• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura

Komposisi PAD Dinas Kehutanan dan Pekerbunan DIY Tahun 2013

3.3.1. Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura

Secara umum target dan realisasi penerimaan PAD di lingkup Dinas Pertanian DIY (sub sektor tanaman pangan dan hortikultura) mengalami kenaikan setiap tahun. Pada tabel berikut secara garis besar disajikan realisasi penerimaan PAD tahun 2013 dan target penerimaan PAD tahun 2014 dan 2015. BPPTPH merupakan unit penyumbang terbesar bagi PAD sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura dimana dengan menggunakan rerata 3 tahun diketahui kontribusinya mencapai 97,3% dari seluruh total pendapatan PAD.

Dalam pengelolaan asset yang berupa kebun-kebun pertanian, sumbangan untuk PAD Dinas Pertanian TPH berasal dari berbagai sumber dengan kontribusi terbesar berasal dari

produksi benih padi yang dikelola oleh BPTPH wilayah Wijilan, Nanggulan dengan luasan

15 hektar dan memproduksi benih dasar.BPTPH mengelola 8 kebun yang terdiri dari 3 kebun padi, 2 kebun palawija dan 3 kebun hortikultura. Kebun padi antara lain ada di kebun padi

Penerimaan dan Target PAD Tanaman Pangan dan Hortikultura 2013-2015 (Rp)

Sumber Penghasil PAD 2013 2014 2015 Rerata % Ranking

Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Hortikultura

(BPPTPH) 768,520,000 827,050,000 885,650,000 827,073,333 97.3 1 Balai Pengawasan dan Sertifikasi

Benih Pertanian (BPSBP) 10,000,000 10,883,520 13,605,000 11,496,173 1.4 2

Balai Pengembangan Sumberdaya

Manusia Pertanian (BPSMP) 5,400,000 5,400,000 6,600,000 5,800,000 0.7 3

Balai Proteksi Tanaman Pertanian

(BPTP) 5,000,000 5,000,000 6,500,000 5,500,000 0.6 4

110 Wijilan (15 Ha), Kebun padi Gesikan (2,5 Ha), kebun padi Berbah (5 Ha), sedangkan kebun palawija yang terdiri dari jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau antara lain ada di kebun palawija Kedungpoh (1,5 Ha) dankebun palawija Gading (7 Ha). Permasalahan yang ada di BPTPH adalah SDM yang kurang mencukupi. Selain SDM, seperti pada kebun di Ngipiksari kendala kekurangan air juga menjadi permasalahan umum yang sering terjadi. Air irigasi yang ada sudah tidak cukup untuk mengaliri seluruh lahan, hanya sebagian lahan yang yang dapat teraliri air irigasi. Permasalahan yang lainnya adalah rendahnya tarif harga benih dari kebun dibandingkan dengan yang ada di pasaran.

Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP) merupakan salah satu aset yang dimiliki Dinas Pertanian sebagai penyumbang PAD. BPSBP memberikan sertifikasi dari benih yang diproduksi oleh penangkar benih. Masalah yang dihadapi di BPSBP ini adalah kendala dalam SDM kurang dikarenakan banyaknya SDM yang pensiun dan belum ada gantinya. Selain itu kendalanya adalah tarif dalam proses sertifikasi, tarif dibayarkan ketika benih telah lulus dan mendapatkan sertifikasi. Benih yang tidak lulus tidak membayarkan tarif dalam proses pengujian.

768,520,000 10,000,000 5,400,000 5,000,000 827,050,000 10,883,520 5,400,000 5,000,000 885,650,000 13,605,000 6,600,000 6,500,000 - 250,000,000 500,000,000 750,000,000 1,000,000,000 Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman

pangan dan Hortikultura (BPPTPH) Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih

Pertanian (BPSBP)

Balai Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSMP)

Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP)

2015 2014 2013

111 Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPSDMP) merupakan balai penghasil PAD dengan memberikan pelatihan-pelatihan pertanian. Kendala yang dihadapi BPSDMP dalam mendapatkan PAD adalah tidak tersedianya lahan untuk sekolah lapangan. Hal tersebut yang menyebabkan BPSDMP menyewa lahan untuk sekolah lapangan. Selain itu fasilitas terbatas dan tempat pelatihan kurang representatif.

Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP) merupakan aset Dinas Pertanian dalam menyumbang PAD. BPTP adalah balai proteksi tanaman dimana balai ini bekerja membuat agen-agen hayati. Kendala BPTP adalah tarif terlalu murah tidak sebanding dengan biaya produksi. Selain itu SDM yang kurang mencukupi dan latar belakang pendidikan yang kurang sesuai. Di BPTP tidak adanya SDM yang mengoperasikan laboraturium yang baru dikarenakan latar belakang SDM yang ada tidak sama.

A. Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Holtikultura (BPPTPH)

1. Kebun Wijilan Nanggulan (Kabupaten Kulon Progo)

Kebun Nanggulan berada di Kabupaten Kabupaten Kulon Progo. Luas kebun yaitu 15 ha yang berupa lahan sawah irigasi teknis. Sumber Daya Manusia (SDM) terdiri dari 11 orang PNS dan 7 orang THL (Tenaga Harian Lepas). SDM rata-rata sudah senior, dengan luas lahan 15 ha idealnya dibutuhkan sekitar 20 tenaga kerja/ SDM. Infrastruktur irigasi yang ada berupa irigasi teknis dari Sungai Progo. Pola tanam yang dikembangkan di kebun Nanggulan yaitu 2 kali tanam dan 2 bulan diberokan. Sistem penanaman yang dilakukan petani yaitu sistem terasering, dengan sistem tersebut tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan bagus. Hasil panen yang didapatkan yaitu 2,3 ton. Hal ini berarti sesuai dengan target PAD.

Komoditas yang diusahakan yaitu padi dengan varietas Ciherang, IR 64, Situbagendit, dan PP. Benih dibedakan menjadi tiga yaitu Benih Dasar (BD) berwarna putih, Benih Pokok (BP) berwarna ungu dan Benih Sumber (BS) dari Sukamandi. Harga BD yaitu Rp. 7.500/kg, sedangkan BP barganya Rp. 6000/kg. Padi varietas Ciherang, IR 64 dan Situbagendit permintaanya berubah-ubah sesuai dengan permintaan pasar. Dari beberapa jenos varietas padi, Situbagendit adalah varietas yang yang paling bagus kualitasnya. Setelah diproduksi, hasil panen dibawa ke BPSBP (Balai Pengembangan Sertifikasi Benih Pertanian) dicek di laboratorium untuk diketahui masa lamanya kadaluarsa. Hasil laboratorium dapat diketahui setelah 3 bulan. Jika tidak laku, maka dibuat konsumsi sendiri atau bisa dititipkan di balai benih lain.

112 Kebun Benih Padi Benih Padi Bersertifikat

Di kebun benih Nanggulan terdapat beberapa sarana dan prasarana pertanian, diantaranya terdapai 4 unit lantai jemur, setiap lantai luasnya 250 m2. Ada juga kamar-kamar lain untuk disewakan, akan tetapi bangunannya tidak bagus. Selain itu, juga mempunyai traktor roda 4, mistblower, power tracer, cleaner, dan blower. Wilayah Nanggulan juga mempunyai gudang benih, tetapi tidak memenuhi standar gudang benih.

Tenaga penanaman, penyiangan dan pemanenan zaman dulu masih menggunakan masyarakat setempat untuk membantu. Dalam hal pemanenan, mereka diupah dengan sistem bawon. Sistem bawon yaitu upah yang diberikan berupa barang yang dipanen dengan jumlah tertentu yang telah disepakati oleh pemberi bawon. Tetapi, mencari tenaga kerja zaman sekarang sangat sulit, sehingga harus mencari dari luar kecamatan. Tenaga kerja di luar kecamatan dijemput, kemudian diantar kembali setelah mereka selesai bekerja. Upah yang diberikan yaitu Rp 35.000/HOK.

