• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECAMATAN LABUAN KABUPATEN PANDEGLANG

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2.1 Sumberdaya Perikanan

Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable) yang terhabiskan (ekhaustable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Sumberdaya yang termasuk dalam kelompok sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya mineral, logam, minyak dan gas bumi. Sedangkan jenis sumberdaya yang termasuk ke dalam kelompok yang dapat diperbaharui adalah ikan (Fauzi, 2006).

Sumberdaya perikanan sering dikemukakan sebagai wadah bersama (common pool resources) yaitu sumberdaya yang berada pada suatu wadah atau ekosistem dimana penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama. Sebagai suatu wadah bersama, sumberdaya perikanan memiliki sifat-sifat interkoneksitas,

indivisibilitas dan substraktibilitas. Sifat interkoneksitas artinya bahwa sumberdaya perikanan memiliki saling keterkaitan antara suatu komponen, seperti antara jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungannya. Sifat indivisibilitas

artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah dibagi-dibagi menjadi bagian atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat ini muncul karena ikan melakukan migrasi antar wilayah dan tidak bisa dibatasi pergerakannya dalam suatu ekosistem alam. Sifat substraktibilitas artinya bahwa sumberdaya ikan bila diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan mempengaruhi keberadaan dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu yang lain. (Nikijuluw, 2005).

12 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan keputusan menteri, dan juga peraturan-peraturan yang bersifat internasional. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1 menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal, serta (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.

13 Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu (1) res communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan (2) res nullius atau tanpa pemilik. Rezim sumberdaya yang dimiliki bersama (res communes) dapat dibagi menjadi : (1) dimiliki oleh semua orang sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang, (2) dimiliki oleh atau property masyarakat tertentu yang jelas batas-batasnya dan karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi masyarakat itu dan tertutup bagi masyarakat lain, (3) properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut ada di tangan pemerintah yang dapat saja dialihkan kepada masyarakat, dan (4) properti swasta dimana swasta selaku perusahaan atau individu memiliki hak pemanfaatan dan pengelolaan. Rezim sumberdaya perikanan tanpa pemilik (res nullius) artinya bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa pemilik.

De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang dimiliki namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik. De-jure artinya kondisi dimana ada sistem yang mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut memng tidak dimiliki oleh siapapun (Nikijuluw, 2005).

Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan rencana yang baik yang harus disetujui dan didukung oleh segenap dari mereka yang terlibat dan yang berkepentingan, yakni para stakeholders (pemangku kepentingan). Dengan melibatkan seluruh stakeholders maka kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap pemanfaatan dan pengelolaan jangka panjang atas sumberdaya ikan dan ekosistemnya dapat ditingkatkan (Widodo, 2006).

14 Dalam kasus perikanan, Ruddle (1999) diacu dalam Satria (2009) mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan sebagai berikut:

a) Batas wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.

b) Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.

c) Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan. d) Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk

masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi.

e) Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi moral (melalui mekanisme pengadilan formal) dan sanksi fisik (pemukulan) f) Pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir

yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. 2.3 Ko-manajemen Perikanan

Salah satu permasalahan yang cukup penting dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya laut termasuk sumberdaya perikanan adalah keterbatasan hak atas sumberdaya (property right). Hal ini tidak terlepas dari karakter sumberdaya ikan yang bersifat common properties dan open access.

15 Karakter sumberdaya yang seperti ini juga diperburuk oleh adanya ketidakpastian (uncertenties) yang tinggi baik sumberdaya ikan, lingkungan, pasar, maupun kebijakan pemerintah, yang kemudian mendorong sumberdaya laut ke dalam berbagai bentuk kompetisi yang tidak sehat dan konflik. Sehingga untuk konflik dalam pemanfaatan sumberdaya diperlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah maupun kelompok pengguna sumberdaya. Dimana setiap pengguna diberi tugas dan tanggung jawab yang sama. Salah satu pendekatan pengelolaan yang memberikan ruang bagi adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya disebut ko-manajemen. Pengelolaan ini juga dapat didefinisikan sebagai pendesentralisasian pembuat keputusan yang melibatkan kelompok pengguna (pemangku kepentingan) dan pemerintah. Kelompok pengguna dalam hal ini meliputi nelayan, pengolah, pedagang ikan, perantara (middleman), industri alat tangkap, pemasok alat tangkap, konsumen, peneliti, pegawai pemerintah, penegak hukum, pemerhati lingkungan dan konservasi, LSM, dll (Widodo, 2006). Pola Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan ko-manajemen dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dengan Pendekatan Ko- manajemen (Widodo, 2006) Pengelolaan secara sentralistik oleh pemerintah Dikelola sendiri oleh masyarakat

