• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

LOKASI TL WR TST AT GM TSM

5.2. Autekologi M teijsmann

5.2.1 Struktur Populas

Struktur populasi M. teijsmannii dinyatakan dalam fase pertumbuhan berdasarkan diameter setinggi dada. Keseluruhan populasi, ditinjau dari jumlah individu per hektar, didominasi oleh fase semai dengan DBH < 3 cm dan tinggi <1,5 m, sedangkan fase yang semakin dewasa memperlihatkan kecenderungan jumlah individu yang semakin menurun dengan fase pohon pada proporsi terendah (Gambar 7). Hasil analisis vegetasi menunjukkan tegakan pohon M. teijsmannii memiliki nilai dominasi dan kerapatan relatif tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36% dan 13,7 individu/ha dengan indeks nilai penting sebesar 27,91%. Indeks nilai penting yang tinggi ini menunjukkan M. teijsmannii mendominasi lebih dari seperempat kawasan yang diteliti.

0 50 100 150 200

SEMAI SAPIHAN TIANG POHON

KE RAP AT AN ( ju m la h i n d ivi d u /h a

Gambar 7 Struktur populasi M. teijsmannii di seluruh lokasi penelitian dalam kawasan CA Pulau Sempu berdasarkan diameter setinggi dada.

39

Setiap lokasi penelitian memperlihatkan variasi dalam struktur populasi M. teijsmannii. Populasi total terbanyak untuk seluruh fase pertumbuhan adalah di lokasi Teluk Semut dengan total jumlah individu 616/ha, diikuti Waru-waru (440/ha), Air Tawar (413/ha), Gua Macan (272/ha), Telaga Lele (23/ha) dan Telaga Sat (17/ha). Pada tiga lokasi yaitu Waru-waru, Gua Macan dan Teluk Semut memperlihatkan dominasi pada fase semai dengan kecenderungan menurun pada populasi fase lebih dewasa. Sementara di lokasi Telaga Lele dan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai dalam plot penelitian (Gambar 8). Hal ini

menunjukkan bahwa seedling recruitment tidak merata di setiap lokasi,

kemungkinan adanya faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

0 100 200 300 400 500

TELAGA LELE WARU WARU TELAGA SAT AIR TAWAR GUA MACAN TELUK SEMUT

LOKASI ju m la h ind ividu pe r h a

Semai Sapihan Tiang Pohon

Gambar 8 Struktur populasi M. teijsmannii di setiap lokasi penelitian.

Struktur populasi di Teluk Semut menunjukkan selisih yang sangat besar antara kerapatan tingkat semai dengan individu dewasanya terutama pohon. Tampaknya seedling establishment di kawasan ini kurang baik dibandingkan di lokasi lainnya. Jika dikaitkan dengan gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini merupakan jalur utama bagi tujuan wisata Segara Anakan. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan

40

efek tepi atau edge effect yang lebih meluas ke dalam hutan (Primack et al. 1998). Selain itu tanah pada jalur setapak dan sekitarnya menjadi lebih padat karena pengaruh injakan (trampling) yang dapat mengarah pada sulitnya biji-biji untuk berkecambah.

Kebalikan dari Teluk Semut, di plot pengamatan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai M. teijsmannii, bahkan semai dari spesies lain pun jarang dijumpai. Di lain pihak, seluruh individu dewasa M. teijsmannii yang ditemukan di lokasi ini dalam masa reproduktif dengan buah yang melimpah. Jarang ditemukannya semai di lokasi ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi lantai hutan yang banyak ditutupi serasah kasar dengan kondisi tanah yang cukup dangkal, liat, serta kandungan air tersedia yang rendah dibandingkan di lokasi penelitian yang lain (rata-rata 10,6% vol; Tabel 12) karena kemiringan yang curam membuat air dengan cepat turun ke lereng bawahnya. Kondisi demikian dapat menjadi salah satu penyebab mengapa biji-biji M. teijsmannii kurang dapat berkecambah walaupun biji banyak dihasilkan.