Permasalahan yang sering dihadapi yaitu kesuburan tanah. Tingkat kesuburan tanah di kebun Nanggulan perlu dibenahi. Tahun 2015 mendatang akan dilakukan uji tanah untuk mengetahui kekurangan maupun kelebihan unsur hara tanah, sehingga perlakuan tanah dapat diatasi dengan efektif dan efisien. Setelah masalah kesuburan dapat diatasi, maka petani dapat meningkatkan produksi.

Pendapatan yang dihasilkan oleh petani Nanggulan selain dari pertanian, mereka juga mempunyai pekarangan yang ditanamani buah-buahan. Mayoritas ditanami mangga jenis arum manis dan manalagi. Setiap musim panen dihasilkan 20-an buah mangga arum manis dan manalagi. Selain itu juga ditanami jeruk nipis. Hasil yang didapatkan dari tanaman pekarangan lumayan menambah penghasilan keluarga.

113

2. Kebun Padi Gesikan (Kabupaten Bantul)

Kebun padi Gesikan ini merupakan kebun benih yang terdapat di Kabupaten Bantul. dengan luas 2,5 ha. Dari aspek SDM, kebun Gesikan dikelola oleh 3 orang PNS dan 3 pegawai THL (lulusan SLTA), dengan jumlah pengelola dan staf tersebut dirasa sudah cukup. Varietas padi yang ditanam yaitu Situbagendit BD sampai ke BP. Pola tanam yaitu 2 kali tanam (padi-padi). Untuk tanam, dibutuhkan 6 tenaga kerja dengan upah Rp 70.000/hari, sedangkan untuk panen dibutuhkan 15 tenaga kerja dengan upah Rp 70.000/hari. Produksi yang dihasilkan kurang lebih 3 ton/ha. Pemasaran hasil tidak ada kendala, karena aksesnya sudah baik dan mendukung. Hasil panen bisa dijual ke sesama petani maupun ke kelompok, selain itu juga dipasarkan disekitar Yogyakarta.

Dalam proses budidaya mengalami kesulitan pada pengairan, karena harus menaikkan air dari sungai ke lahan. Petugas merasa kesulitan karena sungai berada dibawah lahan, maksudnya kedudukan kebun lebih tinggi dari sungai Bedog. Selain itu, harus membayar pajak sebesar Rp 45.000/ha/tahun.

3. Kebun Padi Kadisono, Berbah

UPT BPPTPH di Kadiosno, Berbah Sleman ini mengelola komoditas benih padi seluruhnya. UPT ini memiliki luas lahan sebesar 5 hektar, namun kebun atau lahan yang produktif hanya 3 hektar, karena saluran sungainya miring sehingga tidak dapat digunakan untuk mengairi lahan sepenuhnya, dan sisa lahan 2 hektar tidak produktif. UPT ini memiliki beberapa fasilitas berupa: bangunan, lahan pertanian, lantai jemur untuk 4 plot, gudang, serta beberapa peralatan, seperti traktor, grader, cleaner dan sprayer. Tenaga kerja di UPT ini terdiri dari I orang PNS, 1 orang THL, dan 1 orang harian lepas.

Pola tanam kebun benih terdiri dari 2 musim tanam, yaitu musim tanam I pada bulan Februari/Maret sampai bulan Mei serta musim tanam II pada bulan Mei sampai Juni/Juli, dan mulai bulan Agustus hingga awal musim tanam I lahan diberokan. Namun demikian, pada tahun ini masih ada tanaman sampai bulan Oktober karena fluktuasi cuaca yang kurang menentu. Selama ini, UPT BPPTPH mengikuti aturan musim tanam ini secara serempak, karena dulu pernah tidak mengikuti dan justru malah puso. Irigasi berasal dari Selokan Mataram. Di musim tanam I, air mengalir sepanjang musim tanam, namun di musim tanam II, air mulai dibatasi dengan digilir setiap seminggu sekali.

