• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN PERLUASAN KETIDAKHADIRAN

A. Ketidakhadiran pada Umumnya

2. Subjek Hukum Badan Hukum

Badan hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi. Adanya fiksi atau anggapan bahwa badan hukum itu dipersamakan juga dengan manusia sebagai sama- sama pendukung hak dan kewajiban dan yang juga berhak untuk memiliki kekayaan mengakibatkan terjadinya kesulitan, terutama untuk menentukan kapankah suatu organisasi atau badan yang telah dibentuk itu memperoleh status sebagai badan hukum. Hal ini berhubungan dengan kedudukan hukum atau status dari harta kekayaan yang diperoleh organisasi atau badan itu menurut hukum, yaitu apakah diperlakukan sebagai kekayaan milik badan hukum itu selaku subjek hukum yang berdiri sendiri ataukah diperlakukan sebagai kekayaan milik dari para pendiri organisasi atau badan hukum tersebut. Inti dari suatu organisasi atau badan (yang kemudian dapat berkembang menjadi badan hukum) itu adalah “kerja sama”, artinya bahwa tidaklah mungkin terjadi badan hukum itu didirikan oleh satu

orang saja, melainkan harus didirikan oleh sekurang-kurangnya dua orang,43 supaya dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan kerja sama tersebut. BW sendiri mengatur suatu organisasi itu (yang kemudian dapat berkembang dan meningkat menjadi badan hukum) pada Pasal 1618 tentang maatschaap (perseroan) yang

intinya adalah “persetujuan”, sedangkan persetujuan menurut Pasal 1313 harus dilakukan dan diterima oleh sekurang-kurangnya dua orang.44

Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan bahwa Perseroan Terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Dari ketentuan yang diuraikan di atas yang selalu menjadi persoalan adalah bila suatu badan atau organisasi yang telah didirikan itu memperoleh status sebagai badan hukum?. Untuk menjawab pertanyaan ini sangat tergantung dari beberapa ajaran dan teori yang sangat dikenal dalam doktrin sebagai berikut :

a. ditetapkan sebagai badan hukum karena Undang-undang sendiri menentukan demikian, misalnya badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum yang

43 Pasal 7 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Perseroan Terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

44 Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

merupakan badan hukum publik seperti Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, BUMN, Bank-bank Pemerintah dan lain-lain.45

b. karena Konsesi, maksudnya adalah memperoleh status badan hukum sesudah memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang. Dahulu semasa berlakunya bab tentang Perseroan Terbatas yang diatur dalam WvK status badan hukum diperoleh Perseroan Terbatas (PT) sesudah anggaran dasarnya memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman RI atau pejabat yang memperoleh pendelegasian wewenang darinya. Tetapi sesudah berlakunya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, status badan hukum secara tegas diperoleh Perseroan Terbatas pada tanggal diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan (Pasal 7 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007). Demikian juga halnya dengan koperasi memperoleh status sebagai badan hukum sejak akta pendiriannya memperoleh persetujuan dari Menteri Koperasi atau pejabat yang ditunjuknya.

c. Ditentukan sebagai badan hukum oleh Yurisprudensi seperti Yayasan, 46 yang memperoleh status atau kedudukan sebagai badan hukum apabila Akta Pendirian

45 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung:: CV. Nuansa Aulia, 2006), hal. 43

46 Dengan diundangkannya UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, maka pengertian yayasan menjadi lebih jelas. Pengertian Yayasan berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Yayasan No. 28 Tahun 2004 adalah sebagai berikut : “ Yayasan adalah badan hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Rumusan Pasal 1 butir 1 Undang- Undang No. 28 Tahun 2004 menegaskan bahwa Yayasan merupakan badan hukum dengan ketentuan bahwa status hukum Yayasan baru diperoleh setelah Akta Pendirian Yayasan disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Ini berarti bahwa pengesahan Akta Pendirian ini merupakan satu-satunya dokumen yang menentukan saat berubahnya status Yayasan menjadi badan hukum.

