ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN BALAI
HARTA PENINGGALAN DALAM PENGELOLAAN
HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DIKETAHUI
PEMILIK DAN AHLIWARISNYA
(STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)
T E S I S
Oleh
S Y U H A D A
077005028/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
SE K O L
A
H
P A
S C
A S A R JA N
ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN BALAI
HARTA PENINGGALAN DALAM PENGELOLAAN
HARTA KEKAYAAN YANG TIDAK DIKETAHUI
PEMILIK DAN AHLIWARISNYA
(STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
S Y U H A D A
077005028/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP KEWENANGAN
BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM
PENGELOLAAN HARTA KEKAYAAN YANG
TIDAK DIKETAHUI PEMILIK DAN
AHLIWARISNYA (STUDI DI BALAI HARTA PENINGGALAN MEDAN)
Nama Mahasiswa : S y u h a d a
Nomor Pokok : 077005028
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) K e t u a
(Dr. Sunarmi, SH. MHum) (Dr. Mahmul Siregar, SH,. MHum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 13 Juli 2009
___________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH
Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH. MHum
2. Dr. Mahmul Siregar, SH. MHum
3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum
ABSTRAK
Keberadaan Lembaga Ketidakhadiran (afwezigheid) berdasarkan Pasal 463 KUHPerdata dan Penetapan Pengadilan secara formal hanya ditujukan bagi subjek hukum manusia. Perkembangan dalam masyarakat memperlihatkan kecendrungan bahwa subjek ketidakhadiran itu diperluas berlakunya sehingga meliputi juga ketidakhadiran subjek hukum badan hukum. Penelitian ini menguraikan dasar dan penyebab dari perluasan pemberlakuan afwezigheid tersebut, pelaksanaan dalam pengelolaan terhadap harta kekayaan afwezigheid dan kendala-kendala serta upaya yang dilakukan BHP Medan dalam pengurusan dan pengelolaan boedel afwezigheid tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data primer dan data sekunder (bahan hukum) yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara dan studi kepustakaan. Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan BHP dan kekosongan hukum dalam pengaturan afwezigheid mendorong hakim melakukan penemuan hukum dengan memperluas makna ketidakhadiran meliputi ketidakhadiran badan hukum.
Meskipun kekosongan hukum telah terisi dengan penemuan hukum, akan tetapi tetap saja terdapat hambatan-hambatan, baik yang bersifat internal maupun eksternal bagi BHP dalam melaksanakan pengurusan dan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang dinyatakan afwezigheid. Hambatan internal berasal dari BHP itu sendiri, berupa sumber daya manusia, kendala anggaran, serta kendala fasilitas dan sarana kerja. Sedangkan kendala eksternal antara lain kurangnya pengertian dan pemahaman dari instansi terkait dengan tugas pengurusan boedel afwezigheid, munculnya orang atau pihak lain yang mengaku sebagai pemilik, ahliwaris atau kuasanya yang dapat menimbulkan terjadinya proses gugatan pembatalan terhadap penetapan ketidakhadiran serta pihak yang berkepentingan kadang kala tidak sanggup membayar harga barang-barang atau harta kekayaan afwezigheid tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada pembuat Undang-undang agar melembagakan pengaturan tentang afwezigheid kedalam peraturan perundang-undangan nasional yang lebih tinggi (Undang-undang). Pemerintah diharapkan untuk memperhatikan kecukupan anggaran bagi BHP serta memperbaiki sarana dan fasilitas kerja, agar BHP bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
ABSTRACT
The existence of absentia institution (afwezigheid) based on the Article 463 of Personal Code and Judicial Verdict formally is only referred to legal subject of human beings. The progress in society presents a tend that the subject of absentia is extended of the application to also include the absentia of corporate. The present study described the principles and cause of the extended application of afwezigheid, incuding implementation of property management of afwezigheid and the challenges, and the efforts of BHP Medan in arrangement and management of boedel afwezigheid.
The study used a normative method descriptively by a qualitative analysis. The qualitative analysis was applied for the primary and secondary data (corporate) collected by using both interview and library study. The requirement of society for BHP service and legal vacancy in managing the afwezigheid leads the judges to make a legal discovery by extending the definition of absentia of corporate.
Although the legal vacancy has been filled by the legal discovery, however, there were also challenges either internally or externally for BHP to implement the arrangement and management of property stated under afwezigheid. The internal challenges resulted from the BHP itself such as human resources, lack of budget, and other limitation of facility and the working instrument. Whereas the external challenges included the lack of understanding and comprehension of the relevant institutions related to the arrangement of boedel afwezigheid, the emergence of those or other parties who recognized as the owner, heirs or the authorized power of attorney that can result in the sue of cancellation of any decision of absentia and the interest parties sometimes could not pay the prices of goods and property of the afwezigheid.
Based on the result of the study, it is suggested to the legislative to institutionalize the arrangement of afwezigheid into the higher national Statutory Rules (Laws). The government is expected to consider the sufficiency of budget of BHP and repair the working facilities that the BHP can conduct their main jobs and functions as required by the society.
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniaNya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai Harta Peninggalan
dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui Pemilik dan
Ahliwarisnya”.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan Penulis. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati, Penulis mengharapkan kritik yang sehat dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak untuk perbaikannya dikemudian hari.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, Penulis
sampaikan kepada yang terhormat dan yang amat terpelajar :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,
SpA (K) dan para Pembantu Rektor, para Kepala Biro dan Lembaga atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Komisi Pembimbing yang
selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis baik pada saat
mengikuti perkuliahan dan juga dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Ibu Dr. Sunarmi, SH. MHum, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan saran, bimbingan dan dukungan penuh membuat Penulis
terpacu untuk segera menyelesaikan tesis ini. Untuk itu Penulis doakan semoga
Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada Beliau dan
keluarganya.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH. MHum, selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang dalam kesibukannya rela meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan dan arahan yang sangat berguna untuk penyelesaian tesis ini.
6. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum, selaku Anggota Komisi Penguji.
7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Anggota Komisi
Penguji.
8. Seluruh Dosen penulis pada Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak
9. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara yang telah merekomendasikan
serta memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi Penulis untuk mendapatkan
bea siswa penuh dalam mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
10.Bapak Amri Marjunin, SH, Ketua BHP Medan dan para ATH yang telah
memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti perkuliahan pada
Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, serta data-data yang
sangat berguna dalam penyelesaian tesis ini.
11.Orang tua tercinta, ayahanda H. Sahono dan Ibunda Hj. Aniyah, yang tiada
hentinya berdoa demi kesuksesan penulis, dan semua saudara-saudariku serta
segenap keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada Penulis untuk
menyelesaikan perkuliahan dan tesis ini.
12.Rekan-rekan seperjuangan pada kelas kekhususan Hukum dan HAM Program
Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU Angkatan I Tahun 2007.