Pengelolaan oleh Masyarakat

Pengelolaan oleh Pemerintah

Informatif Advisori Kooperatif Konsultatif Instruktif

16 Pembagian distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan pelaku perikanan sangat bervariasi mulai dari tipe informatif hingga tipe instruktif. Tipe- tipe dalam ko-manajemen yaitu: informatif, pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan kemudian diinformasikan kepda pemerintah), (2) advisori, dalam kerangka ini pelaku perikanan memberikan input bagi pengambilan keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut, (3) kooperatif, dalam level ini pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam pengambilan keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama (equal partner), (4) konsultatif, terdapat mekanisme dialog antar pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan pemerintah, dan (5) instruktif, tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan.

Menurut Pomeroy dan Berkes (1997) terdapat sepuluh tingkatan bentuk

co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit partisipasi masayarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co- management maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: (1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan kebijakan; (2) Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah; (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama; (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi; (5)

17 Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi; (6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran; (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama; (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra; (9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah; (10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah.

2.4 Kelembagaan

Kelembagaan adalah suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok (Kherallah dan Kirsten, 2001 diacu dalam Fauzi, 2005).

Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Kelompok nelayan, Koperasi Unit Desa dan sejenisnya. Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan diantara orang-orang, dimana ditentukan hak-hak mereka, perlindungan atas hak-haknya, hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya (Schmid, 1987 diacu dalam Sukmadinata, 1995).

Dalam konsep pengelolaan sumberdaya perikanan, kelembagaan merupakan faktor penting yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan. Kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) yang terlibat dalam pengelolaan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai hak-haknya, kewajiban dan tanggungjawabnya. Kelembagaan memberikan suatu

18 kondisi, setiap anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman dan hidup sewajarnya (Nurani, 2008).

Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni:

1. Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi)

2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan

3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan.

Dari sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan yaitu sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov, 2006) diacu dalam (Suhana, 2008).

1. Kelembagaan sebagai Norma-norma dan Konvensi

Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya. Hampir semua aktivitas manusia

19 memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses- proses sosial bisa berjalan baik. Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat.

2. Kelembagaan sebagai Aturan Main

Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati. Lebih lanjut, Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi-aksi pada masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendefinisikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal . 3. Kelembagaan sebagai Pengaturan Hubungan Kepemilikan

Sebagai pengaturan hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur: (1) individu atau kelompok pemilik, (2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan .

20 2.5 Biaya transaksi

Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam ko- manajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) biaya informasi, (2) biaya pengambilan keputusan bersama, dan (3) biaya operasional. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante transaction cost), sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan (ex post transaction cost).

Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa masing-masing kategori memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya transaksi. Pertama, biaya informasi mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b) memperoleh dan menggunakan informasi, dan (c) biaya penyusunan strategi dan

free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencakup beberapa aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b) keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d) menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, biaya operasional bersama dalam ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana masing-masing kelompok mencakup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya tersebut adalah : (1) Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan, manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran. (2) Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari

21 perlindungan terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya. (3) Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan biaya kelembagaan atau keikutsertaan.

Menurut North dan Thomas (1973) diacu dalam Anggraini (2005), biaya transaksi meliputi :

1. Biaya pencarian (search cost) yaitu biaya untuk mendapatkan informasi tentang keuntungan atau kerugian suatu transaksi (cost of allocating information about opportunity of the exchange).

2. Biaya negosiasi (negotiation cost) yaitu biaya merundingkan syarat-syarat suatu transaksi (cost of negotiating the terms of the exchange).

