• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi Di Balai Harta Peninggalan Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik Dan Ahliwarisnya (Studi Di Balai Harta Peninggalan Medan)"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN BALAI

HARTA PENINGGALAN DALAM PENGELOLAAN

HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DIKETAHUI

PEMILIK DAN AHLIWARISNYA

(STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)

T E S I S

Oleh

S Y U H A D A

077005028/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K O L

A

H

P A

S C

A S A R JA N

(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN BALAI

HARTA PENINGGALAN DALAM PENGELOLAAN

HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DIKETAHUI

PEMILIK DAN AHLIWARISNYA

(STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

S Y U H A D A

077005028/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN

BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM

PENGELOLAAN HARTA KEKAYAAN YANG

TIDAK DIKETAHUI PEMILIK DAN

AHLIWARISNYA (STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)

Nama Mahasiswa : S y u h a d a

Nomor Pokok : 077005028

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) K e t u a

(Dr. Sunarmi, SH. MHum) (Dr. Mahmul Siregar, SH,. MHum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 13 Juli 2009

___________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH

Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH. MHum

2. Dr. Mahmul Siregar, SH. MHum

3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum

(5)

ABSTRAK

Keberadaan Lembaga Ketidakhadiran (afwezigheid) berdasarkan Pasal 463 KUHPerdata dan Penetapan Pengadilan secara formal hanya ditujukan bagi subjek hukum manusia. Perkembangan dalam masyarakat memperlihatkan kecendrungan bahwa subjek ketidakhadiran itu diperluas berlakunya sehingga meliputi juga ketidakhadiran subjek hukum badan hukum. Penelitian ini menguraikan dasar dan penyebab dari perluasan pemberlakuan afwezigheid tersebut, pelaksanaan dalam pengelolaan terhadap harta kekayaan afwezigheid dan kendala-kendala serta upaya yang dilakukan BHP Medan dalam pengurusan dan pengelolaan boedel afwezigheid tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data primer dan data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara dan studi kepustakaan. Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan BHP dan kekosongan hukum dalam pengaturan afwezigheid mendorong hakim melakukan penemuan hukum dengan memperluas makna ketidakhadiran meliputi ketidakhadiran badan hukum.

Meskipun kekosongan hukum telah terisi dengan penemuan hukum, akan tetapi tetap saja terdapat hambatan-hambatan, baik yang bersifat internal maupun eksternal bagi BHP dalam melaksanakan pengurusan dan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang dinyatakan afwezigheid. Hambatan internal berasal dari BHP itu sendiri, berupa sumber daya manusia, kendala anggaran, serta kendala fasilitas dan sarana kerja. Sedangkan kendala eksternal antara lain kurangnya pengertian dan pemahaman dari instansi terkait dengan tugas pengurusan boedel afwezigheid, munculnya orang atau pihak lain yang mengaku sebagai pemilik, ahliwaris atau kuasanya yang dapat menimbulkan terjadinya proses gugatan pembatalan terhadap penetapan ketidakhadiran serta pihak yang berkepentingan kadang kala tidak sanggup membayar harga barang-barang atau harta kekayaan afwezigheid tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada pembuat Undang-undang agar melembagakan pengaturan tentang afwezigheid kedalam peraturan perundang-undangan nasional yang lebih tinggi (Undang-undang). Pemerintah diharapkan untuk memperhatikan kecukupan anggaran bagi BHP serta memperbaiki sarana dan fasilitas kerja, agar BHP bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(6)

ABSTRACT

The existence of absentia institution (afwezigheid) based on the Article 463 of Personal Code and Judicial Verdict formally is only referred to legal subject of human beings. The progress in society presents a tend that the subject of absentia is extended of the application to also include the absentia of corporate. The present study described the principles and cause of the extended application of afwezigheid, incuding implementation of property management of afwezigheid and the challenges, and the efforts of BHP Medan in arrangement and management of boedel afwezigheid.

The study used a normative method descriptively by a qualitative analysis. The qualitative analysis was applied for the primary and secondary data (corporate) collected by using both interview and library study. The requirement of society for BHP service and legal vacancy in managing the afwezigheid leads the judges to make a legal discovery by extending the definition of absentia of corporate.

Although the legal vacancy has been filled by the legal discovery, however, there were also challenges either internally or externally for BHP to implement the arrangement and management of property stated under afwezigheid. The internal challenges resulted from the BHP itself such as human resources, lack of budget, and other limitation of facility and the working instrument. Whereas the external challenges included the lack of understanding and comprehension of the relevant institutions related to the arrangement of boedel afwezigheid, the emergence of those or other parties who recognized as the owner, heirs or the authorized power of attorney that can result in the sue of cancellation of any decision of absentia and the interest parties sometimes could not pay the prices of goods and property of the afwezigheid.

Based on the result of the study, it is suggested to the legislative to institutionalize the arrangement of afwezigheid into the higher national Statutory Rules (Laws). The government is expected to consider the sufficiency of budget of BHP and repair the working facilities that the BHP can conduct their main jobs and functions as required by the society.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat

dan karuniaNya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan

dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik dan

Ahliwarisnya”.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar

Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna

karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan Penulis. Untuk itu dengan segala

kerendahan hati, Penulis mengharapkan kritik yang sehat dan saran yang bersifat

membangun dari semua pihak untuk perbaikannya dikemudian hari.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, Penulis

sampaikan kepada yang terhormat dan yang amat terpelajar :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,

SpA (K) dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan

(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Komisi Pembimbing yang

selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis baik pada saat

mengikuti perkuliahan dan juga dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH. MHum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan saran, bimbingan dan dukungan penuh membuat Penulis

terpacu untuk segera menyelesaikan tesis ini. Untuk itu Penulis doakan semoga

Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada Beliau dan

keluarganya.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH. MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing

yang dalam kesibukannya rela meluangkan waktunya untuk memberikan

bimbingan dan arahan yang sangat berguna untuk penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum, selaku Anggota Komisi Penguji.

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Anggota Komisi

Penguji.

8. Seluruh Dosen penulis pada Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak

(9)

9. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara yang telah merekomendasikan

serta memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi Penulis untuk mendapatkan

bea siswa penuh dalam mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

10.Bapak Amri Marjunin, SH, Ketua BHP Medan dan para ATH yang telah

memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti perkuliahan pada

Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, serta data-data yang

sangat berguna dalam penyelesaian tesis ini.

11.Orang tua tercinta, ayahanda H. Sahono dan Ibunda Hj. Aniyah, yang tiada

hentinya berdoa demi kesuksesan penulis, dan semua saudara-saudariku serta

segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada Penulis untuk

menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.

12.Rekan-rekan seperjuangan pada kelas kekhususan Hukum dan HAM Program

Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan I Tahun 2007.

13.Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPs USU atas segala

bantuannya berupa pelayanan dan kemudahan yang kalian berikan, kiranya Allah

SWT yang akan membalas segala kebaikan kalian.

