• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Literatur

Dalam dokumen PUSAT PERFILMAN di SURABAYA. (Halaman 21-33)

TINJAUAN OBYEK PERANCANGAN 2.1.Tinjauan Umum Perancangan

2.1.2. Studi Literatur

Sejarah Perkembangan Film

Tahun 1900 mulai hadir pertunjukan film (bioskop) di Batavia, melalui peristiwa Pertoenjoekan Besar yang Pertama, di Manege, Tanah Abang, Kebonjae. Lima tahun sebelumnya, Robert Paul dari Inggris

dan Lumiere Bersaudara dari Prancis mendemonstrasikan proyektor temuannya, hal ini menandai dimulainya sejarah sinematografi atau seni gambar bergerak atau film. Pada awal kehadiran film di Indonesia, hanya kaum Eropa bisa menyaksikan. Baru menjelang 1920-an, kaum pribumi punya kesempatan menonton film.

Tahun 1929, film bicara pertama diputar, itupun film produk Amerika. Baru dua tahun kemudian, Indonesia mencoba pembuatan film bersuara oleh para pembuat film di tanah air. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Meski kualitasnya belum terlalu bagus, namun mungkin Indonesia lah yang pertama memulai membuat film bersuara di Asia. Mulai tahun 1930 perfilman di Indonesia berkembang dalam paham industri. Pembuatan film mulai mempertimbangkan keuntungan finansial pada era ini.

Seiring berkembangnya waktu dan pemahaman mengenai perfilman, di dunia kemajuan teknologi perfilman juga semakin berkembang. Pada 1953, system 3 dimensi dengan efek real yang tajam saat menonton, juga tata cahaya dan layar dengan ketajaman gambar yang maksimal, ditemukan oleh studio film dunia, 20 th Century Fox. Satu tahun kemudian, muncul system 70 mm dalam dua versi, yaitu Todd A0 dan D150. (sumber : www.google.com )

Sedangakan sejarah perkembangan bioskop di Surabaya, pertama kali dicetuskan oleh seorang India berkebangsaan Inggris, Yosef. Dengan konsep layar tancap, ia memasang tenda dan proyektor di lapangan

Hoge Ban ( sekarang Tugu Pahlawan ). Kemudian, setelah konsep tersebut semakin digemari masyrakat Surabaya, maka didirikanlah bioskop permanen pertama bernama Oost Java yang berlokasi di alun – alun Contong ( sekarang bioskop King yang sekarang sudah tutup ). Kemudian, bioskop dengan peralatan yang lebih canggih muncul di lokasi Wijaya Shopping Center ( sekarang B.G Junction Mal ) pada tahun 1988.

Persyaratan Pokok Proyek

Gedung-gedung bioskop di Surabaya dibagi menjadi beberapa golongan yang ditetapkan oleh PEMDA II bersama GPBSI ( Golongan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia ). Penerapannya dilihat dari beberapa segi, yaitu :

 Keadaan gedung

 Letak gedung

 Peralatan dan sarana keadaan lantai Penggolongan ini dibagi menjadi :

 Gedung bioskop golongan "AA"

 Gedung bioskop golongan " A "

 Gedung bioskop golongan " B "

 Gedung bioskop golongan " C "

 Gedung bioskop golongan " D "

Untuk Pusat Perfilman di Surabaya ini, dipilih bioskop golongan AA, sesuai lingkup perancangan dan letak yang telah ditentukan , yakni di kota besar, seperti Surabaya.

Syarat - syarat gedung bioskop AA : o Lokasi

- Mudah dicapai roda 4 - Terletak di Ibu kota Provinsi

- Jalan beraspal dan lebar jalan cukup memadai - Berada di tengah kota atau pinggiran kota

- Lokasi harus bebas dari banjir o Bangunan

- Gedung merupakan bangunan baru tahun 1970 keatas

- Tersedia pintu / jalur masuk dan keluar yang terpisah bagi penonoton

perundangan yang berlaku

- Proyektor double, buatan tahun 1970 keatas dengan kulopit 75 amp

- Jalur lintas penonton berataskan karpet

- Tempat duduk penonton dari spon dilapisi plastik dapat dilipat / stel sesuai kebutuhan kenikmatan penonton dengan jumlah disesuaikan dengan ruang gedung bioskop