Seperti halnya di Telaga Sat, di lokasi penelitian kawasan Telaga Lele tidak dijumpai semai M. teijsmannii. Vegetasi tingkat semai dan sapling didominasi spesies pionir terutama di bagian hutan yang agak terbuka dan datar, serupa dengan kondisi di Telaga Sat. Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa individu semai M. teijsmannii kurang dapat bersaing dengan spesies-spesies pionir tersebut sehingga menekan pertumbuhan dan rekrutmen biji menjadi tingkat pertumbuhan selanjutnya. Di lokasi ini tercatat bahwa pohon besar jarang ditemukan serta memiliki gap-gap hutan sehingga banyak ditumbuhi spesies-spesies pionir yang menyukai cahaya. Kondisi ini yang diduga kurang sesuai dengan kebutuhan ekologis bagi perkecambahan M. teijsmannii.

Struktur populasi yang secara umum tampaknya seimbang adalah di Waru- waru dan Gua Macan. Tipe vegetasi di kedua lokasi ini memiliki kemiripan dalam hal asosiasi hutannya (Tabel 8) dengan indeks kesamaan tinggi (Tabel 9). Kawasan hutan Waru-waru terlihat memiliki kondisi vegetasi yang paling baik di antara semua lokasi penelitian. Spesies-spesies pohon berdiameter besar banyak ditemui dengan individu-individu semai dan sapling yang cukup melimpah.

41

Parameter kemelimpahan M. teijsmannii yang diamati di CA Pulau Sempu diperlihatkan pada Tabel 10. Pada fase pohon, M. teijsmannii menunjukkan kekerapan, kerapatan, dominasi dan indeks nilai penting tertinggi di Waru-waru. Dilihat dari keragaman spesies pohonnya, Waru-waru termasuk memiliki keragaman yang tinggi yaitu 4,44 atau terbesar kedua setelah keragaman pohon di Gua Macan (H’ = 4,64). Di lokasi Waru-waru, M. teijsmannii merupakan spesies dengan frekuensi, kerapatan dan dominasi tertinggi dibandingkan di lokasi lainnya (Lampiran 5). Di Gua Macan, M. teijsmannii merupakan spesies pohon yang paling banyak dijumpai dengan kerapatan pohon dan indeks nilai penting tertinggi, di mana parameter tersebut menunjukkan dominasi spesies dalam komunitasnya (Indriyanto 2006). Gua Macan dan Waru-waru secara umum memiliki tipe vegetasi yang didominasi Pterospermum (Sterculiaceae) dan Myristica. Perbedaannya di

Gua Macan cukup banyak dijumpai tegakan Maranthes corymbosa

(Chrysobalanaceae), sedangkan di Waru-waru lebih banyak dijumpai spesies dari famili Annonaceae. Fenomena ini mengarah pada dugaan bahwa M. teijsmannii memiliki preferensi habitat yang memiliki spesies-spesies pohon besar, tinggi atau tajuk yang lebar karena spesies langka tersebut dijumpai menjadi dominan pada fase dewasa kebanyakan di lokasi-lokasi yang memiliki vegetasi pohon besar. Hal ini dibahas lebih lanjut pada bab asosiasi interspesifik.

Tabel 10 Parameter kemelimpahan pohon M. teijsmannii di lokasi penelitian LOKASI

Parameter

TL WR TS AT GM TSM

Frekuensi 0.07 *0.48 0.17 0.38 0.26 0.20

Kerapatan (jumlah individu/ha) 1.79 *29.03 4.17 17.71 15.22 11.25

Dominasi (m2) 0.74 *8.91 0.77 4.70 3.45 2.33

Frekuensi relatif (%) 1.90 *11.28 2.44 10.11 7.56 6.56

Kerapatan relatif (%) 1.55 *19.67 3.74 14.17 14.43 10.47

Dominansi relatif (%) 1.97 *17.73 2.10 14.79 7.59 0.39

Indeks nilai penting (%) 5.42 *48.68 8.28 39.07 29.62 26.41

Indeks Keragaman Shannon (H’) 4.40 4.44 4.38 4.29 *4.64 4.08

Keterangan:

TL=Telaga Lele, WR=Waru-waru, TS=Telaga Sat, AT=Air Tawar, GM=Gua Macan, TSM=Teluk Semut; * nilai tertinggi pada parameter yang sama;

42

43

5.2.2 Pola Penyebaran

Perhitungan indeks dispersi Morisita (Id) menghasilkan Id = 4,225 yang

berarti bahwa M. teijsmannii menunjukkan pola penyebaran populasi

mengelompok atau bergerombol. Hasil pengujian χ2hitung 656,253 > χ2tabel 177,357

menunjukkan bahwa pola penyebaran mengelompok ini signifikan (df=149; P <0,000).