Yayasan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Sehubungan dengan uraian di atas, dengan memperhatikan bila suatu organisasi yang didirikan oleh para pendiri itu memperoleh status atau kedudukan sebagai suatu badan hukum yang akan bertindak selaku subjek hukum, maka status suatu organisasi itu selaku subjek hukum melekat pada badan itu sejak badan itu didirikan sampai badan hukum itu bubar atau dibubarkan (yang tentunya akan diikuti dengan likuidasi atau pemberesan atas seluruh aktiva dan passivanya). Menurut ketentuan Pasal 1653 KUHPerdata ada 3 (tiga) macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu :

1. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa), seperti badan-badan pemerintahan, dan perusahaan-perusahaan negara.

2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa) seperti Perseroan terbatas dan Koperasi.

3. Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan, dan lain-lain).

Menurut Pasal 1 Stb. 1927/156 (Regeling van de rechtspositie der kerkgenootschappen). Gereja ataupun perkumpulan gereja, demikian pula bagian- bagian yang berdiri sendiri, berdasarkan hukum juga memperoleh status sebagai badan hukum. Pasal 2 Stb. 1927/156 menyatakan bahwa untuk dianggap sebagai Rumusan ini tentunya membawa konsekwensi bahwa sebagai badan hukum, Yayasan memiliki karakteristik dan kemampuan bertindak sebagai layaknya suatu subjek hukum.

gereja atau perkumpulan gereja, demikian pula bagian-bagiannya yang berdiri sendiri, diperlukan surat keterangan dari Pemerintah. Bagaimanakah status perkumpulan keagamaan lain, bilakah perkumpulan itu memperoleh status sebagai badan hukum ?. Selain perkumpulan gereja yang telah dikemukakan di atas, perkumpulan keagamaan lain seperti perkumpulan keagamaan Hindu, Budha, Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sikh dan lain-lain memperoleh status badan hukum setelah memenuhi Stb. 1870/64.

Mengenai mesjid masih harus diteliti lebih jauh status badan yang mengelolanya selaku pengurusnya. Apabila mesjid itu dikuasai oleh lembaga wakaf, dalam Islam maka tentu saja telah memperoleh status sebagai badan hukum, perlu dipahami bahwa lembaga wakaf ini tidak dimaksudkan untuk mengalihkan kekayaannya kepada pihak lain, karena kekayaan yang sudah ada itu diasingkan untuk menjadi milik Tuhan, oleh karena itu perbuatan perdata yang dilakukan oleh pengurus mesjid hanya dapat dibatasi pada tindakan pengurusan (daad van beheer)

saja, tidak untuk melakukan tindakan pemilikan (daad van eigendom). Patut pula diingat bahwa masih ada mesjid yang memang tidak atau belum dibuat akta ikrar wakaf (AIW) atas tanah tapak dan pekarangannya tetapi sudah berdiri dan digunakan untuk tempat ibadah, sehingga statusnya menurut hukum menjadi belum jelas. 47

47 Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyatakan :

“ Pembuatan Akta Ikrar Wakaf (AIW) benda tidak bergerak wajib memenuhi persyaratan dengan menyerahkan sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya”.

Di beberapa tempat mesjid itu didirikan begitu saja oleh warga setempat dan langsung digunakan sebagai tempat ibadah, sedangkan menyangkut status tanah tempat berdirinya masih terdaftar atas nama anggota masyarakat setempat, keadaan ini terus berlangsung turun temurun sampai beberapa generasi meskipun pemilik tanah tapak dan pekarangan tempat mesjid itu berdiri telah lama meninggal dunia. Perlu diingat dan dipahami bahwa ketentuan yang terdapat pada Pasal 8 Stb. 1870/64 yang mengatakan bahwa perkumpulan-perkumpulan yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan umum atau tidak diakui menurut peraturan ini, dengan demikian tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata. Perjanjian- perjanjian yang dilakukan atas namanya dan barang-barang yang didapat atas namanya, terhadap negara dan terhadap pihak ketiga dipandang mengikuti orang- orang yang menutup perjanjian dan menerima barang-barang sekalipun juga bahwa perjanjian-perjanjian itu dan dasar hukum orang-orang yang bertindak hanya sebagai kuasa atau pengurus dari perkumpulan.48