-Tersedia tempat penjualan karcis ( loket ) pada dekat jalur masuk dengan kondisi yang cukup memadai yang terpisah dengan kantor pengelola -Tersedia ruang tunggu untuk penonton /

pengunjung sekurang - kurangnya cukup untuk 10% dari kapasitas gedung dengan dilengkapi kursi / tempat duduk secukupnya

o Tempat Parkir

- Tersedia halaman parkir kendaraan bermotor roda empat sekurang - kurangnya 20 % dan sepeda motor sekurang-kurangnya 30 - 50 % dari kapasitas gedung

o Fasilitas Pelayanan Umum • Kantor

Tersedia ruangan kantor untuk pengelola dengan kondisi rapi dan memadai

• Fasilitas Kebersihan

Tersedia tempat-tempat sampah, baik ruang kantor maupun ruang tunggu dalam jumlah yang cukup

• Kamar Kecil / WC

- Untuk pria dan wanita terpisah. - Untuk pria dilengkapi dengan urinoir

dengan jumlah yang cukup

- Dinding porselin dan tegel traso serta dilengkapi dengan wastafel, cermin dan keran air yang serasi

o Instalasi Teknik • Tenaga Listrik

Tersedia sumber daya listrik dengan daya yang cukup serta mempunyai sumber daya cadangan / generator pembangkit listrik tersendiri dengan peralatan yang cukup

• Air Bersih

Tersedia air bersih yang memenuhi syarat sesaai dengan peruntukannya berdasarkan ketentuan yang berlaku.

• Sistem sirkulasi dan pengatur suhu udara

Sistem sirkulasi udara dan pengaturan suhu udara terdiri dari AC sentral / Full AC

• Sistem Pencegahan Kebakaran

- Tesedia peralatan pencegahan dan pemadam kebakaran berupa : alarm dan tabung gas pemadam kebakaran dalam jumlah yang cukup

- Tersedia pintu darurat • Sistem Tata Suara

- Tersedia system tata suara / sound system stereo / dolby stereo

- Tersedia sound system khusus untuk ruang tunggu para pengunjung / penonton

Sedangkan ada beberapa standarisasi didalam ruang bioskop itu sendiri, antara lain :

o Tempat Duduk

Tempat duduk harus mempunyai jarak antara kursi depan minimal jaraknya 45 cm. Hal tersebut berfungsi sebagai sirkulasi

Gambar 2.1. Jarak antar tempat duduk sumber : Ernest Neuferts data arsitek

o Lebar Layar

Jarak layar bioskop dari dinding THX minimal sebesar 50 - 120 cm ( tergantung besar teater dan system kedap suara ), digantung kesistem pengait. Setiap layar bioskop mempunyai ukuran yang berbeda tergantung dari jenis bioskop dan luasan ruang bioskop itu sendiri

Gambar 2.2. Lebar layar bioskop sumber : Ernest Neuferts data arsitek

o Jarak Pandang Penonton

Pandangan penonton harus diperhatikan, karena hal tersebut menyangkut kenyamanan menonton.

Penonton yang duduknya paling dekat dengan layar; harus mempunyai sudut pandang ke layar bioskop antara sebesar 25 - 30°.

Gambar 2.3. Jarak pandang penonton paling dekat dengan layar sumber : NEW METRIC Handbook, Patricia Tutt

Gambar 2.4. Pandangan penonton secara horizontal sumber : Ernest Neuferts data arsitek

Secara horizontal, penonoton pada deretan kursi yang paling luar harus dalam lingup 30° dalam jangkauan layar. Hal tersebut merupakan batas kenyamanan bagi penonton yang terletak paling luar atau paling pinggir.

o Sirkulasi Penonton

Pada gedung bioskop pada umumnya mempunyai sirkulasi menyebar. Hal tersebut dikarenakan jumlah dari ruang bioskop lebih dari 1 ruang` bioskop. Hal tersebut membuat pola sirkulai yang ada yaitu menyebar.

o Reproduksi Bunyi

Dalam ruang bioskop menggunankan suara 4 kanal, yaitu kombinasi 3 pengeras suara belakang layar proyeksi dengan pelengkap pengeras suara disamping dan dibelakang. Sedangkan untuk film 70 mm, digunakan 6 kanal magneton, pelengkap kombinasi pengeras suara dibelakang layar proyeksi.

o Bentuk Studio / Theatre

Bentuk yang paling cocok yaitu bentuk kipas dengan adanya kemiringan lantai. Ukuran besar kecilnya ruang teater selain tergantung dari kapasitas penonton, juga tergantung pada ukuran layar.