Untuk standarisasi indeks Morisita selanjutnya digunakan rumus clumped index (Mc) karena hasil perhitungan Id menunjukkan pola mengelompok.

Perhitungan tersebut menunjukkan nilai Mc = 1,0078. Besarnya Id ≥ Mc > 1,0

sehingga formula yang digunakan untuk menentukan koefisien Morisita standar IP

adalah persamaan [3.17]. Hasil perhitungan menghasilkan Ip = 0,51. Karena Ip > 0

maka pola penyebaran M. teijsmannii digolongkan mengelompok.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Krebs (2002) bahwa banyak populasi tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok di alam, dan hanya sedikit yang populasinya menyebar dalam pola yang teratur. Odum (1994) juga berpendapat bahwa penyebaran secara acak relatif jarang terjadi di alam dan bahkan terdapat kecenderungan untuk berkumpul di dalamnya. Pola penggerombolan dengan berbagai derajat juga mewakili pola yang paling umum terjadi di alam. Hal ini antara lain disebabkan kondisi lingkungan yang jarang seragam walaupun meliputi area yang sempit (Indriyanto 2006). Perbedaan kondisi tanah dan iklim pada suatu kawasan akan mengakibatkan perbedaan kondisi habitat yang penting bagi setiap organisme yang tinggal di dalamnya, karena suatu organisme akan hadir pada suatu area yang faktor-faktor ekologinya tersedia dan sesuai bagi kehidupannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Odum (1994) yang menyatakan bahwa interaksi yang kuat antar individu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama.

Berdasarkan studi populasi yang dilakukan di enam area hutan dalam kawasan CAPS, diperoleh peta distribusi populasi M. teijsmannii (Gambar 9). Terlihat populasi yang melimpah berdasarkan frekuensi kehadiran dalam plot observasi di bagian utara pulau, yaitu kawasan Waru-waru, Gua Macan dan Air Tawar. Frekuensi kehadiran individu sangat rendah ditemukan di Telaga Sat dan

44

Telaga Lele. Ilustrasi tersebut mendukung hasil perhitungan dalam pola penyebaran M. teijsmannii yang mengelompok.

5.2.3 Pertumbuhan dan Perkembangan

Berdasarkan pengamatan morfologi pohon, M. teijsmannii menunjukkan percabangan mengikuti model arsitektur Massart. Percabangannya plagiotropik, dengan 2 – 3 cabang dari pangkal percabangan yang sama.

Secara umum, individu M. teijsmannii ditemukan pada kawasan yang landai (kemiringan 0-8%) hingga agak curam (30-40%). Ciri morfologi yang menarik ditemukan adalah sifat akar di atas tanahnya memiliki karakter yang unik, yaitu berupa akar udara atau akar lutut (Gambar 10), yang strukturnya menyerupai akar tumbuhan lahan basah. Oleh karena habitat M. teijsmannii bukan di kawasan basah, adanya akar lutut ini tampaknya merupakan salah satu bentuk adaptasi dari beberapa faktor lingkungan di habitatnya. Dickinson (2000) menyatakan bahwa perubahan-perubahan adaptif yang dilakukan akar dapat terjadi selama periode cekaman kekeringan dan kondisi tergenang. Tipe akar seperti ini berfungsi sebagai organ pendukung sekaligus pelindung, serta memiliki peranan penting dalam translokasi serta pertukaran udara. Perakaran juga dapat dipengaruhi oleh struktur batuan (Hardjowigeno 1992). Berdasarkan dua argumen tersebut, adanya struktur akar udara dan akar napas pada M. teijsmannii dapat terjadi berkaitan dengan tempat tumbuhnya pada kemiringan dengan lapisan tanah relatif dangkal sehingga memiliki akar-akar khusus untuk menopang tegaknya individu. Selain itu, berkaitan dengan keadaan batuan atau tekstur tanah di lokasi penelitian yang membuat kondisi tanah kurang menyediakan aerasi yang cukup bagi akar M. teijsmannii. Kondisi umum tanah di lokasi penelitian tergolong relatif dangkal dengan batu-batuan padas yang keras di lapisan bawah.