Bentuk-bentuk perusahaan yang dikenal sebagai badan hukum seperti disebutkan di atas mempunyai akta pendirian dan anggaran dasar yang berbeda-beda, tetapi dari anggaran dasar yang berbeda-beda itu tetap dan pasti dapat diketahui siapa pengurusnya sekaligus sampai dimana batas kewenangan bertindak pengurusnya dalam melakukan tindakan hukum yang akan dilakukan. Di luar itu semua dikenal juga Badan Hukum Publik seperti Negara. Sistem Undang-Undang Dasar 1945

48 Ketentuan Pasal 1315 jo. Pasal 1329 KUHPerdata yang dikenal dengan azas kepribadian, menentukan bahwa setiap orang bebas untuk mengikatkan dirinya dalam suatu persetujuan.

mengenal adanya Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang dibagi lagi menjadi Propinsi/Kabupaten/Kota. Masing-masing unit kerja pemerintahan ini dipimpin oleh Kepala Daerah yang demi hukum bertindak sebagai penanggung jawabnya (manager) sendiri-sendiri.49 Presiden dibantu oleh para Menteri dan Kepala/Ketua Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara menjadi penanggung jawab Negara secara umum, sedangkan untuk tingkat Departemen dipimpin oleh Menteri, Badan- Badan Negara dipimpin oleh Kepala, sedangkan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dipimpin oleh Ketua. Pemerintah Propinsi dipimpin oleh Gubernur dan Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati atau Walikota.

Undang-Undang dan doktrin sendiri tidak menerima kemungkinan untuk menempatkan status badan hukum sebagai tak hadir,50 meskipun badan hukum memiliki tempat kedudukan. Dalam praktek dimungkinkan badan hukum itu memindahkan tempat kedudukannya ke tempat lain yang dikehendaki oleh pengurusnya, misalnya suatu Perseroan terbatas (PT) yang sebelumnya berkedudukan di Medan hendak memindahkan tempat kedudukannya ke Padang, caranya adalah dengan melakukan perubahan atas pasal dalam anggaran dasarnya yang mengatur tentang nama dan tempat kedudukan dan kemudian atas perubahan itu dimintakan pengesahan dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan

49 Lihat Pasal 1 butir 7 jo. Pasal 1 butir 9 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

50 Dalam prakteknya terjadi bahwa suatu perkumpulan atau badan hukum dapat dinyatakan tak hadir walau penetapan ketidakhadiran terhadap suatu perkumpulan/badan hukum berada di luar sistem hukum yang ada, contoh : Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 906/Pm/Perd/1979/PN.Mdn tanggal 25 Maret 1980, yang menetapkan bahwa Bank of China yang berkedudukan di Jl. Ahmad Yani No. 74 Medan dinyatakan afwezigheid.

HAM RI).51 Hal ini berarti bahwa badan hukum melalui pengurusnya juga memiliki

animus, bukan berarti dapat setiap saat meninggalkan tempat kedudukannya

seperti yang dimaksudkan dalam rumusan ketentuan Pasal 463 KUHPerdata tersebut. Sekarang ini seiring dengan perkembangan perundang-undangan, yang dinamakan subjek hukum itu bukan lagi dalam pengertian yang tradisional (konvensional) yaitu manusia dan badan hukum, tetapi manusia dan korporasi. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir dirubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menyatakan, Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi dengan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Kemudian istilah korporasi inipun digunakan oleh Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan dan Undang-Undang yang lain. Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban diakui dan diatur dalam pasal 1, 2 dan 3 KUHPerdata sebagai berikut :

Pasal 1 KUHPerdata berbunyi :

“Menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak kenegaraan. Pasal 2 KUHPerdata berbunyi :

“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada”.

Pasal 3 KUHPerdata berbunyi :

“Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraan”.

