• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Bank

2.1.6 Sumber Dana Bank

Menurut Kasmir (2008 : 45), pengertian sumber dana bank adalah usaha bank dalam menghimpun dana dari masyarakat. Secara garis besar sumber dana bank dapat diperoleh dari :

1. Dana yang bersumber dari bank itu sendiri

Perolehan dana dari sumber bank itu sendiri (modal sendiri) maksudnya adalah dana yang diperoleh dari dalam bank. Salah satu jenis dana yang bersumber dari bank itu sendiri adalah modal setor dari para pemegang saham. Adapun pencarian dana yang bersumber dari bank itu sendiri terdiri dari :

a. Setoran modal dari pemegang saham, yaitu merupakan modal dari pemegang saham lama atau pemegang saham baru

b. Cadangan laba, yaitu merupakan laba yang setiap tahun dicadangkan oleh bank dan sementara waktu belum digunakan

c. Laba bank yang belum dibagi, merupakan laba tahun berjalan tapi belum dibagikan kepada para pemegang saham.

2. Dana yang berasal dari masyarakat luas

Sumber dana ini merupakan sumber dana terpenting bagi kegiatan operasi bank dan merupakan ukuran keberhasilan bank jika mampu membiayai operasinya dari sumber dana ini. Sumber dana yang dimasud adalah :

a. Simpanan giro b. Simpanan tabungan c. Simpanan deposito

3. Dana yang bersumber dari lembaga lain

Sumber dana ketiga ini merupakan tambahan jika bank mengalami kesulitan dalam pencarian sumber dana pertama dan kedua di atas. Perolehan dana dari sumber ini antara lain dapat diperoleh dari :

a. Bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), merupakan kredit yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditasnya. b. Pinjaman antar bank (Call Money). Biasanya pinjaman ini diberikan kepada

bank-bank yang mengalami kalah kliring di dalam lembaga kliring dan tidak mampu untuk membayar kekalahannya. Pinjaman ini bersifat jangka pendek dengan bunga yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan pinjaman lain.

c. Pinjaman dari bank-bank luar negeri. Merupakan pinjaman yang diperoleh perbankan dari pihak luar negeri.

d. Surat berharga pasar uang (SPBU). Dalam hal ini pihak perbankan menerbitkan SPBU kemudian diperjualbelikan kepada pihak yang berminat, baik perusahaan keuangan maupun non keuangan. SPBU diterbitkan dan ditawarkan dengan tingkat suku bunga sehingga masyarakat tertarik untuk membelinya. 2.2 Non Performing Loan (NPL)

Menurut Siamat (2005 : 358), kredit bermasalah atau problem loan dapat diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal diluar kemampuan kendali debitur. Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor : 6/9/PBI/2004 pasal 2 ayat (2), yang dimaksud dengan kredit bermasalah (Non Performing Loan) adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet berdasarkan ketentuan Bank Indonesia tentang kualitas aktiva produktif yang berlaku.

Kredit bermasalah sering juga disebut non-performing loan yang dapat diukur dari kolektibilitasnya. Kolektibilitasnya merupakan gambaran kondisi pembayaran pokok dan bunga pinjaman serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yan ditanamkan dalam surat-surat berharga (Siamat, 2005 : 358). Menurut Siamat (2005 : 358), penilaian kolektibilitas kredit digolongkan kedalam 5 kelompok yaitu : lancar (pass), dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan (doubtful), dan macet (loss). Apabila kredit dikaitkan dengan tingkat kolektibilitasnya, maka yang digolongkan kredit

bermasalah adalah kredit yang memiliki kualitas dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.

Status NPL pada prinsipnya didasarkan pada ketepatan waktu bagi nasabah untuk membayarkan kewajiban, baik berupa pembayaran bunga maupun pengembalian pokok pinjaman. Proses pemberian dan pengelolaan kredit yang baik diharapkan dapat menekan NPL sekecil mungkin. Dengan kata lain, tingginya NPL sangat dipengaruhi oleh kemampuan bank dalam menjalankan proses pemberian kredit dengan baik maupun dalam hal pengelolaan kredit, termasuk tindakan pemantauan (monitoring) setelah kredit disalurkan dan tindakan pengendalian bila terdapat indikasi penyimpangan kredit maupun indikasi gagal bayar (Djohanputro dan Kountur, 2007 : 3).