Individu dewasa M. teijsmannii di kawasan CAPS tampaknya menempati lapisan tajuk dengan ketinggian pohon antara 3 – 16 m, namun tidak ditemukan individu yang menempati lapisan emergent. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa M. teijsmannii menempati stratum C (C-storey) yaitu lapisan tajuk yang tingginya 4–20 m, dan stratum D (D-storey) yaitu lapisan tajuk yang dibentuk oleh semak dan perdu setinggi 1–4 m. Berdasarkan pengamatan juga ditemukan bahwa individu M. teijsmannii tidak pernah ditemukan di tepi hutan (forest edge)

45

melainkan selalu ditemukan pada interior hutan (forest interior). Hal ini menunjukkan bahwa spesies ini menyukai naungan atau tidak menyukai intensitas cahaya tinggi pada sebagian dari tahap perkembangannya, atau disebut spesies toleran naungan (shade-tolerant) atau semi toleran naungan. Dugaan ini didukung oleh adanya asosiasi positif dengan spesies-spesies pohon yang relatif besar dan tinggi yaitu antara lain dengan Pterospermum javanicum, Cryptocarya ferrea, Artocarpus elasticus dan Aglaia elliptica (Tabel 11). Kerapatan dan dominasi populasi M. teijsmannii juga ditemukan pada lokasi pengamatan dengan kehadiran spesies-spesies dengan tajuk yang lebar atau spesies pohon tinggi (Lampiran 5).

Pohon yang bersifat toleran terhadap naungan akan tumbuh dengan baik jika mendapat naungan dari pohon-pohon lain yang lebih tinggi, bahkan perlu berdampingan dengan pohon lain sebagai penaung agar pertumbuhannya optimal (Indriyanto 2006). Spesies yang tergolong toleran naungan rentan terhadap pembukaan hutan, terutama pembukaan yang sifatnya luas karena intensitas cahaya matahari yang semakin tinggi. Deforestasi akan menyebabkan spesies ini semakin rentan terhadap kepunahan. Oleh karena itu, degradasi dan konversi hutan hujan dataran rendah di Jawa Timur yang selama ini masih terus terjadi tentu akan menyebabkan populasi spesies ini semakin lama akan semakin kecil dan terisolasi di CAPS jika deforestasi kawasan hutan hujan dataran rendah di Jawa Timur tidak segera dihentikan.

Pada saat penelitian dilakukan, sebagian individu dewasa sedang berbuah akan tetapi umumnya periode berbuah ini masih dalam tahap pertengahan. Sebagian individu populasi menunjukkan masa berbuah akhir menuju kematangan. Berdasarkan pengamatan tersebut, kemungkinan masa berbuah M. teijsmannii adalah Mei hingga akhir Agustus. Kemungkinan ini diperkuat dengan tidak ditemukan lagi individu yang berbuah pada bulan September tahun yang sama (Sujoto, komunikasi pribadi). Hal ini berbeda dari laporan Heyne (1987) yang menyatakan bahwa periode berbuah spesies ini adalah bulan Mei hingga Juni. Perbedaan atau pergeseran masa berbuah dapat disebabkan tidak serempaknya musim berbuah dan berbunga pada populasi di kawasan CAPS yang disebabkan perbedaan kondisi lingkungan.

46

Gambar 10 Habitus Myristica teijsmannii.

A. struktur akar di atas permukaan tanah, memperlihatkan akar lutut dan akar napas B. tajuk yang menempati lapisan kanopi

C. pokok utama yang mengeluarkan getah merah D. buah

5.2.4 Reproduksi

Cara pemencaran biji M. teijsmannii yang berhasil diamati adalah berkaitan dengan perilaku tumbuhnya yang secara umum menyukai lereng dengan kemiringan landai hingga agak curam. Karena kemiringan lereng, buah-buah

A B

47

masak yang jatuh tidak berdekatan dengan induknya sehingga memungkinkan spesies ini hidup cenderung mengelompok dengan yang usianya relatif sama. Oleh karena itu pula, selama penelitian berlangsung, jarang sekali ditemukan semai yang tumbuh bersamaan dalam satu plot dengan individu dewasa. Adanya mekanisme alelopatik yang menghambat germinasi biji pada spesies ini masih dipertanyakan, namun kemungkinan besar ketidakhadiran individu-individu semai di bawah naungan individu dewasa disebabkan oleh mikrohabitat yang tidak sesuai untuk perkecambahan serta ketahanan biji.