13.Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum SPs USU atas segala
bantuannya berupa pelayanan dan kemudahan yang kalian berikan, kiranya Allah
SWT yang akan membalas segala kebaikan kalian.
14.Teristimewa ucapan terimakasih kepada isteri tercinta Rinawati dan ananda
Indana Sari Zulfa, dengan cinta kasih yang tulus terus mendukung dan rela
kehilangan waktu untuk bersama selama masa perkuliahan berlangsung.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
terutama bagi Penulis sendiri serta dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
hukum dimasa mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat
dan anugerahNya kepada kita semua. Amin ya rabbal alamin.
Medan, Mei 2009
Wassalam Penulis,
S Y U H A D A
RIWAYAT HIDUP
N a m a : S Y U H A D A
Tempat / Tgl. Lahir : Medan, 12 Juni 1967
Jenis Kelamin : Laki-laki
A g a m a : I s l a m
A l a m a t : Jl. Setia Budi Psr. I No. 36-A Tanjung Sari Medan
Telp. (061) 8217494/ HP. 081397623166
Pendidikan :
- SD Muhammadiyah 3 Tanjung Sari Medan,lulus tahun 1980
- SMP Muhammadiyah Tanjung Sari Medan, lulus tahun
1983
- SMA Negeri 14 Medan, lulus tahun 1986
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area Medan, lulus
tahun 1992
- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan, lulus tahun
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK..……….i
ABSTRACT.………ii
KATA PENGANTAR………iii
RIWAYAT HIDUP………vii
DAFTAR ISI……….viii
DAFTAR GAMBAR……….xii
DAFTAR SINGKATAN………...xiii
BAB I : PENDAHULUAN………1
A. Latar Belakang………...1
B. Perumusan Masalah………...9
C. Tujuan Penelitian……….10
D. Manfaat Penelitian………...10
E. Keaslian penelitian………...12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi..………...13
1. Kerangka Teori………...13
2. Konsepsi………...18
1. Jenis dan Sifat Penelitian………...22
2. Sumber Data Penelitian……….………..23
3. Teknik Pengumpulan Data………..23
4. Analisis Data………..24
BAB II : PENGATURAN PERLUASAN KETIDAKHADIRAN SUBJEK HUKUM DAN PENYEBAB TERJADINYA PERLUASAN……...26
A. Ketidakhadiran pada Umumnya……….26
1. Subjek Hukum Manusia..………...30
2. Subjek Hukum Badan Hukum.. ...39
3. Domisili...53
B. Landasan Hukum Ketidakhadiran (afwezigheid)...62
1. Yang dapat dinyatakan tak hadir dan syarat-syarat memajukan permohonan ketidakhadiran...68
2. Tahap-tahap penyelesaian ketidakhadiran serta akibat hukumnya……….70
BAB III : PELAKSANAAN TUGAS BALAI HARTA PENINGGALAN
SEBAGAI PENGELOLA BOEDEL KETIDAKHADIRAN…....101
A. Sejarah Balai Harta Peninggalan………..101
B. Dasar Hukum………106
C. Pelaksanaan pengurusan dan pengelolaan boedel ketidak
hadiran...110
1. Melaksanakan Inventarisasi boedel ketidakhadiran
(afwezigheid) ...111
2. Iklan (pengumuman) ketidakhadiran...113
3. Izin pelaksanaan jual boedel ketidakhadiran dari Direktur
Jenderal Administrasi Hukum Umum...115
4. Izin penjualan harta kekayaan afwezigheid dari
Pengadilan Negeri... ...117
D. Pertanggung jawaban BHP dalam pengelolaan boedel
ketidakhadiran (afwezigheid)...123
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN DAN UPAYA YANG
DILAKUKAN BHP DALAM PENGELOLAAN BOEDEL
KETIDAKHADIRAN..………...128
A. Hambatan-hambatan dalam pengelolaan boedel ketidak
hadiran (afwezigheid)...128
1. Hambatan-hambatan Internal…....128
2. Hambatan-hambatan Eksternal ...136
B. Upaya-upaya yang dilakukan BHP untuk mengatasi
hambatan-hambatan dalam pengelolaan boedel ketidak
hadiran (afwezigheid)...138
1. Upaya-upaya Internal...138
2. Upaya-upaya Eksternal………..141
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………...145
1.. Kesimpulan………...145
2. Saran-saran………...148
DAFTAR PUSTAKA...150
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
3.1 : Proses Pengalihan Boedel Afwezigheid
DAFTAR SINGKATAN
B E J : Bursa Efek Jakarta
B H P : Balai Harta Peninggalan
B P H N : Badan Pembinaan Hukum Nasional
B P N : Badan Pertanahan Nasional
B W : Burgerlijk Wetboek
D I R J E N : Direktur Jenderal
H A M : Hak Asasi Manusia
H. R. : Hooge Raad
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHPidana : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
M A R I : Mahkamah Agung Republik Indonesia
MENKUMHAM : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
P J N : Peraturan Jabatan Notaris
P N : Pengadilan Negeri
P P : Peraturan Pemerintah
P P A T : Pejabat Pembuat Akta Tanah
R.Bg : Reglement Buitengewesten
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Abad 21 menghadapkan pada keadaan, permasalahan dan tantangan yang
berbeda dengan yang dihadapi dalam kurun waktu sebelumnya. Perkembangan
lingkungan strategi nasional dan internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa
yang akan datang ditandai dengan adanya tuntutan reformasi dan demokratisasi sejak
tahun 1997 yang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaharuan
sistem kelembagaan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang mengacu pada
terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance). 1
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang
bertugas melakukan pelayanan di bidang hukum melalui unit-unit pelaksana
teknisnya antara lain Balai Harta Peninggalan (BHP) tidak lepas dari tuntutan dan
harapan untuk melaksanakan tugas pemerintahan yang baik dan bebas KKN (good
governance andclean government).2
1 Syamsuddin Manan Sinaga, “ Pola Kerja Balai Harta Peninggalan Menyikapi Pemeriksaan
Inspektorat Jenderal BPKP dan BPK”, makalah disampaikan pada Rapat Kerja Balai Harta
Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat dewasa ini,
keberadaan dan eksistensi Lembaga Balai Harta Peninggalan (BHP) mutlak
diperlukan dan diharapkan mampu menjawab segala tantangan dalam pembangunan
bidang hukum. Kebijakan pembentukan hukum dewasa ini diarahkan untuk
membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana
pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan
mewujudkan ketertiban, legitimasi dan keadilan. Dalam penegakan hukum, kepastian
dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui
penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekwen dan konsisten
dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law 3
yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur yang bersumber dari Pancasila dan UUD
1945.