14.Teristimewa ucapan terimakasih kepada isteri tercinta Rinawati dan ananda

Indana Sari Zulfa, dengan cinta kasih yang tulus terus mendukung dan rela

kehilangan waktu untuk bersama selama masa perkuliahan berlangsung.

(10)

Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan

terutama bagi Penulis sendiri serta dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

hukum dimasa mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat

dan anugerahNya kepada kita semua. Amin ya rabbal alamin.

Medan, Mei 2009

Wassalam Penulis,

S Y U H A D A

(11)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : S Y U H A D A

Tempat / Tgl. Lahir : Medan, 12 Juni 1967

Jenis Kelamin : Laki-laki

A g a m a : I s l a m

A l a m a t : Jl. Setia Budi Psr. I No. 36-A Tanjung Sari Medan

Telp. (061) 8217494/ HP. 081397623166

Pendidikan :

- SD Muhammadiyah 3 Tanjung Sari Medan,lulus tahun 1980

- SMP Muhammadiyah Tanjung Sari Medan, lulus tahun

1983

- SMA Negeri 14 Medan, lulus tahun 1986

- S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area Medan, lulus

tahun 1992

- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan, lulus tahun

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK..……….i

ABSTRACT.………ii

KATA PENGANTAR………iii

RIWAYAT HIDUP………vii

DAFTAR ISI……….viii

DAFTAR GAMBAR……….xii

DAFTAR SINGKATAN………...xiii

BAB I : PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...9

C. Tujuan Penelitian……….10

D. Manfaat Penelitian………...10

E. Keaslian penelitian………...12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi..………...13

1. Kerangka Teori………...13

2. Konsepsi………...18

(13)

1. Jenis dan Sifat Penelitian………...22

2. Sumber Data Penelitian……….………..23

3. Teknik Pengumpulan Data………..23

4. Analisis Data………..24

BAB II : PENGATURAN PERLUASAN KETIDAKHADIRAN SUBJEK HUKUM DAN PENYEBAB TERJADINYA PERLUASAN……...26

A. Ketidakhadiran pada Umumnya……….26

1. Subjek Hukum Manusia..………...30

2. Subjek Hukum Badan Hukum.. ...39

3. Domisili...53

B. Landasan Hukum Ketidakhadiran (afwezigheid)...62

1. Yang dapat dinyatakan tak hadir dan syarat-syarat memajukan permohonan ketidakhadiran...68

2. Tahap-tahap penyelesaian ketidakhadiran serta akibat hukumnya……….70

(14)

BAB III : PELAKSANAAN TUGAS BALAI HARTA PENINGGALAN

SEBAGAI PENGELOLA BOEDEL KETIDAKHADIRAN…....101

A. Sejarah Balai Harta Peninggalan………..101

B. Dasar Hukum………106

C. Pelaksanaan pengurusan dan pengelolaan boedel ketidak

hadiran...110

1. Melaksanakan Inventarisasi boedel ketidakhadiran

(afwezigheid) ...111

2. Iklan (pengumuman) ketidakhadiran...113

3. Izin pelaksanaan jual boedel ketidakhadiran dari Direktur

Jenderal Administrasi Hukum Umum...115

4. Izin penjualan harta kekayaan afwezigheid dari

Pengadilan Negeri... ...117

D. Pertanggung jawaban BHP dalam pengelolaan boedel

ketidakhadiran (afwezigheid)...123

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN DAN UPAYA YANG

DILAKUKAN BHP DALAM PENGELOLAAN BOEDEL

KETIDAKHADIRAN..………...128

A. Hambatan-hambatan dalam pengelolaan boedel ketidak

hadiran (afwezigheid)...128

1. Hambatan-hambatan Internal…....128

2. Hambatan-hambatan Eksternal ...136

(15)

B. Upaya-upaya yang dilakukan BHP untuk mengatasi

hambatan-hambatan dalam pengelolaan boedel ketidak

hadiran (afwezigheid)...138

1. Upaya-upaya Internal...138

2. Upaya-upaya Eksternal………..141

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………...145

1.. Kesimpulan………...145

2. Saran-saran………...148

DAFTAR PUSTAKA...150

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

3.1 : Proses Pengalihan Boedel Afwezigheid

(17)

DAFTAR SINGKATAN

B E J : Bursa Efek Jakarta

B H P : Balai Harta Peninggalan

B P H N : Badan Pembinaan Hukum Nasional

B P N : Badan Pertanahan Nasional

B W : Burgerlijk Wetboek

D I R J E N : Direktur Jenderal

H A M : Hak Asasi Manusia

H. R. : Hooge Raad

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUHPidana : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

M A R I : Mahkamah Agung Republik Indonesia

MENKUMHAM : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

P J N : Peraturan Jabatan Notaris

P N : Pengadilan Negeri

P P : Peraturan Pemerintah

P P A T : Pejabat Pembuat Akta Tanah

R.Bg : Reglement Buitengewesten

(18)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Abad 21 menghadapkan pada keadaan, permasalahan dan tantangan yang

berbeda dengan yang dihadapi dalam kurun waktu sebelumnya. Perkembangan

lingkungan strategi nasional dan internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa

yang akan datang ditandai dengan adanya tuntutan reformasi dan demokratisasi sejak

tahun 1997 yang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaharuan

sistem kelembagaan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam

penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang mengacu pada

terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance). 1

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang

bertugas melakukan pelayanan di bidang hukum melalui unit-unit pelaksana

teknisnya antara lain Balai Harta Peninggalan (BHP) tidak lepas dari tuntutan dan

harapan untuk melaksanakan tugas pemerintahan yang baik dan bebas KKN (good

governance andclean government).2

1 Syamsuddin Manan Sinaga, Pola Kerja Balai Harta Peninggalan Menyikapi Pemeriksaan

Inspektorat Jenderal BPKP dan BPK”, makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta

(19)

Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat dewasa ini,

keberadaan dan eksistensi Lembaga Balai Harta Peninggalan (BHP) mutlak

diperlukan dan diharapkan mampu menjawab segala tantangan dalam pembangunan

bidang hukum. Kebijakan pembentukan hukum dewasa ini diarahkan untuk

membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana

pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan

mewujudkan ketertiban, legitimasi dan keadilan. Dalam penegakan hukum, kepastian

dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui

penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekwen dan konsisten

dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi

manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law 3

yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur yang bersumber dari Pancasila dan UUD

1945.