UPT ini mengembangkan Benih Pokok (BP), yaitu benih yang siap ditanam oleh petani dan hasil panennya langsung dapat diolah dan dikonsumsi. Benih Dasar (BD) yang dijadikan sebagai benih untuk pengembangan Benih Pokok (BP) diperoleh dari Wijilan. Varietas utama

114 yang dikembangkan ini adalah varietas IR64. Varietas ini sebenarnya sudah dilarang oleh pemerintah karena tidak tahan wereng, akan tetapi permintaan masyarakat akan varietas ini masih tinggi. Varietas Situ Bagendit tidak laku di masyarakat. Varietas IR64 lebih disukai masyarakat karena dapat dikembangkan di lahan yang kecil dan produktivitasnya tinggi, perawatan lebih mudah, rasanya enak, serta mudah untuk ditebaskan. Permintaan benih paling besar di bulan Oktober, karena mempersiapkan musim tanam.

Stok Benih Siap Diproses Pencatatan Identitas Benih Padi

Produksi benih di UPT banih Kadisono sebesar 9.150 kg benih di musim tanam I dan 9.050 kg benih di musim tanam II. Benih hasil pengembangan di UPT ini dijual dengan harga Rp 9.000,- untuk masyarakat luar daerah dan Rp 6.000,- untuk masyarakat lokal. Pembelian biasa dilakukan oleh kelompok, utamanya kelompok tani yang ada di D.I. Yogyakarta (daerah lain tidak bisa membeli) dan individu (pembeli dari luar bisa masuk). Sesuai SK Gubernur, seharusnya tidak boleh menjual benih ke daerah lain, padahal permintaan dari luar daerah cukup tinggi. Hal ini dikarenakan, benih dari D.I. Yogyakarta sudah terkenal bagus dan paling unggul dibandingkan benih dari daerah lainnya. Oleh karena itu, UPT ini hanya melayani benih di luar daerah untuk penjualan perseorangan saja. Hasil penjualan rata-rata untuk musim tanam I adalah Rp 54.900.000,- dan Rp 54.300.000, untuk musim tanam II.

Biaya yang dikeluarkan di kebun ini antara lain biaya tenaga kerja untuk penyiangan dan pemanenan. Biaya tenaga kerja per HOK yaitu Rp 35.000,- untuk tenaga dari warga lokal, dan Rp 50.000,- untuk tenaga dari luar daerah, biasanya dari wilayah Kecamatan tetangga yaitu Piyungan-Bantul. Selain tenaga kerja, pembiayaan digunakan untuk melakukan uji laboratorium dan membeli pupuk kimia (hanya non subsidi) Rp 7.500,- per kilogram.

115 Kendala yang dihadapi oleh UPT ini yaitu keterbatasan tenaga kerja serta penggunaan pupuk anorganik dengan dosis yang meningkat namun tidak disertai dengan penambahan pendapatan untuk menyeimbangkan peningkatan kebutuhan tersebut.

4. Kebun Hortikultura Wates (Kabupaten Kulon Progo)

Kebun Hortikultura Wates tergolong kecil karena hanya memiliki luasan lahan 1,5 ha yang terdiri dari bangunan dan kebun, serta berupa rumah kawat. Kebun ini masih kekuranganSumber Daya Manusia (SDM), karena hanya memiliki 3 orang (PNS). Masing-masing berumur 55 tahun, 47 tahun, dan 52 tahun. Sarana yang ada di kebun yaitu rumah jaring dan pompa diesel 2 unit.

Jenis bibit yang ada di kebun ini adalah jambu Dalhari, durian, manggis. Selain itu, ada buah naga tetapi belum bisa dibenihkan. Harga masing-masing bibit yaitu jambu Dalhari Rp 34.000 – Rp 50.000/bibit, durian Rp 18.000/bibit, dan manggis Rp 10.000/bibit. Produksi bibit dari hasil cangkok pohon induk per tahunnya sebanyak 500 bibit. Bibit-bibit tersebut terkadang ada yang disetor keluar dan ada yang untuk kelompok sendiri.