Makna dari Pasal 1 KUHPerdata itu mempunyai arti bahwa hak-hak dan kewajiban yang berhubungan dengan keperdataan tidak tergantung kepada agama, golongan, jenis kelamin atau umur, dan juga tidak tergantung kepada kedudukannya dalam negara yang menyangkut hak-hak ketatanegaraannya atau politiknya.52 Selanjutnya dikenal adanya hak perdata yang terdiri atas 2 (dua) macam 53 yaitu : 1. Hak yang bersifat mutlak, terdiri atas :

a. Hak kepribadian, contoh : hak atas namanya, kehormatannya, hak untuk hidup, kemerdekaan, dan lain sebagainya.

b. Hak-hak yang terletak dalam hukum keluarga, yaitu hak dan kewajiban suami isteri, hubungan orang tua dan anak.

c. Hak mutlak atas suatu benda, disebut Hak Kebendaan.

2. Hak yang bersifat relatif, yaitu semua hak yang timbul karena adanya hubungan perikatan, baik yang bersumber pada perjanjian maupun Undang-undang. Hak ini disebut hak perseorangan.

52 Achmad Ichsan, Hukum Perdata IA, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa, Cetakan Pertama (tanpa tahun), hal 69.

53 Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 24

Meskipun menurut hukum setiap manusia adalah pembawa hak tanpa terkecuali, namun ada pembatasan-pembatasan yang membatasi kecakapan berhak ialah :

1. Kewarganegaraan; hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat (1) UUPA)

2. Tempat tinggal; hanya orang yang bertempat tinggal di kecamatan yang sama dengan letak tanah pertanian itulah yang dapat menjadi pemiliknya (Pasal 10 ayat (2) UUPA).

3. Kedudukan atau jabatan ; bagi seorang hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara.

4. Tingkah laku dan perbuatan ; lihat Pasal 49 dan 53 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 isinya kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajiban sebagai orang tua / wali atau berkelakuan sangat buruk sekali.54

Demikian pula faktor jenis kelamin (laki-laki, perempuan), serta hal tidak ada ditempat dapat pula membatasi kecakapan berhak seseorang, misalnya, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia kawin dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang waktu tunggu. Selanjutnya meskipun setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Orang-orang yang menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu terdiri dari 3 (tiga) golongan :

1. Orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 330 KUHPerdata). Sekarang usia dewasa ini ditentukan 18 tahun (Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974). Demikian pula Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

54 F.X. Suhardana, Cs, Hukum Perdata I Buku Paduan Mahasiswa, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 46

Notaris menentukan usia 18 tahun atau telah menikah sebagai syarat untuk menghadap, membuat akte Notaris (Pasal 39 ayat 1 butir a).

2. Orang yang berada di bawah pengampuan (Pasal 433 KUHPerdata)

3. Perempuan bersuami. Sekarang ini perempuan bersuami tidak termasuk lagi, maksudnya seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan sudah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri (SEMA Nomor 3 Tahun 1963 jo Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974).55

Berikut pendapat beberapa Sarjana yang mendefinisikan pengertian Subjek Hukum yaitu :

1. Abdul Wahid Salayan dan Muhammad Fauzi Ridwan mengemukakan :

“ Subjek Hukum adalah orang, yang dimaksud dengan orang ialah setiap pendukung hukum (rechtsdrager), mempunyai hak dan kewajiban, dan oleh karena itu dapat dibagi menjadi 1. Orang betul, yaitu manusia; 2. Badan hukum, yaitu badan yang didirikan oleh manusia, misalnya, PT. Sedangkan perbedaan keduanya adalah orang menjadi subjek hukum sejak ia lahir hingga meninggal dunia, sedangkan badan hukum menjadi subjek hukum sejak waktu didirikan sampai bubar atau tidak ada lagi”.56

2. R. Soebekti mengemukakan :

“yang dikategorikan sebagai subjek hukum adalah “orang dan badan hukum”, orang adalah pembawa hak atau menjadi subjek dalam hukum. Badan Hukum adalah, badan hukum atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya seperti seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya,, dapat digugat dan juga dapat menggugat di muka hakim, pendek kata diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia”.57