BHP sebagai instansi Pemerintah di lingkungan Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Perdata, yang salah satu tugasnya

adalah sebagai yang mewakili kepentingan mereka yang tak hadir dan sukar

dicari atau dalam istilah hukum disebut afwezigheid sangat berperan dalam

melaksanakan pengurusan serta pengelolaan terhadap harta kekayaan yang

pemiliknya dinyatakan tak hadir atau sukar dicari. BHP merupakan lembaga yang

(20)

berdasarkan undang-undang diberi tugas dan kewenangan untuk mengurus dan

mewakili segala kepentingan-kepentingan subjek hukum yang tak hadir sesuai bunyi

Pasal 463 KUHPerdata 4 serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan

pengurusan.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, BHP didukung oleh

peraturan-peraturan yang ada serta kebijaksanaan pemerintah berupa Surat

Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan Surat-Surat Edaran yang dikeluarkan oleh

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 5. Bila dilihat dari

peraturan dan dasar hukum yang menjadi landasan tugas BHP masih banyak

menggunakan peraturan warisan kolonial yang masih berlaku karena belum diganti

atau dicabut, walaupun seringkali mungkin tidak diperlukan lagi atau perlu diubah,

diperbaharui atau sudah perlu diganti dengan peraturan yang sama sekali baru, agar

dapat memenuhi kebutuhan perkembangan zaman.

Dasar pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya

produk kolonial yang sampai saat ini masih berlaku adalah Pasal II Aturan Peralihan

UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa

4 Pasal 463 KUHPerdata berbunyi :

(21)

untuk mengisi kekosongan hukum, maka segala badan negara dan peraturan yang

masih ada langsung berlaku sebelum diadakan yang baru berdasarkan UUD 1945.

Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diciptakan pada zaman

kolonial masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan

UUD 1945,6 sebagaimana yang dikemukakan oleh mantan Menteri Kehakiman

Sahardjo yang mengatakan :

Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel bukan kodifikasi

lagi (dikatakannya telah menjadi rechts boek). Dari kedua buku itu yang

berlaku ialah pasal-pasal yang betul-betul hidup sebagai hukum di Indonesia dengan syarat : a). tidak bertentangan dengan jiwa UUD 1945; b). tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum kita; c).setelah disesuaikan dengan keadaan, pasal-pasal yang memenuhi syarat itu berlaku sebagai hukum yang tidak tertulis”.7

Salah satu di antara peraturan kolonial tersebut adalah peraturan di bidang

BHP, yang masih berlaku karena belum diganti atau dicabut. Dalam tesis ini yang

dimaksud dengan peraturan yang ada adalah khususnya yang berkaitan dengan

lembaga hukum afwezigheid atau ketidakhadiran yang diatur dalam Bab

Kedelapanbelas Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet boek.

Stb.1847/23 jo. Stb. 1848/10, selanjutnya disingkat BW). Berhubungan dengan Pasal

235 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement, Stb.1941/44) jo. Pasal 271 RBg

6 Tim Penyusunan Naskah Akademis tentang Balai Harta Peninggalan, “ Naskah Awal Tentang Balai Harta Peninggalan Dan Pencabutan Instructie voor de Weeskamers in Indonesia (Ord.v.5 Okt 1872) S.72-166 (Iwg. 1 Juli 1973) “.

(22)

(Rechts Reglement Buitengewesten, Stb. 1927/227).8 Ketentuan-ketentuan tentang

lembaga ketidakhadiran tersebut di atas dengan segala aturan-aturan pelaksanaannya

tetap dipertahankan eksistensinya hingga kini atas dasar Pasal II Aturan Peralihan

tersebut di atas dan berlaku bagi subjek hukum manusia yang berstatus sebagai

warga negara Indonesia.

Status atau kedudukan dari subjek hukum yang dinyatakan tak hadir

(afwezig) itu sangat berhubungan erat dengan instansi atau lembaga yang menurut

undang-undang dipercayakan untuk mengelola atau mengurus hak-hak atas kekayaan

milik si tak hadir tadi. Uraian-uraian tentang lembaga hukum yang bertugas

mengelola hak-hak atas kekayaan milik subjek hukum yang dinyatakan tak hadir itu

jelas akan menyentuh uraian tentang manajemen secara umum. Manajemen itu

sendiri mencakup beberapa unsur yang keseluruhannya saling mendukung.

M. Solly Lubis mengemukakan bahwa manajemen adalah proses atau

kegiatan orang-orang dalam organisasi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang

tersedia bagi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan 9, selanjutnya beliau menulis

bahwa : “ untuk mencapai tujuan itu, diperlukan sumber-sumber atau yang disebut

juga unsur manajemen yang dapat digolongkan menjadi sumber daya manusia, dana

atau sumber keuangan, sarana atau perangkat kerja, termasuk di dalamnya

(23)

metoda/teknologi dan material/bahan-bahan 10. Dalam prakteknya di lapangan BHP

dalam proses pengurusan terhadap harta kekayaan yang dinyatakan afwezigheid

menghadapi berbagai kendala baik secara intern maupun ekstern.

Keadaan sukar dicari atau ketidakhadiran yang dalam istilah hukumnya

disebut “afwezigheid menurut sistem hukum yang ada diberlakukan bagi subjek

hukum manusia ini menurut hukum dinyatakan dan selanjutnya hanya dapat

dibuktikan keberadaan atau eksistensinya dengan penetapan (beschikking) hakim

(Pasal 463 KUHPerdata). Dalam penetapan ketidakhadiran itu dapat sekaligus

ditunjuk BHP setempat yang akan bertugas mengurus dan yang mewakili serta

membela segala kepentingan si tak hadir itu selama ketidakhadirannya, akan tetapi

dengan tidak mengurangi kewenangan hakim untuk menunjuk seorang atau lebih dari

keluarga sedarah atau semenda dari si yang tak hadir atau kepada isteri atau suaminya

untuk keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata). Selanjutnya setelah penetapan

tentang ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht

van gewijsde), maka pengurus atau wakilnya akan melaksanakan segala tindakan

pengurusan (daad van beheer) maupun tindakan pemilikan (daad van beschikking)

bila perlu sesuai dengan kepentingan boedel afwezig atau kekayaan tak hadir

dimaksud. 11

Dalam melaksanakan pengurusan atas kekayaan milik orang yang tak hadir

itu, sepanjang tidak ditentukan lain oleh Pengadilan, wajib diturut dan dipatuhi

10 Ibid.

(24)

ketentuan yang berlaku bagi pengurusan atas harta kekayaan dari anak yang masih di

bawah umur (Pasal 464 kalimat kedua jis. Bagian kesebelas Buku I KUH Perdata).

Dalam prakteknya di lapangan (di Kantor BHP Medan), telah terdapat

perluasan dalam penentuan subjek ketidakhadiran yaitu :

1. Bahwa subjek ketidak hadiran ini telah diperluas penerapan dan pengertiannya

sehingga meliputi dan mencakup juga ketidakhadiran dari subjek hukum badan

hukum (rechts persoon), contoh Penetapan Pengadilan Negeri Medan No.

906/Pm/Perd/1979/PN.Mdn tanggal 25 Maret 1980 tentang Putusan afwezig Bank

of China.