BHP sebagai instansi Pemerintah di lingkungan Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Perdata, yang salah satu tugasnya
adalah sebagai yang mewakili kepentingan mereka yang tak hadir dan sukar
dicari atau dalam istilah hukum disebut “afwezigheid“ sangat berperan dalam
melaksanakan pengurusan serta pengelolaan terhadap harta kekayaan yang
pemiliknya dinyatakan tak hadir atau sukar dicari. BHP merupakan lembaga yang
berdasarkan undang-undang diberi tugas dan kewenangan untuk mengurus dan
mewakili segala kepentingan-kepentingan subjek hukum yang tak hadir sesuai bunyi
Pasal 463 KUHPerdata 4 serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan
pengurusan.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, BHP didukung oleh
peraturan-peraturan yang ada serta kebijaksanaan pemerintah berupa Surat
Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan Surat-Surat Edaran yang dikeluarkan oleh
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 5. Bila dilihat dari
peraturan dan dasar hukum yang menjadi landasan tugas BHP masih banyak
menggunakan peraturan warisan kolonial yang masih berlaku karena belum diganti
atau dicabut, walaupun seringkali mungkin tidak diperlukan lagi atau perlu diubah,
diperbaharui atau sudah perlu diganti dengan peraturan yang sama sekali baru, agar
dapat memenuhi kebutuhan perkembangan zaman.
Dasar pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya
produk kolonial yang sampai saat ini masih berlaku adalah Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 jo Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa
4 Pasal 463 KUHPerdata berbunyi :
untuk mengisi kekosongan hukum, maka segala badan negara dan peraturan yang
masih ada langsung berlaku sebelum diadakan yang baru berdasarkan UUD 1945.
Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diciptakan pada zaman
kolonial masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945,6 sebagaimana yang dikemukakan oleh mantan Menteri Kehakiman
Sahardjo yang mengatakan :
“ Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel bukan kodifikasi
lagi (dikatakannya telah menjadi “rechts boek”). Dari kedua buku itu yang
berlaku ialah pasal-pasal yang betul-betul hidup sebagai hukum di Indonesia dengan syarat : a). tidak bertentangan dengan jiwa UUD 1945; b). tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan asas-asas tata hukum kita; c).setelah disesuaikan dengan keadaan, pasal-pasal yang memenuhi syarat itu berlaku sebagai hukum yang tidak tertulis”.7
Salah satu di antara peraturan kolonial tersebut adalah peraturan di bidang
BHP, yang masih berlaku karena belum diganti atau dicabut. Dalam tesis ini yang
dimaksud dengan “ peraturan yang ada” adalah khususnya yang berkaitan dengan
lembaga hukum “afwezigheid ” atau “ ketidakhadiran” yang diatur dalam Bab
Kedelapanbelas Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet boek.
Stb.1847/23 jo. Stb. 1848/10, selanjutnya disingkat BW). Berhubungan dengan Pasal
235 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement, Stb.1941/44) jo. Pasal 271 RBg
6 Tim Penyusunan Naskah Akademis tentang Balai Harta Peninggalan, “ Naskah Awal Tentang Balai Harta Peninggalan Dan Pencabutan Instructie voor de Weeskamers in Indonesia (Ord.v.5 Okt 1872) S.72-166 (Iwg. 1 Juli 1973) “.
(Rechts Reglement Buitengewesten, Stb. 1927/227).8 Ketentuan-ketentuan tentang
lembaga ketidakhadiran tersebut di atas dengan segala aturan-aturan pelaksanaannya
tetap dipertahankan eksistensinya hingga kini atas dasar Pasal II Aturan Peralihan
tersebut di atas dan berlaku bagi subjek hukum manusia yang berstatus sebagai
warga negara Indonesia.
Status atau kedudukan dari subjek hukum yang dinyatakan tak hadir
(afwezig) itu sangat berhubungan erat dengan instansi atau lembaga yang menurut
undang-undang dipercayakan untuk mengelola atau mengurus hak-hak atas kekayaan
milik si tak hadir tadi. Uraian-uraian tentang lembaga hukum yang bertugas
mengelola hak-hak atas kekayaan milik subjek hukum yang dinyatakan tak hadir itu
jelas akan menyentuh uraian tentang manajemen secara umum. Manajemen itu
sendiri mencakup beberapa unsur yang keseluruhannya saling mendukung.
M. Solly Lubis mengemukakan bahwa manajemen adalah proses atau
kegiatan orang-orang dalam organisasi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang
tersedia bagi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan 9, selanjutnya beliau menulis
bahwa : “ untuk mencapai tujuan itu, diperlukan sumber-sumber atau yang disebut
juga unsur manajemen yang dapat digolongkan menjadi sumber daya manusia, dana
atau sumber keuangan, sarana atau perangkat kerja, termasuk di dalamnya
metoda/teknologi dan material/bahan-bahan 10. Dalam prakteknya di lapangan BHP
dalam proses pengurusan terhadap harta kekayaan yang dinyatakan afwezigheid
menghadapi berbagai kendala baik secara intern maupun ekstern.
Keadaan sukar dicari atau ketidakhadiran yang dalam istilah hukumnya
disebut “afwezigheid ” menurut sistem hukum yang ada diberlakukan bagi subjek
hukum manusia ini menurut hukum dinyatakan dan selanjutnya hanya dapat
dibuktikan keberadaan atau eksistensinya dengan penetapan (beschikking) hakim
(Pasal 463 KUHPerdata). Dalam penetapan ketidakhadiran itu dapat sekaligus
ditunjuk BHP setempat yang akan bertugas mengurus dan yang mewakili serta
membela segala kepentingan si tak hadir itu selama ketidakhadirannya, akan tetapi
dengan tidak mengurangi kewenangan hakim untuk menunjuk seorang atau lebih dari
keluarga sedarah atau semenda dari si yang tak hadir atau kepada isteri atau suaminya
untuk keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata). Selanjutnya setelah penetapan
tentang ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht
van gewijsde), maka pengurus atau wakilnya akan melaksanakan segala tindakan
pengurusan (daad van beheer) maupun tindakan pemilikan (daad van beschikking)
bila perlu sesuai dengan kepentingan boedel afwezig atau kekayaan tak hadir
dimaksud. 11
Dalam melaksanakan pengurusan atas kekayaan milik orang yang tak hadir
itu, sepanjang tidak ditentukan lain oleh Pengadilan, wajib diturut dan dipatuhi
10 Ibid.
ketentuan yang berlaku bagi pengurusan atas harta kekayaan dari anak yang masih di
bawah umur (Pasal 464 kalimat kedua jis. Bagian kesebelas Buku I KUH Perdata).
Dalam prakteknya di lapangan (di Kantor BHP Medan), telah terdapat
perluasan dalam penentuan subjek ketidakhadiran yaitu :
1. Bahwa subjek ketidak hadiran ini telah diperluas penerapan dan pengertiannya
sehingga meliputi dan mencakup juga ketidakhadiran dari subjek hukum badan
hukum (rechts persoon), contoh Penetapan Pengadilan Negeri Medan No.