3. Biaya pelaksanaan (enforcement cost) yaitu biaya untuk melaksanakan suatu kontrak (cost of enforcing the contract).

22 III. KERANGKA PEMIKIRAN

Kondisi sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan sudah mengalami penurunan. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan sumberdaya perikanan tersebut, termasuk sistem kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan melibatkan berbagai aktor (stakeholders), sehingga dalam penelitian dianalisis para

stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Para aktor yang terlibat sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Oleh sebab itu, akan dianalisis masing-masing aktor yang terlibat, besarnya pengaruh dan kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, hubungan masing-masing aktor dan perannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Selain itu, akan diteliti konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

Selain aktor, aturan/regulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Oleh karena itu perlu diidentifikasi aturan-aturan apa saja yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Aturan formal dan aturan informal akan menggambarkan aturan main (rule of game) pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan.

Selain aktor-aktor yang terlibat dan aturan-aturan yang berlaku, akan dianalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan. Secara skematis, kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.

23 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Aturan Main Stakeholder

Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya

Perikanan

Analisis Biaya Transaksi

Biaya informasi, biaya pengambilan keputusan

dan biaya operasional bersama Biaya Transaksi

Analisis

Stakeholder

Identifikasi, pemetaan, pengaruh dan kepentingan,

hubungan stakeholder Analisis

Peraturan

Aturan main formal dan aturan main

informal

Analisis Konflik

Konflik antar aktor

24 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive), karena Labuan merupakan sentra perikanan laut di pesisir barat Provinsi Banten. Pengambilan data dilakukan awal Juli sampai Agustus 2010. 4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan langsung di lapangan dan kuisioner oleh responden. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, dan instansi-instansi pemerintah yang terkait dengan penelitian. Data sekunder sebagai data pelengkap dan penunjang. Pada penelitian ini, matriks bentuk, jenis dan sumber data yang diambil dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Matriks Bentuk, Jenis dan Sumber Data Kelompok

Data

Data yang Diperlukan

Bentuk Data Jenis Data Sumber Data Data Primer Data Sekunder Keadaan Umum Lokasi

Kondisi Geografis Informasi mengenai kondisi geografis wilayah Data Sekunder Pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan Kondisi Sosial Ekonomi Informasi mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat, misalnya mata pencaharian, jumlah penduduk Data Sekunder Pemerintah Setempat Keadaan Sumberdaya Perikanan Informasi mengenai kondisi perikanan , produksi ikan,jumlah kapal, jenis kapal, jenis alat tangkap Data Sekunder Pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan

25

LanjutanTabel 2.

4.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara berikut : 1) Observasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap latar dan objek penelitian. Sasaran yang ingin dicapai dalam observasi adalah mendapatkan gambaran secara umum tentang pokok kajian sebelum melakukan penelusuran secara sistematis terhadap objek penelitian, yaitu melalui penelusuran secara bertahap kepada beberapa informan tentang berbagai macam pelapisan dan pengelompokan yang berada dalam objek penelitian. 2) Wawancara, yaitu teknik dalam penelitian yang dilakukan melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada responden dengan menggunakan kuisioner. 3) Pencatatan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data sekunder yang tersedia.

Pada penelitian ini prosedur penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Kelompok Data

Data yang Diperlukan

Bentuk Data Jenis Data Sumber Data Data

Primer

Data Sekunder Stakeholder Stakeholder dalam

pengelolaan sumberdaya perikanan

Identifikasi para aktor, peran masing- masing aktor, hubungan antar aktor, konflik antar aktor

Data Primer

Responden

Aturan Aturan formal dan informal

Aturan formal bisa berupa UU, peraturan menteri, peraturan daerah, keputusan bupati,dll Aturan informal bisa berupa kesepakatan yang terjadi dalam masyarakat Data Primer Data sekunder Responden, pemerintah setempat, DKP Pandeglang, TPI Labuan

Biaya Transaksi Biaya transaksi pengelolaan sumberdaya perikanan

Biaya informasi, biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama Data Primer Data sekunder Nelayan, DKP Pandeglang