2. Bila kepentingan boedel itu sendiri menghendaki (dalam arti untuk menghindari

akibat dan kerugian terhadap boedel), maka pengurusan harta kekayaan si tak

hadir ini dapat diarahkan kepada tindakan pemilikan (dalam arti penjualan) atas

boedel afwezig itu. Dalam praktek di lapangan rumah atau tanah yang dikelola

oleh BHP pada umumnya dimohon untuk dibeli oleh para penghuninya, orang

lain atau oleh yang menguasainya berdasarkan penetapan pengadilan melalui

BHP sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik

Indonesia No. M.01.HT.05.10 Tahun 1990 tanggal 24 Desember 1990 tentang

Petunjuk Untuk Mengajukan Permohonan Izin Prinsip Dan Izin Pelaksanaan

Penjualan Budel Afwezig Dan Onbeheerde Nalatenschap Yang Berada Dibawah

Pengawasan Dan Pengurusan Balai Harta Peninggalan, sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

(25)

Permohonan Ijin Pelaksanaan Penjualan Harta Kekayaan Yang Pemiliknya

Dinyatakan Tidak Hadir Dan Harta Peninggalan Yang Tidak Terurus Yang

Berada Dalam Pengawasan Balai Harta Peninggalan, selanjutnya menyimpan

hasil penjualannya dalam bentuk uang tunai;

3. Uang hasil penjualan boedel afwezig selanjutnya disimpan di Bank milik

Pemerintah sebagai rekening Uang Pihak Ketiga yang dikelola BHP untuk jangka

waktu tertentu dan harus disetorkan ke Kas Negara apabila telah mencapai 1/3

abad berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri setempat dan izin dari Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam

Staatsblad 1836 No. 56 jo. Staatsblad 1850 No. 3.

Selanjutnya, dalam konteks pembaharuan hukum sebagai upaya untuk

memberikan jaminan dan kepastian hukum, menurut Bismar Nasution terdapat

beberapa unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat pembangunan,

yaitu :

1. Hukum harus membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan hukum.

2. Hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability)

dalam penyelesaian sengketa, misalnya dalam mengatur peradilan trigunal

(cour or administrative tribunal), penyelesaian sengketa di luar peradilan

(alternative dispute resolution) dan penunjukan arbiter, konsiliasi

(conciliation) dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam

penyelesaian sengketa.

3. Pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals) oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara.

(26)

5. Hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance) karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan.

6. Hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas

(definition and clarity of status). Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang.

7. Hukum itu harus dapat mengakomodasi (accommodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, dan terakhir;

8. Stabilitas (stability) sebagai unsur yang harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan. 12

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini penting

untuk dilakukan mengingat peran penting yang akan diemban oleh BHP terkait

dengan tugas pengurusan dan pengelolaan terhadap harta kekayaan (boedel)

ketidakhadiran.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bahagian latar belakang di atas, maka terdapat

beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan perluasan ketidakhadiran subjek hukum pada Balai

Harta Peninggalan dan mengapa terjadi perluasan ketidakhadiran subjek hukum

tersebut ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan dalam pengelolaan terhadap harta kekayaan yang

tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya ?

(27)

3. Bagaimanakah kendala dan upaya yang dilakukan Balai Harta Peninggalan dalam

melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan

ahliwarisnya ?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mencari

pemahaman yang tepat tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Maka tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perluasan subjek ketidakhadiran dari

subjek hukum manusia sehingga meliputi juga badan hukum. .

2. Untuk mengetahui sampai sejauhmana perluasan ketidakhadiran subjek hukum

yang diterapkan oleh BHP.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala dan upaya yang dilakukan oleh BHP dalam

melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan

ahliwarisnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berjudul “ Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai

Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui

Pemilik Dan Ahliwarisnya “, diharapkan akan memberikan manfaat teoritis dan

(28)

1. Manfaat Teoritis

a. Masukan bagi pengkajian lebih lanjut bagi praktisi hukum yang ingin

memperdalam, mengembangkan atau menambah pengetahuan tentang hal-hal

yang berkaitan dengan Pengelolaan Harta Kekayaan yang tidak diketahui

pemilik dan ahliwarisnya.

b. Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu pengetahuan hukum, yaitu

dalam bidang hukum keperdataan, khususnya hukum perseorangan.

c. Sebagai salah satu bahan referensi bagi kalangan praktisi hukum, akademisi

dan masyarakat pemerhati hukum sebagai bahan kajian dan perbandingan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi aparatur pengambil

kebijakan di lingkungan BHP pada umumnya dan BHP Medan pada khususnya

dalam menerapkan ketentuan yang sebenarnya berlaku dalam mengurus harta

kekayaan orang yang dinyatakan tak hadir (afwezigheid).

b. Memberikan tambahan wawasan pemikiran kepada kalangan yang berminat

mempelajari tentang afwezigheid yang merupakan problematika hukum yang

memerlukan perhatian dan penanganan yang profesional.

c. Sebagai bahan masukan guna penyempurnaan peraturan perundang-undangan

nasional, khususnya yang terkait dengan kasus-kasus afwezigheid dan

(29)

d. Mengungkap masalah yang timbul di lapangan sebagai implementasi atas

pelaksanaan tugas pengurusan atas boedel afwezig dimaksud serta sebagai

sumbang saran berupa solusi terhadap masalah dimaksud untuk peningkatan

kinerja BHP di masa datang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan di

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai ketidakhadiran

(afwezigheid) ini sudah pernah dilakukan dan diteliti oleh peneliti lain antara lain oleh

Saudara Syahril Sofyan dengan merumuskan permasalahan yaitu :

1. Mengapa terjadi perluasan subjek ketidakhadiran dari subjek hukum manusia

sehingga mencakup juga subjek hukum badan hukum ?

2. Apakah perluasan pengertian subjek ketidakhadiran itu dapat diterima secara

praktis, baik oleh atasan langsung yang membawahi BHP yang bersangkutan

maupun oleh aparat pengawas fungsional di lingkungan Departemen Kehakiman

RI (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) ?

3. Apakah ada saldo uang milik orang yang tak hadir yang terdapat dalam rekening

uang pihak ketiga yang dikelola BHP yang sudah diurus selama waktu tertentu

(30)

. Dengan rumusan masalah yang berbeda dengan penulis, maka penelitian ini

dapat dikategorikan penelitian yang baru, dan keasliannya dapat dipertanggung

jawabkan secara akademis dan ilmiah, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,

rasional dan obyektif yang semuanya ini merupakan imflikasi dari proses menemukan

kebenaran. Penelitian ini didasarkan pada ide, gagasan, serta pemikiran penulis

pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya dengan melihat kasus-kasus

afwezigheid yang pengurusan dan pengelolaannya dilakukan oleh BHP Medan,

kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini, karena hal tersebut sangat

dibutuhkan untuk penyempurnaan tesis ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Ketidakhadiran (afwezigheid) menurut doktrin dan undang-undang hanya

berlaku bagi manusia (persoon). Tetapi dalam praktek terjadi bahwa ketidakhadiran

(afwezigheid) telah diperluas oleh hakim sehingga meliputi ketidakhadiran badan

hukum (rechtspersoon). Ketidakhadiran badan hukum itu sendiri bukan lagi sebagai

pengecualian dari ketidakhadiran atas subjek hukum manusia, melainkan sebagai

suatu hal yang sudah diterima dalam praktek hukum bahwa subjek badan hukum

(rechtspersoon) dapat dinyatakan tak hadir (afwezigheid) walaupun ketidakhadiran

terhadap badan hukum berada di luar sistem hukum yang ada.

