• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR LUAR TERHADAP POLA DAN STRUKTUR RUANG KOTA

2.1 Struktur Ruang Kota

2.1.1 Pengertian struktur ruang kota

Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan yang ditunjang dengan sistem prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal.

Ilmu Struktur Ruang Kota merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana pola-pola penggunaan lahan di kawasan kota. Menurut Hadi Sabari Yunus dalam buku Struktur Ruang Kota (2000) berpendapat bahwa ada 5 (lima) kategorisasi pendekatan-pendekatan tentang penggunaan lahan kota, yaitu:

1. Pendekatan Ekologikal (Ecological Approach). 2. Pendekatan Ekonomi (Economic Approach).

3. Pendekatan Morfologikal (Urban Morphological Approach). 4. Pendekatan Sistem Kegiatan (Activity Systems Approach). 5. Pendekatan Ekologi Faktoral (Factoral Ecology Approach).

Pendekatan Ekologikal oleh McKenzie (1925) diartikannya sebagai suatu studi hubungan spatial dan temporal dari manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan, selektif, distributif, dan akomodatif dari pada lingkungan. Pendekatan Ekonomi oleh Cooley (1894) dan Weber (1895) mengemukakan bahwa jalur transportasi dan titik simpul (pertemuan beberapa jalur transportasi) dalam suatu sistem transportasi mempunyai peran yang cukup besar terhadap perkembangan kota. Pendekatan Morfologi Kota oleh (Hebert, 1973) mengemukakan bahwa tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan baik daerah hunian maupun bukan (perdagangan/industri) dan juga bangunan-bangunan individual. Pendekatan Sistem Kegiatan (Chapin, 1965) diartikan secara komprehensif sebagai suatu upaya untuk memahami pola-pola perilaku dari perorangan, lembaga-lembaga dan firma-firma yang mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan di dalam kota. Pendekatan Ekologi Faktoral, hal ini digunakan untuk menganalisis struktur keruangan kota (urban spatial structure) dengan menggunakan analisis faktor sebagai tekniknya.

Secara konsepsional, unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota telah dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Doxiadis, perkotaan atau permukiman kota

merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam (nature), individu manusia (antropos), masyarakat (society), ruang kehidupan (shells), dan jaringan (network). Dalam perspektif yang berbeda, menurut Patrick Geddes, karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur yaitu place (tempat tinggal); work (tempat kerja); folk (tempat bermasyarakat).

Kus Hadinoto (1970-an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok, yaitu wisma, tempat tinggal (perumahan); karya: tempat bekerja (kegiatan usaha); marga, jaringan pergerakan, jalan; suka, tempat rekreasi/hiburan; penyempurna, prasarana dan sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti dikemukakan oleh Kevin Lynch yang menyatakan sifat suatu objek fisik menyebabkan kemungkinan besar membuat citra (image) yang kuat pada setiap orang. Menurutnya ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota yaitu path, edge, district, node, dan landmark. Sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan satu dengan lainnya membentuk tata ruang kota. Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005:97) yaitu:

1. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat pelayanan.

2. Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.

3. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.

4. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.

2.1.2 Bentuk dan model struktur ruang

Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari pusat pelayanan (retail) terbagi menjadi tiga, yaitu (Sinulingga, 2005:103-105):

1. Monocentric City

Monocentric City adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi sebagai Central Bussines District (CBD).

2. Polycentric City

Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang dinamakan sub pusat kota (regional centre) atau pusat bagian wilayah kota.

Sementara itu secara berangsur- angsur berubah dari pusat pelayanan retail (eceran) menjadi komplek perkantoran komersial yang daya jangkauan pelayanannya dapat mencakup bukan hanya wilayah kota saja, tetapi wilayah sekeliling kota yang disebut juga wilayah pengaruh kota.

CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota (regional centre) akan membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung seperti multiple nuclei city yang terdiri dari:

a. CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran. b. Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang

tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota.

c. Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai perkembangan kota.

d. Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani sepenuhnya oleh sub pusat kota. e. Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang

secara berangsur-angsur tidak menunjukkan kota lagi, melainkan mengarah ke bentuk pedesaan (rural area).