Sesuai dengan Surat Edaran BI No.3/30DPNP tanggal 14 Desember 2001, NPL diukur dari rasio perbandingan antara kredit bermasalah terhadap total kredit yang diberikan. Adapun formulasinya sebagai berikut:

NPL = ����������������

������������������������ ×100% 2.3 Faktor yang mempengaruhi Non-Performing Loan

Kredit lancar yang diberikan bank dapat berubah menjadi kredit bermasalah (kurang lancar, diragukan, maupun macet). Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kredit bermasalah tersebut, maka perlu diadakan sistem “pengenalan diri” secara sistematis yang berupa daftar kejadian atau gejala yang dapat menyebabkan kredit menjadi bermasalah. Gejala tersebut terjadi karena beberapa faktor berikut (Dendawijaya, 2001 : 190) :

1. Faktor interal bank yang memberikan kredit, seperti : mark up yang dilakukan dengan sengaja, feasibility study yang dibuat supaya proyek sangat feasible, adanya praktik KKN, kurang ketatnya monitoring kredit, dan sebagainya. Adanya faktor-faktor ini setidaknya berpengaruh terhadap rasio keuangan bank seperti CAR, LDR, NIM, KAP, BOPO dan ROE yang dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai tingkat kesehatan bank, serta mempengaruhi total asset yang dimiliki oleh bank yang tercermin dalam rasio bank size.

2. Faktor internal perusahaan (nasabah bank), seperti mismanagement dalam perusahaan nasabah, kesulitan keuangan, kesalahan dalam produksi, kesalahan dalam marketing strategy, dan sebagainya.

3. Faktor eksternal seperti keadaan ekonomi secara makro yang tercermin dalam tingkat Gross Domestic Product dan juga tingkat inflasi, kenaikan nilai tukar US dolar terhadap rupiah yang menaikkan harga pokok produk/jasa, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.

Adapun dari berbagai faktor tersebut, dapat diambil beberapa rasio yang sesuai dengan research gap dan fenomena gap yang terjadi, antara lain :

1. Capital Adequacy Ratio (CAR)

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kewajiban pemenuhan modal minimum yang harus dimiliki oleh bank. Pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum didasarkan atas risiko aktiva, salah satunya dalam bentuk resiko kredit (Riyadi, 2004 : 50). Bank Indonesia mewajibkan setiap bank umum yang memberikan kredit membentuk cadangan aktiva yang diklasifikasikan. Cadangan yang dibentuk nilainya harus diambil dari modal bank, semakin besar kredit bermasalah maka modal bank akan “digerogoti” oleh banyaknya kredit yang

bermasalah terutama yang sudah masuk dalam kategori kredit macet. Oleh karena itu semakin besar cadangan yang dibentuk dari modal dapat menurunkan resiko kredit bermasalah (Dendawijaya, 2001 : 191). Dengan demikian semakin tinggi presentase CAR maka NPL semakin menurun. Bank Indonesia menetapkan minimal CAR sebesar 8% (Riyadi, 2004 : 143).

Rasio CAR dapat dirumuskan sebagai berikut (Hasibuan, 2011 : 58) :

CAR = ������������ (���������+��������������)

���� (������������ + ������������������)

× ���%

2. Loan to Deposit Ratio (LDR)

Menurut Riyadi (2004 : 146), LDR adalah perbandingan antara total kredit yang diberikan dengan total dana pihak ketiga (DPK) yang dapat dihimpun oleh bank. Praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari LDR suatu bank adalah sekitar 80%. Namun, batas toleransi berkisar antara 85% dan 100% (Dendawijaya, 2001 : 119). Ratio LDR menunjukkan salah satu penilaian likuiditas bank (Dendawijaya, 2001 : 118). Likuiditas adalah kemampuan bank untuk membayar kewajibannya. Menurut Irmayanto et al (2009 : 90), semakin tinggi rasio LDR berarti semakin rendah likuiditas bank, karena terlalu besar jumlah dana masyarakat yang dialokasikan ke kredit. Oleh karena itu maksimal LDR yang diperkenankan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 110% (Riyadi, 2004 : 146), jika lebih maka jumlah kredit yang disalurkan terlampau besar sehingga memungkinkan terjadinya resiko kredit bermasalah. Dengan demikian semakin tinggi presentase LDR maka NPL juga semakin tinggi.

Loan to Deposit Ratio (LDR) = �������������������������

��������������������

���%

3. Net Interest Margin (NIM)

Menurut Rivai et al (2013 : 481), Net Interest Margin (NIM) adalah rasio yang menunjukkan kemampuan earning assets (aktiva produktif) dalam menghasilkan pendapatan bunga. Menurut Riyadi (2004 : 140), Net Interest Margin (NIM) adalah perbandingan antara Interest Income (pendapatan bunga) dikurangi Interest Expenses (biaya/beban bunga) dibagi dengan Average Interest Earning Assets (rata-rata aktiva produktif yang digunakan).