Hakim yang menetapkan ketidakhadiran badan hukum itu telah melakukan

(31)

permasalahan hukum yang ada di hadapannya demi kepentingan masyarakat dan

kepentingan umum (public interest) yang membutuhkan kepastian hukum atas

permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat. Penemuan hukum (rechtsvinding)

merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang

ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit.

Penemuan hukum merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan

hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit

(das sein). Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa kongkrit, konflik atau kasus yang

harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya.

Dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau

menemukan hukumnya untuk peristiwa kongkrit. 13

Menurut Van Apeldoorn hakim harus menyesuaikan (waarderen)

undang-undang dengan hal-hal yang kongkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat

menambah (aanvulen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan

undang-undang dengan hal yang kongkrit, karena undang-undang tidak meliputi

segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Pembuat undang-undang hanya

menetapkan suatu petunjuk yang bersifat umum saja. Pertimbangan mengenai hal-hal

yang kongkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang kongkrit

diserahkan kepada hakim.

(32)

Kepentingan masyarakat (public interest) terkait dengan mencapai tujuan

masyarakat yang lebih baik, karena memuat kepentingan dan keinginan secara

bersama, khalayak umum. Berapa orang yang akan menerima keuntungan dengan

adanya public interest menjadi sangat crusial dalam proses penentuan kebijakan.

Konflik kepentingan dijaga supaya tidak naik dan mengacaukan kepentingan umum

(public interest) itu sendiri. Pemerintah memiliki andil dalam mempertahankan

status dan pelaksanaan kepentingan umum tersebut. Pemerintah menjamin keabsahan

kepentingan umum (public interest) tanpa adanya kepentingan individu yang bermain

di dalamnya sehingga kepentingan umum dapat memuaskan masyarakat sebagai

warga negara.14 Dengan demikian assesment dari masyarakat terkait dengan public

interest dilakukan dengan sangat hati-hati karena jika terjadi kesalahan dalam

pengambilan keputusan bisa jadi akan menjadi keuntungan bagi segelintir individu

dan akan menjadi kepentingan pribadi (private interest).15

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepentingan adalah tuntutan perorangan

atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung

kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.16

Dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan

maupun kelompok yang tidak terhitung jumlah maupun jenisnya yang harus

14 Sudikno Mertokusumo, Kepentingan Umum, Kertas kerja untuk didiskusikan di Kejaksaan Agung RI, Yogyakarta, 1996. Dikutip dari : file://localhost/D:/Full%20 Access/abc/Artikel%20 Hukum%20 KEPENTINGAN %20 UMUM.htm. Diakses tanggal 4 April 2009.

15 The Planet, Public Interest, dikutip dari :

file://localhost/D:/Full%20Access/abc/Public%20Interest%20<<%20the%20planet.htm. Diakses tanggal 4 April 2009.

(33)

dihormati dan dilindungi sehingga wajarlah kalau setiap orang atau kelompok

mengharapkan atau menuntut kepentingan-kepentingan itu dilindungi dan dipenuhi,

yang sudah tentu tidak mungkin dipenuhi semuanya sekaligus mengingat bahwa

kepentingan-kepentingan itu, kecuali banyak yang berbeda banyak pula yang

bertentangan satu sama lain.

Tidak dapat disangkal bahwa tindakan pemerintah harus ditujukan kepada

pelayanan umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak

(kepentingan umum). Tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum

dan memperhatikan serta melindungi kepentingan umum, sedangkan di dalam

masyarakat banyak terdapat kepentingan-kepentingan, maka dari sekian banyak

kepentingan-kepentingan harus dipilih dan dipastikan ada kepentingan-kepentingan

yang harus didahulukan atau diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lain.

Jadi ada kepentingan yang dianggap lebih penting atau utama dari kepentingan

lainnya. Berbagai kepentingan itu harus dipertimbangkan bobotnya secara seimbang

(proporsional) dengan tetap menghormati masing-masing kepentingan dan

kepentingan yang menonjol itulah kepentingan umum, sudah tentu tindakan

pemerintah dalam menentukan kepentingan mana yang lebih penting atau utama dari

kepentingan-kepentingan lain itu harus berdasarkan hukum dan mengenai sasaran

atau bermanfaat. Jadi kepentingan umum adalah kepentingan yang harus didahulukan

dari kepentingan-kepentingan yang lain dengan tetap memperhatikan proporsi

(34)

berarti bahwa ada kewerdaan (hirarkhi) yang tetap antara kepentingan yang termasuk

kepentingan umum dan kepentingan lainnya.

Secara teoritis dapat dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan

resultante hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan di

dalam masyarakat dengan menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan

umum. Secara praktis dan kongkrit akhirnya diserahkan kepada hakim untuk

menimbang-nimbang kepentingan mana yang lebih utama dari kepentingan yang lain

secara seimbang (proporsional) dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan

yang lain. Sebaliknya tidak seyogyanya untuk memberi batasan atau definisi yang

kongkrit, mutlak dan ketat mengenai kepentingan umum karena kepentingan manusia

itu berkembang demikian pula kepentingan umum. Perlu kiranya ada satu rumusan

umum sebagai pedoman tentang pengertian kepentingan umum yang dapat digunakan

terutama oleh hakim dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kepentingan

umum yang dinamis, tidak tergantung pada waktu dan tempat. Tiap-tiap kasus harus

dilihat secara kasuistis, yang akhirnya menentukan apa saja yang termasuk pengertian

kepentingan umum adalah hakim atau undang-undang berdasarkan rumusan yang

umum tadi.

Seyogyanya kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan tetap

dirumuskan secara umum dan luas. Kalau dirumuskan secara rinci atau kasuistis

dalam peraturan perundang-undangan, penerapannya akan kaku, karena hakim lalu

terikat pada rumusan undang-undang. Rumusan umum oleh pembentuk

(35)

hakim berdasarkan kebebasannya dapat secara kasuistis disesuaikan dengan

perkembangan masyarakat dan keadaan sebagaimana dengan munculnya penetapan

tentang ketidakhadiran subjek hukum badan hukum (rechts persoon). Kemandirian

hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum dapat menentukan mana yang

merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong

dalam undang-undang adalah tidak bertentangan dengan Pasal 21 AB. Hasil

penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan

mengikat sebagai hukum sebab dituangkan dalam bentuk putusan. Hasil penemuan

itu merupakan hukum.17 Hal ini juga berlaku bagi perluasan ketidakhadiran atas

subjek hukum badan hukum (rechtspersoon).

