• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II WASIAT WAJIBAH BERDASARKAN FIKIH ISLAM

A. Pengaturan Wasiat Wajibah Dalam Fikih Islam

2. Sumber-Sumber Hukum Wasiat

Sumber-sumber hukum wasiat itu ialah Al-Kitab, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Ma’qul.46

1. Al-Kitab, antara lain ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah, Al-Maidah, An-Nisaa.

Al-Baqarah ayat 180, yang artinya:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk

43

Suhardi K. Lubis, Komis Simanjuntak,Hukum Waris Islam,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 47 44Abdul Aziz Mohammed Zaud,The Islamic Law Of Bequest,Scorpion Publishing Ltd, London, 1986, Hal. 11

45

M. Yusuf Musa, T.T.,At Tirkah Wal Mirats Fil-Islami,Darul Ma’rifah, Kairo, Cet. II, Hal. 126 46

ibu, bapak, karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

Al-Baqarah ayat 181, yang artinya:

“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Al-Baqarah ayat 182, yang artinya:

“(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Al-Baqarah ayat 240, yang artinya:

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana”.

An-Nisaa ayat 11 dan 12, yang artinya:

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,

maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuanmu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguuhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.

Al-Maidah ayat 106, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan Persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.

2. As-Sunnah, antara lain hadist yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqas r.a. ujarnya:47

“Rasulullah s.a.w. datang mengunjungi saya pada tahun haji wada’ di waktu saya menderita sakit keras. Lalu saya bertanya: “hai Rasulullah! Saya sedang menderita sakit keras. Bagaimana pendapat tuan. Saya ini orang berada, tetapi tidak ada yang dapat mewarisi hartaku selain seorang anak saya perempuan, apakah sebaiknya saya mewasiatkan dua pertiga hartaku (untuk beramal)?” “Jangan”, jawab Rasulullah. “Lalu sepertiga?”, sambungku lagi. Rasulullah menjawab: “Sepertiga”. Sebab seperrtiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam kedaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.” (Rw. Bukhari- Muslim).

3. Al-Ijma’, ummat Islam sejak zaman Rasulullah s.a.w. sampai sekarang banyak menjalankan wasiyat. Perbuatan yang demikian itu tidak pernah diingkari oleh seorang pun. Ketiadaan ingkar seseorang itu menunjukkan adanya ijma’.48

4. Al-Ma’qul (logika), menurut thabi’at, manusia itu selalu bercita-cita supaya amal perbuatannya di dunia di akhirat dengan amal-amal kebajikan untuk menambah amal taqarrub-nya kepada Allah yang telah dimilikinya, sesuai

47Ibid,Hal 51 48Ibid.

dengan apa yang diperintahkan Nabi Muhammad s.a.w. dalam sabdanya yang artinya:

“Allah S.W.T. memerintahkan sedekah kepadamu sepertiga harta untuk menambah amal-amalmu sekalian, maka keluarkanlah sedekah itu menurut kemauanmu atau menurut kesukaanmu.” (Rw. Bukhari).49

Atau untuk menambah kekurangan-kekurangan amal-perbuatannya sewaktu ia masih hidup. Untuk menambah amal kebajikan yang telah ada dan menambah kekurangan-sempurnaan amal tersebut tidak ada jalan lain, selain memberikan wasiat.

Wasiat itu disyari’atkan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Kalau kebutuhan tersebut dapat ditutup melalui wasiat adalah logis sekiranya wasiat itu disyariatkan. Karena di dalam wasiat itu terdapat unsur pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain, sebagaimana dalam pusaka mempusakai, maka sudah selayaknya wasiat itu diperkenankan juga. Hanya saja pemindahan milik dalam wasiat itu terbatas kepada sepertiga harta peninggalan saja, agar tidak merugikan para ahli waris.