906/Pm/Perd/1979/PN.Mdn tanggal 25 Maret 1980 tentang Putusan afwezig Bank
of China.
2. Bila kepentingan boedel itu sendiri menghendaki (dalam arti untuk menghindari
akibat dan kerugian terhadap boedel), maka pengurusan harta kekayaan si tak
hadir ini dapat diarahkan kepada tindakan pemilikan (dalam arti penjualan) atas
boedel afwezig itu. Dalam praktek di lapangan rumah atau tanah yang dikelola
oleh BHP pada umumnya dimohon untuk dibeli oleh para penghuninya, orang
lain atau oleh yang menguasainya berdasarkan penetapan pengadilan melalui
BHP sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik
Indonesia No. M.01.HT.05.10 Tahun 1990 tanggal 24 Desember 1990 tentang
Petunjuk Untuk Mengajukan Permohonan Izin Prinsip Dan Izin Pelaksanaan
Penjualan Budel Afwezig Dan Onbeheerde Nalatenschap Yang Berada Dibawah
Pengawasan Dan Pengurusan Balai Harta Peninggalan, sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Permohonan Ijin Pelaksanaan Penjualan Harta Kekayaan Yang Pemiliknya
Dinyatakan Tidak Hadir Dan Harta Peninggalan Yang Tidak Terurus Yang
Berada Dalam Pengawasan Balai Harta Peninggalan, selanjutnya menyimpan
hasil penjualannya dalam bentuk uang tunai;
3. Uang hasil penjualan boedel afwezig selanjutnya disimpan di Bank milik
Pemerintah sebagai rekening Uang Pihak Ketiga yang dikelola BHP untuk jangka
waktu tertentu dan harus disetorkan ke Kas Negara apabila telah mencapai 1/3
abad berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri setempat dan izin dari Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam
Staatsblad 1836 No. 56 jo. Staatsblad 1850 No. 3.
Selanjutnya, dalam konteks pembaharuan hukum sebagai upaya untuk
memberikan jaminan dan kepastian hukum, menurut Bismar Nasution terdapat
beberapa unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat pembangunan,
yaitu :
1. Hukum harus membuat prediksi (predictability), yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan hukum.
2. Hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural capability)
dalam penyelesaian sengketa, misalnya dalam mengatur peradilan trigunal
(cour or administrative tribunal), penyelesaian sengketa di luar peradilan
(alternative dispute resolution) dan penunjukan arbiter, konsiliasi
(conciliation) dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam
penyelesaian sengketa.
3. Pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals) oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara.
5. Hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance) karena hal ini berkaitan dengan inisiatif pembangunan.
6. Hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas
(definition and clarity of status). Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang.
7. Hukum itu harus dapat mengakomodasi (accommodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, dan terakhir;
8. Stabilitas (stability) sebagai unsur yang harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan. 12
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini penting
untuk dilakukan mengingat peran penting yang akan diemban oleh BHP terkait
dengan tugas pengurusan dan pengelolaan terhadap harta kekayaan (boedel)
ketidakhadiran.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bahagian latar belakang di atas, maka terdapat
beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimanakah pengaturan perluasan ketidakhadiran subjek hukum pada Balai
Harta Peninggalan dan mengapa terjadi perluasan ketidakhadiran subjek hukum
tersebut ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan dalam pengelolaan terhadap harta kekayaan yang
tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya ?
3. Bagaimanakah kendala dan upaya yang dilakukan Balai Harta Peninggalan dalam
melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan
ahliwarisnya ?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mencari
pemahaman yang tepat tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perluasan subjek ketidakhadiran dari
subjek hukum manusia sehingga meliputi juga badan hukum. .
2. Untuk mengetahui sampai sejauhmana perluasan ketidakhadiran subjek hukum
yang diterapkan oleh BHP.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala dan upaya yang dilakukan oleh BHP dalam
melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan
ahliwarisnya.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang berjudul “ Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Balai
Harta Peninggalan Dalam Pengelolaan Harta Kekayaan Yang Tidak Diketahui
Pemilik Dan Ahliwarisnya “, diharapkan akan memberikan manfaat teoritis dan
1. Manfaat Teoritis
a. Masukan bagi pengkajian lebih lanjut bagi praktisi hukum yang ingin
memperdalam, mengembangkan atau menambah pengetahuan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan Pengelolaan Harta Kekayaan yang tidak diketahui
pemilik dan ahliwarisnya.
b. Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu pengetahuan hukum, yaitu
dalam bidang hukum keperdataan, khususnya hukum perseorangan.
c. Sebagai salah satu bahan referensi bagi kalangan praktisi hukum, akademisi
dan masyarakat pemerhati hukum sebagai bahan kajian dan perbandingan.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat bagi aparatur pengambil
kebijakan di lingkungan BHP pada umumnya dan BHP Medan pada khususnya
dalam menerapkan ketentuan yang sebenarnya berlaku dalam mengurus harta
kekayaan orang yang dinyatakan tak hadir (afwezigheid).
b. Memberikan tambahan wawasan pemikiran kepada kalangan yang berminat
mempelajari tentang afwezigheid yang merupakan problematika hukum yang
memerlukan perhatian dan penanganan yang profesional.
c. Sebagai bahan masukan guna penyempurnaan peraturan perundang-undangan
nasional, khususnya yang terkait dengan kasus-kasus afwezigheid dan
d. Mengungkap masalah yang timbul di lapangan sebagai implementasi atas
pelaksanaan tugas pengurusan atas boedel afwezig dimaksud serta sebagai
sumbang saran berupa solusi terhadap masalah dimaksud untuk peningkatan
kinerja BHP di masa datang.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai ketidakhadiran
(afwezigheid) ini sudah pernah dilakukan dan diteliti oleh peneliti lain antara lain oleh
Saudara Syahril Sofyan dengan merumuskan permasalahan yaitu :
1. Mengapa terjadi perluasan subjek ketidakhadiran dari subjek hukum manusia
sehingga mencakup juga subjek hukum badan hukum ?
2. Apakah perluasan pengertian subjek ketidakhadiran itu dapat diterima secara
praktis, baik oleh atasan langsung yang membawahi BHP yang bersangkutan
maupun oleh aparat pengawas fungsional di lingkungan Departemen Kehakiman
RI (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) ?