3. Kota Metropolitan

Kota Metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk wilayah metropolitan. Adapun model struktur ruang apabila dilihat berdasarkan pusat-pusat pelayanan diantaranya adalah:

Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.

b. Multi Nodal

Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat daan sub-sub pusat yang saling terhubung satu sama lain. Sub-sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga terhubung langsung dengan pusat.

c. Multi Centered

Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lain.

d. Non Centered

Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki hirarki sama dan saling terhubung antara satu dengan yang lain (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Model Struktur Ruang Sumber: Sinulingga (2005)

Selain itu beberapa penulis juga menggolongkan tipologi struktur ruang sebagaimana pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Tipologi Struktur Ruang Sumber: Wiegen (2005)

2.1.3 Perkembangan Kota dan Struktur Ruang

Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam Daldjoeni (1996:87), perkembang kota dipandang sebagai fungsi dari pada faktor-faktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial. Sedangkan menurut Bintarto (1989), perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zona-zona yang berada di dalam wilayah perkotaan.

Dalam konsep ini Bintarto menjelasakan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan yang membentuk zona-zona tertentu di dalam ruang perkotaan sedangkan menurut Branch (1995), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan

posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk ilustrasi seperti:

1. Tofografi. 2. Bangunan. 3. Jalur Transportasi. 4. Ruang Terbuka. 5. Kepadatan Bangunan. 6. Iklim Lokal. 7. Vegetasi Tutupan. 8. Kualitas Estetika.

Secara skematik Branch, menggambar 6 (enam) pola perkembangan kota (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pola Umum Perkembangan Perkotaan Sumber: Branch, 1996

Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999), mengemukakan beberapa alternatif model bentuk kota.

Secara garis besar ada 7 (tujuh) buah model bentuk kota yang disarankan, yaitu:

1. Bentuk Satelit dan Pusat-pusat Baru (satelite and neighbour plans), kota utama dengan kota-kota kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional yang efektif dan efisien.

2. Bentuk Stellar atau Radial (stellar or radial plans), tiap lidah dibentuk pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi dan tempat olah raga bagi penduduk kota.

3. Bentuk Cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang disepanjang jalan utama yang melingkar, di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau terbuka.

4. Bentuk Linier Bermanik (bealded linier plans), pusat perkotaan yang lebih kecil tumbuh di bagian kanan-kiri pusat perkotaan utamanya, pertumbuhan perkotaan hanya terbatas di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, di pinggir jalan biasanya ditempati bangunan komersial dan di belakangnya ditempati permukiman penduduk.

5. Bentuk Inti/Kompak (the core or compact plans), perkembangan kota biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil. 6. Bentuk Kota Bawah Tanah (underground city plans), struktur

perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi sehingga kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau.

Bentuk-bentuk kota tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Beberapa Alternatif Bentuk Kota Sumber: Hudson, 1999

Tinjauan terhadap morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari lingkungan kekotaan dan hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok bangunan daerah hunian, perdagangan atau industri dan bangunan individual. Terdapat tiga komponen untuk dapat menganalisis morfologi kota, yaitu:

1. Unsur-unsur penggunaan lahan/tata guna lahan. 2. Bentuk dan tipe bangunan.

3. Pola dan fungsi yang dibentuk oleh jalan dan bangunan.

Berdasarkan studinya di kota-kota Amerika, Hebert (1976) mengemukakan bukti-bukti yang kuat akan pengaruh perkembangan prasarana transportasi terhadap morfologi kota. Menurut beliau, kota di Amerika adalah kota-kota yang terkondisikan oleh kemajuan teknologi di bidang transportasi.

Dari mulanya terbentuk sampai dengan perkembangan mutakhir kota-kota di Amerika, keadaan transportasi dan perkembangannya telah membentuk 7 (tujuh) kategori morfologi kota, yaitu;

1. Morfologi kota pada masa dominasi transportasi berjalan kaki. 2. Morfologi kota pada masa dominasi kereta binatang.

3. Morfologi kota pada masa dominasi kereta listrik (trolly) kecil. 4. Morfologi kota pada masa dominasi kereta api antar kota. 5. Morfologi kota pada masa dominasi automobile untuk antar kota.

6. Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan raya bebas hambatan antar kota-kota dan wilayah (region).

7. Morfologi kota pada masa perkembangan jalan-jalan lingkar.

Dalam menterjemahkan kategorisasi tersebut, harus dipahami bahwa setiap kategori perkembangan selalu bersifat kumulatif dalam arti bahwa unsur-unsur perkembangan pada masa sebelumnya akan selalu mewarnai ciri-ciri perkembangan

pada masa berikutnya. Dari ketujuh morfologi kota tersebut dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan besar berdasarkan sifat-sifat perembetannya, yaitu:

1. Kategori morfologi kota dalam suatu pertumbuhan kompak; ini meliputi masa pejalan kaki, kereta binatang dan kereta listrik kecil.

2. Kategori morfologi kota dalam masa pertumbuhan literal meliputi masa perkembangan hubungan transportasi antar kota.

3. Kategori morfologi kota pertumbuhan menyebar (leapfrog development) dengan ciri tumbuhnya pusat-pusat baru di sekeliling kota karena dibangunnya beberapa jalan lingkar.

Hal ini banyak tergantung pada ketersediaan lahan-lahan pertanian itu sendiri, sistem perekonomian negara, sistem orientasi perencanaan kota serta kepedulian perencana kota terhadap lingkungan. Dengan makin tingginya aksesibilitas, makin banyak pula pusat-pusat kegiatan yang baru. “Leap-frog development” akan berkembang dengan pesat. Bentuk kotanya sangat tidak kompak dan terserak (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Perubahan Morfologi Kota dan Kondisi Transportasi Sumber: Herbert (1976)

2.1 4 Cara perkembangan kota

Dari bidang sejarah, kota diteliti dan diilustrasikan dengan baik bahwa sejak ada kota, maka juga ada perkembangannya, baik secara keseluruhan maupun dalam bagiannya, baik ke arah positif maupun negatif. Oleh karena itu, dinamika perkembangan kota pada prinsipnya baik dan alamiah karena perkembangan itu merupakan ekspresi dari perkembangan masyarakat di dalam kota tersebut. Kota bukan sesuatu yang bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi keempat, yaitu waktu.

Pada dasarnya, perkembangan perkotaan perlu diperhatikan dalam dua aspek, yaitu dari perkembangan secara kuantitas dan secara kualitas. Hubungan antara kedua aspek ini sebetulnya erat dan di dalam skala makro agak kompleks karena masing-masing saling berpengaruh sehingga perkembangan suatu daerah tidak boleh dilihat secara terpisah dari lingkungannya. Secara teoritis dikenal tiga cara perkembangan dasar di dalam kota, dengan tiga istilah teknis, yaitu perkembangan horizontal (Gambar 2.6, dan 2.7), perkembangan vertikal (Gambar 2.8), serta perkembangan interstisial (Gambar 2.9).

Gambar 2.6 Perkembangan Horizontal Sumber: Zahnd (1999, 25)

Gambar 2.7 Perkembangan horizontal di London, Inggris pada tahun 1830 dan 1960 (Digambar ulang menurut Benevelo, Leonardo, The history of the city, New York

1982. hlm 968) Sumber: Zahnd, (1999:26)

Gambar 2.8 Perkembangan Vertikal Sumber: Zahnd (1999,25)

Gambar 2.9 Perkembangan Interstisial Sumber: Zahnd (1999,25)

2.1.5 Perembetan kenampakan fisik kota

Pergeseran waktu ke depan selalu membawa pertambahan jumlah penduduk terutama di daerah perkotaan yang serta-merta diikuti tuntutan kebutuhan hidup akan meningkat pula dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi. Hal-hal ini secara otomatis akan membuat peningkatan kegiatan penduduk perkotaan yang pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang semakin besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Terjadilah proses perembatan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar yang disebut “urban sprawl” dengan pengambil alihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota disebut sebagai “invasion”.

Menurut R.V. Retcliff (1949) bahwa pusat kota dianggap sebagai suatu tempat yang punya aksesibilitas terbesar dan dari lokasi inilah “centrality-value”

(nilai pemusatan) akan menurun secara teratur ke arah luar sampai pada “urban peripheries”.