Permasalahan yang dihadapi antara lain keamanan, ketersediaan air, pencangkokan jambu, sambung (durian dan manggis), tidak ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) pemasaran dan biaya. Keamanan kebun hortikultura yaitu belum adanya pagar pelindung kebun, walaupun ada hanya setengah dari luas kebun tersebut, sehingga tak jarang ketika musim buah banyak hilang dan rusak. Dalam konteks ini ketersediaan air menjadi kendala karena kebun terletak di pinggir jalan raya sehingga pasokan air banyak digunakan oleh perkantoran dan kebutuhan rumah tangga, akibatnya pasokan air untuk kebun berkurang. Selain itu, ketika dibuat sumur, perlu biaya yang banyak karena harus mengebor tanah sampai kedalaman tertentu (melebihi kedalaman sumur pada umumnya) sampai ke sumber air tanah. Pencangkokan jambu juga menjadi kendala, karena pohon induk yang dicangkok umurnya sudah tua, sehingga hasil pencangkokan tidak maksimal. Begitu juga yang terjadi pada sambung durian dan manggis. Waktu yang digunakan untuk pertumbuhan bibit cangkokan dan sambungan kurang lebih 3 bulan. Akibatnya, bibit tanaman menjadi kekurangan stok sehingga pemasarannya juga terganggu. Selain karena stok bibit., tupoksi pemasarannya juga tidak ada. Penjualan bibit masih disekitar Yogyakarta, karena mendapatkan SK Gubernur DIY. Harapan kedepannya yaitu akan dikembangkan daerah agrowisata.

116

5. Kebun Benih Hortikultura unit Wonocatur

Kebun Benih hortikultura Wonocatur ini terdiri dari luasan lahan kebun seluas 1000 m2 dan 4 gedung yang terdiri dari 1 buah laboratorium dan 3 buah screen house dengan luasan 60 m2, 40 m2, dan 32 m2. Kebun ini hanya dikerjakan oleh 3 orang pekerja, 2 staf laboratorium yang terdiri dari 1 staf lab dan 1 tenaga harian lepas (THL), serta 1 orang pekerja lepas di kebun yang bekerja selama setengah hari, namun jika sangat mendesak terkadang sampai sore hari.

Kebun benih ini mengusahakan berbagai komoditas, namun dalam waktu 10 tahun ini fokus pada produksi bibit pisang. Produksi bibit pisang ini dilakukan secara kultur jaringan dengan memanfaatkan laboratorium, kemudian dilanjutkan dengan pembesaran di screen house. Kultur jaringan di laboratorium memerlukan waktu 1 tahun dan dilanjutkan pembibitan di screen house selama 3 bulan hingga siap tanam. Tingkat kematian bibit paling tinggi saat dilakukan inisiasi, yaitu mengeluarkan bibit dari botol di kultur jaringan, karena bibit menyesuaikan dengan lingkungan yang baru. Proses aklimat ini akan menyebabkan kematian bibit sebesar 20% dari jumlah bibit yang dikeluarkan. Inisiasi dilakukan 4 kali dalam setahun, yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April.

Dalam 2 tahun terakhir ini, kebun benih ini mampu memproduksi hingga 3000 batang bibit pisang siap tanam, yang didominasi oleh jenis pisang raja sebesar 30% dan sisanya jenis pisang ambon, pisang kepok, dan pisang cavendish. Dahulu, banyak jenis pisang yang diusahakan, namun saat ini jenis pisang yang diusahakan disesuaikan dengan permintaan pasar, baik perseorangan maupun kelompok. Harga setiap jenis bibit sama, yaitu Rp 4.000,- per batangnya.

Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas pisang di kebun benih ini yaitu keberadaan penyakit yang menyerang bibit tanaman pisang, seperti virus dan bakteri, yang umumnya baru akan terlihat setelah ditanam. Selain itu keterbatasan tenaga kerja juga menjadi masalah utama dalam pengembangan kebun ini. SDM yang ada saat ini pun masih belum menguasai teknik pengembangan bibit dengan baik dan benar. Permintaan pasar yang fluktuatif juga terkadang menjadi hambatan, apalagi jika dikerjakan dengan tenaga ahli yang jumlahnya sangat terbatas.