3. Apakah ada saldo uang milik orang yang tak hadir yang terdapat dalam rekening
uang pihak ketiga yang dikelola BHP yang sudah diurus selama waktu tertentu
. Dengan rumusan masalah yang berbeda dengan penulis, maka penelitian ini
dapat dikategorikan penelitian yang baru, dan keasliannya dapat dipertanggung
jawabkan secara akademis dan ilmiah, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional dan obyektif yang semuanya ini merupakan imflikasi dari proses menemukan
kebenaran. Penelitian ini didasarkan pada ide, gagasan, serta pemikiran penulis
pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya dengan melihat kasus-kasus
afwezigheid yang pengurusan dan pengelolaannya dilakukan oleh BHP Medan,
kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini, karena hal tersebut sangat
dibutuhkan untuk penyempurnaan tesis ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Ketidakhadiran (afwezigheid) menurut doktrin dan undang-undang hanya
berlaku bagi manusia (persoon). Tetapi dalam praktek terjadi bahwa ketidakhadiran
(afwezigheid) telah diperluas oleh hakim sehingga meliputi ketidakhadiran badan
hukum (rechtspersoon). Ketidakhadiran badan hukum itu sendiri bukan lagi sebagai
pengecualian dari ketidakhadiran atas subjek hukum manusia, melainkan sebagai
suatu hal yang sudah diterima dalam praktek hukum bahwa subjek badan hukum
(rechtspersoon) dapat dinyatakan tak hadir (afwezigheid) walaupun ketidakhadiran
terhadap badan hukum berada di luar sistem hukum yang ada.
Hakim yang menetapkan ketidakhadiran badan hukum itu telah melakukan
permasalahan hukum yang ada di hadapannya demi kepentingan masyarakat dan
kepentingan umum (public interest) yang membutuhkan kepastian hukum atas
permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat. Penemuan hukum (rechtsvinding)
merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit.
Penemuan hukum merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan
hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit
(das sein). Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa kongkrit, konflik atau kasus yang
harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya.
Dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau
menemukan hukumnya untuk peristiwa kongkrit. 13
Menurut Van Apeldoorn hakim harus menyesuaikan (waarderen)
undang-undang dengan hal-hal yang kongkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat
menambah (aanvulen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan
undang-undang dengan hal yang kongkrit, karena undang-undang tidak meliputi
segala kejadian yang timbul dalam masyarakat. Pembuat undang-undang hanya
menetapkan suatu petunjuk yang bersifat umum saja. Pertimbangan mengenai hal-hal
yang kongkrit, yaitu menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang kongkrit
diserahkan kepada hakim.
Kepentingan masyarakat (public interest) terkait dengan mencapai tujuan
masyarakat yang lebih baik, karena memuat kepentingan dan keinginan secara
bersama, khalayak umum. Berapa orang yang akan menerima keuntungan dengan
adanya public interest menjadi sangat crusial dalam proses penentuan kebijakan.
Konflik kepentingan dijaga supaya tidak naik dan mengacaukan kepentingan umum
(public interest) itu sendiri. Pemerintah memiliki andil dalam mempertahankan
status dan pelaksanaan kepentingan umum tersebut. Pemerintah menjamin keabsahan
kepentingan umum (public interest) tanpa adanya kepentingan individu yang bermain
di dalamnya sehingga kepentingan umum dapat memuaskan masyarakat sebagai
warga negara.14 Dengan demikian assesment dari masyarakat terkait dengan public
interest dilakukan dengan sangat hati-hati karena jika terjadi kesalahan dalam
pengambilan keputusan bisa jadi akan menjadi keuntungan bagi segelintir individu
dan akan menjadi kepentingan pribadi (private interest).15
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepentingan adalah tuntutan perorangan
atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi dan pada hakekatnya mengandung
kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya.16
Dalam masyarakat terdapat banyak sekali kepentingan-kepentingan, baik perorangan
maupun kelompok yang tidak terhitung jumlah maupun jenisnya yang harus
14 Sudikno Mertokusumo, Kepentingan Umum, Kertas kerja untuk didiskusikan di Kejaksaan Agung RI, Yogyakarta, 1996. Dikutip dari : file://localhost/D:/Full%20 Access/abc/Artikel%20 Hukum%20 KEPENTINGAN %20 UMUM.htm. Diakses tanggal 4 April 2009.
15 The Planet, Public Interest, dikutip dari :
file://localhost/D:/Full%20Access/abc/Public%20Interest%20<<%20the%20planet.htm. Diakses tanggal 4 April 2009.
dihormati dan dilindungi sehingga wajarlah kalau setiap orang atau kelompok
mengharapkan atau menuntut kepentingan-kepentingan itu dilindungi dan dipenuhi,
yang sudah tentu tidak mungkin dipenuhi semuanya sekaligus mengingat bahwa
kepentingan-kepentingan itu, kecuali banyak yang berbeda banyak pula yang
bertentangan satu sama lain.
Tidak dapat disangkal bahwa tindakan pemerintah harus ditujukan kepada
pelayanan umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak
(kepentingan umum). Tindakan pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan umum
dan memperhatikan serta melindungi kepentingan umum, sedangkan di dalam
masyarakat banyak terdapat kepentingan-kepentingan, maka dari sekian banyak
kepentingan-kepentingan harus dipilih dan dipastikan ada kepentingan-kepentingan
yang harus didahulukan atau diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lain.
Jadi ada kepentingan yang dianggap lebih penting atau utama dari kepentingan
lainnya. Berbagai kepentingan itu harus dipertimbangkan bobotnya secara seimbang
(proporsional) dengan tetap menghormati masing-masing kepentingan dan
kepentingan yang menonjol itulah kepentingan umum, sudah tentu tindakan
pemerintah dalam menentukan kepentingan mana yang lebih penting atau utama dari
kepentingan-kepentingan lain itu harus berdasarkan hukum dan mengenai sasaran
atau bermanfaat. Jadi kepentingan umum adalah kepentingan yang harus didahulukan
dari kepentingan-kepentingan yang lain dengan tetap memperhatikan proporsi
berarti bahwa ada kewerdaan (hirarkhi) yang tetap antara kepentingan yang termasuk
kepentingan umum dan kepentingan lainnya.
Secara teoritis dapat dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan
resultante hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan di
dalam masyarakat dengan menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan
umum. Secara praktis dan kongkrit akhirnya diserahkan kepada hakim untuk
menimbang-nimbang kepentingan mana yang lebih utama dari kepentingan yang lain
secara seimbang (proporsional) dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan
yang lain. Sebaliknya tidak seyogyanya untuk memberi batasan atau definisi yang
kongkrit, mutlak dan ketat mengenai kepentingan umum karena kepentingan manusia
itu berkembang demikian pula kepentingan umum. Perlu kiranya ada satu rumusan
umum sebagai pedoman tentang pengertian kepentingan umum yang dapat digunakan
terutama oleh hakim dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kepentingan
umum yang dinamis, tidak tergantung pada waktu dan tempat. Tiap-tiap kasus harus
dilihat secara kasuistis, yang akhirnya menentukan apa saja yang termasuk pengertian
kepentingan umum adalah hakim atau undang-undang berdasarkan rumusan yang
umum tadi.