Gambar 2.5. Bentuk studio untuk pemutaran film 35mm sumber : NEW METRIC Handbook, Patricia Tutt

o Lighting

Pencahayaan suatu ruang bioskop, terbagi 2 fungsi yang berbeda, yaitu :

- Pencahayaan untuk pintu keluar darurat

- Pencahayaan yang dibutuhkan sewaktu sebelum pemutaran film diputar

Jenis dan sumber cahaya untuk kebutuhan tersebut berasal dari :

- Cahaya yang terefleksikan dari pemutaran film

- Cahaya yang berasal dari lampu yang letaknya di plafond

Dalam gedung bioskop harus diperhatikan cahaya dan penghawaanya dimana setiap studio memiliki perbedaan sesuai dengan kegiatan yang terjadi di ruangan itu.

Berikut ini adalah persyaratan kondisi mendengar yang baik dalam suatu gedung bioskop ( sumber : Doelle,1990 ) :

1. Kekerasan (loudness) yang cukup.

Dalam pengadaan kekerasan yang cukup terutama dalam auditorium ukuran sedang dan besar, terjadi karena energi yang hilang pada perambatan gelombang bunyi dan karena penyerapan yang besar oleh penonton dan isi ruang ( tempat duduk empuk, karpet, tirai dan lain-lain ) 2. Akustik

Ruang penonton yang berdekatan seharusnya dipisahkan dengan dinding pemisah kira-kira 85 db 18-2000 Hz. Dalam ruang bioskop, sumber bunyi asli tidak ada, tetapi diproduksi dari rekaman bunyi film oleh pengeras suara. Bunyi reproduksi yang didengar menggambarkan karakteristik akustik studio film dimana adegan diambil. Kondisi mendengar yang tepat didapatkan dengan ukuran-ukuran akustik ruang sebagai berikut :

 Bentuk lantai empat persegi panjang dengan lantai horizontal harus dihindari. Denah lantai berbentuk kipas dan cukup dimiringkan akan paling cocok dengan persyaratan untuk melihat dan kebutuhan akustik. Hal tersebut terkecuali pada bentukan denah Teater 4D, karena pada teater tersebut menggunakan system yang berbeda pada system bioskop pada umumnya

 Lantai penonton harus dimiringkan dengan curam pada bagian belakang untuk menyediakan pengadaan bunyi langsung yang banyak

 Tempat duduk dengan banyak lapisan empuk harus digunakan untuk mengimbangi pengaruh akustik ruang merusak karena jumlah penonton yang sangat banyak berfluktuasi.

3. Ruang harus bebas dari cacat akustik seperti gema, pemantulan yang, berkepanjangan, gaung, pemusatan bunyi, distorsi, bayangan bunyi dan resonansi ruang. 4. Pencahayaan dan Penghawaan (sumber : Wijaya, 1989)

 Pencahayaan

Penggunaan pencahayaan buatan didalam gedung bioskop lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan pencahayaan alami karena lebih mudah diatur. Sistem pencahayaan bagi teater digunakan untuk :

o Pintu keluar terdapat mood ligthing yang digunakan selama, sebelum dan sesudah pertunjukan.

o Pencahayaan pada saat istirahat

o Pencahayaan dengan intensitas yang cukup untuk pengumuman

Sumber dan jenis cahaya yang digunakan :

oCahaya yang dipantulkan dari layar dengan intensitas yang beragam tergantung dari jenis film

o Penerangan permukaan dinding dan langit-langit dengan lampu standart atau tabung yang dipasang pada permukaan area yang akan diterangi

o Cahaya diproyeksikan pada dinding, langit-langit atau area penonton dari daerah tersembunyi

Semua cahaya yang dibutuhkan selama presentasi disediakan bagi barisan tempat duduk depan sampai dengan tengah dari cahaya pantulan layar. Bagian tengah sampai dengan belakang diterangi oleh sumber cahaya yang lain, yang ditempatkan sedemikian sehingga cahaya tidak dalam jarak pandang penononton.