2. Konsepsi

Untuk menghindarkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran terhadap

istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, perlu kiranya penulis memberikan definisi dari

istilah-istilah tersebut sebagai berikut :

a. Hukum seperti yang dikatakan oleh Van Apeldoorn 100 tahun terakhir

belumlah ditemukan definisi hukum yang memuaskan semua pihak, namun

demikian, sebagai pegangan dapat dipilih satu dari sekian banyak perumusan

seperti : keseluruhan kaidah (norma) nilai mengenai suatu segi kehidupan

(36)

masyarakat, yang maksudnya mencapai kedamaian dalam masyarakat. Sifat

utama hukum itu ialah keadilan dan kemanfaatan.18

b. Kewenangan 19 yaitu serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau

seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas

pekerjaan dapat terlaksana dengan baik; hak dan kekuasaan; kompetensi;

yuridiksi; otoritas.

c. Balai Harta Peninggalan 20 adalah unit pelaksana penyelenggaraan hukum di

bidang harta peninggalan dan perwakilan dalam lingkungan Departemen

Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia), yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada

Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan (sekarang Direktur

Jenderal Administrasi Hukum Umum) melalui Direktorat Perdata. Tugas

pokok BHP ialah mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang yang

karena hukum atau Keputusan Hakim tidak dapat menjalankan sendiri

kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Pengelolaan adalah melakukan tindakan penguasaan, pengurusan,

pemeliharaan dan penyimpanan berdasarkan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

18 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 242 19 Ibid, hal. 633.

(37)

e. Harta kekayaan 21 adalah barang-barang yang menjadi kekayaan seseorang

baik yang berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut

hukum.

f. Pemilik 22 adalah orang yang empunya.

g. Ahliwaris 23 adalah kaum keluarga, orang yang berhak menerima pusaka,

peninggalan orang yang telah meninggal.

h. Ketidakhadiran (afwezigheid) adalah merupakan istilah hukum yang berasal

dari bahasa Belanda, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 463

KUH Perdata, yaitu :

Jika terjadi seorang telah meninggalkan tempat tinggalnya, dengan tidak memberi kuasa kepada seorang wakil, guna mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, pun ia tidak mengatur urusan-urusan dan kepentingan itu, ataupun jika pemberian kuasa kepada wakilnya tidak berlaku lagi, maka jika ada alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya itu atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pengadilan Negeri tempat tinggal si yang tak hadir, atas permintaan mereka yang berkepentingan, atau atas tuntutan Jawatan Kejaksaan, harus memerintahkan kepada Balai Harta Peninggalan, supaya mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaan dan kepentingan itu pula supaya membela hak-hak si yang tak hadir dan mewakili dirinya.24

Dari bunyi Pasal 463 KUHPerdata tersebut di atas, dapat ditarik batasan

pengertian, bahwa untuk menyatakan tentang ketidakhadiran seseorang sehubungan

dengan pengurusan hartanya haruslah memenuhi beberapa unsur, yaitu :

21 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Perum Balai Pustaka, 1995), hal.342.

22 Muhammad Ali, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani,), hal. 299. 23 Ibid, hal 618.

(38)

1. Adanya orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya;

2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tidak hadir untuk mengurusi kepentingannya,

atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah berakhir;

3. Adanya harta kekayaan dari orang yang tak hadir;

4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta

kekayaan itu;

5. Adanya Penetapan Pengadilan setempat tentang ketidakhadiran seseorang;

6. Adanya permintaan dari yang berkepentingan atau tuntutan Jawatan Kejaksaan.

Dengan melihat unsur-unsur di atas, jelas terlihat bahwa pernyataan

ketidakhadiran seseorang, haruslah berdasarkan pada Penetapan atau Putusan

Pengadilan Negeri.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang

timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan metode penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu

penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis analisis terhadap norma

(39)

analitis ini merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah,

menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.25

Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan

disiplin ilmu dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang

objeknya hukum itu sendiri.26 Dengan demikian objek yang dianalisis dengan

pendekatan yang bersifat kualitatif adalah metode penelitian yang mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.27

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data sekunder, 28 yang meliputi :

a. Bahan hukum primer; yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum

perdata dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan

ketidakhadiran (afwezigheid), antara lain KUHPerdata, Surat Keputusan Menteri,

dan Peraturan Menteri.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar

hukum serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan ketidakhadiran

(afwezigheid).

25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 63 26 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hal 57

27 Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 14.

(40)

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat

informasi yang relevan dengan materi penelitian ini. 29

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui :

a. Studi kepustakaan (library research)

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan

data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur,

dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang

ketidakhadiran (afwezigheid) dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan

dengan materi penelitian.

b. Wawancara

Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diperoleh dengan

melakukan wawancara dengan Ketua Balai Harta Peninggalan Medan dan Pejabat

Tehnis di Kantor Balai Harta Peninggalan Medan.

(41)

4. Analisis Data

Setelah seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah

dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah

dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk

menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini

diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini, artinya

data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komperhensif dengan

melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang releven dengan masalah

ketidakhadiran.

b. Mencari doktrin, asas-asas atau prinsip ilmu hukum dalam perundang-undangan.

c. Membuat kategori dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari konsep-konsep yang

lebih umum.

d. Mencari hubungan antara kategori-kategori tersebut dan menjelaskan

hubungannya antara satu dengan yang lainnya.

Setelah dilakukan analisis dari langkah-langkah yang dilakukan di atas, maka

selanjutnya dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan

(42)

B A B II

PENGATURAN PERLUASAN KETIDAKHADIRAN SUBJEK HUKUM

DAN PENYEBAB TERJADINYA PERLUASAN

A. Ketidakhadiran pada Umumnya

Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid) diatur dalam buku I Bab XVIII

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai Pasal 463, akan tetapi Pasal 463 itu

sendiri tidak ada memberikan batasan pengertian atau definisi dari kata van

afwezigheid” . Istilah afwezigheid dalam praktek sehari-hari banyak terdapat

perbedaan dalam penterjemahannya. R. Soebekti menterjemahkan perkataan van

afwezigheid” yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek ke dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dengan perkataan “keadaan tak hadir”.30 Abdul Kadir

Muhammad menterjemahkan afwezigheid itu dengan istilah keadaan tak hadir,

selanjutnya beliau mengemukakan unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai berikut :

1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu anggota keluarga mungkin suami, mungkin istri, mungkin anak.

2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya tidak ada di lingkungan keluarga dimana mereka berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum. 3. Bepergian atau meninggalkan tempat kediaman, artinya menuju dan

berada di tempat lain karena suatu keperluan atau tanpa keperluan.

4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan persetujuan dan sepengetahuan anggota keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga.