Seyogyanya kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan tetap
dirumuskan secara umum dan luas. Kalau dirumuskan secara rinci atau kasuistis
dalam peraturan perundang-undangan, penerapannya akan kaku, karena hakim lalu
terikat pada rumusan undang-undang. Rumusan umum oleh pembentuk
hakim berdasarkan kebebasannya dapat secara kasuistis disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat dan keadaan sebagaimana dengan munculnya penetapan
tentang ketidakhadiran subjek hukum badan hukum (rechts persoon). Kemandirian
hakim dalam menemukan dan pembentukan hukum dapat menentukan mana yang
merupakan hukum dan mana yang tidak atau dalam mengisi ruangan yang kosong
dalam undang-undang adalah tidak bertentangan dengan Pasal 21 AB. Hasil
penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum karena mempunyai kekuatan
mengikat sebagai hukum sebab dituangkan dalam bentuk putusan. Hasil penemuan
itu merupakan hukum.17 Hal ini juga berlaku bagi perluasan ketidakhadiran atas
subjek hukum badan hukum (rechtspersoon).
2. Konsepsi
Untuk menghindarkan terjadinya perbedaan dalam penafsiran terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, perlu kiranya penulis memberikan definisi dari
istilah-istilah tersebut sebagai berikut :
a. Hukum seperti yang dikatakan oleh Van Apeldoorn 100 tahun terakhir
belumlah ditemukan definisi hukum yang memuaskan semua pihak, namun
demikian, sebagai pegangan dapat dipilih satu dari sekian banyak perumusan
seperti : keseluruhan kaidah (norma) nilai mengenai suatu segi kehidupan
masyarakat, yang maksudnya mencapai kedamaian dalam masyarakat. Sifat
utama hukum itu ialah keadilan dan kemanfaatan.18
b. Kewenangan 19 yaitu serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau
seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas
pekerjaan dapat terlaksana dengan baik; hak dan kekuasaan; kompetensi;
yuridiksi; otoritas.
c. Balai Harta Peninggalan 20 adalah unit pelaksana penyelenggaraan hukum di
bidang harta peninggalan dan perwakilan dalam lingkungan Departemen
Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia), yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan (sekarang Direktur
Jenderal Administrasi Hukum Umum) melalui Direktorat Perdata. Tugas
pokok BHP ialah mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang yang
karena hukum atau Keputusan Hakim tidak dapat menjalankan sendiri
kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Pengelolaan adalah melakukan tindakan penguasaan, pengurusan,
pemeliharaan dan penyimpanan berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
18 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 242 19 Ibid, hal. 633.
e. Harta kekayaan 21 adalah barang-barang yang menjadi kekayaan seseorang
baik yang berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut
hukum.
f. Pemilik 22 adalah orang yang empunya.
g. Ahliwaris 23 adalah kaum keluarga, orang yang berhak menerima pusaka,
peninggalan orang yang telah meninggal.
h. Ketidakhadiran (afwezigheid) adalah merupakan istilah hukum yang berasal
dari bahasa Belanda, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 463
KUH Perdata, yaitu :
Jika terjadi seorang telah meninggalkan tempat tinggalnya, dengan tidak memberi kuasa kepada seorang wakil, guna mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, pun ia tidak mengatur urusan-urusan dan kepentingan itu, ataupun jika pemberian kuasa kepada wakilnya tidak berlaku lagi, maka jika ada alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya itu atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pengadilan Negeri tempat tinggal si yang tak hadir, atas permintaan mereka yang berkepentingan, atau atas tuntutan Jawatan Kejaksaan, harus memerintahkan kepada Balai Harta Peninggalan, supaya mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaan dan kepentingan itu pula supaya membela hak-hak si yang tak hadir dan mewakili dirinya.24
Dari bunyi Pasal 463 KUHPerdata tersebut di atas, dapat ditarik batasan
pengertian, bahwa untuk menyatakan tentang ketidakhadiran seseorang sehubungan
dengan pengurusan hartanya haruslah memenuhi beberapa unsur, yaitu :
21 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Perum Balai Pustaka, 1995), hal.342.
22 Muhammad Ali, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani,), hal. 299. 23 Ibid, hal 618.
1. Adanya orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya;
2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tidak hadir untuk mengurusi kepentingannya,
atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah berakhir;
3. Adanya harta kekayaan dari orang yang tak hadir;
4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta
kekayaan itu;
5. Adanya Penetapan Pengadilan setempat tentang ketidakhadiran seseorang;
6. Adanya permintaan dari yang berkepentingan atau tuntutan Jawatan Kejaksaan.
Dengan melihat unsur-unsur di atas, jelas terlihat bahwa pernyataan
ketidakhadiran seseorang, haruslah berdasarkan pada Penetapan atau Putusan
Pengadilan Negeri.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang
timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan metode penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu
penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis analisis terhadap norma
analitis ini merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah,
menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.25
Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan
disiplin ilmu dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang
objeknya hukum itu sendiri.26 Dengan demikian objek yang dianalisis dengan
pendekatan yang bersifat kualitatif adalah metode penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.27
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data sekunder, 28 yang meliputi :
a. Bahan hukum primer; yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum
perdata dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan
ketidakhadiran (afwezigheid), antara lain KUHPerdata, Surat Keputusan Menteri,
dan Peraturan Menteri.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
hukum serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan ketidakhadiran
(afwezigheid).
25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 63 26 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hal 57
27 Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 14.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat
informasi yang relevan dengan materi penelitian ini. 29
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui :
a. Studi kepustakaan (library research)
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan
data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur,
dokumen dan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang
ketidakhadiran (afwezigheid) dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan
dengan materi penelitian.
b. Wawancara
Disamping studi kepustakaan, data pendukung juga diperoleh dengan
melakukan wawancara dengan Ketua Balai Harta Peninggalan Medan dan Pejabat
Tehnis di Kantor Balai Harta Peninggalan Medan.
4. Analisis Data
Setelah seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah
dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah
dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini
diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini, artinya
data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komperhensif dengan
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang releven dengan masalah
ketidakhadiran.
b. Mencari doktrin, asas-asas atau prinsip ilmu hukum dalam perundang-undangan.
c. Membuat kategori dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari konsep-konsep yang
lebih umum.
d. Mencari hubungan antara kategori-kategori tersebut dan menjelaskan
hubungannya antara satu dengan yang lainnya.