Menurut Rivai et al (2013 : 394), didalam pos laporan laba rugi bank umum konvensional, pendapatan bunga terdiri atas :

a. Hasil Bunga

Pendapatan yang dimasukkan ke pos ini adalah pendapatan bunga, baik dari pinjaman yang diberikan, maupun dari penanaman-penanaman yang dilakukan oleh bank, seperti giro, deposito berjangka, obligasi, dan surat pengakuan utang lainnya.

b. Provisi dan Komisi

Provisi kredit merupakan sumber pendapatan bank yang akan diterima dan diakui sebagai pendapatan pada saat kredit disetujui oleh bank. Sementara komisi, adalah beban yang diperhitungkan kepada nasabah yang menggunakan jasa bank.

Menurut Riyadi (2004 : 9), biaya bunga merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan oleh sebuah bank konvensional, berasal dari dana yang dipinjam atau dibeli. Biaya tersebut dapat dibagi dua yaitu :

a. Biaya bunga, dari simpanan nasabah b. Biaya bunga, dari pasar uang/modal

Rasio Net Interest Margin (NIM) dapat dirumuskan sebagai berikut (Rivai, 2013 : 481) :

NIM = ���������������� (���������������−����������)

���������������

× ���%

Semakin besar NIM maka biaya bunga yang harus dikeluarkan terus meningkat sementara pendapatan bunga kredit tidak meningkat, karena kualitas pembayaran kredit menurun yang nantinya mengarah pada kredit macet (NPL) (Dendawijaya, 2001 : 185). Dengan demikian semakin tinggi presentase NIM maka NPL juga semakin tinggi.

4. Kualitas Aktiva Produktif (KAP)

Menurut Dendawijaya (2001 : 153), KAP adalah perbandingan antara penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk (PPAD) dan penyisihan penghapusan akiva produktif yang wajib dibentuk (PPAWD). Sedangkan menurut Rivai (2013 : 474), Kualitas aktiva produktif (KAP) adalah perbandingan antara aktiva produktif yang dikasifikasikan/classified assets (kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet) dengan total aktiva produktif/earning assets (kredit yang diberikan, surat berharga, aktiva antarbank dan penyertaan). Menurut Siamat (2005 : 319), aktiva produktif atau earning assets adalah semua penanaman dana dalam rupiah dan valuta asing yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya.

a. Kredit yang diberikan

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan, termasuk pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan NPA (Note Purchase Agreement), dan pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang (factoring).

b. Penempatan pada bank lain

Penempatan pada bank lain antara lain dalam bentuk call money, deposito berjangka, deposit on call, dan setifikat deposito.

c. Surat-surat berharga

Penanaman dana dalam surat-surat berharga meliputi : Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Bankers Acceptance, Surat berharga Pasar Uang (SBPU), Comercial Paper, Reksadana, dan saham-saham yang terdaftar di bursa efek. d. Penyertaan

Penyertaan modal adalah penanaman dana dalam bentuk saham secara langsung (direct investment) pada bank atau lembaga keuangan lain yang ber - kedudukan di dalam dan di luar negeri.

Menurut Siamat (2005 : 210), aktiva produktif yang dikasifikasikan adalah aktiva produktif, baik yang sudah maupun yang mengandung potensi memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian. Besarnya ditetapkan sebagai berikut :

a. 25% dari aktiva produktif, digolongkan dalam perhatian khusus (Special Mention).

b. 50% dari aktiva produktif, digolongkan kurang lancar (Substandard). c. 75% dari aktiva produktif, digolongkan diragukan (Doubtful).

d. 100% dari aktiva produktif, digolongkan macet (Loss).

Semakin kecil rasio ini semakin baik karena aktiva produktif yang bermasalah semakin kecil. Aktiva produktif yang dianggap bermasalah adalah aktiva produktif yang tingkat tagihannya atau kolektibilitasnya tergolong kurang lancar, diragukan dan macet (Rivai, 2013 : 474). pengertian aktiva produktif dalam hal ini salah satunya adalah kredit bermasalah (NPL). Dengan demikian semakin kecil persentase KAP menggambarkan jumlah NPL semakin menurun.

Rasio KAP dapat dirumuskan sebagai berikut (Rivai, 2013 : 475) :

KAP = ������������

��������� × 100% 5. Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)

Menurut Riyadi (2004 : 140), BOPO adalah rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan opersional. Sedangkan menurut Rivai (2013 : 482), BOPO adalah rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Semakin kecil rasio BOPO akan lebih baik, karena bank yang bersangkutan dapat menutup biaya (beban) operasional dengan pendapatan operasionalnya (Rivai, 2013 : 482). Dengan demikian semakin

kecil persentase rasio BOPO maka bank dapat menutupi kredit macet yang merupakan salah satu beban operasional bank dengan pendapatan operasionalnya.