Pembiayaan selama ini berasal dari pemerintah yang digunakan untuk operasional kebun, seperti penyediaan bahan-bahan untuk kultur jaringan, perawatan kebun, dan lain sebagainya. Kesulitan terbesar yaitu dalam mendapatkan bahan kimia untuk kultur jaringan itu tadi, karena harganya sangat mahal dan harus pesan terlebih dahulu jauh hari sebelum digunakan.

117 Kebun benih ini sebenarnya sangat prospektif jika dikembangkan, akan tetapi jika akan dikembangkan, konsekuensinya adalah tidak ada lahan untuk memperluas dan keterbatasan tenaga kerja itu tadi. Jika kebun ini ditargetkan menjadi PAD, seharusnya anggaran untuk operasionalnya juga turut dinaikkan.

Bibit Pisang Kultur Jaringan

Bibit Hortikultura

6. Kebun Hortikultura Ngipiksari Sleman

BPTPH Ngipiksari memiliki luas lahan 4 hektar yang terdiri dari bangunan, kebun buah, kebun tanaman hias, dan 2 hektar kebun sayur. BPTPH ini memiliki 19 staf, 7 orang staf administrasi dan 12 staf lainnya di bidang hortikultura, yaitu terdiri dari 3 orang di Tambak, 2 orang di Wonocatur, dan 7 orang di Ngipiksari.

Komoditas yang diusahakan di BPTPH ini adalah benih tanaman cabai, tomat, tanaman hias, serta bibit pohon buah, seperti buah kelengkeng, jambu kristal, jambu dalhari, alpukat, dan buah sirsat. Target produksi untuk tanaman cabai dan tomat yaitu 70 kg per hektar dan tanaman yang lain tidak ada target setiap musim tanamnya. Target lainnya yaitu BPTPH memiliki keinginan untuk memperluas lahan penanaman di daerah kering, lahan kritis, dan tanah pasir berbatu. Benih dan bibit yang diproduksi selama ini dibeli oleh masyarakat dari luar daerah serta menyediakan permintaan bantuan dari mahasiswa KKN, PKK, dan SD untuk percontohan atau mendukung program-program yang akan dilaksanakan.

Penanaman tanaman sayuran yang membutuhkan banyak air menjadi permasalahan utama, karena selokan yang melewati daerah ini debitnya sangat kecil sehingga memanfaatkan keberadaan ‘tuk’ atau sumber mata air yang dialirkan menggunakan pipa bawah tanah.

Permasalahan yang dihadapi oleh BPTPH selain ketersediaan air yang masih terbatas yaitu sarana produksi yang terbatas dan beberapa diantaranya sudah tua, sulitnya akses untuk

118 membeli suku cadang, permintaan pasar yang sulit dipenuhi, sulitnya melakukan promosi di pameran-pameran, serta sulitnya menjual benih dalam bentuk sachet karena harus memiliki mitra bisnis. Sebelumnya BPTPH bermitra dengan perusahaan penangkar benih yaitu PT Sang Hyang Sri (SHS), namun kini kerjasama kemitraan sudah terhenti.

7. Kebun Palawija Gading Gunung Kidul

BPPTPH Unit Gading berada di Nglipar, Wonosari. Luas lahan yang dimiliki seluas 7 ha termasuk kantor. Lahan produktif seluas 6 ha dengan produksi benih jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Penanaman disesuaikan dengan petani, BPPTPH akan menanam lebih dahulu sehingga penanaman bisa seragam. Kelas benih yang diproduksi BPPTPH Gading adalah Benih Dasar dan Benih Pokok. Merupakan lahan kering, pada musim kemarau BPPTPH menggunakan sumur bor dengan kapasitas 2 liter per detik untuk mengairi 3 ha.