Setelah dilakukan analisis dari langkah-langkah yang dilakukan di atas, maka
selanjutnya dapat ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan
B A B II
PENGATURAN PERLUASAN KETIDAKHADIRAN SUBJEK HUKUM
DAN PENYEBAB TERJADINYA PERLUASAN
A. Ketidakhadiran pada Umumnya
Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid) diatur dalam buku I Bab XVIII
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai Pasal 463, akan tetapi Pasal 463 itu
sendiri tidak ada memberikan batasan pengertian atau definisi dari kata “van
afwezigheid” . Istilah “afwezigheid” dalam praktek sehari-hari banyak terdapat
perbedaan dalam penterjemahannya. R. Soebekti menterjemahkan perkataan “van
afwezigheid” yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek ke dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan perkataan “keadaan tak hadir”.30 Abdul Kadir
Muhammad menterjemahkan “ afwezigheid ” itu dengan istilah “keadaan tak hadir”,
selanjutnya beliau mengemukakan unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai berikut :
1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu anggota keluarga mungkin suami, mungkin istri, mungkin anak.
2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya tidak ada di lingkungan keluarga dimana mereka berdiam serta mempunyai hak dan kewajiban hukum. 3. Bepergian atau meninggalkan tempat kediaman, artinya menuju dan
berada di tempat lain karena suatu keperluan atau tanpa keperluan.
4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan persetujuan dan sepengetahuan anggota keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa diketahui oleh anggota keluarga.
5. Tak diketahui dimana tempat ia berada, artinya tempat lain yang dituju dan dimana ia berada tidak diketahui sama sekali, karena yang bersangkutan tidak memberi kabar atau karena sulit berkomunikasi. Tidak
memberi kabar mungkin karena ada halangan, misalnya terjadi perang, pemberontakan, kecelakaan, bencana alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang dengan sengaja supaya tidak berurusan lagi dengan keluarganya (putus asa). 31
Pengadilan Negeri Medan dalam prakteknya selalu memberikan pengertian
bahwa sukar dicari menggantikan perkataan afwezigheid apabila yang dinyatakan
afwezigheid tersebut adalah badan hukum, orang yang sukar dicari menggantikan
perkataan afwezigheid apabila yang dinyatakan afwezigheid tersebut adalah orang
(persoon). Namun di dalam praktek yang didapati hampir tidak ada perbedaan antara
istilah orang yang sukar dicari dengan sukar dicari, karena dalam prakteknya
ditemukan kasus-kasus afwezigheid, bahwa terhadap suatu badan hukum dapat
dinyatakan sebagai orang yang sukar dicari.32
H.F.A Vollmar juga tidak ada memberikan definisi atau batasan pengertian
dari ketidakhadiran ini, selain hanya memberikan uraian saja perihal lembaga
ketidakhadiran ini.33 Sudarsono memberikan gambaran atau definisi secara terbalik
dengan menyatakan : “Apabila suatu keadaan dimana seseorang meninggalkan
tempat tinggalnya dan tidak diketahui dimana seseorang tersebut berada maka
31 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53
32 Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 906/Pm/Perd/1979/Pn.Mdn tanggal 25 Maret 1980 tentang afwezigheid Bank of China.
keadaan ini disebut keadaan tak hadir”.34 Dari pendapat beberapa penulis di atas
pada pokoknya berisi substansi bahwa ketidakhadiran terjadi akibat berpisah atau
terpisahnya subjek hukum itu dengan domisilinya sedangkan sepeninggalnya
kekayaannya menghendaki perhatian khusus demi kepentingan subjek hukum lain
yang berkepentingan dengan kekayaan milik si tak hadir itu. Terpisahnya subjek
hukum tadi dengan domisilinya menurut rumusan Pasal 463 adalah karena sebab
yang memang datang dari kehendaknya atau niat yang berasal atau timbul dari diri si
tak hadir itu sendiri, artinya si tak hadir memiliki “animus” atau kehendak untuk
meninggalkan domisilinya, tanpa mempersoalkan apakah niat itu timbul karena
memang murni kehendaknya sendiri atau karena terpaksa oleh sebab lain. KUH
Perdata Indonesia tidak menyinggung keadaan orang yang hilang karena sesuatu
sebab, akan tetapi KUHPerdata Belanda yang baru ada menyinggungnya dengan
menggunakan istilah “ vermissing”.
Bila memang kepergiannya dapat diduga oleh si tak hadir akan berlangsung
dalam waktu lama, sudah barang tentu ia akan melakukan sesuatu tindakan hukum
untuk menunjuk seseorang guna mengurus segala kepentingannya sepeninggalnya
misalnya seperti orang yang akan bepergian menunaikan ibadah haji yang lazimnya
membuat surat-surat yang berkaitan dengan kekayaannya sepeninggalnya, akan tetapi
keadaannya akan menjadi lain apabila sepeninggalnya ternyata di luar kehendaknya
masa kepergiannya tak terhindarkan harus dijalaninya dalam waktu yang relatif tak
dapat lagi ditentukan atau dikendalikannya, umpamanya selama kepergiannya tanpa
terduga ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di suatu negara yang karena sistem
politiknya sangat terisolasi mengakibatkan sulitnya komunikasi guna
memberitahukan keberadaannya. Sebaliknya apakah orang yang sedang menjalani
hukuman pidana penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Nusa
Kambangan dapat diklasifikasikan sudah dinyatakan tak hadir, sebab ia sudah
meninggalkan domisilinya untuk waktu yang tak dapat ditentukan lamanya dan tidak
ada mengatur segala sesuatu atas kekayaan dan kepentingannya sepeninggalnya
menjalani hukuman ?, itulah sebabnya Pasal 463 ayat (1) itu memberi ukuran bahwa
keberadaan afwezigheid itu harus dibuktikan dengan adanya penetapan hakim
terlebih dahulu, sehingga ketidakhadiran seseorang itu di domisilinya terjadi karena
terlebih dahulu melalui suatu proses hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Perkataan dapat dipertanggung jawabkan yang dipergunakan disini juga relatif sulit
memberikan ukurannya, karena dalam praktek juga ditemukan penetapan pengadilan
tentang ketidakhadiran itu yang lahir karena adanya permohonan BHP sendiri. 35
Untuk melengkapi uraian dalam bab ini perlu diulas terlebih dahulu tentang
subjek hukum manusia dan domisilinya, dengan maksud dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang subjek hukum manusia yang manakah yang dapat
dinyatakan tak hadir.
1. Subjek Hukum Manusia
Manusia sebagai subjek hukum karena kodratnya, sedangkan badan hukum
menjadi subjek hukum diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia itu
sendiri. Status atau kedudukan seorang manusia selaku subjek hukum melekat pada
diri pribadi seorang manusia sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal dunia, dengan
penyimpangan khusus bahwa apabila kepentingannya menghendaki, maka seorang
anak dalam kandungan ibunya dapat dianggap telah lahir kedunia (Pasal 2 jo. Pasal
348 KUHPerdata); akan tetapi dengan syarat asalkan anak dalam kandungan yang
kepentingannya hendak dibela tadi pada waktunya nanti harus dilahirkan dalam
keadaan hidup. Untuk memberikan hak-hak keperdataan secara pribadi kepada bayi
yang masih berada dalam kandungan ibunya harus dipenuhi syarat bahwa ia harus
sudah dibenihkan kedalam hukum (kedalam kandungan ibunya) pada saat
kepentingannya terbuka. Jadi seorang manusia memulai persoalan hidupnya dalam
arti baru diakui sebagai subjek hukum apabila :
1. Dilahirkan dalam keadaan hidup ke dunia;
2. Sejak ia berada dalam kandungan ibunya, ia nantinya harus dilahirkan hidup;
3. Ia sudah dibenihkan pada saat kepentingannya terbuka (selama ia berada dalam
kandungan).