 Penghawaan

Penghawaan yang diperlukan pada ruang bioskop yaitu penghawaan secara buatan. Karena pada ruang bioskop harus tertutup rapat.

 Pemahaman RT60 ( www.vokuz.com)

Setiap ruangan memiliki gema dengan karakteristik gema yang berbeda satu dengan yang lain. Karakter gema di ruangan ditentukan atas tiga parameter yaitu: level gema, waktu gema dan frekuensi gema. Untuk membuat ruang dengar dengan akustik yang baik adalah kita harus mampu menerapkan komposisi akustik treatment yang tepat. Sehingga kita mendapatkan ruangan dengan level gema, waktu gema dan frekuensi gema yang flat pada tiap tingkatan frekuensi. Ruangan dengan tingkat gema yang pas akan memberikan nuansa ruang live musik yang baik apabila kita membangun ruang untuk musik, atau dialog yang jelas terdengar pada beragam lokasi di ruang tersebut apabila tujuan kita

membangun ruang tersebut untuk keperluan seminar. Ada beragam metode pengukuran waktu gema tetapi yang paling sering di gunakan adalah Reverberation Time 60dB yang lebih dikenal dengan istilah RT 60. Definisi RT60 adalah waktu (detik) yang dibutuhkan untuk suara melemah sebanyak 60dB. Untuk membuat ruangan dengan hasil akustik yang baik kita perlu menghitung:

(1) Besaran gema (RT60) rata – rata pada ruangan (detik) (2) Besaran gema (RT60) pada frekuensi tertentu (detik) Waktu gema yang ideal (RT60) untuk ruang dengar dengan volume 10 meter kubik adalah 0.9 detik dan 500 meter kubik adalah 1.4 detik. Jika angka (RT60) ruang jauh lebih kecil dari angka patokan di atas kita akan merasakan ruangan yang cenderung mati (dead room) atau jika angka (RT60) ruang jauh di atas angka patokan di atas kita akan merasakan ruang yang terlalu bergema. Misalnya ruangan yang dimiliki mempunyai ukuran 29 meter kubik maka ideal nya waktu gemanya (RT60) adalah 1,15 detik. Tetapi jika ruangan tersebut memiliki waktu gema (RT60) sebesar 1.7 detik maka ruangan tersebut membutuhkan material serap suara. Atau sebaliknya jika pada ruangan tersebut memiliki waktu gema (RT60) sebesar 0,7 detik maka ruangan tersebut dapat kita sebut sebagai dead room dimana pada ruang tersebut banyak terdapat material serap suara.

Berdasarkan list suara yang di dengar oleh audiens diatas arsitek dan akustisi membagi fungsi ruang sebagai berikut: 1. Ruang konferensi: dialog

2. Cinema: dialog, noise dan musik 3. Theater: dialog dan musik

Dan berdasarkan list ruangan tersebut diatas, para akustisi dunia sepakat untuk membuat RT minimum dan maksimal

untuk masing – masing ruangan yang disebutkan diatas sebagai berikut:

1. Ruang konferensi: 0.6 – 1.3 (detik) 2. Cinema: 0.6 – 1.2 (detik)

3. Theater: 1 – 1,8 (detik)

4. Ruang konser musik pop: 1.4 – 2 (detik) 5. Ruang konser orkestra: 1.6 – 3 (detik)

Dengan mengikuti list RT60 untuk masing – masing fungsi ruang dan di kombinasikan dengan perencanaan panel akustik yang benar serta desain interior yang baik maka pemilik ruangan dapat memaksimalkan pengalaman audiens dalam ruangan tersebut.

Dalam dokumen PUSAT PERFILMAN di SURABAYA. (Halaman 21-33)

Dokumen terkait