meskipun mampu menghasilkan output yang relatif besar namun dalam penciptaan nilai tambah sektor ini relatif kecil. Ini dikarenakan di Provinsi Aceh rata-rata sektor industri makanan, minuman dan tembakau yang ada tidak

bergerak dalam skala besar namun masih termasuk ke dalam industri rumahtangga. Selain itu untuk proses produksinya sektor industri, makanan dan tembakau yang ada di Provinsi Aceh masih sangat bergantung pada sektor ekonomi lain terutama sektor pertanian. Kebanyakan input sektor industri makanan, minuman dan tembakau dihasilkan oleh sektor pertanian. Sehingga dalam penciptaan nilai tambah sektor ini tidak mampu memberikan kontribusi yang relatif besar.

Tabel 10. Sepuluh Peringkat Terbesar Nilai Tambah Bruto Tahun 2009

Rangking Sektor Nilai

(Juta Rp) Persen (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pertambangan Gas Perdagangan

Pengilangan Minyak dan Gas Pemerintahan dan Pertahanan Angkutan Jalan Raya

Bangunan Padi

Ternak dan Hasilnya Sayuran dan Buah-buahan Kehutanan 15 481 236 10 170 702 7 097 489 6 309 799 4 961 538 4 836 086 3 731 499 3 122 944 3 050 094 1 785 956 20.63 13.55 9.46 8.41 6.61 6.44 4.97 4.16 4.06 2.38 Jumlah Peringkat (1-10) 60 547 342 80.69 Sektor Lainnya 14 492 779 19.31 Jumlah 75 040 121 100.00

Sumber : Tabel IO Updating Provinsi Aceh Tahun 2009 (Diolah)

Selanjutnya disajikan pada Tabel 11, jumlah nilai tambah bruto menurut komponen di Provinsi Aceh. Komponen nilai tambah bruto terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi. Pada Tabel 11 diketahui bahwa komponen nilai tambah bruto di Aceh dialokasikan untuk upah dan gaji sebesar 26.57 persen. Selanjutnya dialokasikan untuk surplus usaha sebesar 63.47 persen, dialokasikan untuk penyusutan sebesar 7.07 persen, serta 2.89 persen dialokasikan untuk pajak tidak langsung.

Jika dicermati pada Tabel 11, terlihat bahwa di Provinsi Aceh porsi yang diterima untuk upah gaji lebih rendah dibandingkan dengan porsi untuk surplus usaha, padahal upah dan gaji adalah satu-satunya komponen nilai tambah yang langsung diterima (dibawa pulang) oleh pekerja. Artinya di Provinsi Aceh komponen nilai tambah pada masing-masing sektor ekonomi lebih diutamakan pada penciptaan nilai tambah untuk surplus usaha. Padahal komponen surplus usaha itu sendiri adalah merupakan nilai tambah yang diterima oleh pengusaha (eunterpreneurship). Surplus usaha belum tentu dapat langsung dinikmati oleh

masyarakat, karena surplus usaha tersebut sebagian ada yang disimpan atau ditanam di perusahaan dalam bentuk laba ditahan (retained earnings).

Tabel 11. Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut KomponennyaTahun 2009

Kode Jenis Komponen Nilai

(Juta Rp) Persen (%) 201 202 203 204

Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan

Pajak Tak Langsung

19 935 975 47 629 465 5 306 687 2 167 994 26.57 63.47 7.07 2.89

Jumlah Nilai Tambah Bruto 75 040 121 100.00

Sumber: Tabel IO Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Aceh (Diolah) 6.1.3. Struktur Permintaan Akhir

Barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah, selain digunakan dalam proses produksi (sebagai permintaan antara) juga dipergunakan untuk memenuhi permintaan akhir oleh konsumen akhir. Permintaan akhir meliputi : (1) konsumsi rumah tangga dan lembaga nirlaba, (2) konsumsi pemerintah (pusat dan daerah), (3) investasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah, dan swasta, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor ke luar daerah atau luar negeri.

Perkembangan seluruh komponen ini sangat penting untuk diikuti khususnya komponen ekspor sebagai salah satu sumber devisa yang digunakan untuk pembelian barang-barang modal untuk keperluan pembangunan dan komponen pembentukan modal tetap yang merupakan faktor penting untuk pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh. Dalam rangka pelaksanaan pola hidup sederhana, komponen konsumsi juga perlu diperhatikan. Dimana pola hidup sederhana perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, artinya tidak konsumtif sehingga kita mampu menyisihkan sebagian pendapatan untuk keperluan pembiayaan pembangunan. Apabila seluruh komponen permintaan akhir ini dijumlahkan dan dikurangi dengan jumlah barang dan jasa yang diimpor, maka akan sama dengan jumlah penggunaan akhir barang dan jasa yang berasal dari faktor produksi lokal atau domestik (Hotman, 2006).

Tabel 12. Struktur Permintaan Akhir di Provinsi Aceh Tahun 2009

Kode Uraian Nilai

(Juta Rp) Persen (%) PA Persen (%) PDRB 301 302 303 304 305

Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah

Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan stok Ekspor 27 011 309 8 954 248 13 275 039 3 932 434 32 461 501 31.54 10.46 15.50 4.59 37.91 36.00 11.93 17.69 5.24 43.26

Jumlah Permintaan Akhir 85 634 530 100.00 114.12

Impor 10 594 409 14.12

PDRB 71 255 246 100.00

Sumber: Tabel IO Updating Provinsi Aceh Tahun 2009 (Diolah)

Hasil analisis pada Tabel 12, menunjukkan bahwa jumlah seluruh permintaan akhir di Aceh sebesar Rp 81 849 655 juta. Dari jumlah tersebut, dialokasikan sebesar 31.54 persen untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pemerintah sebesar 10.46 persen, dialokasikan untuk pembentukan modal tetap bruto sebesar 15.50

persen, untuk perubahan stok sebesar 4.59 persen dan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan ekspor sebesar 37.91 persen.

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 12, diketahui bahwa pengalokasian terbesar dari seluruh permintaan akhir yang ada di Aceh, ekspor merupakan komponen permintaan akhir terbesar. Artinya di Provinsi Aceh ekspor merupakan salah satu komponen penting dalam menghasilkan devisa untuk pembangunan ekonomi. Ekspor yang dimiliki oleh daerah Aceh pada umumnya berasal dari sektor pertambangan dan sektor pertanian, meskipun beberapa tahun terakhir perkembangan sektor pertambangan di Aceh mengalami pertumbuhan yang relatif sangat kecil sehingga untuk ekspor yang berasal dari sektor pertambangan menjadi berkurang. Untuk melihat komponen permintaan akhir masing-masing sektor di Provinsi Aceh disajikan pada Lampiran 2.

Dokumen terkait