Anak dalam kandungan itu, sepanjang kepentingan hukumnya menghendaki
(meskipun semasa dalam kandungan) diperlakukan sebagai manusia yang telah lahir
hidup, bila ternyata ia kemudian lahir dalam keadaan tidak hidup, maka ia menurut
diterbitkan akte kelahirannya). Pembuktian bahwa subjek hukum manusia telah
dilahirkan dalam keadaan hidup adalah dengan diterbitkannya akta kelahiran
(certificate of birth atau acte van geboorte) dan pembuktian bahwa seorang
manusia telah meninggal dunia hanyalah dengan akta kematian (certificate of
death atau acte van overlijden). 36 Orang dalam pengertian hukum atau persoon
tersebut berwenang mempergunakan haknya sepenuhnya, termasuk juga untuk
menambah dan mengurangi harta kekayaannya dengan cara melakukan perbuatan
hukum yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, asalkan orang tersebut
sudah cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal
330 KUHPerdata) atau telah pernah kawin sebelum mencapai usia 21 tahun
(perhatikan juga Pasal 1330 KUH Perdata). Ini bukan berarti bahwa orang yang
belum dewasa tidak boleh melakukan perbuatan hukum. Sistem BW sendiri
menentukan bahwa terhadap orang-orang yang dibatasi kewenangannya (termasuk
orang yang belum dewasa) untuk melakukan tindakan hukum disediakan orang atau
badan yang akan membantu dan/atau mewakilinya dalam melakukan perbuatan
hukum yang diperlukan.
Bila diperhatikan, Sistem Hukum Perdata mengatur bahwa ada beberapa
subjek hukum manusia yang karena Undang-Undang sendiri membatasi penggunaan
haknya dalam lalu lintas hukum, dan oleh karena itu tidak semua subjek hukum
manusia dapat diterima untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu :
a. Wanita yang bersuami, yang harus melakukan tindakan hukum hanya dengan
bantuan (bijstand) atau persetujuan suaminya ataupun dengan memperoleh
persetujuan atau kuasa dari hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 108, tetapi
mengenai hal ini perlu juga diperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3
Tahun 1963. Tetapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, seorang wanita bersuami telah dibenarkan untuk melakukan
tindakan hukum, akan tetapi sepanjang tindakan hukum itu berkenaan dengan
harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan, harus dimintakan persetujuan
suaminya. Demikian juga sebaliknya (perhatikan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2)
juncto Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2). Domisili seorang wanita bersuami adalah
mengikuti domisili suaminya. Ketentuan ini juga tidak konsekwen karena
seorang istri tanpa bantuan suaminya (Pasal 930 KUHPerdata) dibenarkan untuk
membuat surat wasiat. Dalam beberapa hal ketentuan ini dikesampingkan (Pasal
perceraian, pisah meja dan ranjang, pisah harta kekayaan, istri dapat bertindak
sendiri tanpa bantuan suaminya. Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan
bahwa setiap tindakan hukum berupa tindakan pemilikan (daad van eigendom)
yang hendak dilakukan oleh seseorang subjek hukum manusia (Warga Negara
Indonesia) yang sudah kawin haruslah dilakukan dalam akta yang bersangkutan
dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari pasangannya (spouse
consent). Bila pasangan dari penghadap itu tidak dapat menghadap Notaris untuk
turut menanda tangani akta yang bersangkutan, seboleh-bolehnya diusahakan
surat persetujuan atau kuasa tertulis dari yang bersangkutan. Pasal 463 jo. Pasal
199 KUHPerdata mengindikasikan bahwa wanita (baik yang belum kawin
maupun yang bersuami) dan juga sebaliknya seorang pria (baik yang belum kawin
maupun beristri) dapat dinyatakan tak hadir.
b. Anak dibawah umur, yang harus diwakili oleh orang tua atau walinya dalam
melakukan setiap perbuatan hukum pada umumnya. Domisili dari seorang anak
dibawah umur mengikuti domisili orang tua atau walinya. Batasan umur dewasa
ditentukan Pasal 330 KUHPerdata, tetapi batas umur ini sebenarnya juga tidak
konsekwen, karena ternyata seorang pria yang berumur 19 tahun dan wanita yang
berumur dibawah 19 tahun boleh melakukan pengakuan anak (erkening) Pasal
282 KUHPerdata, dan bila sudah mencapai usia 18 tahun (Pasal 897
KUHPerdata) boleh membuat surat wasiat artinya untuk melakukan perbuatan
hukum yang tertentu itu seorang anak dibawah umur boleh datang menghadap
yang berkepentingan dengan harta milik anak dibawah umur yang tidak berada di
domisilinya dapat menghubungi walinya atau orang tuanya untuk menyelesaikan
urusan dan kepentingannya. Menurut hukum seorang anak dibawah umur belum
memiliki “animus” yang bebas untuk meninggalkan domisilinya. Walinya sendiri
sebagai manusia dewasa dapat dinyatakan tak hadir dan akibat langsung
ketidakhadiran ini secara de facto adalah bahwa si wali kehilangan akses untuk
melakukan pengurusan atas diri dan harta anak dibawah umur dan yang
mengakibatkan si wali itu dapat dicabut kekuasaannya sebagai wali. Bagaimana
kalau anak dibawah umur itu bersama-sama walinya (Pasal 339 KUHPerdata)
meninggalkan Indonesia, sedangkan anak dibawah umur itu memiliki kekayaan
berupa benda tetap dan ada pihak lain yang berkepentingan terhadap kekayaannya
sepeninggalnya, dan kepergian wali bersama anak dibawah umur itu berlangsung
lama dan tidak ada mengatur atau memberi kuasa untuk mengatur segala sesuatu
mengenai kekayaannya sepeninggalnya, apakah anak dibawah umur itu dapat
dinyatakan tak hadir ?. Pasal 462 KUHPerdata secara tegas melarang seorang
anak dibawah umur yang gila untuk diletakkan dibawah pengampuan, akan tetapi
tidak satu pasalpun dalam BW yang melarang menempatkan seorang anak
dibawah umur dalam keadaan tak hadir.
Peluang bagi seorang anak dibawah umur untuk dinyatakan tak hadir
sangat kecil, sebab domisili dari seorang anak dibawah umur selalu dianggap
mengikuti domisili orang tua atau walinya, sedangkan terhadap seorang anak