Pola persebaran penggunaan lahan yang efisien akan tercipta dengan sendirinya karena adanya persaingan berbagai kegiatan untuk mendapatkan lokasi-lokasi yang diinginkannya dengan menawar (bidding) pada tingkatan sewa yang bermacam-macam. Dari sinilah kemudian tercipta pola penggunaan lahan perkotaan yang tertata secara keruangan sedemikian rupa yang menunjukkan derajad efisiensi fungsi-fungsi ekonomi pada kehidupan kota. Dapat dikatakan bahwa struktur

keruangan suatu kota ditentukan melalui evaluasi dollar tentang pentingnya ”convencience” (dalam arti luas) dan gambaran struktur keruangannya mirip dengan apa yang telah dikemukakan oleh Burgess (concentric zone theory). Disini variabel jarak dianggap sebagai ukuran “convencience” di atas. Model yang dihasilkan adalah “concentric zonal model” yang terdiri berturut-turut dari pusat kota (Gambar 2.10) adalah:

1. Retailing functions.

2. Industrial and transportation facilities.

3. Residential zone.

4. Agricultural zones.

Gambar 2.10 Model “Bid Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota (Menurut Retcliff, 1949)

2.1.6 Macam Urban Sprawl

Secara garis besar ada tiga macam proses perluasan areal kekotaan (urban sprawl) (Yunus, 2000:125), yaitu:

1. Tipe 1. Perembetan konsentris (Concentric Develompment/Low Density Continous Develompment). Tipe pertama ini oleh Hahrley Clark (1971) disebut sebagai “lowdensity, continous development” dan oleh Wallece (1980) disebut “concentric development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat. Perembatan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perembetannya yang merata di semua bagian luar kenampakan kota yang ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang relatif kompak (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Perembetan Konsentris Sumber: Yunus (1999:126)

2. Tipe 2. Perembetan memanjang (ribbon develompment/linear develompment/axial develompment). Tipe ini menunjukkan ke tidak merataan perembetan areal kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar dari

pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat disepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membubungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit (Gambar 2.12).

Gambar 2.12 Perembetan Linear Sumber: Yunus (1999:128)

Makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian, makin banyaknya penduduk, makin banyaknya kegiatan non agraris, makin padatnya bangunan telah sangat mempengaruhi kegiatan pertanian. Tingginya harga lahan dan makin banyak orang yang mau membeli telah memperkuat dorongan pemilik lahan untuk meninggalkan kegiatannya dan menjualnya. Bagi masyarakat petani hasil penjualan lahan biasanya diinvestasikan lagi pada lahan yang jauh dari kota sehingga memperoleh lahan pertanian yang lebih luas.

3. Tipe 3. Perembetan yang meloncat (leap frog develompment/checkerboard develompment). Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian. Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari-hari (Gambar 2.13).

Gambar 2.13 Perembetan Meloncat Sumber: Yunus (1999:129)

Sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial (Rapoport, 1990). Amos Rapoport menuntun kearah suatu pemahaman yang lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu defenisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja yaitu sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai suatu kota bukan dari segi ciri-cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi

khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki-hirarki tertentu (Gambar 2.14, dan 2.15).

Gambar 2.14 Perkembangan Kota Konsentrik dan Kota Linier Sumber: (Marshall, 2005)

Gambar 2.15 Hierarki Kota Sumber: Zahnd, (1999:6)

Gambar rencana wilayah kota ini mengilustrasikan secara idealistis perumusan sebuah wilayah yang boleh dianggap perkotaan.

Wilayah ini memiliki ruang-ruang yang dibentuk dan disusun secara hirarkis. Hirarkis utama diberikan pada sebuah daerah tertentu yang berfungsi sebagai pusat dengan hubungannya di dalam skala makro yaitu keseluruhan.

Kemudian, hirarki kedua diberikan pada bentuk dan susunan wilayah masing-masing serta pusatnya. Akhirnya, hirarki ketiga berfokus pada skala mikro di dalam wilayah masing-masing.

Dokumen terkait