Batas maksimal rasio BOPO yang dapat ditolerir oleh perbankan di Indonesia adalah sebesar 93,52%, hal ini sejalan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Riyadi, 2004 : 141).

Rasio BOPO dapat dirumuskan sebagai berikut (Rivai, 2013 : 482) :

BOPO = ����� (�����) �����������

��������������������

× ���%

6. Bank Size

Ukuran sebuah bank dapat dinilai dari total aset yang dimiliki bank tersebut. Bank dengan aset yang besar memliki kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar apabila diikuti dengan hasil dari aktivitasnya. Ukuran bank adalah skala besar kecilnya bank yang ditentukan oleh beberapa hal, antara lain total asset dan modal bank (Ranjan dan Dahl, 2003).

Rasio Bank Size diperoleh dari logaritma natural dari total assets yang dimiliki bank yang bersangkutan pada periode tertentu. Perhitungan size tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Ranjan dan Dahl, 2003) :

Bank Size = Ln of Total Assets

7. Return On Equity (ROE)

Menurut Dendawijaya (2001 : 120), ROE adalah perbandingan antara laba bersih bank dengan modal sendiri. Sedangkan menurut Irmayanto et al, (2009 : 91), Return On Equity (ROE) digunakan untuk mengukur kemampuan modal sendiri dalam memperoleh keuntungan (laba) bersih bank. Kenaikan dalam rasio

ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari bank yang bersangkutan. Semakin besar laba bersih maka semakin besar kemampuan bank dalam membentuk cadangan yang digunakan untuk memperkuat struktur permodalan bagi bank, yang nantinya dapat digunakan untuk tujuan tertentu, salah satunya untuk menutupi kredit macet (NPL) (Riyadi, 2004 : 58). Dengan demikian semakin tinggi persentase ROE maka NPL semakin menurun.

Rasio ROE dapat dirumuskan sebagai berikut (Rivai, 2013 : 481) :

Return On Equity (ROE) = ����������������

������������

× ���%

8. Gross Domestic Product (GDP)

Menurut Bakti et al (2010 : 17), pengertian pendapatan domestik bruto (gross domestic product) sebagai total output yang diproduksi didalam negeri termasuk pendapatan dari perusahaan milik asing. Menurut Mankiw (2006 : 6), Produk domestik bruto-PDB (gross domestic product-GDP) adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir (final) yang diproduksi dalam sebuah negara pada suatu periode.

Ada dua tipe GDP (Bakti et al, 2010 : 17) : 1)GDP nonimal

GDP nominal berupa banyaknya barang yang diproduksi pada tahun tertentu dikalikan dengan harga barang yang bersangkutan pada tahun tersebut.

2)GDP real

GDP real adalah banyak barang yang diproduksi pada tahun tertentu dikalikan dengan harga tahun dasar.

Komponen-komponen PDB (Mankiw, 2006 : 11), yaitu : 1)Konsumsi

Konsumsi (consumption) adalah pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga.

2)Investasi

Investasi (investment) adalah pembelian barang yang nantinya akan digunakan untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa.

3)Belanja pemerintah

Belanja pemerintah (goverment purchase) mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah, negara bagian, dan pusat (federal).

4)Ekspor netto

Ekspor netto (net exports) sama dengan pembelian produk dalam negeri oleh orang asing (ekspor) dikurangi pembelian produk luar negeri oleh warga negara (impor).

Pertumbuhan GDP yang lebih tinggi mengakibatkan pendapatan masyarakat meningkat sehingga kemampuan melunasi hutang semakin tinggi (Nir Klein, 2013). Dengan demikian semakin tinggi persentase GDP maka NPL semakin menurun.

9. Tingkat Inflasi

Menurut Rosyidi (2006 : 131), inflasi adalah gejala kenaikan harga yang berlangsung secara terus-menerus. Menurut Andjaswati (2010 : 133), yang dimaksud dengan inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum secara terus-menerus. Menurut Bakti et al (2010 : 97), inflasi dapat diartikan sebagai

kecenderungan kenaikan harga barang secara umum yang berlangsung sepanjang masa sehingga mengakibatkan jumlah uang yang beredar lebih besar dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia atau nilai uang lebih rendah dihadapkan dengan nilai barang atau jasa.

Inflasi yang tinggi melemahkan daya beli masyarakat dan melumpuhkan kemampuan produksi suatu perusahaan yang mengarah pada krisis produksi dan konsumsi, karena tingkat pendapatan menurun (Andjaswati, 2010 : 140). Pendapatan menurun akan mempengaruhi kemampuan baik masyarakat atau perusahaan dalam membayar angsuran kredit yang nantinya mengarah pada kredit macet. Dengan demikian semakin tinggi persentase inflasi maka NPL semakin tinggi.

Dokumen terkait