5. Tak diketahui dimana tempat ia berada, artinya tempat lain yang dituju dan dimana ia berada tidak diketahui sama sekali, karena yang bersangkutan tidak memberi kabar atau karena sulit berkomunikasi. Tidak

(43)

memberi kabar mungkin karena ada halangan, misalnya terjadi perang, pemberontakan, kecelakaan, bencana alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang dengan sengaja supaya tidak berurusan lagi dengan keluarganya (putus asa). 31

Pengadilan Negeri Medan dalam prakteknya selalu memberikan pengertian

bahwa sukar dicari menggantikan perkataan afwezigheid apabila yang dinyatakan

afwezigheid tersebut adalah badan hukum, orang yang sukar dicari menggantikan

perkataan afwezigheid apabila yang dinyatakan afwezigheid tersebut adalah orang

(persoon). Namun di dalam praktek yang didapati hampir tidak ada perbedaan antara

istilah orang yang sukar dicari dengan sukar dicari, karena dalam prakteknya

ditemukan kasus-kasus afwezigheid, bahwa terhadap suatu badan hukum dapat

dinyatakan sebagai orang yang sukar dicari.32

H.F.A Vollmar juga tidak ada memberikan definisi atau batasan pengertian

dari ketidakhadiran ini, selain hanya memberikan uraian saja perihal lembaga

ketidakhadiran ini.33 Sudarsono memberikan gambaran atau definisi secara terbalik

dengan menyatakan : “Apabila suatu keadaan dimana seseorang meninggalkan

tempat tinggalnya dan tidak diketahui dimana seseorang tersebut berada maka

31 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53

32 Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 906/Pm/Perd/1979/Pn.Mdn tanggal 25 Maret 1980 tentang afwezigheid Bank of China.

(44)

keadaan ini disebut keadaan tak hadir”.34 Dari pendapat beberapa penulis di atas

pada pokoknya berisi substansi bahwa ketidakhadiran terjadi akibat berpisah atau

terpisahnya subjek hukum itu dengan domisilinya sedangkan sepeninggalnya

kekayaannya menghendaki perhatian khusus demi kepentingan subjek hukum lain

yang berkepentingan dengan kekayaan milik si tak hadir itu. Terpisahnya subjek

hukum tadi dengan domisilinya menurut rumusan Pasal 463 adalah karena sebab

yang memang datang dari kehendaknya atau niat yang berasal atau timbul dari diri si

tak hadir itu sendiri, artinya si tak hadir memiliki animus atau kehendak untuk

meninggalkan domisilinya, tanpa mempersoalkan apakah niat itu timbul karena

memang murni kehendaknya sendiri atau karena terpaksa oleh sebab lain. KUH

Perdata Indonesia tidak menyinggung keadaan orang yang hilang karena sesuatu

sebab, akan tetapi KUHPerdata Belanda yang baru ada menyinggungnya dengan

menggunakan istilah vermissing.

Bila memang kepergiannya dapat diduga oleh si tak hadir akan berlangsung

dalam waktu lama, sudah barang tentu ia akan melakukan sesuatu tindakan hukum

untuk menunjuk seseorang guna mengurus segala kepentingannya sepeninggalnya

misalnya seperti orang yang akan bepergian menunaikan ibadah haji yang lazimnya

membuat surat-surat yang berkaitan dengan kekayaannya sepeninggalnya, akan tetapi

keadaannya akan menjadi lain apabila sepeninggalnya ternyata di luar kehendaknya

masa kepergiannya tak terhindarkan harus dijalaninya dalam waktu yang relatif tak

(45)

dapat lagi ditentukan atau dikendalikannya, umpamanya selama kepergiannya tanpa

terduga ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di suatu negara yang karena sistem

politiknya sangat terisolasi mengakibatkan sulitnya komunikasi guna

memberitahukan keberadaannya. Sebaliknya apakah orang yang sedang menjalani

hukuman pidana penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Nusa

Kambangan dapat diklasifikasikan sudah dinyatakan tak hadir, sebab ia sudah

meninggalkan domisilinya untuk waktu yang tak dapat ditentukan lamanya dan tidak

ada mengatur segala sesuatu atas kekayaan dan kepentingannya sepeninggalnya

menjalani hukuman ?, itulah sebabnya Pasal 463 ayat (1) itu memberi ukuran bahwa

keberadaan afwezigheid itu harus dibuktikan dengan adanya penetapan hakim

terlebih dahulu, sehingga ketidakhadiran seseorang itu di domisilinya terjadi karena

terlebih dahulu melalui suatu proses hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.

Perkataan dapat dipertanggung jawabkan yang dipergunakan disini juga relatif sulit

memberikan ukurannya, karena dalam praktek juga ditemukan penetapan pengadilan

tentang ketidakhadiran itu yang lahir karena adanya permohonan BHP sendiri. 35

Untuk melengkapi uraian dalam bab ini perlu diulas terlebih dahulu tentang

subjek hukum manusia dan domisilinya, dengan maksud dapat memberikan

gambaran yang lebih jelas tentang subjek hukum manusia yang manakah yang dapat

dinyatakan tak hadir.

(46)

1. Subjek Hukum Manusia

Manusia sebagai subjek hukum karena kodratnya, sedangkan badan hukum

menjadi subjek hukum diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia itu

sendiri. Status atau kedudukan seorang manusia selaku subjek hukum melekat pada

diri pribadi seorang manusia sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia, dengan

penyimpangan khusus bahwa apabila kepentingannya menghendaki, maka seorang

anak dalam kandungan ibunya dapat dianggap telah lahir kedunia (Pasal 2 jo. Pasal

348 KUHPerdata); akan tetapi dengan syarat asalkan anak dalam kandungan yang

kepentingannya hendak dibela tadi pada waktunya nanti harus dilahirkan dalam

keadaan hidup. Untuk memberikan hak-hak keperdataan secara pribadi kepada bayi

yang masih berada dalam kandungan ibunya harus dipenuhi syarat bahwa ia harus

sudah dibenihkan kedalam hukum (kedalam kandungan ibunya) pada saat

kepentingannya terbuka. Jadi seorang manusia memulai persoalan hidupnya dalam

arti baru diakui sebagai subjek hukum apabila :

1. Dilahirkan dalam keadaan hidup ke dunia;

2. Sejak ia berada dalam kandungan ibunya, ia nantinya harus dilahirkan hidup;

3. Ia sudah dibenihkan pada saat kepentingannya terbuka (selama ia berada dalam

kandungan).

Anak dalam kandungan itu, sepanjang kepentingan hukumnya menghendaki

(meskipun semasa dalam kandungan) diperlakukan sebagai manusia yang telah lahir

hidup, bila ternyata ia kemudian lahir dalam keadaan tidak hidup, maka ia menurut

(47)

diterbitkan akte kelahirannya). Pembuktian bahwa subjek hukum manusia telah

dilahirkan dalam keadaan hidup adalah dengan diterbitkannya akta kelahiran

(certificate of birth atau acte van geboorte) dan pembuktian bahwa seorang

manusia telah meninggal dunia hanyalah dengan akta kematian (certificate of

death atau acte van overlijden). 36 Orang dalam pengertian hukum atau persoon

tersebut berwenang mempergunakan haknya sepenuhnya, termasuk juga untuk

menambah dan mengurangi harta kekayaannya dengan cara melakukan perbuatan

hukum yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, asalkan orang tersebut

sudah cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal

330 KUHPerdata) atau telah pernah kawin sebelum mencapai usia 21 tahun

(perhatikan juga Pasal 1330 KUH Perdata). Ini bukan berarti bahwa orang yang

belum dewasa tidak boleh melakukan perbuatan hukum. Sistem BW sendiri

(48)

menentukan bahwa terhadap orang-orang yang dibatasi kewenangannya (termasuk

orang yang belum dewasa) untuk melakukan tindakan hukum disediakan orang atau

badan yang akan membantu dan/atau mewakilinya dalam melakukan perbuatan

hukum yang diperlukan.