BPPTPH Gading memiliki 9 PNS, 2 PTT (termasuk 1 PTT di BPPTPH Kedungpoh) dan 3 THL. THL masih kurang dalam kualifikasinya. BPPTPH Gading memiliki laboratorium namun tidak memiliki operator untuk operasional laboratorium. Ada 2 gudang yang tersedia di BPPTPH Gading yang salah satunya sudah memiliki ruangan cold storage untuk penyimpanan benih yang berkapasitas 10 Ton. Cold storage akan memberikan ketahanan terhadap daya simpan benih dengan pengaturan kelembaban dan suhu. Selain itu, BPPTPH memiliki 3 lantai jemur dengan luas masing-masing 200-250-250 m2. BPPTPH Gading memerlukan fasilitas demplot untuk mengenalkan varietas baru. Pengenalan varietas baru perlu dilakukan untuk menambah nilai penjualan benih BPPTPH Gading yang khusus memproduksi benih palawija. BPPTPH Gading tidak memiliki tenaga pemasaran sehingga untuk penjualan benih masih kurang. Saat ini BPPTPH Gading sedang dalam masa pembangunan tembok pembatas untuk menanggulangi pencurian yang sering terjadi.

119

8. Kebun Palawija Kedungpoh Gunung Kidul

BPPTPH Unit Kedungpoh merupakan UPTD yang terintegrasi dengan BPPTPH Unit Gading. BPPTPH Kedungpoh memiliki lahan dengan luas total 1,5 ha dengan peruntukan produksi benih jagung dan kacang tanah. Lahan yang produktif hanya seluas 1 ha dan keseluruhan merupakan lahan tadah hujan. Penanaman untuk produksi benih dilakukan setelah ada hujan. Kebun produksi benih belum dipagari sehingga rawan untuk pencurian, selain itu juga rawan terjadinya kontaminasi dengan tanaman lain yang ditanam oleh petani yang sekawasan dengan lahan BPPTPH Kedungpoh. Air untuk budidaya merupakan air yang digunakan bersama warga. Lahan yang dimiliki merupakan lahan berteras dan perlu untuk ditata dengan alat berat yang masih belum bisa ditata sampai sekarang. BPPTPH Kedungpoh berencana untuk melakukan penataan lahan sehingga lahan dapat dimanfaatkan lebih baik.

BPPTPH Kedungpoh hanya memiliki 1 PTT yang bertanggungjawab atas produksi dan gudang. Fasilitas yang ada di BPPTPH Kedungpoh berupa 1 unit gudang. Traktor yang digunakan merupakan traktor yang didatangkan dari BPPTPH Gading. Pelaksanaan pengarapan lahan dengan tenaga luar sebesar Rp 50.000,00 untuk cangkul dan Rp 40.000,00 untuk mendangir. BPPTPH Kedungpoh memiliki 1 lantai jemur namun dalam kondisi yang tidak bisa digunakan.

120

B. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP)

BPSBP bertugas untuk melakukan sertifikasi terhadap benih yang akan dilepas di pasaran. BPSBP berkantor di Kompleks Dinas Pertanian DIY. Target sertifikasi yang dibebankan kepada BPSBP sebesar 1650 ha untuk APBN dan 100 ha untuk APBD (PAD). BPSBP melakukan sertifikasi dengan beberapa tahapan proses, yaitu :

1. Pendahuluan 2. Fase Vegetatif 3. Fase Generatif 4. Panen 5. Pemeriksaan Gudang 6. Uji Lab

7. Pelabelan (setelah lolos uji lab)

Pelaksanaan sertifkasi dilakukan sesuai urutan dan memakan waktu kurang lebih 14 hari, apabila pada salah satu tahapan tidak lolos maka proses tidak dilanjutkan. Proses pembayaran dilakukan setelah label keluar dan apabila tidak lolos maka tidak ada pembebanan pembayaran untuk membayar proses yang sudah dilakukan. Harga label sertifikat benih Rp 600 per label dengan hasil mencapai 800 label benih. Dulu masih ada penerbitan Surat Keterangan Produsen Benih dengan biaya pembuatan baru Rp 50.000,00 dan biaya

Dokumen terkait