26 Tabel 3. Matriks Prosedur Penelitian

No Tujuan Jenis Data Metode Analisis Data

1 Menganalisis Stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan

Primer Analisis Stakeholder

dan Analisis Konflik

2 Menganalisis aturan formal dan informal yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan

Primer dan sekunder

Analisis Peraturan

3 Menganalisis biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kecamatan Labuan Primer dan sekunder Analisis Biaya Transaksi 4.4 Penentuan Responden

Pengambilan sampel untuk para stakeholders yang memiliki kepentingan di Kecamatan Labuan diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling

dengan penggalian data menggunakan panduan kuisioner. Responden berasal dari berbagai kalangan mulai dari pemerintah, masyarakat dan pengusaha perikanan/swasta. Jumlah responden sebanyak 30 orang.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, data yang telah diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excell serta disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif.

4.5.1 Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya)

27 dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor (Grimble dan Chan, 1995 diacu dalam Haswanto, 2006).

Analisis stakeholder dapat dikatakan sebagai suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Langkah- langkah yang dilakukan dalam menganalisis stakeholder adalah:

1) Identifikasi stakeholders dan perannya

2) Membedakan dan mengkategorikan stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya.

3) Mendefinisikan hubungan antar stakeholders.

Stakeholder dipetakan ke dalam matriks analisis stakeholder berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh. Besarnya kepentingan dan pengaruh diberi nilai sesuai dengan panduan yang telah dibuat. Untuk menilai besarnya kepentingan digunakan panduan penilaian untuk mengetahui tingkat kepentingan seprti pada Tabel 4 sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh digunakan panduan penilaian untuk mengetahui besarnya pengaruh seperti pada Tabel 5. Jumlah nilai yang didapatkan oleh masing-masing stakeholder adalah 25 poin untuk besarnya kepentingan dan 25 poin untuk besarnya pengaruh.

28 Tabel 4. Penilaian Tingkat Kepentingan

No Variabel Indikator Skor 1 Keterlibatan Terlibat seluruh proses

Terlibat 3 proses Terlibat 2 proses Terlibat 1 proses Tidak terlibat 5 4 3 2 1 2 Manfaat Pengelolaan Mendapat 4 manfaat

Mendapat 3 manfaat Mendapat 2 manfaat Mendapat 1 manfaat Tidak mendapatkan manfaat

5 4 3 2 1 3 Sumberdaya yang disediakan Menyediakan semua sumberdaya

Menyediakan 3 sumberdaya Menyediakan 2 sumberdaya Menyediakan 1 sumberdaya

Tidak menyediakan sumberdaya apapapun

5 4 3 2 1 4 Prioritas Pengelolaan Sangat menjadi prioritas

Prioritas Cukup Kurang

Tidak menjadi prioritas

5 4 3 2 1 5 Ketergantungan terhadap sumberdaya 81-100 % bergantung 61-80 % bergantung 41- 60 % bergantung 21-40 % bergantung ≤ 20 % bergantung 5 4 3 2 1 Tabel 5. Penilaian Tingkat pengaruh

No Variabel Indikator Skor 1 Aturan/kebijakan pengelolaan Terlibat semua proses

Terlibat dalam 3 proses Terlibat dalam 2 proses Terlibat dalam 1 proses Tidak terlibat 5 4 3 2 1 2 Peran dan partisipasi Berkontribusi pada semua point

Berkontribusi dalam 3 point Berkontribusi dalam 2 point Berkontribusi dalam 1 point Tidak berkontribusi 5 4 3 2 1 3 Kemampuan dalam berinteraksi Berinteraksi dalam semua point

Berinteraksi dalam 3 point Berinteraksi dalam 2 point Berinteraksi dalam 1 point Tidak melakukan interaksi apapun

5 4 3 2 1 4 Kewenangan dalam pengelolaan Kewenangan dalam semua proses

Kewenangan dalam 3 proses Kewenangan dalam 2 proses Kewenangan dalam 1 proses Tidak memiliki kewenangan

5 4 3 2 1 5 Kapasitas sumberdaya yang

disediakan

Semua sumberdaya

Dokumen terkait