Selain kondisi mikrohabitat, kehadiran individu semai yang relatif berjauhan dengan individu induk dapat berkaitan dengan sifat penyebaran biji. Penyebaran biji M. teijsmannii ini ditemukan dibantu oleh beberapa spesies hewan pemakan buah dari kelompok primata (pasal 4.2.5.2), di mana kelompok ini memiliki mobilitas yang tinggi sehingga memungkinkan biji sisa dari buah yang dimakan tersebar lebih jauh.

Pengamatan pada tahap germinasi M. teijsmannii di kawasan konservasi CAPS tidak dapat dilakukan karena keterbatasan waktu. Namun demikian sejumlah kecil bijinya telah berhasil dikoleksi dan disemai di rumah kaca pembibitan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor – LIPI. Akan tetapi persentase keberhasilan germinasi sangat rendah (<10%) sehingga penelitian mengenai tahap perkecambahan tidak dilakukan dalam ulangan yang memadai. Hanya tiga individu yang berhasil berkecambah dan telah dipersiapkan untuk menjadi koleksi M. teijsmannii pertama di PKT Kebun Raya Bogor, melengkapi koleksi tumbuhan langka Indonesia di lokasi konservasi ex-situ ini.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ketiga biji yang berhasil berkecambah, M. teijsmannii memperlihatkan periode germinasi yang cukup lambat, yaitu 31 – 60 hari, sejak mulai disemai hingga munculnya daun pertama. Namun demikian, dibandingkan dengan penelitian Ng (1992) terhadap M. crassa dan M. malaccensis, periode germinasi spesies langka ini termasuk lebih singkat. Setelah 10 bulan pertumbuhannya, M. teijsmannii hanya mencapai tinggi 25-35 cm dari permukaan tanah (Lampiran 2).

Biji pada umumnya berkecambah segera setelah masak apabila kondisi lingkungannya sesuai. Menurut Meyer dan Anderson (1954) sedikitnya ada tiga

48

kondisi lingkungan eksternal yang dibutuhkan untuk germinasi yaitu air, temperatur yang sesuai dan oksigen. Biji tidak mempersingkat aktivitas fisiologinya selama periode germinasi hingga biji mampu melakukan imbibisi sejumlah air. Ketiga faktor tersebut perlu diteliti sejauh mana pengaruhnya

terhadap perkecambahan biji-biji M. teijsmannii untuk mendukung upaya

propagasinya secara ex-situ. Berdasarkan kondisi di lokasi penelitian in-situ, kandungan air tersedia pada tanah termasuk rendah antara lain karena ruang pori total yang tinggi (Tabel 12) sehingga dapat menjadi salah satu penyebab biji-biji M. teijsmannii yang berserakan di lantai hutan lebih lambat berkecambah.

Selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan eksternal, proses germinasi berkaitan dengan morfologi biji. Biji M. teijsmannii memiliki tiga lapisan selaput biji di lapisan sebelah dalam aril. Lapisan itu berturut-turut dari luar ke dalam adalah: 1) selaput biji bagian luar yang tipis dan halus, 2) lapisan tengah yang keras, dan 3) lapisan dalam yang berongga. Lapisan dalam ini menuju ke bagian albumen yang tebal membentuk garis-garis atau pita-pita membentuk suatu pola. Embrio berukuran kecil dan terletak di bagian basal biji. Pada saat berkecambah, kotiledon membesar di bagian basal biji tersebut. Adanya lapisan biji yang berlapis-lapis dan di antaranya terdapat lapisan yang keras juga dapat menentukan waktu perkecambahan di mana pada masa ini biji tidak melakukan aktivitas fisiologi hingga biji mampu melakukan imbibisi sejumlah air dari luar yang ditentukan pula oleh sifat selaput biji.

Masa germinasi serta kecepatan pertumbuhan semai yang relatif lambat kemungkinan ada kaitannya dengan daya regenerasinya yang membuatnya memiliki tingkat seedling establishment yang rendah di alam. Hal ini dapat menjadi salah satu sebab keberadaannya di hutan alam menjadi semakin jarang.

5.2.5 Interaksi dengan komponen biologis

Dokumen terkait