Bila diperhatikan, Sistem Hukum Perdata mengatur bahwa ada beberapa

subjek hukum manusia yang karena Undang-Undang sendiri membatasi penggunaan

haknya dalam lalu lintas hukum, dan oleh karena itu tidak semua subjek hukum

manusia dapat diterima untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu :

a. Wanita yang bersuami, yang harus melakukan tindakan hukum hanya dengan

bantuan (bijstand) atau persetujuan suaminya ataupun dengan memperoleh

persetujuan atau kuasa dari hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 108, tetapi

mengenai hal ini perlu juga diperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3

Tahun 1963. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, seorang wanita bersuami telah dibenarkan untuk melakukan

tindakan hukum, akan tetapi sepanjang tindakan hukum itu berkenaan dengan

harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, harus dimintakan persetujuan

suaminya. Demikian juga sebaliknya (perhatikan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2)

juncto Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2). Domisili seorang wanita bersuami adalah

mengikuti domisili suaminya. Ketentuan ini juga tidak konsekwen karena

seorang istri tanpa bantuan suaminya (Pasal 930 KUHPerdata) dibenarkan untuk

membuat surat wasiat. Dalam beberapa hal ketentuan ini dikesampingkan (Pasal

(49)

perceraian, pisah meja dan ranjang, pisah harta kekayaan, istri dapat bertindak

sendiri tanpa bantuan suaminya. Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan

bahwa setiap tindakan hukum berupa tindakan pemilikan (daad van eigendom)

yang hendak dilakukan oleh seseorang subjek hukum manusia (Warga Negara

Indonesia) yang sudah kawin haruslah dilakukan dalam akta yang bersangkutan

dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pasangannya (spouse

consent). Bila pasangan dari penghadap itu tidak dapat menghadap Notaris untuk

turut menanda tangani akta yang bersangkutan, seboleh-bolehnya diusahakan

surat persetujuan atau kuasa tertulis dari yang bersangkutan. Pasal 463 jo. Pasal

199 KUHPerdata mengindikasikan bahwa wanita (baik yang belum kawin

maupun yang bersuami) dan juga sebaliknya seorang pria (baik yang belum kawin

maupun beristri) dapat dinyatakan tak hadir.

b. Anak dibawah umur, yang harus diwakili oleh orang tua atau walinya dalam

melakukan setiap perbuatan hukum pada umumnya. Domisili dari seorang anak

dibawah umur mengikuti domisili orang tua atau walinya. Batasan umur dewasa

ditentukan Pasal 330 KUHPerdata, tetapi batas umur ini sebenarnya juga tidak

konsekwen, karena ternyata seorang pria yang berumur 19 tahun dan wanita yang

berumur dibawah 19 tahun boleh melakukan pengakuan anak (erkening) Pasal

282 KUHPerdata, dan bila sudah mencapai usia 18 tahun (Pasal 897

KUHPerdata) boleh membuat surat wasiat artinya untuk melakukan perbuatan

hukum yang tertentu itu seorang anak dibawah umur boleh datang menghadap

(50)

yang berkepentingan dengan harta milik anak dibawah umur yang tidak berada di

domisilinya dapat menghubungi walinya atau orang tuanya untuk menyelesaikan

urusan dan kepentingannya. Menurut hukum seorang anak dibawah umur belum

memiliki animus yang bebas untuk meninggalkan domisilinya. Walinya sendiri

sebagai manusia dewasa dapat dinyatakan tak hadir dan akibat langsung

ketidakhadiran ini secara de facto adalah bahwa si wali kehilangan akses untuk

melakukan pengurusan atas diri dan harta anak dibawah umur dan yang

mengakibatkan si wali itu dapat dicabut kekuasaannya sebagai wali. Bagaimana

kalau anak dibawah umur itu bersama-sama walinya (Pasal 339 KUHPerdata)

meninggalkan Indonesia, sedangkan anak dibawah umur itu memiliki kekayaan

berupa benda tetap dan ada pihak lain yang berkepentingan terhadap kekayaannya

sepeninggalnya, dan kepergian wali bersama anak dibawah umur itu berlangsung

lama dan tidak ada mengatur atau memberi kuasa untuk mengatur segala sesuatu

mengenai kekayaannya sepeninggalnya, apakah anak dibawah umur itu dapat

dinyatakan tak hadir ?. Pasal 462 KUHPerdata secara tegas melarang seorang

anak dibawah umur yang gila untuk diletakkan dibawah pengampuan, akan tetapi

tidak satu pasalpun dalam BW yang melarang menempatkan seorang anak

dibawah umur dalam keadaan tak hadir.

Peluang bagi seorang anak dibawah umur untuk dinyatakan tak hadir

sangat kecil, sebab domisili dari seorang anak dibawah umur selalu dianggap

mengikuti domisili orang tua atau walinya, sedangkan terhadap seorang anak

Gambar

Gambar 3.1. Proses Pengalihan Boedel Afwezigheid Menjadi Milik Negara

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu kami berusaha untuk mencari ide agar roti tersebut tidak dibuang, lalu setelah kami mendapatkan ide untuk membuat roti tersebut dapat membuahkan hasil

Guru meminta siswa untuk menggunakan strategi-strateginya dalam menyelesikan masalah yang berkaitan dengan menghitung keliling dan luas bangun segitiga

Nahiz eta, gure ustez, argi dagoen Fredulforen eta Valpuestaren arteko lotura (jarraikortasun bat duena bere familiako kideen artean eta Joanen dohaintza

Jadi, dapat disimpulkan bahwa disiplin karyawan adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan peraturan, prosedur kerja yang ada atau disiplin sikap, tingkah laku,

Data Perhitungan Bakteri Staphylococcus aureus Pada Tangan Sebelum Direndam dan Setelah Direndam Dengan Maserasi Daun Kelor.

Yang bertanda tangan di bawah ini saya Riyan Indra Pramana, menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ ANALISIS PENGARUH KUALITAS LAYANAN DAN PERSEPSI ATAS HARGA

[r]

Jakarta, 14 Januari 2016 – Citi Indonesia melalui payung kegiatan kemasyarakatannya, Citi Peka (Peduli dan Berkarya), bersama dengan mitra pelaksana program UKM Center Fakultas