55 Bandingkan dengan Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 47

56 Abdul Wahis Salayan dan Muhammad Fausi Ridwan, Tata Hukum Indonesia,Hukum Perdata, (Jakarta : 1960,), hal. 10-11

57 R. Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, cetakan XVI, 1980), hal 19,20,21

Dari pendapat beberapa sarjana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa subjek hukum itu tidak lain daripada orang dan badan hukum, hanya saja terdapat

perbedaan dalam penguraiannya, namun tidak mengurangi pengertiannya. Dalam kontek ketidakhadiran (afwezigheid), subjek hukum manusia (orang)

merupakan obyek kasus ketidakhadiran (afwezigheid). Dari hasil penelitian dan data yang dikumpulkan, ternyata ditemukan bahwa penerapan ketidakhadiran ini telah diperluas berlakunya terhadap subjek hukum badan hukum yang secara praktis diterima juga sebagai subjek ketidakhadiran, meskipun ketidakhadiran badan hukum berada diluar sistem hukum yang ada. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat harta kekayaan yang diurus BHP Medan yang berasal dari kekayaan milik subjek hukum badan hukum yang oleh hakim dinyatakan tak hadir dan tidak dikecualikan dari aturan umum yang ada, karena kebutuhan hukum secara situasional yang sifatnya sangat mendesak, artinya ketidakhadiran bagi badan hukum itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengklasifikasikannya sebagai suatu pengecualian dari kasus ketidakhadiran yang terjadi.

Hakim yang menetapkan ketidakhadiran atas badan hukum itu telah menempuh proses penemuan hukum menurut metode yang dikenal dalam ilmu pengetahuan tentang penemuan hukum (rechtsvinding) sehingga sampai kepada penetapan yang menetapkan ketidakhadiran badan hukum. Ketidakhadiran terhadap badan hukum yang ada itu tidak pernah dipersoalkan keberadaannya oleh aparat pemeriksa yang diperintahkan memeriksa BHP Medan, baik oleh aparat pemeriksa fungsional yang ada (Badan Pemeriksa Keuangan) maupun aparat pemeriksa

struktural (Inspektorat Jenderal) Departemen Hukum dan HAM, demikian juga tak pernah dipersoalkan oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM RI sebagai atasan langsung BHP Medan. 58

Bila keberadaan atas penetapan-penetapan dimaksud menjadi persoalan bagi aparat pemeriksa, karena dianggap merupakan sesuatu yang berada di luar sistem hukum, maka setelah menerima laporan atas temuan seperti ini tentu pada waktunya penetapan-penetapan seperti ini akan diperintahkan untuk dicabut atau dibatalkan melalui perintah khusus Menteri Hukum dan HAM RI kepada Ketua BHP Medan. Sebaliknya pada sisi lain penjualan kekayaan milik tak hadir (termasuk milik badan hukum yang dinyatakan tak hadir) kepada pihak yang membutuhkannya diberikan ijin oleh Menteri Hukum dan HAM RI setelah memperoleh laporan dari Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM RI.

Hasil penelitian telah membuktikan bahwa ternyata lembaga ketidakhadiran itu telah diperluas subjek berlakunya dan diterima serta diterapkan terhadap badan hukum. Perluasan atas subjek ketidakhadiran itu sehingga meliputi juga ketidakhadiran badan hukum adalah oleh karena telah ditemukan asas hukum baru yang menerima bahwa badan hukum dapat dinyatakan tak hadir karena memang kebutuhan hukum yang ada menghendaki demikian. Jadi bukan hanya karena kebutuhan praktis yang sifatnya situasional atau merupakan pengecualian dari aturan yang ada.

58 Wawancara dengan Amri Marjunin, Ketua BHP Medan yang menjabat mulai tahun 2003 sampai dengan sekarang. Wawancara dilaksanakan pada hari Senin tanggal 12 Januari 2009. bertempat di Kantor BHP Medan Jl. Listrik No. 10 Medan.

Dokumen terkait